BAB II. SPIRITUALITAS KATEKIS DAN UPAYA PEMBINAANNYA
A. Katekis sebagai Panggilan Allah
4. Peran dan Kualifikasi Seorang Katekis
Peran seorang katekis dalam karya pewartaan Gereja sangat vital, maka
Gereja perlu mengkualifikasi katekis-katekis yang bekerja dalam karya pewartaan.
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai peran dan kualifikasi seorang katekis.
a. Peranan Seorang Katekis
Seorang katekis yang menyadari panggilannya tentu akan menyadari
terlibat perluasan dan perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Peran pertama,
berkatekese berarti mewartakan visi dan pembentukan communio. Dalam mewartakan visi, ia berperan mengajarkan Yesus kepada orang-orang yang mau
bertobat maupun kepada orang yang telah bertobat. Pengajaran ini dilakukan secara
berkesinambungan yaitu dari tahap pengajaran sampai ketahap pendewasaan (CT,
art. 20). Tahap pengajaran bertujuan membantu mereka untuk semakin mengenal,
mencintai dan mengimani Yesus sedangkan tahap pendewasaan bertujuan agar
mereka berani bersaksi atas iman akan Yesus Kristus (Prasetya, 2007: 33-34). Dalam
mewujudkan communio diharapkan katekis memiliki sikap keberpihakannya terhadap mereka yang tersingkirkan oleh masyarakat (KLMTD) sebagai upaya Allah
dalam mewujudkan communio (Komisi Kateketik KWI, 2005: 99-100).
Kedua, mempertahankan kegandaan wajah Gereja dengan tetap hadir sebagai
agen pastoral awam. Perlu disadari bahwa communio Gereja tidak hanya terdiri dari para klerus dan biarawan-biarawati melainkan juga kaum awam yang tidak hanya
terdiri laki-laki melainkan perempuan juga. Pereduksian Gereja pada kaum klerus
dan laki-laki perlu diatasi dengan pembentukan katekis laki-laki dan katekis
perempuan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan komitmen terhadap
kehidupan Gereja. Jelas sekali dua tuntutan dasar bagi katekis, yaitu percaya diri dan
komitmen. Percaya diri adalah sikap yang lahir dari kesadaran akan panggilan diri
sebagai sarana perwujudan impian Allah bagi umat-Nya, sedangkan komitmen
adalah kesetiaan untuk melaksanakan tanggung jawab termasuk di dalamnya
kesetiaan turut memikirkan bersama rencana pastoral dan ketelatenan
Ketiga, katekis berperan dalam mencegah pereduksian Kristianitas pada
persoalan ibadat. Katekis diharapkan menyadari martabatnya sebagai awam yang
tidak membatasi pada urusan ibadat. Sehubungan dengan itu, Yohanes Paulus II
dalam AA art. 5 menyatakan bahwa:
Oleh sebab itu perutusan Gereja tidak saja membawakan warta Kristus dan rahmat-Nya kepada manusia, tetapi juga meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil. Jadi para awam yang melaksanakan perutusan Gereja ini, menjalankan kerasulannya baik dalam Gereja maupun di dalam dunia, baik dalam tata rohani maupun dalam tata dunia.
Dari pernyataan di atas sangatlah jelas bahwa katekis dapat menangani
bidang lain, yaitu pelayanan karitatif dan pelayanan advokasi. Pelayanan karitatif
adalah pelayanan dalam bentuk kasih sayang dan perhatian, misalnya memberi
pelayanan kepada orang-orang sakit dan miskin, sedangkan pelayanan advokasi
adalah pelayanan yang mengarah kepada penciptaan kondisi yang mencegah orang
untuk menjadi tidak sakit, misalnya baksos. Keempat, katekis berperan dalam
pelayanan yang memberdayakan solidaritas umat beriman, yakni membangkitkan
kesadaran, semangat, dan ketelatenan dalam pelayanan. Sebagai petugas pastoral
yang juga mengambil bagian langsung dalam kehidupan bermasyarakat, katekis
memiliki peluang untuk menyemangati masyarakat dengan semangat pelayanan yang
menjiwainya (Komisi Kateketik KWI, 2005: 102-104).
Kelima, katekis berperan dalam menghidupi pluralitas di bidang pelayanan
Gereja. Kenyataan menunjukkan bahwa katekis dapat menjalankan berbagai macam
profesi. Hal ini terlihat oleh katekis-katekis yang sudah tidak bekerja lagi di paroki
atau keuskupan karena mereka bekerja pada lembaga atau instansi di luar Gereja.
Walaupun mereka sudah tidak berprofesi sebagai katekis, mereka tetap merasa dan
sebagai katekis yang didukung oleh komitmen yang sungguh-sungguh. Dengan
bantuan mereka, Gereja dapat menjalin hubungan dan kerja sama yang baik dengan
lembaga atau instansi di luar Gereja. Maka relasi dan kerjasama antara Gereja
dengan dunia luar semakin terbuka lebar, dengan demikian Gereja dapat memberikan
pelayanan secara leluasa dan bebas tanpa ada suatu halangan yang membatasi
keduanya (Komisi Kateketik KWI, 2005: 104-105).
b. Kualifikasi Seorang Katekis
Seorang katekis merupakan pembina iman umat. Dalam PKKI III dijelaskan
bahwa seorang pembina iman umat harus memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Selain pengetahuan dan keterampilan, katekis juga harus memiiliki spiritualitas.
Pengetahuan yang dimiliki katekis akan tersampaikan dengan baik bila didukung
dengan keterampilan dan sebagai penguat untuk tetap bertahan dalam menjalankan
tugas dibutuhkan spiritualitas. Ketiga hal tersebut merupakan modal dasar yang
menentukan bagi kelangsungan tugasnya.
1). Pengetahuan Seorang Katekis
Katekis adalah seorang pewarta dan saksi iman maka ia harus memiliki
pengetahuan yang memadai seputar tugasnya, yaitu pengetahuan tentang katekese,
pengetahuan tentang metode katekese, pengetahuan terhadap situasi atau keadaan
umat dan pengetahuan yang menyangkut konteks. Kesemua pengetahuan tersebut
harus dikuasai secara benar dan tepat. Tanpa pengetahuan-pengetahuan tersebut
a). Pengetahuan tentang Katekese
Pengetahuan tentang katekese yang harus dimiliki oleh katekis, pertama,
pengetahuan tentang Kitab Suci. Katekis harus memiliki pengertian yang tepat
tentang Kitab Suci sebagai Kitab yang berisi Firman Allah yang ditujukan kepada
manusia. Kedua, Kristologi; apa yang diwartakan oleh katekis adalah Yesus sendiri,
maka terlebih dahulu katekis harus mengenal, mendalami secara pribadi dan
menjadikan Yesus sebagai pola hidup (Lalu, 2005: 118-119).
Ketiga, Eklesiologi (Gereja); katekis harus mampu mengartikan Gereja
secara benar dan tepat, yaitu Gereja sebagai umat Allah, communio dan tanda keselamatan yang nyata hadir di tengah-tengah dunia. Keempat adalah Ajaran Sosial
Gereja (ASG); katekis harus mengetahui dan memahami apa yang menjadi ajaran
Gereja, khususnya keberpihakan Gereja terhadap kaum lemah, miskin, tersingkir dan
difabel (KLMTD). Selain itu juga pengetahuan lain yang harus diketahui dan
dikuasai katekis adalah Sakramentologi, Mariologi, liturgi dan lain-lain (Lalu, 2005:
119). Mengingat umat zaman sekarang ini semakin pintar, kritis dan serba ingin tahu
maka kesemua pengetahuan tersebut harus dikuasai dan dipahami secara benar oleh
katekis.
b). Pengetahuan tentang Metode Katekese
Metode merupakan cara atau prosedur untuk melakukan suatu kegiatan untuk
mencapai tujuan secara efektif. Berbicara mengenai metode katekese, tentunya
katekis harus mengetahui metode dalam sebuah katekese. Pengetahuan ini harus
dipelajari berdasarkan uraian-uraian yang sudah ada atau pun berdasarkan
ini. Dengan kemampuannya mengolah sebuah metode berkatakese tentunya akan
dengan mudah ia menganalisis situasi, menyusun rencana tindak lanjut dan berkreasi
dalam mengolah katekese itu sendiri (Lalu, 2005: 119-120).
c). Pengetahuan tentang Situasi/ Keadaan Umat
Katekis ketika menjalankan sebuah proses katekese ia juga perlu
memperhatikan situasi atau keadaan umat. Situasi atau keadaan yang dimaksud di
sini adalah keadaan pribadi seseorang dan latar belakang umat. Selain itu juga
katekis diharapkan mampu mengenali psikologi dan konteks peserta (Lalu, 2005:
120). Dengan memiliki pengetahuan tersebut akan memudahkan katekis memasuki
kehidupan umat dan menjawab apa yang paling diharapkan dan dibutuhkan oleh
umat. Dengan demikian iman umat akan semakin mengakar, tumbuh dan
berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat dan juga di dalam kehidupan
menggereja.
d). Pengetahuan menyangkut Konteks
Katekis juga perlu memiliki pengetahuan yang menyangkut konteks. Konteks
yang dimaksud di sini adalah situasi atau keadaan yang sedang terjadi di dalam dunia
faktual yang bersifat nasional. Misalnya saja kejadian-kejadian yang terjadi di dalam
negri maupun di luar negri: bencana alam, kerusuhan, dan lain-lain (Lalu, 2005:
120). Keadaan yang terjadi dalam dunia faktual dapat membantu, mendukung dan
menjadi sumber inspirasi yang mendukung dalam pewartaan katekis di
tengah-tengah umat yang sedang mengalami perubahan zaman dan serba ingin tahu akan
2). Keterampilan Seorang Katekis
Seorang katekis diharapkan mempunyai keterampilan dalam berkatekese.
Mengapa? Karena pewartaan katekis dilakukan dengan cara berdialog
(berkomunikasi) dengan umat dan mengajak umat untuk berefleksi. Jadi
keterampilan berkomunikasi dan berefleksi merupakan keterampilan yang penting
dan harus dikuasai oleh katekis.
a). Keterampilan Berkomunikasi
Seorang katekis harus mampu berkomunikasi dengan umat, dalam
pengalaman tertentu, dalam situasi tertentu yang dilatarbelakangi kebudayaan
tertentu. Katekis juga perlu dapat mengungkapkan diri, berbicara dan mendengarkan
umat, hal ini menunjukan bahwa ia juga terbuka dengan umat. Dengan tranpilnya
berkomunikasi yang baik tentunya akan sangat mudah bagi katekis dalam
mengumpulkan, menyatukan, dan mengarahkan umat kepada suatu tindakan nyata.
Selain itu juga mampu menciptakan suasana yang memudahkan umat untuk
mengungkapkan diri, berdialog dan mendengarkan pengalaman orang lain sehingga
diantara umat sendiri tidak ada saling curiga satu sama lain (Lalu, 2005: 8).
b). Keterampilan Berefleksi
Pendalaman iman hendaknya menjadi sebuah komunikasi iman yakni
imannya, karena kesaksian yang diungkapkan menjadi bahan untuk direfleksikan dan
sekaligus menjadi peneguh atas apa yang ia katakan kepada umat. Maka untuk bisa
berefleksi dibutuhkan keterampilan berefleksi. Keterampilan berefleksi adalah
kemampuan untuk menemukan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup
sehari-hari, menemukan nilai-nilai Kristiani dalam Kitab Suci, ajaran Gereja dan
Tradisi Kristiani, serta memadukan nilai-nilai Kristiani dengan nilai-nilai manusiawi
dalam pengalaman hidup sehari-hari (Lalu, 2005: 8). Dalam melatih keterampilan
berefleksi katekis perlu melakukannya setiap hari.
3). Spiritualitas Seorang Katekis
Spiritualitas merupakan unsur paling pokok yang harus dimiliki oleh katekis,
karena spiritualitas inilah yang membantu katekis tetap bersemangat dalam
menjalankan tugas panggilannya. Penulis sebelum berbicara mengenai macam-maam
spiritualitas katekis terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian spiritualitas,
pengertian spiritualitas katekis dan perlunya spiritualitas bagi katekis dengan berguru
pada Yesus Kristus.
a). Pengertian Spiritualitas
Kata spiritualitas berasal dari bahasa Latin, yaitu spiritus yang berarti Roh. Roh ini merupakan dasar hidup manusia. Spiritualitas dimengerti sebagai semangat
hidup dan perjuangan yang menjadi cara pandang atau pendekatan dalam pengolahan
hidup (Staf Dosen, 2010: 29). Heuken (2002: 11) menyatakan bahwa spiritualitas
mempunyai dua segi, yaitu askese atau usaha melatih diri secara teratur supaya
sebagai tujuan hidup keagamaan manusia. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa
manusia dipanggil untuk mengenal Dia yang ilahi yang hadir dalam batinnya yang
mana terjalin relasi berdasarkan kasih. Dengan demikian spiritualitas menyangkut
keberadaan orang beriman sejauh dialami sebagai anugerah Roh Kudus yang
meresapi seluruh dirinya.
Bagi umat Kristiani, spiritualitas selalu berhubungan dengan Roh Allah atau
Roh Kudus yang mendorong, menggerakkan, menjiwai, menguatkan dan
menyemangati umat manusia. Yesus menyebut-Nya sebagai “Penolong, Roh Penolong” (Yoh 14: 16-17), dan Paulus menyebut-Nya sebagai “Roh Allah atau Roh
Kudus” (1 Kor 12: 3). Roh Kudus itulah yang turun dan memenuhi para murid pada
hari Pentakosta (Kis 2: 1-4). Van Lierav (1994: 7) menyatakan bahwa spiritualitas
adalah keadaan seseorang atau kelompok yang didorong, dimotivasi, disemangati,
dijiwai dan digerakkan oleh Roh Allah. Dengan demikian spiritualitas adalah suatu
gerak di mana seseorang senantiasa membiarkan dan membuka dirinya untuk
dipimpin, dibimbing, diterangi, digerakkan dan dikuasai oleh Roh Allah. Untuk
dapat mengalami kehadiran Roh Allah dibutuhkan suatu kepekaan hati agar Roh
Allah diam di dalam kita (Rom 8: 1-17).
b). Pengertian Spiritualitas Katekis
Dasar spiritualitas katekis adalah spiritualitas kristiani, di mana setiap orang
kristiani terpanggil untuk mewujudkan secara nyata kehidupan Kristus yang
diimaninya sebagai Tuhan dan penyelamat dengan cara mengintegrasikannya dalam
Spiritualitas katekis dapat diartikan hidup rohani seorang katekis, sebagai
orang kristiani yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang agama yang
cukup untuk mengkomunikasikan apa yang diketahui dan dialami kepada orang lain
dan dapat menjadi saksi iman di tengah-tengah umat melalui kesaksian hidup yang
nyata (Heuken, 2002: 12). Dengan demikian spiritualitas katekis adalah hidup rohani
seorang katekis yang senantiasa didorong, dimotivasi, dibimbing, dipimpin, dijiwai,
diterangi, dan digerakkan oleh kekuatan Roh Allah yang berpengetahuan dan
berpengalaman di bidang agama, memiliki kesaksian iman dan
mengkomunikasikannya kepada umat di tengah-tengah kehidupan nyata.
c). Perlunya Spiritualitas bagi katekis dengan Berguru pada Yesus Kristus
Setiap kegiatan akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh daya dorong
yang mendasarinya. Daya dorong tersebut adalah spiritualitas. Seorang katekis dalam
menjalankan tugas panggilannya perlu memiliki spiritualitas katekis. Sumber
spiritualitas para katekis adalah Yesus Kristus. Katekis harus memiliki sikap
pengharapan akan kualitas hidup kristiani dengan menjadikan Yesus sebagai
pedoman hidup. Yohanes Paulus II mengharapkan agar para katekis menimba
spiritualitas katekis dari Sang Guru yakni Yesus Kristus. Banyak hal yang dapat
dipelajari dari Yesus Kristus yang merupakan katekis ulung di mana kesuksesan dan
keberhasilan terlihat dari banyaknya orang yang menjadi pengikut, percaya dan
bertobat.
Kesetiaan Yesus terhadap tugas terlihat dari apa yang dilakukan-Nya, di
mana Ia tidak henti-hentinya terus mengajar (CT, art. 9). Apa yang diajarkan-Nya sungguh memberikan teladan yang mendalam bagi para pendengar-Nya, dan tidak
terlepas dari kenyataan hidup-Nya. Tindakan yang Ia lakukan sungguh-sungguh
menunjukkan karya penebusan bagi dosa manusia yang merupakan perwujudan
nyata atas sabda-Nya dan sekaligus sebagai kepenuhan wahyu. Para katekis
diharapkan memiliki dan meneladani apa yang dilakukan oleh Yesus dalam
mengajar. Hal ini dilakukan agar para katekis menemukan sinar terang dan kekuatan
untuk secara otentik memperbaharui katekese (Komisi Kateketik KWI, 2009: 30-31).