• Tidak ada hasil yang ditemukan

konsep-konsep umum pada Republika Online yang ditemukan peneliti dalam sumber-sumber pendukung dan Mengenal Aborsi, Permasalahan Aborsi, Aborsi dalam Hukum Islam, Aborsi dalam UU Indonesia, Kondisi Aborsi di Indonesia.

BAB IV HASIL PENELITIAN: Bab empat dalam laporan penelitian ini berisi penjelasan hasil penelitian yang diperoleh peneliti dalam penelitiannya.

BAB V PENUTUP: Bab terakhir ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis mengenai hal-hal yang telah dibahas dalam skripsi ini.

BAB II

KERANGKA TEORETIS A. Teori Konstruksi Realitas

a. Konstruksi Realitas

Menurut pengertian istilah, konstruksi adalah upaya penyusunan beberapa peristiwa, keadaan, atau benda secara sistematis menjadi sesuatu yang bermakna. Realitas adalah peristiwa, keadaan, benda. Jadi, konstruksi realitas adalah pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, atau kalimat yang bermakna untuk menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau nyata.14

Selama ini, banyak orang menganggap realitas itu sebagai kebenaran objektif, apa adanya, dan fakta riil yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang bersifat universal. Itulah pandangan yang dominan yang disebut paradigma positivis. Namun, realitas tersebut sebenarnya dikonstruksi oleh masyarakat melalui interaksi satu sama lain. Ketika masyarakat melakukan dialog, tatap muka, dan bersentuhan secara berkesinambungan, tanpa disadari mereka telah menciptakan konstruksi realitas. Dalam kata-kata terkenal James W Carey, realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi.15 Dengan kata lain, fakta berupa realitas itu bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita yang melihat fakta tersebut. Fakta merupakan hasil konstruksi atas realitas.

Oleh karena itu, realitas bersifat ganda. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Tergantung pengalaman,

14

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Media: 2004 15

James W Carey, Communication Culture, dalam Eriyanto, Analisis Framing, Yogyakarta, LKIs: 2008, hal. 20

as 13

preferensi, pendidikan, dan lingkungan. Selain bersifat ganda, kebenaran suatu realitas juga relatif dan dinamis, berlaku sesuai konteks tertentu.16

Dalam pandangan Teun A. Van Dijk, setiap orang mempunyai kognisi sosial atau cara memandang atau melihat suatu realitas sosial tertentu. Kontruksi realitas sangat ditentukan oleh kognisi sosial tersebut. Kognisi sosial ini didasarkan pada anggapan umum yang tertanam dan yang akan digunakan untuk memandang peristiwa. Karena itu, menurutnya, diperlukan analisis kognisi dalam menelaah suatu konstruksi realitas. Analisis kognisi menyediakan gambaran yang kompleks tidak hanya pada teks tetapi juga pada representasi dan strategi yang digunakan dalam memproduksi suatu teks.

Pendekatan Van Dijk disebut sebagai kognisi sosial karena meskipun keyakinan, prasangka itu bersifat personal dalam diri seseorang tetapi ia diterima sebagai bagian dari anggota kelompok (socially shared). Semua persepsi dan tindakan, dan pada akhirnya diproduksi dan interpretasi wacana didasarkan pada representasi mental diri setiap manusia. Hal inilah yang disebut oleh Van Dijk sebagai model. Model menunjukkan pengetahuan, pandangan individu ketika melihat dan menilai suatu persoalan. Sebuah model adalah sesuatu yang subjektif dan unik, yang menampilkan pengetahuan dan pendapat ketika memandang persoalan.17

b. Konstruksi Media terhadap Realitas

16

Pandangan tersebut kemudian dijadikan sebagai paradigma konstruktivis yang

diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dengan istilah konstruksi realitas pada tahun 1966 melalui bukunya The Social Construction of Reality.

17

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 260-270, cet. Ke-1

Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkandari komunikator ke penerima (khalayak). Namun, tanpa disadari, realitas yang disajikan media massa berbeda dari realitas yang sesungguhnya terjadi. Dengan teks berita yang dibaca, seseorang digiring untuk memahami realitas yang telah dibingkai oleh media massa. Pemahamannya terhadap realitas tergantung pada realitas pola media massa. Ia telah terperangkap oleh pola konstruksi media massa. Media massa ternyata tidak hanya menginformasikan sesuatu tetapi juga memaknakan sesuatu lewat berita-berita yang disuguhkan kepada khalayak (pembaca atau pendengar). Jadi, media bukan saja penyalur informasi tapi juga agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.18

Misalnya, Aborsi. Praktik aborsi yang dilakukan oleh perempuan hamil dimaknai berbeda-beda oleh beberapa kelompok atau kalangan. Kelompok tertentu mengonstruksi aborsi sebagai tindakan kejahatan, pembunuhan, atau sebagai tindak pidana. Tetapi, pada saat yang bersamaan, kelompok lain mengkonstruksi aborsi sebagai tindakan kewajaran dan hak asasi manusia terhadap tubuhnya.

Kedua konstruksi yang berbeda tersebut dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa yang mereka katakan dan mereka percayai itu adalah benar adanya, dan mempunyai dasar atau bukti yang kuat. Selain plural, realitas (sebagai produk konstruksi) juga bersifat dinamis. Aborsi (sebagai produk dari konstruksi sosial) selalu terjadi dalam dialektika sosial. Dalam level atau tingkat individu, dialektika berlangsung antara faktisitas objektif dan makna subjektif aborsi bagi perempuan. Dalam level atau tingkat sosial, pluralitas konstruksi terhadap aborsi mengalami proses dialektika juga. Sebagai produk dari

18

Dedy N. Hidayat, “Memantau Media, Memantau Arena Publik”, Pantau no. 6, 1999, hal. 20

konstruksi sosial, realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan realitas objektif sekaligus.

Media massa adalah sarana penyampaian pesan yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas, misalnya media elektronik (radio, televisi, dan film) ataupun media cetak (surat kabar, majalah, dsb.).19 Fungsi media massa dalam komunikasi politik dapat dikatakan sebagai transmitter (penyampai) pesan-pesan dari pihak di luar dirinya, sekaligus sebagai sender (pengirim) pesan politik yang dibuat (constructed) oleh para wartawannya ke audiens20.

Media massa dapat berperan dalam mengkonstruksi suatu peristiwa untuk membentuk realitas sosial. Pendekatan konstruksi sosial realitas telah menjadi gagasan penting dan popular dalam ilmu sosial. Menurut Keneth Gergen, konstruksi sosial memusatkan perhatiannya pada proses di mana individu menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman mereka.21

Oleh karena itu, berita dalam media massa tidak bisa disamakan dengan fotokopi dari realitas, ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi dari realitas. Karena itu, peristiwa yang sama berpotensi dikonstruksi secara berbeda oleh beberapa media massa. Wartawan atau jurnalis bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa atau kejadian, yang terwujud dalam teks berita. Realitas bukan dioper begitu saja menjadi berita. Realitas adalah produk interaksi antara wartawan dan fakta.

19

Harimurti kridalasana, Leksikon Komunikasi, Jakarta, Pradnya Paramita, 1984, hal. 60 20

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta, Granit, 2004, hal. 1

21

Sasa Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, Jakarta, Universitas Terbuka, 2005, cet-9, hal. 83

Dalam proses internalisasi, realitas diamati oleh wartawan, diserap dalam kesadarannya. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memahami realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Dengan demikian, teks berita yang kita baca di surat kabar atau kita dengar di televisi atau radio adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.

Berbagai peristiwa tersebut diinternalisasi dengan cara dilihat dan diobservasi wartawan. Terjadilah proses dialektika antara apa yang ada dalam pikiran wartawan dengan apa yang dilihatnya. Akhirnya, terjadilah teks berita. Oleh karena itu, berita merupakan hasil dari interaksi antara kedua proses tersebut.

Proses konstruksi realitas, pada prinsipnya adalah setiap upaya menceritakan (konseptualitas) sebuah peristiwa, keadaan atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aborsi adalah usaha mengkontruksi realitas. Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama.22 Bahasa merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Konstruksi realitas ini berawal dari persepsi terhadap suatu objek, yang kemudian hasil dari pemaknaannya melalui proses persepsi diinternalisasikan ke dalam suatu wacana. Objek kajian media massa dalam mengkontruksi realitas terdiri atas konstruksi realitas sosial.

Berdasarkan gambaran itu, berita adalah jendela dunia. Melalui berita, kita mengetahui apa yang terjadi di Indonesia, di Malaysia, di Thailand, bahkan di Irak dan di Lebanon. Melalui berita, kita mengetahui apa saja yang dilakukan elit politik di Jakarta, di Kuala Lumpur, di Bangkok, bahkan di New York dan di Tokyo. Akan tetapi, apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita rasakan

22

Peter Berger L dan Thomas Luckman, The Sosial Construktion of Reality, A Treatise in The Sosiology of Knowledge, New York, Anchor Books, 1967, hal. 34-46; dalam Ibnu Hamad,

Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta, Garnit, 2004, hal.12

mengenai dunia itu tergantung pada jendela yang kita pakai. Jendela itu berukuran besar atau kecil. Jendela yang besar akan membantu kita memandang dunia lebih luas; sebaliknya jendela yang kecil akan membatasi pandangan kita.23

Selain itu, apakah jendela itu berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu bisa dibuka lebar atau hanya bisa dibuka setengah. Apakah lewat jendela itu kita bisa melihat secara bebas ke luar, ataukah hanya bisa mengintip di balik jeruji. Atau, apakah di depan jendela itu ada pohon yang menghalangi penglihatan kita atau tidak. Ternyata, posisi kita sangat tergantung pada jendela. Sedangkan Opini public yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh orang-orang yang berwenang dan mempunyai tujuan tertentu.24 Pembentukan opini public yang dalam media massa tidak pernah lepas dari pewacanaan yang digunakan oleh suatu media massa. Sistem media massa yang menjalankan operasi jurnalistik sehingga opini tersebut terbentuk secara tersirat dalam pewacanaan media sangat dipengaruhi oleh proses pembuatan atau pengkonstruksian realitas.

Seringkali, media banyak mewawancarai satu orang, pakar yang itu-itu saja, dan dengan pandangan yang negatif terus-menerus. Padahal tugas media massa adalah mengumpulkan fakta, menulis berita, menyunting serta menyiarkan berita kepada khalayak pembaca. Media massa dikatakan unggul jika media massa tersebut telah mencakup pada bagian dari fungsi berikut25:

23

Tuchman, Gaye, Making News: A Study in the Construction of Reality, New York, The Free Press, 1978, hal 1.

24

Betty RFS. Soemirat dan Eddy Yehudo, Opini Publik, Universitas Terbuka, 2007, cet-5, hal. 3-31

25

1. Media berfungsi sebagai issue intensifier. Media memunculkan isu atau konflik dan mempertajam dengan possisi sebagai intensifier (media dalam memblow up realitas menjadi isu sehingga dimensi isu menjadi transparan) 2. Media sebagai conflict diminisher. Maksudnya media dapat

menenggelamkan atau meniadakan suatu isu atau konflik, terutama bila menyangkut kepentingan media yang bersangkutan.

3. Media berfungsi sebagai penmgarah conflict resolution. Yang mana media menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai persfektif dengan mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik.

4. Media massa berfungsi sebagai pembentuk opini public. Media merupakan bagian dari public oleh karena itu media massa berhak mengetahui kinerja pelayanan publik.

Terkait dengan media massa, paradigma Van Dijk, cukup menarik untuk disimak. Menurutnya, banyak informasi dalam suatu teks tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi implicit. Kata, klausa, dan ekspresi tekstual lainnya boleh jadi mengisyaratkan konsep atau proposisi yang dapat diduga berdasarkan pengetahuan yang menjadi latar belakangnya. Ciri wacana dan komunikasi ini memiliki dimensi ideologis yang penting. Analisis atas apa yang tidak dikatakan terkadang lebih jelas daripada studi atas apa yang sebenarnya dikatakan dalam teks.26

Oleh karena itu, berita surat kabar merupakan suatu cara untuk menciptakan realitas yang diinginkan mengenai peristiwa atau kelompok orang yang dilaporkan. Setelah melewati seleksi dan reproduksi, berita surat kabar sebenarnya merupakan laporan yang artifiasial.

26

Deddy Mulyana, pengantar dalam buku Eriyanto, Analisis Framing, Penerbit LKiS, Yogyakarta, hal xii, 2001

Sedangkan sarana komunikasi massanya, selama ini ada dua pandangan, yaitu pandangan positivisme dan pandangan konstruktivisme Bagaimana fungsi media massa, bagaimana isi dan sifat berita, bagaimana peristiwa disajikan, dan bagaimana tugas wartawan, dipahami secara berbeda oleh kedua pandangan tersebut.

Pandangan konstruksivisme memahami tugas dan fungsi media massa berbeda dengan pandangan positivisme. Dalam pandangan positivisme, media massa dipahami sebagai alat penyaluran pesan. Ia sebagai sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator (wartawan, jurnalis) ke khalayak (pendengar, pembaca). Media massa benar-benar sebagai alat yang netral, mempunyai tugas utama penyalur pesan. Tidak ada maksud lain. Kalau media tersebut menyampaikan suatu peristiwa atau kejadian, memang itulah yang terjadi. Itulah realitas yang sebenarnya. Tidak ditambah dan tidak dikurangi.

Dalam pandangan konstruktivisme, media massa dipahami sebaliknya. Media massa bukan hanya saluran pesan, tetapi ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini, media massa dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.27

Sebagai aktor sosial, wartawan bukan pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif yang berada di luar diri wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi melewati proses konstruksi yang dilakukan wartawan. Lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif wartawanlah, realitas itu muncul. Seperti dikatakan Lichtenberg, realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan

27

Bennett, Tonny, Media, Reality, Signification. Dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennett, dan James Wollacott, Culture, Society and the Media, London, Methuen, 1982, hal287-288.

kategori yang kita buat (dalam hal ini wartawan). Artinya, kalau seorang wartawan menulis berita, ia sebetulnya membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas. Ia tidak mungkin mengambil jarak dengan objek yang akan diliput.28 Karena ketika ia meliput suatu peristiwa dan menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak menggunakan dimensi persepsualnya. Ketika ia membuat berita, ia sebetulnya telah menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliputnya. Dengan demikian, berita pada dasarnya adalah produk dari transaksi antara wartawan dan fakta yang ia liput, antara wartawan dan sumber berita. Secara jelas Ericsson mengatakan29: “News is product of transaction between journalists and their sources. The primary source of reality for news is not what is displayed or what happens in the real world. The reality of news is embedded in the nature and type of social and their sources, and in the politics of knowledge that emerges on each specific newsbeat.”

Konsekuensi logis dari agen konstruksi realitas adalah etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan merupakan bagian yang integral dan inheren dalam produksi berita. Walaupun pandangan positivisme menghendaki agar hal itu dihindari oleh wartawan, dalam kenyataannya tidaklah mungkin dihilangkan. Wartawan bukanlah robot yang bekerja seperti mesin elektronik. Wartawan mempunyai pengetahuan, pengalaman, motivasi, keinginan, dan hal-hal lain yang berbau subjektif, yang tidak mungkin bisa dilepaskan ketika berhadapan dengan fakta sosial. Bahkan, lebih radikal lagi, ia mempunyai preferensi dalam proses kerjanya.

28

Hartley, John, Understanding News, London and New York, Routledge, 1990, hal 13

29

Tuchman, Gaye, Making News: A Study in the Construction of Reality, New York, The Free Press, 1978, hal 87.

Ia bukan dengan cara: melihat, menyimpulkan, dan menulis; tetapi lebih sering terjadi: menyimpulkan, lalu melihat fakta apa yang ingin ikumpulkan di lapangan.Terkait dengan ini,mengatakan30:

“For the most part we do not first see, and then define; we define first and then see. In the great blooming, buzzing onfusion of the outer world we pick out what our culture has already defined for us, and we tend to perceive that which we have picked out in the form stereotyped for us by our culture”.

Di situ jelaslah bahwa wartawan tidak bisa menghindarkan diri dari kemungkinan subjektivitas. Ia memilih fakta yang ingin ia pilih dan membuang fakta yang ingin ia buang. Melalui peranan dan isi media dapat melahirkan perspektif teoritik bahwa isi media dapat dianggap sebagai penggambaran suatu realitas sosial yang ada dan hgidup di masyarakat.31 Media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam kepentingan. Keterkaitan media ini berhubungan dengan kepentingan yang berada di dalam maupun di luar media massa itu sendiri. Kepentingan eksternal meliputi pemilik atau pengelola media yang berhubungan dengan pencarian keuntungan. Sedangkan kepentingan internal meliputin kepentingan masyarakat. Sehingga hal ini membuat media harus bergerak dinamis di antara kepentingan-kepentingan tersebut sebagai saluran dalam mengkonstruksi realitas.

30

Lippman, Walter, Stereotype, Public Opinion, and the Press, 1992. Dalam Elliot D. Cohen

Philosophical Issues in Journalism, New York, Oxford University Press, hal 162. 31

Harsono Suwardi, Peranan Pers dalam Politik di Indonesia, suatu studi komunikasi Politik terhadap liputan berita kampanye pemilu 1987, Jakarta, pustaka sinar harapan, 1993, hal. 65

c. Konstruksi Realitas Simbolik

Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan oleh Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang.32 Manusia adalah satu-satunya hewan yang menggunakan lambang. Dan itulah yang membedakan manusia dengan yang lainnya.

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat pula direpresentasikan oleh ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu tanda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan.

Sebagai satu-satu makhluk yang menggunakan lambang, manusia sering lebih mementingkan lambang daripada hakikat yang dilambangkannya. Menurut S.I. Hayakawa33, hewan memperebutkan makanan dan kepemimpinan, namun mereka— tidak seperti manusia—tidak memperebutkan lambang-lambang uang, saham, gelar, tanda pangkat pada pakaian, dan nomor mobil yang rendah. Sebagian orang bahkan menggadaikan “harga diri” mereka pada lambang-lambang tertentu seperti model rambut, model pakaian dan merk-merk tertentu.

Akan tetapi, makna yang diberikan kepada suatu lambang boleh jadi berubah dalam perjalanan waktu, meskipun perubahan makna itu berjalan lambat. Panggilan bung yang pada zaman revolusi lazim digunakan dan berkonotasi positif karena menunjukkan kesederajatan kini tidak popular lagi, dan membuat orang yang dipanggil adalah orang yang merasa statusnya lebih tinggi daripada yang memanggil. Kata heboh belakangan ini digunakan kawula muda tampaknya

32

S.I Hayakawa . “Symbols.” Dalam Wayne Austin Shrope. Experiences in communication. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1974, hlm 144.

33

Kompas 25 Maret, 1999 diunduh pada tanggal 12 April 2010

mengalami pergeseran makna, bukan saja berarti gaduh, ribut atau gempar, namun juga hebat atau keren.

Bahasa, sebagai alat komunikasi manusia pada hakikatnya tercipta berkat proses konstruksi sosial tadi. Manusia menciptakan bahasa dan bahasa pula yang menciptakan manusia. Keduanya melakukan proses yang dialektis. Dan begitu pula seterusnya.

Terkait dengan realitas tersebut, setidaknya ada tiga teori yang mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta sosial beranggapan bahwa tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya. Norma, struktur, dan institusi sosial menentukan individu manusia dalam arti luas. Segala tindakan, pemikiran, penilaian, dan cara pandang terhadap apa saja (termasuk peristiwa yang dihadapi) tidak lepas dari struktur sosialnya. Ia adalah penyambung lidah atau corong struktur sosialnya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang eksternal, objektif, dan ada. Ia merupakan kenyataan yang dapat diperlakukan secara objektif karena realitas bersifat tetap dan membentuk kehidupan individu dan masyarakat. Sementara itu, teori definisi sosial beranggapan sebaliknya.

BAB III

PROFIL DAN GAMBARAN UMUM A. Profil Republika Online

a. Sejarah Singkat Republika Online

Pada tanggal 17 Agustus 1995, beberapa hari menjelang Microsoft

meluncurkan Internet Explorer. Republika membuka situs website

(www.republika.co.id) di internet. Republika menjadi yang pertama mengoperasikan sistem cetak jarak jauh (SCJJ) pada 17 Mei 1997 di Solo. Pendekatan juga dilakukan kepada komunitas pembaca lokal. Republika menjadi salah satu koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah. Selalu dekat dengan publik pembaca adalah komitmen Republika untuk maju.34

Republika Online adalah sempalan dari Koran Republika. Pada tahun 1995,

Koran Republika membuka situs web di internet, Republika Online. Menurut Irfan, pada awalnya isi Koran Republika diisi ke internet. Tapi kemudian pada masa perkembangannya Republika Online sudah banyak peminat, sehingga mulai tahun 2008 kontennya tidak hanya dari Koran Republika yang dipindahkan ke internet tetapi juga hasil liputan dari Republika Online.35

Republika adalah koran nasional yang dilahirkan oleh kalangan komunitas Muslim bagi publik di Indonesia.36 Menurut Yeyen Rostiani “Republika adalah sebuah media untuk komunitas muslim, mayoritas pembaca Republika adalah

34Company Profile PT. Republika Media Mandiri 35

Hasil wawancara dengan Irfan, Pemimpin Redaksi Republika Online, pada tanggal 25 Mei 2010.

36

http://www.republika.co.id diunduh pada 08 Maret 2010

xxxi

muslim tapi tidak seratus persen karena ada juga yang non muslim.”37 Republika terbit perdana pada tanggal 4 Januari 1993.

Penerbitan Republika menjadi berkah bagi umat. Sebelum masa itu, aspirasi umat tidak mendapat tempat dalam wacana nasional. Kehdiran media ini bukan hanya memberi saluran bagi aspirasi tersebut, namun juga menumbuhkan pluralisme informasi di masyarakat. Karena itu kalangan umat antusias memberi dukungan, antara lain dengan membeli saham sebanyak satu lembar saham perorang. PT Abdi Bangsa Tbk, sebagai penerbit Republika pun menjadi perusahaan media pertama yang menjadi perusahaan publik.

b. Visi dan Misi Republika Online

Dokumen terkait