• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kesejahteraan Psikologis ketiga Subjek

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan Penelitian

2. Gambaran Kesejahteraan Psikologis ketiga Subjek

Pada aspek penerimaan diri, ketiga subjek telah mampu mensyukuri keadaan mereka saat ini. Subjek 1 bersyukur dengan memaknai hidupnya saat ini menjadi lebih indah dan lebih ringan. Subjek 1 telah mampu melewati cobaan hidup yang berat sehingga subjek tidak akan terjatuh lagi ketika cobaan-cobaan lain datang dalam kehidupannya. Subjek 2 bersyukur atas kemampuan yang lebih dalam bernyanyi dan bersosialisasi. Sedangkan pada subjek 3, rasa syukur atas keberhasilan mendapatkan pekerjaan dan materi yang cukup di usianya saat ini.

Data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa subjek 1 menerima diri apa adanya terlebih pada kondisinya secara fisik, tetapi subjek tidak pernah merasa puas dengan dirinya sendiri dalam hal tugas-tugas dalam pekerjaannya, seperti dalam pernyataan :

kalau kita bisa mentertawakan kelemahan kita gitu lho, kadang kita dinyek kan sakit gitu ya, tapi bagaimana kita bisa menerima kekurangan kita, terus kita bisa istilahnya menjadikan itu kalau kita membuat lelucon terhadap diri kita, itu hal yang paling membuat kita merasa bebas, dalam artian wong kita aja udah bisa mentertawai diri kalau orang lain mentertawakan diri kita tuh sudah istilahnya sudah nggak ada apa-apanya, jadi ketika kita menerima kita apa adanya ya buruknya kita apanya kita, itu kan kadang biasanya kita orangnya apa sih, e…gendhut misalnya, atau terlalu kurus, minder gitu, orang lain tuh nggak nyaman, karena saya merasa begitu saya nggak

132

Lihat lamp. WS3.II. no. 440-448 133

nyaman dengan orang yang tidak nyaman dengan dirinya sendiri... terus ketika itu saya mulai belajar(WS1.I.26Feb10.912-922)

saya tidak pernah puas dengan diri saya, dalam artian pencapaian saya itu menurut saya masih…menurut saya, saya tuh ndak bergerak gitu lho, masih pergerakannya itu ah...kadang saya kalau sama sekali itu halah..kalau saya menilai kok saya nggak nambah di sini, kok saya nggak nambah di sini, kalau saya lupa, terutama saya pekerjaan teknis kok saya nggak bisa, dia, oo…ada dia, oo..iya ya, dia bisa menemukan hal baru, dari itu berarti saya masih kurang

(WS1.I.26Feb10.1003-1008)

Subjek 2 lebih suka menjadi dirinya sendiri daripada harus memaksakan diri menjadi seperti orang lain. Namun ada satu hal yang tidak subjek sukai dari dirinya yaitu sulit mengampuni kesalahan orang lain. Subjek mengakui bahwa saat ini dirinya belum bisa menerima perlakuan ibunya di masa lalu yaitu subjek merasa dibanding-bandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain :

Puji Tuhan sih iya, tapi kalau dibilangin menyenangkan banget juga enggak, karena sebenarnya aku juga punya luka batin sama ibu gitu lho… aku ada luka batin sama ibuk makanya aku bilang orang tua itu jangan membandingkan anak yang 1 dengan yang lain, itu salah. Terus jangan pernah bilang, kamu anaknya ibu, kamu anaknya bapak…itu salah… Dulu waktu kita kecil, aku sama Dek Harto itu anaknya bapak, ibuku selalu bilang, “Nining-Harto anak bapak, Mbak Willy-Mas Anton anak ibu”,

(WS2.I.20Feb10.809-815)

Sedangkan subjek 3 merasa kurang percaya diri, mudah putus asa dan menganggap kemampuan orang lain lebih dibandingkan dirinya :

Mmm…saya jelas orangnya, menurut saya pribadi ya... yang jelas kurang percaya diri, kurang PD, gitu... yang lain opo yo... banyak kekurangan, mmm… mudah kadang sok nglokro itu lho Mbak, anu Dek, apa istilahnya, itu sendiri negatifnya itu...(WS3.I.12Apr10.279-282)

Misalnya ya dengan sesama kerja, beliau kok bisa, e… misalnya orangnya lebih pinter, pendidikannya lebih tinggi, kalau saya ketok’e ora mampu yo nek koyo... koyo dia, seperti dia saya nggak mampu toh gitu misalnya… orangnya sudah besar ya tetap saya nggak mampu... itu tadi ya beliau udah bekerja, punya keluarga sendiri, itu saya pingin... pingin seperti dia itu hanya itu, juga punya keinginan itu(WS3.I.12Apr10.381-386)

Dalam penerimaan diri sebagai wanita lajang, subjek 1 dan subjek 2 memasrahkan permasalahan tentang pasangan dan pernikahan kepada Tuhan, meskipun masih ada keinginan dalam diri mereka untuk menikah. Berikut kutipannya :

Subjek 1 :

tapi saya percaya kalau memang saatnya saya menemukan orang saya akan menemukan, dan kalau saya mencari mati-matian pun belum tentu saya menemukan gitu lho, karena saya typical orangnya yang pasrah lah gitu

(WS1.II.4Mar10.1814-1817)

jadi kalau saya belum menikah saya menerima apa adanya, saya bilang, “Tuhan kalau memang saya harus hidup sendiri e... tolong beri saya kekuatan”, saya bilang gitu, kalau endak saya diberi kekuatan hidup berarti saya diberi jodoh gitu, saya intinya pasrah aja, siapapun itu, kapan, dimana kita nggak tahu(WS1.III.16Apr10.478-482)

Subjek 2 :

Kalau memang Tuhan bilang “Ya” aku menikah, tapi kalau Tuhan bilang aku nggak menikah mau gimana lagi… Istilahnya tuh yo tak pasrahke, tapi aku sih berharapnya, “Tuhan, aku menikah ya…”, “Iya” amin, hehehe…

(WS2.III.9Mar10.255-258)

Namun terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada subjek 1, keinginan untuk menikah bukan menjadi fokus utama dalam diri subjek. Subjek menyadari dan menerima bahwa dirinya belum mencapai tahap-tahap perkembangan yang seharusnya sudah dilalui, yaitu menikah dan memiliki anak. Subjek mulai merasa tenang dan bisa menerima keadaan saat subjek berusia lebih dari 30 tahun. Subjek juga telah mempersiapkan diri ketika suatu saat nanti subjek tidak menemukan pasangan hidup dan tetap hidup sendiri.

Pada subjek 2, harapan bahwa suatu saat Tuhan akan mempertemukan dirinya dengan pasangan hidup yang tepat masih besar

karena subjek seringkali merasakan kekosongan dan menyadari kebutuhan akan sosok pasangan hidup. Subjek juga merasakan adanya tekanan ketika muncul pertanyaan-pertanyaan dari keluarga dan orang-orang di sekitar seputar status lajang. Meskipun demikian, subjek tidak ingin menyalahkan orang lain ataupun Tuhan atas kondisinya ini.

Sedangkan pada subjek 3, ditemukan bahwa subjek merasa belum puas dan merasa down karena belum menemukan pasangan hidup hingga saat ini. Muncul kekhawatiran dalam diri subjek ketika nanti menikah pada usia lebih dari 40 tahun tidak bisa memberikan keturunan dan pasangan tidak bisa menerima hal itu. Subjek juga mengalami suatu ketakutan tidak bisa memiliki keluarga yang bahagia setelah menikah. Meskipun demikian, subjek selalu berusaha untuk mendapatkan pasangan. Salah satu cara yang dilakukan subjek adalah dengan meminta bantuan pada teman untuk mencarikan pasangan :

Usaha, bilang teman saya kadang, “Piye? Kenalan njenengan ki akeh toh? Mbok dikenalke aku yo”, hehehe… biasa saya itu dengan temen itu, selalu nggak papa, biasa temen itu, “Piye? pokokmen sek penting Katolik lho”, gitu... Biasa, nggak terus saya itu malu enggak, yo piye toh? Jan-jane ki gampang, lha ning jodoh opo orane gitu lho... biasa aku nggak masalah, lha mbok sama njenengan, heee… saya menawarkan diri, hehehe...

(WS3.II.14Apr10.557-562)

Pada aspek hubungan positif dengan orang lain, subjek 1 dan subjek 3 kurang bisa bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Status lajang menjadi salah satu alasan yang menghambat kedua subjek dalam bergaul dengan orang lain. hal ini terungkap dalam pernyataan subjek :

Subjek 1 :

Kalau pribadi enggak, tetapi sebenarnya ada beberapa e...masalah membuat kita terhambat dalam sosialisasi, itu ya, dalam artian gini, kalau misalnya kita mau kontak dengan temen lama kita kan akan jadi, “Ah, nggak ah ntar ditanyain”, e... pertanyaannya itu pasti panjang, karena anaknya berapa, kenapa, nanti jadinya panjang gitu lho, jadi saya males, jadi kalau kemarin saya ada reuni itu saya iya saya dateng tapi saya dateng itu setengah hati, ah nanti temen-temen akan bilangnya kayak gitu-gitu lho, terus itu orang Indonesia banget gitu lho, jangankan di sini misalnya kita ketemu orang baru itu efeknya akan seperti itu gitu, maksudnya akan ditanya itu yang bikin males itu, cuma itu sebenarnya, nanti kalau kita harus menerangkan itu

(WS1.III.16Apr10.415-424)

Masalah iya tetapi tidak lebih ke saya tapi lebih ke pergaulan sosial kalau menurut saya, bagaimana saya bergaul akhirnya efeknya itu lebih ke bagaimana kita bergaul, baik itu dengan keluarga baik itu dengan masyarakat, baik itu dengan teman, itu saja ya(WS1.III.16Apr10.469-472)

Subjek 3 :

Dalam pergaulan misalnya, terutama kan saya masih sendiri toh, itu aku ya sok merasa ya dalam hati saya yo... yo minder, kadang saya ditanya-tanya tentang itu, hehehe… yo kadang merasa, piye yo... ngunu kuwi yo anu yo kurang-kurang PD, jadi kurang PD gitu masalah yang satu itu jadi kurang PD, hehehe... yang lain kayaknya enggak biasa saja... (WS3.I.12Apr10.293-298)

Dalam penelitian ditemukan juga bahwa subjek 1 mengalami kesulitan untuk bergaul dengan rekan kerja yang strata pendidikannya lebih rendah dibandingkan dengan subjek. Subjek juga membatasi pergaulan dan menghindari orang-orang yang subjek anggap tidak baik dan kurang berkualitas, serta cenderung berhati-hati dan tidak mudah percaya ketika subjek menjalin hubungan dengan orang lain. Pada subjek 2, dapat dilihat bahwa subjek mudah bergaul dan bisa masuk di lingkungan manapun subjek berada. Subjek juga dikenal banyak orang di lingkungan sekitarnya, terlihat dalam kutipan :

aku anaknya mudah bergaul, mudah bersosialisasi sama orang, jadi misalnya aku dimasukkan ke lingkup mana, mau ke lingkup orang tua aku bisa, mau ke lingkup anak-anak kecil aku bisa, mau ke lingkup yang sepantaran bisa, jadi aku anaknya, kata temen-temen sih, “Y anaknya enak”, maksudnya bisa diterima di mana aja, begitu juga kalau dalam pekerjaan juga aku bisa diterima gitu lho... (WS2.II.25Feb10.62-67)

Wue…kalau di rumah Pemalang terkenal semua, aku pulang udah tahu semua, “Itu pasti Y pulang itu mesti”, kalau lama nggak pulang itu ditanyain, hehehe…(WS2.III.9Mar10.54-55)

Heh…mampu banget kalau di sana mah… dari ujung ke ujung kenal aku semua, hahaha… suaraku menggelegar soale, membelah angkasa…

(WS2.III.9Mar10.57-58)

Dalam hubungannya dengan keluarga, subjek 1 terbuka dan merasakan kenyamanan ketika tinggal di rumah bersama dengan keluarga. Subjek 2 memiliki hubungan yang dekat dan sangat menyayangi adik laki-lakinya. Rasa sayang subjek tunjukkan adalah dengan mengijinkan adiknya tersebut untuk menikah terlebih dahulu meskipun hal itu berat bagi subjek. Subjek juga memiliki keinginan yang besar untuk bisa membangun hubungan yang baik dengan ibu. Pada subjek 3, ditemukan bahwa subjek memiliki kedekatan dengan adik perempuannya. Subjek juga merasakan suatu kenyamanan untuk terbuka dengan saudara perempuannya dibandingkan dengan saudara laki-laki.

Dalam hubungan pertemanan, ketiga subjek mampu memahami arti penting teman dalam kehidupan mereka. Bagi subjek 1, teman merupakan sosok yang bisa memberi warna dalam hidup, penyegar, penyemangat dan bisa mendewasakan diri :

bisa memberikan istilahnya warna lain dalam hidup kita, kalau kita hanya diri kita sendiri thok gitu kan istilahnya rutinitas apa kita... nah kayak penyegar gitu lho, teman itu kalau yang...yang apa bisa memberikan penyegaran dalam hidup kita jadi dan kita jadi orang yang tidak egois kalau semakin banyak temen kan kita harus bisa, istilahnya malah mendewasakan kita jadi banyak variasi-variasi, sikap, sifat, juga apa ya kritikan gitu kan kita suka saling ngritik gitu, jadi juga bisa membuat kita bersemangatlah untuk hidup kalau menurut saya teman itu seperti itu...

Arti teman bagi subjek 2 adalah pelipur lara saat subjek mengalami kesedihan dan menjadi keluarga ketika subjek berada jauh dari orang tua :

E…teman itu tempat buat kadang tuh…e…kita seneng-seneng, tapi juga kadang sedih kalau lagi sedih kalau ada temen juga jadi seneng. Trus yo apa ya, pokoknya sama kaya arti ini ya… kasarane tuh kita nggak punya keluarga, anak rantau gitu to… Ada apa-apa ya kita butuh temen, nggak mungkin kan misale kita butuh ini kita, “Ibuk aku butuh ini”, padahal ibukku di sana… Mmm…kalau nggak ada temen ngobrolnya sama siapa…ada temen kan enak… kita kan butuh sosialisasi sama orang lain…

(WS2.II.25Feb10.783-790)

Sedangkan pada subjek 3, teman adalah tempat berbagi cerita, pengalaman dan menambah informasi :

Teman yo… kalau kita kadang, yo untuk bercanda, yo kadang berbagi cerita, kadang yo berbagi pengalaman, itu penting sekali. Misalnya, saya kemarin kan ngajar juga di PGRI, kebetulan kadang saya ngobrol dengan Kepala Sekolah, ternyata kalau salah satu keuntungan kalau dihitung dari honornya, itu saya tuh saya itu tombok, tapi itu karena sana itu temennya baik-baik... Kadang yo, saat ketemu ya ngobrol, berbagi cerita di sana... jadi saya jadi tahu dari sebelumnya nggak tahu. Kadang ada informasi, saya jadi tahu, gitu... ya itu keuntungannya... jadi kalau, temen itu ya banyak sekali keuntungannya...(WS3.I.12Apr10.642-649)

Menurut data yang diperoleh, ketiga subjek mampu membangun relasi yang lebih dari sekedar teman yaitu persahabatan. Bagi ketiga subjek, sahabat merupakan tempat berbagi dan menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi yang diiringi dengan rasa saling percaya.

Dalam relasi dengan lawan jenis, ketiga subjek memiliki pertimbangan yang sama dalam mencari pasangan hidup, yaitu mencari pasangan yang seiman. Hal ini tampak dalam kutipan :

Subjek 1 :

saya nggak mencari kriteria yang muluk-muluk gitu, tapi memang waktu sekarang gitu lho, kalau kriteria seiman itu wajib”, saya bilang, tetapi yang seiman juga saya belum ketemu mau apa? Saya juga bingung kata temen-temen saya supel gitu, tapi mau gimana itu yang mendekati berbeda mau apa...ya gitu pada intinya. (WS1.III.16Apr10.461-465)

Subjek 2 :

tapi kalau untuk pasangan hidup nuwun sewu memang tak bedain karena e…aku lebih suka yang satu kepala gitu lho… maksudnya…dalam artian satu kepala itu visi-misinya tuh dah sama kalau…kalau soal ke religi, misalnya aku ke gereja, mosok aku ke gereja sendirian…kan yo suatu saat butuh kebersamaan to… mosok nanti aku punya anak, nanti kasihan anak-anakku.

(WS2.II.25Feb10.897-902)

Subjek 3 :

Yang pertama yang jelas seiman dengan saya, yang kedua punya pekerjaan, punya pekerjaan, terus misal diajak kalau ada permasalahan komunikatif gitu, komunikatif, e…cuma itu saja...

(WS3.II.14Apr10.41-43)

Dari hasil wawancara ditemukan bahwa pengalaman berelasi masing-masing subjek berbeda-beda. Subjek 1, belum pernah menjalin sebuah hubungan khusus dengan lawan jenis karena subjek cenderung takut untuk jatuh cinta. Subjek 2 pernah menjalin hubungan dengan seorang pria, tetapi hubungan tersebut tidak berlangsung lama. Sedangkan subjek 3 pernah menjalin relasi beberapa kali tetapi gagal.

Rasa empati terhadap sesama hanya muncul pada subjek 1 yaitu subjek mampu memberikan semangat kepada orang yang mengalami masalah serta memberikan penghiburan ketika mengunjungi orang sakit. Seperti yang tampak dalam pernyataan subjek :

Kalau masalah keluarga ya kita kan tidak mungkin bisa menikmati masalah-masalah yang kayak gitu-gitu tapi lebih kepada kita memberikan semangat aja kepada orang yang mengalami masalah itu seperti itu

(WS1.II.4Mar10.1365-1368)

juga kayak penyakit gitu lho, kita nggak mungkin bisa ikut merasakan yang merasakan dia tetapi setidaknya ketika dia butuh kita, kita ada gitu jadi kalau saya misalnya mengunjungi saya selalu bilang, “Yang sakit sini? yang sakit sini?” saya bilang, “Iya mana, tak elus-elus ya biar sembuh”, saya bilang gitu (WS1.II.4Mar10.1370-1373)

Pada aspek otonomi, masing-masing subjek memiliki cara yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Subjek 1 mampu mengambil keputusannya sendiri tanpa ada pengaruh dari orang lain dan teguh dalam pendiriannya :

Kalau pendapat... saya orangnya cenderung yang ini ya, merasa pendapat saya bener gitu lho, jadi saya selalu e…mengambil pendapat sendiri biasanya, jadi kalau saya maunya A ya A gitu lho (WS1.II.4Mar10.1505-1507)

Subjek 2, dalam pengambilan keputusan masih membutuhkan pertimbangan dan masukan dari orang lain, meskipun pada akhirnya subjek mengambil keputusannya sendiri. Subjek memegang teguh prinsip hidupnya dalam hal-hal tertentu seperti agama dan batas-batas dalam berpacaran :

kalau soal iman, prinsip hidup aku tuh kolot, sangat kolot e… kadang malah, apa namanya, e…tak rewangi berantem-berantem istilahe, aku tetep memegang prinsip aku walaupun mungkin semua orang bilang itu nggak bener dalam arti.. dalam arti bukan nggak bener gimana, maksudnya kadang kan mbok diinilah mbok diterjang sedikit-sedikit tapi nggak mau soalnya… e…tentang keimanan, ketuhanan, aku nggak mau...(WS2.III.9Mar10.86-91)

E…kalau aku jujur pacaran kan yang normal-normal, Hendri kan kadang minta apa minta apa kan aku nggak kasih gitu lho... e…jadi Hendri kadang agak keberatan di situ, tapi satu sisi dia agak keberatan, satu sisi dia bangga sama aku dan menghargai aku gitu lho dan kalau aku nggak bisa aku bilang nggak bisa, aku bilang terus terang kalau soal pacaran aku nggak mau kayak gitu, tapi kalau soal menikah mah lain urusannya gitu ya... kalau soal pacaran enggak, harus yang sewajarnya aja, paling cipika-cipiki, hehehe…

(WS2.II.25Feb10.1214-1219)

Sedangkan pada subjek 3 ditemukan bahwa subjek kurang memiliki pendirian, mudah terpengaruh serta membutuhkan pertimbangan orang lain dalam mengambil keputusan :

Dalam hal, misalnya… opo yo... saya itu punya masalah, misalnya, terus saya itu mesti tanya temen, ada deket gitu, “Aku nek punya masalah ngene ki piye yo?”, gitu misalnya, tidak langsung, saya itu he’eh... dulu itu juga pernah ditanya kelemahan saya itu... kadang sulit mengambil sikap atau keputusan, he’eh… harus tanya-tanya, mbok masalah pacar misalnya saya

punya kenalan ini, saya pertimbangkan, “Saya itu punya kenalan gini-gini, piye yo?”, gitu... Jadi tanya... saya tanyakan, kalau nggak ke saudara ya temen, temen deket, hehehe… mesti itu...(WS3.I.12Apr10.557-564)

He’eh… heee... ho’o Mbak, aku ini gampang banget goyah yo... nanti kalau ada apa gitu trus ada sing ngomong gini... gini... gini.... wah nanti masih bisa terpengaruh saya yo...(WS3.I.12Apr10.581-583)

Dalam menghadapi tekanan seputar status lajang, subjek 2 dan 3 masih merasa tertekan ketika muncul pertanyaan-pertanyaan tentang pernikahan dari orang-orang di sekitar mereka. Sedangkan subjek 1 merasa telah mampu mengatasi tekanan-tekanan yang muncul dengan cara memenuhi tuntutan-tuntutan dari lingkungan, seperti menuruti saran keluarga untuk mengambil bunga katil pada acara pernikahan.

Dalam hal penguasaan lingkungan, subjek 1 memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan kantor, tetapi mengesampingkan pekerjaan-pekerjaan rumah. Subjek aktif mengikuti berbagai macam kegiatan baik di kantor maupun kegiatan di gereja. Dari banyaknya kegiatan yang subjek ikuti, subjek mampu membagi waktunya dengan baik. Sama halnya dengan subjek 1, subjek 2 juga lebih mengutamakan kepentingan pekerjaan kantor dibandingkan pekerjaan rumah. Subjek 2 hanya mengikuti satu macam kegiatan saja, yaitu kegiatan rohani dengan lingkungan. Meskipun demikian, subjek 2 tidak bisa membagi waktunya dengan baik. Subjek 3 lebih memilih menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan di rumah. Subjek pasif untuk kegiatan-kegiatan sosial. Sebagai seorang pengajar, subjek kurang kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran.

Seseorang yang memiliki tujuan hidup berarti bahwa orang tersebut memiliki tujuan dan arah yang ingin dicapai (Riff, 1989). Dari hasil wawancara yang dilakukan, ketiga subjek mengarah pada tujuan hidup untuk menikah.

Subjek 1 :

Kalau saya soalnya saya nggak punya ya kalau misalnya saya mau menikah wong belum punya pasangan, yang jelas kan harus mencari pasangan dulu

(WS1.II.4Mar10.1844-1845)

Subjek 2 :

Kalau aku kepingin menikah, jadi aku berharap kalau menikah itu lebih bahagia. Soalnya apa, e…menurut pandanganku ya memang orang menikah banyak yang tercerai berai juga banyak, tapi sampai detik ini sih aku masih berpikiran lebih baik menikah dalam artian kalau kita nggak pengin jadi suster atau romo lho ya (WS2.III.9Mar10.132-136)

Subjek 3 :

Masih satu keinginan yang kemarin sudah saya ceritakan, saya inginnya berkeluarga, punya rumah sendiri, punya keluarga sendiri, saya bisa mengatur rumah tangga sendiri... Cuma saat ini kan masih campur orang tua, saya kadang dianggap masih kecil, masih... saya harus didekte gini... gini... gini to, saya itu punya keinginan misah dengan orang tua, punya rumah sendiri, memanage keluarga sendiri, itu yang belum tercapai, hehehe…(WS3.II.14Apr10.118-123)

Pada subjek 2 dan subjek 3, keinginan untuk menikah cukup kuat, sedangkan pada subjek 1 keinginan tersebut tidak begitu kuat. Subjek 1 telah mempersiapkan diri ketika nantinya subjek tidak menemukan pasangan hidup dan tetap hidup sendiri. Subjek juga telah membuat perencanaan terkait masa depannya seperti ingin membeli rumah sendiri. Sedangkan pada subjek 2 dan 3 ditemukan juga keinginan untuk membeli sebuah rumah, tetapi keinginan tersebut akan diwujudkan setelah mereka menikah.

Data penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi fokus pengembangan pribadi bagi ketiga subjek, yaitu pengembangan kepribadian dan peningkatan kemampuan. Pada pengembangan kepribadian, subjek 1 ingin mengembangkan dirinya

Dokumen terkait