• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Keadaan Geografis

Kecamatan Tenjolaya merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Tepatnya di wilayah pembangunan Bogor bagian barat. Kecamatan Tenjolaya terdiri dari enam desa yakni Desa Tapos I, Desa Tapos II, Desa Cibitung Tengah, Desa Cinangneng, Desa Situdaun dan Desa Gunung Malang. Sentra padi terbesar di kecamatan ini adalah Desa Tapos I dan Desa Tapos II.

Kecamatan Tenjolaya memiliki luas wilayah 234.145,4 Ha dengan ketinggian 700 dpl. Curah hujan rata-rata 38/bulan, dan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak ialah 30 hari. Banyaknya curah hujan 491mm/t dengan

temperatur sekitar 19-20oC. Kecamatan Tenjolaya memiliki bentuk wilayah

dataran rendah, berbukit dan bergunung-gunung dengan kemiringan 45 derajat. Bentuk wilayah datar sampai berombak sekitar 50%, berombak sampai berbukit 25% dan 25% sisanya berbukit sampai bergunung.

Desa Tapos I memiliki luas areal wilayah sebesar 48.171,9 Ha dan berada pada ketinggian 700m diatas permukaan air laut. Merupakan dataran tinggi

dengan suhu rata-rata tahunan sekitar 28-320C.

Dilihat dari posisinya, Desa Tapos I dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Desa Tapos II

b. Sebelah Selatan : Ferum Perhutani (Gn. Salak)

d. Sebelah Timur : Desa Gunung Malang

Desa Tapos II memiliki luas secara keseluruhan sekitar 22.717 Ha, yang meliputi pemukiman penduduk, pembangunan (berupa perkantoran, sekolah, peribadatan, jalan dan lain-lain), pertanian sawah, perkebunan, sarana olah raga dan perikanan darat/air tawar. Desa Tapos II berada pada ketinggian 500 m diatas

permukaan laut. Suhu udara rata-rata tahunan sekitar 21-300 C.

Dilihat dari posisinya, Desa Tapos II dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Desa Cibitung Tengah b. Sebelah Selatan : Desa Tapos 1

c. Sebelah Barat : Desa Gunung Bunder

d. Sebelah Timur : Desa Situdaun dan Desa Gunung Malang

5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian

Kecamatan Tenjolaya berpenduduk 54.026 jiwa yang terdiri dari 27.253 jiwa laki-laki dan 26.773 jiwa perempuan. Seluruhnya merupakan 16.368 jumlah Kepala Keluarga. Angkatan kerja produktif di kecamatan Tenjolaya 32.007 jiwa dan yang tidak produktif sejumlah 22.019 jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk

20.644 jiwa/Km2 dan rata-rata penyebaran penduduk 0.382 jiwa/Km2.

Desa Tapos I berpenduduk 7951 jiwa, dengan komposisi penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari 4118 jiwa laki-laki dan 3833 jiwa perempuan. Hingga akhir tahun 2006 jumlah penduduk Desa Tapos II adalah sebanyak 6433 jiwa, dengan komposisi penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari 3268 jiwa

laki-laki dan 3165 jiwa perempuan. Desa Tapos I dan Desa Tapos II seluruh penduduknya menganut agama islam.

Tabel 3. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Desa Tapos I dan Tapos II

No Subsektor Desa Tapos I

Jumlah (jiwa) Desa Tapos II Jumlah (jiwa) Persen (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Karyawan :

a. Pegawai Negeri Sipil b. ABRI c. Swasta Wiraswasta/pedagang Petani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Nelayan Pemulung Jasa 14 1 306 93 516 97 184 9 - - 268 36 1 173 497 155 77 270 42 - - 1357 21,57 6,25 34,67 6,51 12,36 0,60 18,01 8,05 19,05 5,94 2,95 10,35 1,61 52,03 Total 1488 2608 100% 100%

Sumber: Statistik Kecamatan Tenjolaya, 2006

Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian terbesar pada Desa Tapos I ialah petani. Jika dijumlahkan dengan persentase buruh tani 12,36 persen maka total persentase petani mencapai 47,03. Angka tersebut hampir setengah dari angkatan kerja di daerah tersebut. Berbeda dengan Desa Tapos II, petani hanya mencapai 5,94 persen dan buruh tani sekitar 10,35 persen. Jika dijumlahkan mencapai 16,29 persen. Angkatan kerja di Desa Tapos II dari tahun- ke tahun semakin berpusat di bidang jasa khususnya jasa transportasi seperti ojek dan supir angkot atau usaha jasa yang mendukung transportasi seperti usaha bengkel las dan sejenisnya.

Bukan hanya di Desa Tapos II, hal ini pun berdampak secara signifikan di Desa Tapos I terutama sejak dibukanya trayek transportasi untuk kendaraan umum (angkot) yang baru sejak tahun 2007 khusus untuk kecamatan Tenjolaya

yang berpangkalan di Desa Tapos I. Hal ini dapat berdampak bagi sumber daya manusia pertanian di Desa Tapos I dan Tapos II, namun disisi lain memudahkan proses pemasaran hasil pertanian di dua desa ini sekaligus untuk Kecamatan Tenjolaya.

5.3. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah di Desa Tapos I dan Desa Tapos II

Desa Tapos I dan Tapos II merupakan dua desa di Kecamatan Tenjolaya yang usahatani padinya cukup luas. Penanaman padi di dua desa ini dapat dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun. Musim tanam pertama antara bulan Januari-April, musim tanam berikutnya sekitar bulan Mei-Agustus dan musim tanam yang terakhir sekitar September-Desember. Namun pada umumnya padi ditanam dua kali dalam setahun di selingi dengan sekali penanaman palawija atau sayuran dalam pola tanam setahun.

Gambar 6. Sumber Irigasi untuk Areal Sawah dan Pertanian di Desa Tapos I

Mudahnya petani mengatur pola tanam didukung oleh irigasi yang berasal dari mata air dari Gunung Salak dan tidak dipungut biaya sama sekali sehingga kebutuhan petani akan air dalam bertani dan berumah tangga tidak tergantung akan curah hujan. Desa Tapos I memiliki 9 buah mata air dan 6 buah sungai

sedangkan Desa Tapos II memiliki 12 buah mata air dan 4 buah sungai yang dijadikan sumber air bagi irigasi di dua desa ini.

Sebelum petani di Desa Tapos I dan Tapos II memulai menanam padi, mereka terlebih dahulu memperhitungkan Penanggalan Jawa. Adat istiadat dalam dunia petanian yang diturunkan oleh nenek moyang atau garis keturunan yang terdahulu. Hal tersebut telah diajarkan oleh ayah, kakek atau keluarga terdekat yang dulunya merupakan petani pula.

Para petani di dua desa ini cenderung menanam padi berbarengan dengan petani yang lain untuk memudahkan irigasi di lahan pertanian. Hal ini memberikan kelebihan sekaligus kelemahan pada saat padi terserang hama. Jika padi terserang hama burung, maka petani tidak terlalu merugi karena ditanggung bersama. Jika padi terserang hama tikus, seluruh areal sawah dapat serentak dikeringkan dan hama tikus teratasi. Namun jika penyakit yang menyerang padi tersebar lewat air atau berupa virus, maka seluruh sawah terserang berbarengan. Hal tersebut tampak pada Gambar 7 yang memperlihatkan aliran air dari pintu air sawah yang satu ke sawah yang lain.

Sistem budi daya padi di Desa Tapos I dan Tapos II dimulai dari persemaian Dari. Bibit yang hendak disemai terlebih dahulu direndam selama dua hari (2x24 jam) agar berkecambah atau akarnya keluar dari bijinya. Lahan yang hendak dijadikan areal sawah di genangi terlebih dahulu agar sisa panen atau jerami sebelumnya membusuk dan menyatu dengan tanah. Sambil digenangi, petani membuka lahan lain yang lebih sempit dengan cara mencangkul untuk penyemaian. Umur persemaian padi berkisar antara 23-28 hari sebelum dipindahkan ke lahan persawahan yang lebih luas. Menurut persepsi petani, padi dipersemaian di upayakan sedikit lebih lama dari waktu yang seharusnya agar lebih tahan terhadap penyakit pada saat telah dipindahkan nantinya.

Penanaman dan penyiangan di Desa Tapos I dan Tapos II pada umumnya dilakukan oleh Tenaga Kerja Wanita. Buruh tani di dua desa ini di upah dengan uang dan natura. Jika buruh tani di upah dengan uang, itu artinya buruh tersebut diupah dengan sistem harian dan sistem kerjanya bersifat sementara. Jika buruh tani di upah dengan natura atau hasil panen, maka buruh tersebut dibayar setiap akhir musim tanam atau pada saat panen dengan sistem pembayaran satu banding lima (1: 5) dari total panen dan bersifat permanen dari tahun ketahun. Sistem ini disebut bawon atau “ngepak”. Sistem ini melibatkan buruh “ngepak” pada saat proses penanaman, penyiangan dan pemanenan.

Penyiangan pada umumnya dilakukan sekali dalam satu musim tanam dan dilakukan secara serentak. Namun jika telah selesai di siangi dan masih terlihat ada satu atau dua gulma yang tumbuh di sawah, maka petani akan membersih lagi gulma tersebut.

Sarana produksi yang digunakan untuk usahatani padi sawah di Desa Tapos I dan Desa Tapos II terdiri dari Benih, pupuk, pestisida, dan alat pertanian. Pada umumnya petani padi sawah di dua desa ini menggunakan pupuk Urea dan TSP, sedangkan pupuk KCl, NPK, ZA dan pupuk kandang jarang digunakan. Pestisida yang sering digunakan ialah pestisida jenis desis. Penyemprotan hanya dilakukan oleh petani jika dilihat kondisi padi di sawah memang sedang terkena penyakit, jika tidak maka penyemprotan tidak dilakukan.

Alat pertanian yang sering digunakan ialah cangkul, arit, kored, dan alat semprot. Sangat jarang petani yang memiliki traktor dan bajak. Pada umumnya petani padi sawah menyewa alat tersebut pada petani yang memilikinya. Petani yang tidak memiliki alat semprot untuk menyemprot pestisida pada umumnya menyewa semprotan dengan harga 2000-5000/ hari, tergantung dari kesepakatan bersama. Penyewaan bajak pada umumnya sepaket dengan Tenaga Kerja Ternak yakni kerbau dan satu orang yang mengendarainya.

Penggunaan tenaga kerja dipengaruhi oleh luas lahan garapan dan berat jenis pekerjaan serta kondisi keuangan keluarga tani. Tenaga kerja luar keluarga biasanya lebih banyak digunakan untuk sawah dengan luas lahan garapan yang relatif besar, sedangkan untuk luas lahan garapan yang relatif kecil dan jenis pekerjaan yang tidak terlalu berat biasanya lebih banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Jika pekerjaan berat contohnya pada saat pengolahan lahan namun kondisi keuangan tidak memadai apalagi jika harus membagi hasil dengan pemilik lahan (untuk sistem sakap), petani cenderung mengoptimalkan tenaga kerja dalam keluarga kendati harus memakan waktu hingga berhari atau berminggu lamanya.

Adapun status petani berdasarkan pemilikan lahan garapan yang ada di Desa Tapos I dan Desa Tapos II terdiri dari petani milik yang menggarap lahan sendiri atau digarap oleh orang lain (kuli), dan petani penggarap yang menggarap lahan orang lain baik dengan sistem sewa, bagi hasil (sakap) maupun dengan sistem gadai. Seorang petani dapat memiliki dua atau lebih status kepemilikan lahan. Contohnya jika seorang petani milik yang ingin menambah areal sawah dengan menyewa lahan orang lain sehingga petani tersebut merupakan petani milik sekaligus petani sewa dan lain sebagainya.

Petani milik yang menggarap lahannya sendiri akan menanggung seluruh biaya usahatani dan akan menerima seluruh penerimaan usahatani. Sedangkan petani sewa harus mengeluarkan biaya lebih berupa sewa lahan yang biasanya di bayar pertahunnya. Namun petani sewa tidak perlu menanggung pajak lahan karena ditanggung oleh pemilik lahan. Sedangkan petani sakap, tidak semua petani yang menggunakan sistem ini ditanggung biaya produksinya. Ada sebagian kecil dari petani responden yang ditanggung biaya produksinya menjadi biaya bersama antara pemilik lahan dan penggarap. Namun sebagian besar petani lain yang menggunakan sistem sakap harus menanggung seluruh biaya produksi, tergantung dari kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Sistem sakap atau bagi hasil mengharuskan petani penggarap membagi dua hasil panennya dengan pemilik lahan. Meskipun demikian, sistem ini masih memiliki keunggulan dibanding sistem sewa, yakni memiliki resiko yang lebih kecil di banding sistem sewa. Jika selama setahun, petani tidak menghasilkan apa- apa, maka biaya lahan lewat hasil panen yang gagal tidak dibayar. Sedangkan

sistem sewa, gagal panen atau tidak, biaya sewa atau kontrak lahan setahun tetap harus dibayar.

5.4. Karakteristik Petani Responden

Karakteristik petani responden akan diuraikan berdasarkan umur petani, pengalaman berusahatani, tingkat pendidikan, alasan mengusahakan padi sawah, status kepemilikan, luas lahan garapan, kelas tanah dan sifat usahatani padi. Karakteristik petani responden selengkapnya sebagai berikut:

(1) Umur Petani

Petani responden sebagian besar berasal dari kelompok umur 40-65 tahun, baik petani mina padi maupun petani non mina padi. Karakteristik petani responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tabel dibawah ini, dapat dilihat bahwa petani non mina padi atau yang hanya berkonsentrasi pada usahatani padi saja berpusat pada umur 40-65 tahun. Sedangkan petani mina padi cenderung lebih beragam. Seluruh responden dari yang paling muda hingga yang paling tua telah berkeluarga. Hal ini menunjukkan bahwa seluru responden telah memiliki tanggungan yang lebih berat dalam hidupnya.

Tabel 4. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Tapos I dan Desa Tapos II Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor

Petani Non Mina Padi Petani Mina Padi Kelompok Umur Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) 30-39 40-49 50-59 60-69 70-keatas - 5 6 4 - 0,00 33,33 40,00 26,66 0,00 2 5 4 3 1 13,33 33,33 26,66 20,00 6,66 Total 15 100,00 15 100,00

Tingginya persentase petani yang berusia diatas 40 tahun menunjukkan bahwa petani padi, dengan sistem mina padi atau sistem non mina padi jarang digeluti oleh kaum muda di dua desa ini. Hal ini terjadi karena sebagian pemuda yang ada di Desa Tapos I terutama di Desa Tapos II enggan untuk bekerja sebagai petani. Mereka pada umumnya lebih suka bekerja diluar bidang usahatani contohnya dibidang transportasi yang terdapat pada Tabel 3. Selain itu, Lahan di Desa Tapos I memang jauh lebih luas dibanding lahan di Desa Tapos II dapat dilihat pada keadaan geografis masing-masing desa. Lahan sebagai salah satu faktor penting dari pertanian, lebih tersedia di desa Tapos I dibanding Desa Tapos II.

Umur pada umumnya dapat menggambarkan pengalaman seseorang, sehingga terdapat perbedaan perilaku berdasarkan usia yang dimilikinya. Namun untuk desa ini, petani berumur belum tentu menggambarkan pengalaman yang banyak dibidang pertanian khususnya usahatani padi sawah. Apalagi jika mengusahakan sawah merupakan usaha cadangan yang tidak begitu fokus digeluti, hanya untuk menambah pemasukan pokok yang sudah ada. Untuk itu, di dua desa ini, umur tidak terlalu berhubungan dengan pengalaman petani berusahatani padi sawah.

Sistem usahatani mina padi cenderung tidak mengenal usia. Variasi usia yang merata pada Tabel 4 menggambarkan hal tersebut. Banyak hal yang menarik untuk dikaji pada sistem ini sehingga sistem ini langsung mandapat perhatian bagi petani yang muda hingga petani tua yang paling berpengalaman.

(2) Pengalaman Berusahatani

Semakin sedikitnya pengalaman petani, semakin besar rasa kebutuhan mereka akan adanya PPL atau penyuluh pertanian yang lain. Sedangkan semakin besar pengalaman petani, semakin kecil kebutuhan mereka akan kehadiran PPL atau penyuluh. Bahkan ada petani yang merasa tidak membutuhkan PPL sama sekali karena mereka menganggap PPL tidak pernah mempraktekkan apa yang mereka suluhkan di lapangan. Terkadang petani menganggap PPL pada umumnya tidak memberikan solusi dari setiap masalah mereka, sehingga menurut mereka tidak perlu didengarkan.

Tenaga PPL yang diturunkan sejak program pemekaran pemerintah disusutkan dari satu PPL per desa menjadi satu tenaga PPL per desa. Menurut persepsi petani, tenaga PPL kurang profesional sehingga tidak bisa membantu keterbatasan pedidikan pertanian mereka. Menurut ketua kelompok tani, karena sudah tidak mendapat kepercayaan dari petani lagi, maka PPL cenderung takut mendekati petani. Mereka hanya berani menyuluh para ketua kelompok tani, dan petani-petani tertentu saja yang masih mau menerima keberadaan mereka. Mereka takut ditolak oleh para petani setempat.

Hanya ketua-ketua kelompok tani dan orang-orang tentu saja yang masih mau disuluh dan diajak bekerja sama. Sehingga PPL berada pada posisi terjepit, menurut aparat desa dan tokoh-tokoh desa, PPL dinilai malas turun kepetani karena jarang terlihat aktif menyuluh, namun menurut sebagian besar petani mereka tidak membutuhkan PPL karena tidak pernah memberikan solusi setiap kali sawah mereka terkena hama.

(3) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan di Tapos I dan Desa Tapos II sangat rendah untuk petani responden. 27 dari 30 orang atau sekitar 90 persen diantara total petani responden memiliki latar belakang pendidikan enam tahun bahkan empat orang diantaranya belum tamat bahkan tidak pernah mendapat pendidikan formal sama sekali. Satu orang diantaranya memiliki pendidikan dasar 12 tahun atau pernah duduk dibangku Sekolah Menengah Umum. Sedangkan 2 orang atau sekitar 6.66 persen diantaranya merupakan lulusan perguruan tinggi yakni D2.

Tabel 5. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Jumlah petani

Tingkat Pendidikan

(Tahun) Mina padi Non mina padi

6 9 12 12-keatas 15 - - - 12 - 1 2

Menurut persepsi petani, hal ini dikarenakan keterbatasan ekonomi orang tua mereka dahulu dan sebagian lagi beranggapan bahwa orang tua mereka masih mampu untuk kejenjang yang lebih tinggi lagi namun orang tua mereka terutama ayah mereka beranggapan bahwa jika nantinya akan mengurus sawah juga, anak- anak mereka tidak perlu mendapat latar belakang pendidikan formal yang lebih tinggi. Cukup hanya keterampilan dasar seperti membaca dan menulis di bangku sekolah dasar saja dianggap dapat membekali mereka dalam hidup di dunia pertanian yang pada masa itu sekolah dasar masih disebut SR atau Sekolah Rakjat. Selain pendidikan formal, petani juga jarang diberi pendidikan non formal karena jarang diberi pelatihan. Hal ini sesuai dan sejalan dengan hubungan petani di desa dengan PPL diatas.

Untuk pendidikan teknologi pertanian pada umumnya seluruh petani responden pernah menggunakan tenaga mesin atau traktor, namun tidak semua dari mereka bisa menggunakan atau mengetahui informasi penggunaan traktor yang benar. Hal ini karena sistem usaha peminjaman traktor perhari sudah termasuk tenaga manusia yang mengendalikannya (umumnya laki-laki). Tidak ada kesempatan untuk belajar, karena sipemilik traktor khawatir traktornya akan cepat rusak. Sehingga tidak pernah mempercayakan penggunaan traktor oleh petani manapun tanpa diawasi sekaligus dikendarai oleh pegawainya. Namun setidaknya pertanian di daerah ini sudah mencium separuh aroma teknologi pertanian khususnya petani-petani tradisional didaerah ini.

Meskipun petani responden mina padi 100 persen hanya mengenyam pendidikan hingga enam tahun bahkan ada yang kurang dari itu, namun mereka mampu menciptakan suatu inovasi dalam usahatani padi sawah yakni menerapkan sistem usahatani mina padi pada lahan sawah mereka. Dengan adanya kamalir, dan penebaran benih ikan pada waktu yang tepat dan tidak mempengaruhi bahkan mendukung padi disawah. Dari hal ini dapat dianalisis bahwa sistem ini dapat diadopsi eleh berbagai kalangan petani tanpa perlu pendidikan formal khusus karena inovasi ini adalah inovasi yang sederhana namun cukup bermanfaat.

(4) Alasan Mengusahakan Padi Sawah

Jika dikaji lebih lanjut dari sisi alasan petani mengusahakan padi sawah, akan muncul titik terang mengapa usia tersebut memiliki pola yang khas. 36,66 persen dari total responden mengusahakan padi sawah dengan alasan karena menguntungkan, 40 persen mengusahakan untuk kebutuhan konsumsi, 13,33 persen mengusahakan untuk menjaga kesuburan tanah agar seimbang dengan

pergiliran dengan palawija atau sayuran tiap tahunnya dan sisanya karena kebiasaan sejak turun temurun. Hal ini menunjukkan bahwa 76,66 persen (36,66%+40%) atau hampir sebagian besar petani responden mengusahakan padi sawah karena tuntutan kebutuhan rumah tangga yang besar. Tidak heran mengapa hampir seluruh responden berkonsentrasi pada umur 40-65 tahun yang merupakan umur dimana tuntutan kebutuhan rumah tangga yang harus di tanggung oleh kepala keluarga semakin tinggi. Sehingga mengusahakan sawah dengan lebih serius, dan bukan karena hanya untuk menjaga keseimbangan ekologi atau kebiasaan semata.

(5) Status Kepemilikan

Dari data Tabel 6 dibawah telihat bahwa non mina padi memiliki 16 jenis penguasaan lahan. Hal ini terjadi karena satu diantara responden petani non mina padi memiliki dua status penguasaan lahan, sehingga satu petani terhitung dua kali dalam Tabel 6 dibawah.

Tabel 6. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Desa Tapos I dan Desa Tapos II Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor

Jumlah Petani Mina Padi Non Mina Padi Status Kepemilikan Lahan

15 10 5 1 6 6 2 1 9 4 3 - a. milik sendiri b. bagi hasil c. sewa d. gadai Total 15 16 31

Dari hasil Tabel 6 diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani mina padi (9 orang) mengolah lahan milik orang lain. Hal ini dapat memicu petani untuk meningkatkan hasil dari lahan yang sedang digarapnya. Sedangkan petani

non mina padi sebagian besar merupakan lahan milik sendiri, sehingga dapat lebih berkonsentrasi ke usaha padi.

(6) Luas Lahan Garapan dan Produktivitas

Luas lahan garapan untuk sistem mina padi totalnya sekitar 54.250m2 atau

sekitar 5,42Ha. Untuk rata-rata luas lahan petani responden mina padi sekitar

3.616,67m2. Sedangkan untuk lahan non mina padi total luas lahan sekitar

78.725m2 atau sekitar 7,87Ha. Sedangkan untuk rata-rata luas lahan sistem non

mina padi sekitar 5.248,33m2. Namun untuk perhitungan keseluruhan tiga puluh

petani responden dikonversi ke satu hektar lahan dan dirata-ratakan.

Produktivitas sistem non mina padi sekitar 5,72 ton/Ha untuk musim tanam rata-rata sedangkan pada saat terserang penyakit sekitar 4,82 ton/Ha. Produktivitas sistem mina padi sekitar 5,63 ton/Ha untuk musim tanam rata-rata sedangkan pada saat terserang penyakit sekitar 3,02 ton/Ha. Hal ini berarti untuk kondisi umumnya lahan non mina padi mampu menghasilkan 5,72 ton gabah basah sedangkan untuk lahan mina padi dapat menghasilkan 5,63 ton/Ha.

Hal ini didukung oleh penggunaan benih padi yang lebih banyak oleh petani responden non mina padi yakni sekitar 53,45 Kg/Ha sedangkan petani mina padi sekitar 46,54Kg/Ha. Sebagian besar petani non mina padi juga menggunakan benih jenis IR64 yang menurut seluruh petani responden lebih produktif

Dokumen terkait