• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini memaparkan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang terbagi kedalam beberapa sub bab. Sub bab pertama merupakan profil desa Kebonagung yang terbagi menjadi beberapa sub-sub bab yang memaparkan tentang kondisi geografis dan keadaan sosial ekonomi desa. Sub bab kedua berupa profil kelompok tani Madya, dan sub bab ketiga berupa karakteristik responden penelitian yang terdiri dari tingkat pendidikan formal, lamanya bertani, tingkat keberanian mengambil resiko, tingkat jejaring, dan kepemilikan alat produksi.

Profil Desa Kebonagung Pemerintah dan Kependudukan Desa Kebonagung

Desa Kebonagung merupakan salah satu dari 8 (delapan) desa yang terdapat di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 183,1105 Ha. Desa Kebonagung memiliki lima dukuh (Dukuh Jayan, Dukuh Kalangan, Dukuh Kanten, Dukuh Mandingan, dan Dukuh Tlogo) dan 23 rukun tetangga. Desa Kebonagung berada di dataran rendah pada ketinggian 100 meter di atas permukaan laut (dpl). Letak Desa Kebonagung yang berada pada dataran rendah membuat suhu harian di desa ini antara 23ºC sampai dengan 26ºC. Batas-batas wilayah Desa Kebonagung adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Karangtalun 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sriharjo 3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Canden

4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Tengah

Berdasarkan data profil desa 2011, jumlah penduduk Desa Kebonagung adalah 3 456 orang dan jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak 1 364 kepala keluarga. Status kewarganegaraan seluruh penduduk Desa Kebonagung adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dengan rincian berdasakan jenis kelamin yaitu 1 710 orang laki-laki dan 1 746 orang perempuan. Mayoritas penduduk Kebonagung merupakan penduduk asli Suku Jawa. Dari data profil Desa Kebonagung 2011 juga didapatkan informasi sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk adalah pertanian dengan komoditas utama berupa padi. Jumlah keluarga pertanian di Desa Kebonagung sebanyak 300 keluarga dan terdapat keluarga yang anggota keluarganya menjadi buruh tani sebanyak 174 keluarga. Kepadatan penduduk di desa ini mencapai 1 920 jiwa/km2.

Mata pencaharian masyarakat di Desa Kebonagung cukup beragam, namun sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani. Selain sektor pertanian, masyarakat Desa Kebonagung juga bekerja di bidang wiraswasta yang meliputi usaha warung, di bidang jasa, dan pertukangan. Hanya sedikit penduduk yang bekerja sebagai PNS seperti menjadi pemerintah desa dan guru.

Infrastruktur Desa

Desa Kebonagung memiliki prasarana umum yang disediakan untuk mempermudah kehidupan sehari-hari penduduknya. Desa Kebonagung terdapat balai desa balai pertemuan, dan gardu jaga. Sarana pemerintahan desa terdiri dari balai desa, jalan desa, balai pertemuan, serta gardu jaga. Desa Kebonagung pada saat ini telah memiliki gedung pendidikan, yaitu gedung taman kanak-kanak (TK), gedung sekolah dasar (SD), gedung sekolah menengah pertama (SMP), serta pondok pesantren.

Keadaan jalan di Desa Kebonagung sudah cukup baik dengan kondisi wilayah yang datar serta jalan yang sudah beraspal ataupun bersemen. Akses transportasi menuju desa ini juga sangat mudah karena dapat dilalui oleh bus, truk, kendaraan beroda empat, maupun kendaraan beroda dua. Namun, fasilitas kendaraan umum menuju Desa Kebonagung masih sangat terbatas jumlahnya dan hanya beroperasi pada jam-jam tertentu. Sehingga mayoritas penduduknya menggunakan ojek atau kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Penerangan di desa ini juga masih kurang baik. Pada malam hari, di desa terasa begitu gelap karena penerangan jalan yang ada hanya berasal dari lampu-lampu rumah warga, dan merupakan listrik nonpemerintah. Jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota Kecamatan Imogiri sejauh 2 km dengan lama jarak tempuh dengan kendaraan bermotor adalah 5 menit. Jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota kabupaten/kota adalah 8 km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaran bermotor adalah 15 menit. Sedangkan jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota Provinsi DI Yogyakarta adalah 17 km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaraan bermotor adalah 40 menit.

Sebagian besar luas wilayah desa digunakan untuk area persawahan, baik sawah bersertifikat organik maupun yang belum bersertifikat organik. Selain itu, tanah di Desa Kebonagung dimanfaatkan untuk pemukiman, fasilitas umum, lapangan olahraga, dan kuburan. Desa Kebonagung juga terdapat kandang ternak desa, yaitu lahan yang sengaja dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk dijadikan kandang hewan ternak mereka. Semua penduduk yang memiliki hewan

ternak berupa sapi, kerbau, maupun kambing harus ”mengandangkan” hewan

mereka di kandang tersebut. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Secara topografi, wilayah Desa Kebonagung membujur dari arah utara ke selatan dengan kondisi kemiringan lahan merupakan lahan landai (kurang dari 15 derajat) sehingga cocok untuk kegiatan bercocok tanam. Di sebelah timur desa terdapat jalan provinsi yang berupa jalur wisata menuju Pantai Parangtritis dan Pantai Renehan Gunungkidul. Sedangkan di sebelah barat Desa Kebonagung kondisi wilayahnya datar dan dilalui Sungai Opak. Di barat desa tersebut juga terdapat Bendungan Tegal yang berfungsi untuk mengairi lahan pertanian dan sebagai objek wisata.

Kondisi Ekonomi dan Pertanian

Mata pencaharian masyarakat di Desa Kebonagung cukup beragam, yaitu sebagai petani maupun di sektor lainnya yang meliputi usaha warung, bekerja di bidang jasa, dan pertukangan, baik di dalam desa maupun di luar desa. Namun, sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani sehingga setiap kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah, baik lahan tersebut merupakan milik

pribadi, bagi hasil, sewa, maupun tanah milik pemerintah desa. Bagi yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki keahlian lain, biasanya mereka menjadi buruh tani di lahan-lahan milik tetangganya. Petani di Desa Kebonagung terdiri dari 712 orang. Sebanyak 46 orang petani di desa tersebut merupakan petani organik dan sisanya merupakan petani konvensional.

Di desa Kebonagung terdapat 5 (lima) kelompok tani yaitu kelompok tani Sasona Catur, kelompok tani Karya, kelompok tani Nguyobogo, kelompok tani Madya, dan kelompok tani Pantiwicoro. Kelompok tani tersebut dibuat atas kesadaran para petani sendiri, dan ketua kelompok tani dipilih secara musyawarah. Menurut penuturan Mrg (45 tahun), secara umum hampir seluruh petani di desa ini telah mendapatkan informasi mengenai Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan pertanian organik, namun masih sedikit petani yang mencoba untuk menerapkan dan memiliki lahan bersertifikat organik.

Siklus tanam di Desa Kebonagung cukup beragam, tergantung kebijakan yang dibuat oleh masing-masing kelompok. Mayoritas petani di Desa Kebonagung merupakan petani gurem sehingga hasil dari pertanian mereka hanya cukup untuk konsumsi pribadi. Tetapi terdapat pula beberapa petani yang menjual hasil panen mereka, baik kepada penggilingan gabah yang berada di jalan utama desa maupun kepada penangkar benih.

Kondisi Sosial Budaya

Sejak tahun 2006, Desa Kebonagung telah ditetapkan menjadi desa wisata pendidikan pertanian berdasarkan SK Bupati Bantul No 359 Tahun 2006 tentang Kepengurusan POKDARWIS Desa Kebonagung Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Desa ini juga terdapat Museum Tani Jawa Indonesia yang didirikan dengan tujuan agar generasi muda dapat mewarisi budaya bertani dan dapat menghargai perjuangan petani, mengingat semakin rendahnya minat para pemuda- pemudi Indonesia dalam melestarikan pertanian seiring dengan perkembangan teknologi (Anonim 2011). Selain itu, di Desa Kebonagung juga terdapat rumah adat Jawa yaitu rumah Joglo dan Limasan.

Profil Kelompok Tani Madya

Kelompok tani Madya merupakan salah satu organisasi petani yang terdapat di Desa Kebonagung. Kelompok ini bergerak di bidang budidaya tanaman padi dan telah diresmikan oleh Kepala Desa Kebonagung pada 6 Agustus 1981. Ketua kelompok tani Madya pertama adalah seorang kepala dukuh yang bernama Pramogo Suharjo dengan jumlah anggota awal sebanyak 63 orang. Saat ini, kelompok tani Madya diketuai Ngatidjo yang dipilih berdasarkan hasil musyawarah dan kelompok tani ini memiliki anggota sebanyak 119 dengan komposisi 46 orang petani organik dan 73 orang petani konvensional.

Kelompok tani Madya telah mendapatkan beberapa prestasi dalam bidang pertanian, yaitu penghargaan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian sebagai pemenang penghargaan ketahanan pangan bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan juga penghargaan ketahanan pangan dari Menteri Pertanian RI atas prestasi dalam mendorong dan mewujudkan pemantapan ketahanan pangan melalui padi organik (Anonim 2011).

Sejak tahun 2006, kelompok tani Madya memang sudah menetapkan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT adalah suatu pendekatan dalam budidaya padi yang menekankan pada pengelolaan, tanama, lahan, air, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu. Pengelolaan yang diterapkan tersebut mempertimbangkan hubungan sinergis dan komplementer antar komponen. Selain PTT, kelompok tani Madya juga bergerak di bidang budidaya tanaman padi organik. Dalam melaksanakan usaha produksi beras, kelompok ini mengacu pada SNI 19-9001-2001 Sistem Manajemen Mutu Persyaratan tahun 2001, Badan Standarisasi Nasional (BSN) serta Keputusan Menteri Pertanian Nomor 170/Pelaku Usaha/OT.210/3/2007 tentang Pelaksanaan Standarisasi Nasional dibidang pertanian, Standar Nasional Indonesia (SNI) 01- 6729-2002 untuk Sistem Pangan Organik.

Kelompok tani Madya telah sejak tahun 2008 mencoba untuk menerapkan pertanian organik. Kelompok tersebut juga telah mendapatkan sertifikat sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2010 dan 2013 sebagai penghargaan yang diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Persada. Pada tahun 2010, kelompok tani Madya mendapatkan sertifikat organik dengan No. Register 001-2501-10 karena telah melaksanakan sistem manajemen organik sesuai dengan SNI 01-6792-2002 untuk budidaya tanaman padi. Sertifikat tersebut berlaku dalam waktu tiga tahun dari tanggal 24 Januari 2010 sampai dengan tanggal 24 Januari 2013. Selanjutnya pada tahun 2013, kelompok tani Madya kembali mendapatkan sertifikat organik denga No. 012/P/1012/2012 dari Lembaga Sertifikasi Pangan Organik LSPO-007-IDN dan Lembaga Sertifikasi Persada. Sertifikat kedua diberikan kepada kelompok tani Madya karena telah menerapkan sistem produksi pangan organik sesuai SNI 6729-2010-Organic Food & Production System dan CAC/GL 32/1999 Codex Alimentarius Commission Guidelines for the production, processing, labelling and marketing of organically produced foods. Ruang lingkup sertifikasi adalah padi organik dengan luas lahan 5.7 hektar. Selain penghargaan berbentuk sertifikat yang telah diberikan oleh pemerintah, kelompok tani Madya juga telah mendapatkan beberapa bantuan dari pemerintah Kabupaten Bantul berupa rumah kompos sebagai tempat pembuatan kompos, biogas, traktor, dan kompos.

Dalam melakukan kegiatan usahanya, kelompok tani Madya menetapkan visi bahwa kelompok ini dapat mewujudkan petani yang mampu dan bijaksana dalam mengelola usaha pertanian yang lebih adil dan sejahtera. Para pengurus kelompok tani Madya telah berkomitmen bahwa seluruh kebijakan yang ada akan mengarah pada visi tersebut. Perusahan ini juga memiliki tiga misi, yaitu memberdayaan sumberdaya petani dalam menumbuhkan usahatani yang lebih produktif demi meningkatkan pendapatan, mendorong petani untuk maju dalam dunia usahatani demi meningkatkan ekonomi keluarga, mendorong petani untuk lebih percaya diri dalam bermitra dengan kelompok tani lain dan instansi lain seperti lembaga pemerintah maupun swasta.

Kelompok tani Madya saat ini memiliki beberapa usaha dan kegiatan yang modalnya berasal dari simpanan pokok dan simpanan wajib anggota, simpanan sukarela yang sewaktu-waktu dapat ditarik, serta bantuan dari lembaga lain atau pemerintah berupa kredit lunak, dana bergulir, maupun dana hibah. Adapun usaha dan kegiatan yang dijalankan oleh kelompok tani Madya adalah sebagai berikut:

1. Usahatani padi sawah.

Salah satu kegiatan pokok kelompok tani Madya adalah menghasilkan produk beras, baik organik maupun non organik. Produk beras tersebut dibudidayakan dengan tiga penerapan, yaitu System Rice Intensification, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), dan secara organik. Kelompok ini pun telah mendapatkan Penghargaan Ketahanan Pangan Bidang Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian tahun 2010 oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

2. Usaha ternak

Para petani anggota kelompok tani Madya juga mengusahakan ternak kerbau, sapi, dan kambing. Hewan ternak tersebut dikumpulkan menjadi satu di

“kandang ternak” yang telah disediakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten

Bantul. Masing-masing kapling kandang ternak tersebut akan diberikan biaya sewa sebesar Rp30 000 per tahun dan uang tersebut akan dimasukkan ke dalam kas kelompok.

3. Pembuatan kompos

Sebagian besar petani kelompok tani Madya menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri. Kotoran ternak didapatkan dari kandang ternak tersebut. Pembuatan pupuk kompos mendapatkan arahan dari Dinas Pertanian Kabupaten Bantul.

4. Usaha lain

Selain usaha-usaha di atas, kelompok tani Madya juga melaksanakan usaha lain diantaranya budidaya tanaman holtikultura dan sayur mayur seperti kacang panjang, pengelolaan hasil panen yang dijual kepada penggiling beras maupun penangkar bibit padi, serta simpan pinjam yang baru saja dirintis.

Kegiatan Budidaya Padi Organik di Kelompok Tani Madya

Kelompok tani Madya terdiri dari petani organik dan petani konvensional. Pada dasarnya, keduanya sama-sama memiliki proses penanaman padi yang tidak jauh berbeda. Pemberian sertifikat organiklah yang menjadi salah satu alasan petani secara konsisten mau menerapkan menerapkan pertanian organik. Standar budidaya secara organik yang ditentukan oleh kelompok adalah menanam padi lokal mentik wangi atau mentik susu dengan tidak lagi menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetis. Musim tanam petani di kelompok tani Madya pun diseragamkan baik yang organik maupun konvensional. Biasanya, dalam waktu 2 tahun, petani melakukan 5 kali panen. Berikut merupakan uraian penerapan budidaya padi di kelompok tani Madya.

1. Pengolahan Tanah

Lahan pertanian organik yang seluas 5.7 ha telah dikonversi dari tanah yang sebelumnya terdapat bahan kimia sintetik menjadi tanah yang bebas dari unsur-unsur kimia yang berbahaya selama lebih dari 5 tahun. Langkah pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani organik pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh petani konvensional dan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Pengolahan tanah pertanian organik dapat dilakukan seperti metode konvensional. Perbedaannya berada pada pemberian pupuk kompos sebanyak 5-10 ton/ha dan dilakukan pembajakan dengan menggunakan traktor maupun kerbau. Selanjutnya, tanah diratakan dan didiamkan kurang lebih selama 1-2 hari untuk dilakukan penanaman.

Kesuburan tanah sangat bergantung pada pemberian pupuk organik. Mayoritas petani organik menggunakan pupuk kompos yang dibeli maupun pupuk kandang. Namun, mereka tidak menggunakan kotoran ayam karena memiliki kandungan kimia yang sangat tinggi. Petani organik telah merasakan adanya perbedaan kesuburan tanah yang semakin meningkat setelah mereka beralih ke pertanian organik.

2. Pemilihan Benih/Persemaian

Benih yang digunakan oleh petani organik dan petani konvensional adalah mentik wangi dan mentik susu. Benih yang digunakan ini menghasilkan padi aromatik. Namun, masih ada petani konvensional yang menggunakan benih IR 64. Benih yang digunakan oleh petani dibudidayakan secara alami dengan tidak menggunakan obat pengatur tumbuh. Banyak benih yang digunakan adalah 2.5-3 kg per 1000 meter persegi atau sesuai dengan kebutuhan. Banyak benih disesuaikan dengan kondisi luas lahan dan jumlah benih padi yang tersedia. Benih yang digunakan oleh petani sesuai yang dianjurkan oleh kelompok, yaitu 12-14 hari setelah semai.

3. Penanaman

Petani di kelompok tani Madya menggunakan sistem tanam pindah. Artinya setelah benih dicabut harus segera di tanam kembali di lahan pertanian masing-masing. Hari penanaman ini biasanya ditentukan secara musyawarah dengan melakukan kumpul kelompok. Benih ditanam saat berusia 12-14 hari setelah semai dan ditanam setiap lubang 1-2 batang. Setiap petani memiliki hak masing-masung untuk mengatur jarak tanam. Namun, kelompok menghimbau petani untuk menerapkan sistem tanam jajar legowo (tajarwo) 2:1 karena dianggap paling bagus. Sistem tajarwo ini diterapkan oleh seluruh petani organik dan hanya beberapa saja petani konvensional yang menerapkan sistem ini. Sistem tajarwo ini sangat dianjurkan oleh kelompok karena dapat membantu meningkatkan hasil panen. Namun, selain penanaman secara tajarwo dan konvensional terdapat pula petani yang menerapkan tabilah.

4. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman

Sejauh ini kelompok tani Madya belum pernah mengalami masalah hama atau penyakit tanaman yang sangat parah. Biasanya, lahan hanya terganggu oleh belalang. Penanganan hama yang dilakukan oleh petani organik berbeda dengan yang dilakukan oleh petani konvensional. Petani konvensional masih menggunakan pestisida kimia sintetik untuk mengatasi hama. Petani organik menghindari praktik pengendalian hama yang dapat merusak lingkungan. Pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati apabila diperlukan. Namun, secara umum petani di kelompok tani Madya menerapakan pengendalian hama terpadu. 5. Pemupukan

Pemupukan yang dilakukan oleh petani organik berbeda dengan petani konvensional. Petani organik sudah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada penggunaan pupuk kimia sintetik. Petani organik pada umumnya menggunakan pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan pupuk cair organik. Selain menggunakan pupuk kandang maupun kompos yang diproses sendiri, petani organik juga menggunakan pupuk Petroganik.

Sedangkan, petani konvensional masih menggunakan pupuk kimia sintetik berupa NPK, tetapi ada juga petani yang menggunakan kompos.

6. Panen

Hasil panen petani masih merupakan gabah kering maupun gabah basah. Petani kelompok tani Madya menjual hasil panen kepada penggilingan dan ada pula beberapa dari petani konvensional yang menjual hasil panen kepada penangkar benih. Tidak semua petani langsung menjual hasil panen. Hasil panen yang didapat oleh hampir sebagian besar petani langsung di bawa pulang ke rumah. Petani akan menjual sesuai dengan keadaan apakah gabah tersebut perlu untuk di jual atau cukup untuk dikonsumsi pribadi.

Gambaran Umum Responden

Responden pada penelitian ini berjumlah 60 orang dengan proporsi 30 orang petani organik dan 30 orang petani konvensional. Sub-sub bab berikut ini akan menunjukkan jumlah dan persentase responden penelitian menurut tingkat pendidikan formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil resiko, tingkat jejaring, dan tingkat kepemilikan alat produksi yang dimiliki petani.

Tingkat Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu rendah (tidak tamat SD sampai dengan tamat SD/sederajat) dan tinggi (tamat SMP/sederajat sampai dengan tamat SMA/sederajat). Tabel 2 di bawah ini menyajikan jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan formal.

Tabel 2 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan, kelompok tani Madya, 2013

Tingkat Pendidikan Formal

Petani Organik Petani Konvensional Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 17 56.67 14 46.67

Tinggi 13 43.33 16 53.33

Total 30 100 30 100

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa mayoritas responden petani organik berada pada kategori rendah (56.67%) sedangkan responden petani konvensional mayoritas berada pada kategori tinggi (53.33%). Sebagian besar petani mengaku bahwa mereka hanya sekolah hingga tamat SD dan sangat sedikit yang meneruskannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut karena keterbatasan dana sehingga banyak petani yang memilih untuk tidak bersekolah lagi dan meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Padahal, dengan tingkat pendidikan yang tinggi, diharapkan dapat menciptakan cara-cara baru dalam perkembangan pertanian yang ramah lingkungan.

Tingkat Pengalaman Bertani

Tingkat pengalaman bertani diamati dari lamanya petani mulai bercocok tanam di sawah. Berdasarkan hasil pengamatan kepada 60 responden didapatkan bahwa tingkat pengalaman bertani tersingkat adalah 7 tahun dan terlama 55 tahun, dengan pengalaman bertani rata-rata sebesar 36 tahun. Selanjutnya tingkat pengalaman bertani dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah (< 36 tahun) dan

tinggi (≥36 tahun). Tabel 3 menyajikan jumlah dan persentase responden menurut

tingkat pengalaman bertani.

Tabel 3 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman bertani, kelompok tani Madya, 2013

Tingkat Pengalaman Bertani

Petani Organik Petani Konvensional Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 15 50 14 46.67 Tinggi 15 50 16 53.33 Total 30 100 30 100

Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat pengalaman bertani responden mayoritas berada pada kategori tinggi dengan persentase responden petani organik sebesar 50% dan persentase responden petani konvensional sebesar 53.33%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas anggota kelompok tani Madya memiliki tingkat pengalaman bertani yang tergolong tinggi, yaitu lebih dari 36 tahun. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada responden, banyak responden yang mengaku sudah bertani sejak kecil dengan cara membantu kedua orang tua. Namun, terdapat pula responden yang mulai bertani kurang dari sepuluh tahun yang lalu karena kebutuhan.

Tingkat Keberanian Mengambil Resiko

Menurut Putri (2011), kepribadian dilihat dari karakter yang menggambarkan diri individu, salah satunya yaitu mau mengambil resiko. Dalam penelitian ini, keberanian mengambil resiko sengaja dipilih untuk mengetahui seberapa jauh petani mau menerapkan pertanian yang sekiranya berisiko. Responden diberikan empat pertanyaan terkait keberanian mengambil resiko. Tingkat keberanian mengambil resiko kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh dibagi ke dalam dua kategori, yaitu rendah dan tinggi. Tingkat keberanian mengambil resiko responden dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberanian mengambil resiko, kelompok tani Madya, 2013

Tingkat Keberanian Mengambil Resiko

Petani Organik Petani Konvensional Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 0 0 19 63.33 Tinggi 30 100 11 36.67 Total 30 100 30 100

Tabel 4 menunjukkan adanya perbedaan tingkat keberanian mengambil resiko pada petani organik dan petani konvensional. Pada petani organik terlihat bahwa tingkat keberanian mengambil resiko berada pada kategori tinggi (100%), sedangkan tingkat keberanian mengambil resiko pada petani konvensional berada pada kategori rendah (63.33%). Pada responden petani organik, resiko berkurangnya hasil panen karena gagal panen pada awal penerapan pertanian organik dianggap hal yang wajar sebagai bentuk penyesuaian tanah terhadap penggunaan pupuk organik.

“... Iya turun. 2 sampai 3 kali panen baru normal lagi. Soalnya kan

Dokumen terkait