• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tingkat Pendapatan dan Akses Pasar Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan responden diukur berdasarkan pendapatan responden pada hasil panen terakhir yang didapat dari hasil bertani. Perhitungan pendapatan merupakan pendapatan bersih yang dihitung dengan cara penerimaan hasil panen dikurangi dengan biaya-biaya produksi yang diukur dengan rupiah. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 60 responden didapatkan bahwa pendapatan terkecil petani adalah sebesar Rp645 000 dan terbesar Rp8 215 000 yang kedua-duanya berasal dari petani organik, dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp2 714 617 dan rata-rata hasil panen 769.28 kg. Selanjutnya tingkat pendapatan dibagi menjadi dua kategori yaitu rendah (< Rp2 714 617) dan tinggi (≥ Rp2 714 617). Jumlah responden berdasakan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan, kelompok tani Madya, 2013

Tingkat Pendapatan Petani Organik Petani Konvensional Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 11 36.7 22 73.33

Tinggi 19 63.3 8 26.67

Total 30 100 30 100

Tabel 19 menunjukkan bahwa pendapatan responden sangat menyebar. Pada responden petani organik dapat dilihat bahwa sebagian besar berada pada kategori tinggi, sedangkan pada petani konvensional sebagian besar berada pada kategori rendah. Meskipun demikian, pendapatan yang diperoleh petani dari usaha pertanian tersebut tidak memberikan penghasilan secara langsung dalam bentuk uang. Artinya yaitu hasil panen yang didapatkan hanya digunakan untuk konsumsi sendiri. Petani akan menjual hasil panennya apabila hasil panen sedang meningkat atau saat petani sedang membutuhkan uang barulah mereka akan menjual hasil panen tersebut. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Mrg (45 tahun) sebagai berikut.

Rata-rata kalo petani secara umum hasilnya di bawa pulang sendiri. Dijemur sendiri. Nanti apabila ada kebutuhan umpamanya beli pupuk ya dijual ke penggiling.

Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 19, diketahui bahwa rata-rata pendapatan bersih petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani konvensional. Pendapatan petani organik rata-rata Rp2 984 367 dengan hasil panen rata-rata yaitu 935.9 kg. Sedangkan pendapatan petani konvensional rata-rata yaitu Rp2 444 867 dengan hasil panen rata-rata 602.67 kg. Tinggi/rendahnya pendapatan petani tidak hanya bergantung pada jumlah panen, tetapi juga pada harga yang diberikan pasar. Perbandingan harga jual antara produk pertanian organik dan konvensional dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Daftar harga jual hasil pertanian organik dan konvensional di Kelompok Tani Madya, Tahun 2013

Hasil Panen yang Dijual

Harga Jual/kg (Rp)

Organik Konvensional

Jual Ke Penggilingan Jual Ke Penggilingan

Jual Ke Penangkar

Benih Gabah Basah 3 600 – 3 800 3 200 – 3 400 3 900

Pada Tabel 20, secara jelas dapat diketahui bahwa harga jual hasil pertanian organik lebih tinggi daripada hasil pertanian konvensional. Namun, penjualan hasil pertanian organik hanya terpusat pada penggilingan saja, sedangkan pada petani konvensional gabah yang dihasilkan selain dijual ke penggilingan, terdapat pula petani yang menjual hasil panennya kepada penangkar benih meskipun hanya sedikit dari responden penelitian yang menjual hasil panennya kepada penangkar benih tersebut. Dengan demikian, penulis memiliki asumsi lain bahwa pendapatan petani, baik petani organik maupun petani konvensional dapat meningkat jika petani mampu menjual hasil panen dalam bentuk beras karena harga jual dalam bentuk beras pastinya lebih tinggi dari harga jual dalam bentuk gabah. Selain itu, penulis menduga bahwa pendapatan petani dipengaruhi oleh respon petani tersebut pada pertanian organik. oleh karena itu, penulis mencoba untuk menganalisis hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan tingkat pendapatan. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang. Hasil hubungan ditunjukkan pada Tabel 21 berikut.

Tabel 21 Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada pertanian organik, responden petani organik, 2013

Pendapatan

Respon Petani pada Pertanian

Organik Jumlah Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 0 0 11 36.67 11 36.67 Tinggi 0 0 19 63.33 19 63.33 Jumlah 0 0 30 100 30 100

Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 21, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan tingkat pendapatan. Selain itu, pada tabel dapat diketahui bahwa petani yang memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik juga memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Hal ini diduga semakin dalam pemahaman petani pada pertanian organik maka petani tersebut akan menerapkan pertanian yang benar- benar murni organik. Dengan demikian, maka hasil pertanian pun menjadi lebih bagus dibandingkan hasil pertanian konvensional sehingga memiliki harga jual yang lebih tinggi pula sehingga pendapatan petani pun dapat meningkat.

Tabel 22 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan menurut respon petani pada pertanian organik, responden petani konvensional, 2013

Pendapatan

Respon Petani pada Pertanian

Organik Jumlah Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 11 78.57 11 68.75 22 73.33 Tinggi 3 21.43 5 31.25 8 26.67 Jumlah 14 100 16 100 30 100

Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 22, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan tingkat pendapatan. Selain itu, pada tabel dapat dilihat bahwa petani yang memiliki respon yang rendah maupun respon yang tinggi pada pertanian organik ternyata memiliki tingkat pendapatan yang rendah pula. Hal itu karena lahan mereka belum bersertifikat organik sehingga hasil pertanian masih digolongkan sebagai hasil pertanian konvensional. Di Desa Kebonagung, harga jual hasil pertanian konvensional masih tergolong rendah (Tabel 20). Hasil produk konvensional dinilai berbeda dengan hasil produk organik, hal tersebut menyebabkan harga jual hasil produk konvensional rendah.

Pada Tabel 21 dan Tabel 22 dapat dianalisa bahwa ternyata respon petani pada pertanian organik tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan. Namun pada kenyataannya, pendapatan petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan petani konvensional. Hal ini disebabkan tingginya harga jual hasil pertanian organik, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui bahwa keputusan petani untuk bertani organik atau tidak dapat mempengaruhi pendapatannya. Pada Tabel 19 dan Tabel 21 dapat dilihat juga bahwa masih ada petani organik yang memiliki pendapatan rendah karena lahan yang dimilikinya tidak terlalu luassehingga hanya mampu menghasilkan hasil panen yang sedikit pula. Meskipun demikian, petani organik yang memiliki pendapatan rendah tidak menyebabkan ia berhenti untuk terus menjadi petani organik. Hal ini disebabkan oleh penerapan pertanian organik yang dilakukan atas kesadaran pribadi petani masing-masing. Petani merasa bahwa penggunaan bahan kimia pada tanah telah menghancurkan kesuburan tanah. Oleh karena itu petani mencoba untuk menerapkan sistem pertanian organik yang ramah lingkungan. Beberapa petani juga merasa bahwa hasil pertanian organik itu sangat memuaskan, baik dari segi kesehatan maupun harga jual. Namun, hasil pertanian organik memang jarang yang dijual karena hasilnya hanya habis untuk konsumsi keluarga. Sehingga pendapatan yang didapatkan bukan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk hasil panen.

Akses Pasar

Menurut Widiarta (2011), akses pasar adalah kemampuan atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Pada penelitian ini, digunakan dua indikator untuk mengetahui akses pasar yaitu tempat langganan menjual hasil panen dan peluang menjual hasil panen ke tempat lain. Kondisi perbandingan akses pasar antara petani organik dan petani konvensional dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan akses pasar, Kelompok Tani Madya, 2013

Akses Pasar Petani Organik Petani Konvensional Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 0 0 0 0

Tinggi 30 100 30 100

Total 30 100 30 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa akses pasar petani berada pada kategori tinggi. Petani telah memiliki tempat langganan untuk menjual hasil panen dan juga telah mengetahui adanya peluang untuk menjual ke tempat lain. Berdasarkan hasil wawancara kepada responden, diketahui bahwa setiap petani telah memiliki tempat langganan untuk menjual hasil panen. Menurut penuturan semua responden, tempat langganan untuk menjual hasil panen adalah pada tengkulak (tempat penggilingan beras) yang terdapat di jalan luar wilayah desa, baik untuk hasil panen organik maupun konvensional. Petani organik mengaku bahwa hasil panen juga bisa secara bebas dijual kepada konsumen. Untuk harga jual, biasanya sebelum panen dilakukan kumpul kelompok untuk menentukan harga jual yang sesuai dengan kondisi pasar sebagai gambaran apakah harga beli yang ditawarkan oleh penggiling beras sudah sesuai dengan harga pasar.

Sangat disayangkan saluran distribusi lain seperti koperasi, grosir beras organik maupun secara bermitra belum dapat dijangkau oleh petani. Hal itu karena Kelompok Tani Madya belum memiliki alat penggilingan gabah sehingga jika ingin menjual dalam jumlah besar harus menggilingnya ke tempat penggilingan gabah. Padahal sebagian besar petani telah mengetahui bahwa jika dengan bermitra akan mempermudah petani dalam menjual hasil panen. Fakta mengenai peluang menjual hasil panen ke tempat lain diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian sebagai berikut:

“... Sekarang kita sudah punya sertifikat padi organik. Jadi rencananya kelompok akan bermitra dengan pihak lain. Nanti kelompok akan punya penggilingan sendiri. Hasil panen akan dipisahkan dengan pertanian konvensional. Udah bisa jual beras bukan gabah lagi nanti jadinya.” (Ngj, 62 tahun)

Petani organik dan konvensional telah mengetahui bahwa harga beras organik di pasar sangatlah tinggi. Namun, permintaan yang tinggi tersebut belum sejalan dengan kesiapan kelompok untuk memenuhi permintaan yang ada. Oleh karena itu, kelompok akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk mengembangkan jejaring pemasaran hasil pertanian organik.

Keunggulan Pertanian Organik

Pada dasarnya petani organik di kelompok tani Madya telah merasakan manfaat setelah mengubah pertanian mereka menjadi pertanian organik. Seluruh petani organik yang menjadi responden penelitian ini mengaku bahwa hasil beras dari pertanian organik lebih enak daripada pertanian konvensional dan memiliki harga jual yang lebih tinggi. Petani dapat menggunakan beras hasil pertaniannya

sendiri untuk makan, berbeda dengan petani konvensional yang perlu membeli beras untuk kebutuhan makan sehari-hari. Sehingga petani dapat meminimalkan pengeluaran rumah tangga untuk membeli beras karena dapat mengkonsumsi beras hasil pertanian sendiri dan dapat menggunakannya untuk keperluan lainnya. Pertanian organik juga menggunakan input eksternal yang rendah dengan mengoptimalkan penggunaan asupan alami yang ada di sekitar melalui proses daur ulang bahan-bahan alami. Petani dapat menghemat penggunaan benih dan memanfaatkan sisa tanaman dengan mendaur ulang daun-daun telah mati. Selain itu petani juga dapat memanfaatkan kotoran ternak sehingga lingkungan sekitar tidak mengalami kesulitan untuk membuang kotoran ternak tersebut.

Praktik pertanian organik terbukti menguntungkan secara ekonomi, khususnya pada tingkat pendapatan. Responden yang merupakan petani organik memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden petani konvensional. Selain itu, pertanian organik berupaya untuk menciptakan pasar yang berpihak kepada petani organik tersebut. Selain harga jual gabah yang lebih tinggi daripada gabah hasil pertanian konvensional, petani juga memiliki kesempatan untuk ikut menentukan harga jual atas produk yang telah mereka hasilkan. Permintaan yang tinggi pada pertanian organik juga memberikan nilai lebih bahwa petani organik dapat dengan bebas menjual hasil panennya dengan tidak selalu menjual pada penggilingan padi saja.

Peluang Penerapan Pertanian Organik Pada Petani Konvensional

Sutanto (2002) mendefinisikan bahwa pertanian organik bertujuan untuk mengelola pertanian dan ekosistem sekaligus bersama-sama. Petani harus mampu mengelola pertaniannya dengan menggunakan segala sumber daya yang berasal dari lingkungan tinggalnya. Hal tersebut perlu diterapkan untuk meminimalkan ketergantungan petani pada pupuk dan pestisida kimia yang sebelumnya telah mereka gunakan. Penerapan pertanian organik hanya akan berhasil baik di wilayah atau tempat yang secara alami cukup bahan organik dan ketersediaan pupuk kimia terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali (Susanto 2002).

Berdasarkan hasil penggalian informasi di lapangan, ternyata ditemui banyak permasalahan yang menjadi penghalang sulitnya pertanian organik berkembang dengan cepat. Tingginya respon petani organik pada pertanian organik ternyata tidak memberikan pengaruh yang besar pada petani konvensional. Hal tersebut dilihat tidak banyak petani konvensional yang berani menerapkan pertanian organik secara berkelanjutan walaupun sebagian besar diantara mereka telah banyak yang memahaminya. Pada Tabel 7 telah dilihatkan bahwa pemahaman pada petani konvensional yang tinggi, yaitu sebesar 76.67% diduga memungkinkan petani konvensional untuk beralih menjadi petani organik. Hal tersebut didukung pula dengan sebesar 16.67% petani konvensional yang sistem pertaniannya sudah mengarah ke pertanian organik. Sehingga dengan pemahaman yang tinggi, seharusnya petani petani lebih menyadari sisi positif dari pertanian organik. Namun, pertanian organik yang merupakan salah satu bentuk dari pertanian berkelanjutan memiliki kendala dalam menerapkannya, salah satunya yaitu kendala sumber daya manusia yang rata-rata tingkat pendidikan petani relatif rendah, kondisi kesehatan petani kurang baik, produktivitas kerja

masih rendah, dan kurangnya motivasi untuk maju (Kusharto dan Gunardja dalam

Salikin 2003).

Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan, didapatkan informasi bahwa petani konvensional masih takut untuk benar-benar menerapkan pertanian organik yang bebas dari penggunaan pestisida atau pupuk kimia sintetik walaupun pada dasarnya mereka telah memahami pertanian organik.

Petani konvensional itu ya istilahnya masih takut nerapin karena syarat-syarat organik itu banyak sekali toh. Kalo di kelompok ini ya semua petani ini diajak kumpul sosialisasi organik.” (Sdy, 54

tahun)

Informan Mrg (45 tahun) menambahkan pula bahwa pada dasarnya petani itu membutuhkan segala sesuatu untuk usahataninya yang cepat. Sehingga petani lebih suka dan terbiasa untuk membeli daripada memanfaatkan lingkungan sekitar.

Petani kan butuh yang cepat, jadi mau tidak mau ya lebih baik beli. Soalnya kan kalo proses buat obat yang alami itu kan minimalnya butuh waktu satu minggu dan lebih lama lebih bagus.” (Mrg, 45

tahun)

Tingginya tingkat pendidikan (53.33%) pada petani konvensional seharusnya dapat menjadi pendorong petani untuk menerapkan pertanian organik. Karena semakin tingginya pendidikan seharusnya petani lebih memahami bahwa lingkungan ini perlu dijaga kelestariannya, salah satunya dengan menerapkan pertanian yang ramah lingkungan yaitu pertanian organik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Widiarta (2011) yang menyatakan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan petani lainnya cenderung lebih mudah mengadopsi suatu inovasi seperti pertanian organik. Namun, dalam penelitian ini juga terlihat bahwa petani organik sebagian besar (56.67%) merupakan petani yang berpendidikan rendah. Oleh karena itu, agar pertanian organik dapat berlangsung dan diterapkan oleh petani di Indonesia, diperlukan peran pemerintah untuk lebih memerhatikan tingkat pendidikan petani. Selain itu diharapkan bahwa pemerintah juga mampu memberikan pendidikan informal kepada petani dengan cara sosialisasi dan penyuluhan yang secara intensif dilakukan agar petani lebih sadar akan manfaat dari pertanian organik.

Selain tingkat pendidikan formal, seharusnya dengan tingginya tingkat pengalaman bertani petani konvensional (53.33%), petani dapat belajar dan menyadari bahwa tanah yang telah diberi bahan-bahan kimia sintetik secara bertahun-tahun nantinya akan mengalami kerusakan. Oleh sebab itu, sebaiknya petani konvensional perlu beralih untuk membebaskan lahannya dari bahan-bahan kimia berbahaya tersebut. Namun sangat disayangkan, ternyata untuk mengajak petani konvensional menjadi petani organik masih sulit dilaksanakan. Hasil penggalian informasi yang dilakukan didapatkan bahwa masih sulit untuk mengubah perilaku petani yang sudah terbiasa menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang dapat secara instan didapatkan.

Mrg (45 tahun) merupakan petani konvensional yang saat ini telah mencoba untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada pupuk dan pestisida kimia. Mrg (45 tahun) dapat digolongkan sebagai petani semi konvensional karena telah berupaya untuk secara konsisten menggunakan pupuk organik, baik yang berasal dari tanaman atau kotoran ternak. Namun, Mrg terkadang masih menggunakan pestisida kimia karena lahannya masih berada pada lahan konvensional. Di lahan konvensional tersebut, hama tanaman dapat digolongkan lebih banyak dibandingkan dengan lahan pertanian organik.

Pupuknya saya bikin sendiri, cuma kotorannya beli. Kalo saya pada dasarnya menggunakan barang yang ada. Kalo sudah merasa cukup ya itu aja. Saya ya daun-daun yang jatoh itu saya ambili, saya langsung taro ke sawah. Baru beberapa hari sudah langsung mulai menghijau.” (Mrg 45 tahun)

Selain itu, didapatkan pula informasi lain bahwa petani tidak puas dengan hasil panen yang sedikit pada saat pertama kali menerapkan pertanian organik. Srw (61 tahun) merupakan salah satu dari beberapa petani yang telah mengalami masalah tersebut. Srw (61 tahun) hanya mampu menerapkan pertanian yang bebas dari pupuk kimia selama 1 kali panen. Hal tersebut karena Srw (61 tahun) merasa bahwa penerapan pertanian organik itu sulit. Padahal Srw (61 tahun) telah merasakan manfaat dari penerapan pertanian yang bebas bahan kimia sintetik yaitu beras yang bagus dan nasi yang pulen dan tidak cepat basi. Di sisi lain Srw (61 tahun) juga berpendapat bahwa hasil pertanian jika tidak diimbangi dengan pupuk kimia, hasil panen yang diterima lebih sedikit. Hal itulah yang menyebabkan saat ini Srw (61 tahun) belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada pupuk kimia sintetik. Ketergantungan ini yang menyebabkan adanya pandangan bahwa usaha pertanian tidak bisa terlepas dari penggunaan pupuk kimia. Fakta ini sesuai dengan hasil penelitian Widiarta (2011) yang menyampaikan bahwa hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang memuaskan pada masa awal bertani organik sehingga masih sedikit petani yang menerapkan pertanian organik. Padahal dari literatur yang telah peneliti baca, rendahnya hasil panen pada awal penerapan pertanian organik merupakan hal yang wajar karena pada saat itu merupakan masa peralihan tanah yang setelah tiga hingga lima tahun dilalui justru akan naik dan memuaskan.

Selain kekecewaan petani pada hasil pertanian organik pada awal penerapan berkurang, ternyata petani juga belum bisa mengubah kebiasaan mereka yang sudah sejak dulu terbiasa menggunakan pupuk atau pestisida kimia sintetik. Pertanian organik ini memang dapat memberikan beberapa manfaat, khususnya dari segi ekonomi. Peluang harga jual pertanian yang tinggi di pasar seharusnya dapat menjadi daya tarik bagi petani untuk beralih menjadi petani organik. Namun, fakta di lapangan yang terjadi menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Banyak yang belum beralih menjadi petani organik murni karena keuntungan ekonomi yang dirasakan belum signifikan. Meskipun harga jual hasil panen organik lebih tinggi daripada hasil panen konvensional, hal tersebut belum dapat menjadi alasan kuat petani konvensional beralih menjadi petani organik.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa responden petani konvensional di Kelompok Tani Madya belum dapat membebaskan diri dari ketergantungan

pupuk dan pestisida kimia sintetik. Selain itu, sistem pertanian konvensional maupun semi konvensional yang telah diterapkannya saat ini sudah memberikan kepuasan kerja tersendiri, baik dari segi penjualan maupun proses pertanian yang berlangsung. Sehingga mereka tidak perlu mengubah sistem bertani mereka menjadi petani organik murni karena penerapan sistem pertanian mereka saat ini sudah cukup. Meskipun demikian, pertanian organik memiliki peluang yang cukup besar untuk diterapkan secara berkelanjutan oleh Kelompok Tani Madya. Hal ini karena setiap anggota memiliki kekerabatan yang dekat dan kepercayaan yang tinggi dengan ketua kelompok dan anggota kelompok lainnya. Sehingga hal ini diduga dapat menjadi nilai positif bahwa pertanian organik dapat dikembangkan melalui pertemuan dan sosialisasi yang intensif dari kelompok selain penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah.

Dokumen terkait