• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2.1. Keadaan Geografis Kota Pematang Siantar

Gereja Methodist Indonesia terletak pada wilayah kota madya Pematang Siantar. Kota Pematang Siantar ini terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun dengan keadaan topografi berbukit-bukit rendah dan berada pada ketingian ± 400 m di atas permukaan laut. Daerah ini terletak pada posisi 3º.01’- 2º.54’.40” LU dan 99º.05’- 99º.02’ BT, dengan suhu rata-rata 24,7ºC dan curah hujan 2808 mm/tahun. Kota Madya Pematang Siantar di kelilingi oleh daerah pertanian yang luas dan subur seperti persawahan, perkebunan karet, kelapa sawit dan teh. Daerah Tingkat II Pematang Siantar mempunyai sungai besar yaitu Bah Bolon dan mempunyai 12 sungai kecil yaitu Bah Sorma, Bah Kapul, Bah Bane, Bah Kadang, Bah Kahean, Bah Sigulang-gulang, Bah Sibarambang, Bah Silulu, Bah Sibatu-batu, Bah Kora, Bah Kaitan, dan Bah Silobang. Sungai-sungai ini sebagian dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk mengairi sawah, tambak ikan, alat drainage alamiah dan menjadi batas alam wilayah kecamatan dan kelurahan.

Pematang Siantar pada tahun 1957 masih berstatus sebagai Kota Praja meskipun sudah memiliki kepala pemerintahan sendiri dan sudah terpisah dari Kabupaten Simalungun. Pada awalnya Kota Pematang memiliki luas 1248 Ha, namun setelah terjadi perluasan wilayah maka Kota Pematang Siantar memiliki luas wilayah seluas 7997,06 Ha, dan di bagi menjadi 10 kampung yaitu : Kampung Aek Nauli, Kampung Kristen Timur, Kampung Kristen Barat, Kampung Timbanggalung Baru, Kampung Timbanggalung Lama, Kampung Melayu, Kampung Kota, Kampung Tomuan, dan Kampung Suka Damai.

Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan dalam daerah hukum kota praja, pada tahun 1959 Pemerintah Daerah membagi daerah kota praja ini dalam dua kecamatan yaitu :

1. Daerah Kecamatan Siantar Timur, dengan resort : a. Kampung Kota

b. Kampung Kristen Timur c. Kampung Kristen Barat d. Kampung Tomuan e. Kampung Suka Damai 2. Daerah Kecamatan Siantar Barat

a. Kampung Melayu

b. Kampung Timbanggalung Lama c. Kampung Timbanggalung Baru d. Kampong Bantan

e. Kampung Aek Nauli

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1981, Kodya Pematang Siantar dikembangkan menjadi empat wilayah kecamatan yang peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 1982 oleh E.W.P Tambunan. Pada saat itu beliau menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara 10

1. Kecamatan Siantar Barat ibukotanya Timbanggalung

Keempat kecamatan tersebut adalah :

2. Kecamatan Siantar Timur ibukotanya Tomuan 3. Kecamatan Siantar Utara ibukotanya Sukadame 4. Kecamatan Siantar Selatan Ibukotanya Kristen

10

Kota Madya Pematang Siantar Dalam Angka Tahun 1990. Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Madya Pematang Siantar, hal 9.

Secara administratif, batas-batas Kota Madya Pematang Siantar adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karang Sari, Rambung Merah, dan Marihat Baris.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Marihat Baris, Silampuyang, dan Desa Bah Sampuran.

3. Sebelah Utara berbatasan dengan Bah Kapul dan Desa Sinaksak. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Talun Kondot, Nagori Simpang Pane,

dan Siborna.

2.2 Keadaan Penduduk

Setelah menjadi kota Madya pada tahun 1955, Kota Pematang Siantar mengalami perkembangan pada tahun 1960 Pematang Siantar termasuk kota indah, bersih, dan teratur. Selain itu kota Pematang Siantar memiliki taman bunga, taman hewan terbaik di Sumatera Utara, jalan-jalan yang mulus, perencanaan kota yang memadai, hotel yang bertarap Internasional. Pematang Siantar juga memiliki salah satu alat transportasi yang cukup unik yaitu BSA (becak Siantar Asli), yang dapat dijadikan ciri khas kota ini.

Kota Madya Pematang Siantar adalah daerah kedua terpenting dan terbesar setelah kota Medan di Propinsi Sumatera Utara. Perkembangan daerah ini termasuk cepat dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Sumatera Utara. Pematang Siantar merupakan contoh daerah yang berkembang cepat sebagai akibat dari urbanisasi dan industrialisasi. Pada awalnya penduduk asli kota Pematang Siantar di dominasi oleh suku Btak Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi, maka

penduduk kota Pematang Siantar terdiri dari berbagai macam suku antara lain, Tapanuli, Jawa, Aceh, Minang Kabau, Karo, Cina, India, dan Melayu.

Pusat perkotaan terutama dimiliki warga negara Tionghoa, sedangkan pasar dan toko-toko kelontong kecil dimiliki oleh orang pribumi. Pematang Siantar juga berfungsi sebagai kota transit dagang bagi daerah perkebunan di sekitarnya, dan kota persinggahan bagi mereka yang ingin berkunjung ke daerah danau Toba. Pertambahan penduduk yang mendadak dan perencanaan pengembangan yang tidak memadai pada tahun 1965 membawa akibat fatal bagi Pematang Siantar. Gangguan keamanan karena adanya pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) ikut mempengaruhi urbanisasi di Pematang Siantar.

Perkampungan baru bermunculan tanpa rencana serta sarana dan prasarana yang memadai. Selama bertahun-tahun kota Pematang Siantar mengalami giliran pemadaman listrik bahkan terkadang bagi daerah tertentu berbulan-bulan tidak mendapat aliran listrik. Setingkat demi setingkat sarana dan prasarana kota dibina kembali. Akibat adanya perbaikan wilayah kota yang lama tidak dapat dikenali lagi. Beberapa daerah taman dan tempat berjalan kaki yang dahulu terawat baik dan teratur hampir tidak ada lagi. Beberapa sudut pusat kota yang dahulu longgar, kini telah di jejali dengan berbagai bangunan , perumahan dan perkantoran.

Pada Periode 1960-1966 merupakan masa puncak perkembangan dan pertumbuhan kota dan penduduk Pematang Siantar. Orang pribumi hampir dapat menggeser orang keturunan Cina (Tionghoa) dalam bidang perdagangan. Pusat pertokoan banyak berpindah tangan dari orang keturunan Cina ke orang asli pribumi. Hal ini dimungkinkan karena adanya peristiwa G 30 S PKI. Pada masa itu telah muncul gerakan anti Cina, yang mengakibatkan banyak orang Cina yang keluar dari Pematang Siantar.

Pada tahun 1968 keadaan tersebut berbalik seakan-akan masa jaya orang asli pribumi pudar kembali, kota Pematang Siantar kembali didominasi oleh orang keturunan Cina(Tionghoa), keadaan ekonomi kota mengalami perubahan dan pergeseran besar-besaran. Hampir semua pengusaha besar Indonesia mengalami kemerosotan bahkan ada yang bangkrut dan banyak berpindah tempat atau berdagang ke kota-kota kecil seperti Tebing Tinggi, Kisaran, Tanjung Balai, dan Rantau Parapat. Etnist Tionghoa ini kembali lagi ke Pematang Siantar secara berangsur-angsur setelah keadaan aman dari gangguan keamanan gerakan anti Cina yang semakin merdeka. TABEL. 1. Komposisi Menurut Penduduk

NO SUKU 1960 1970 1980 1 Batak Toba 46,38 % 50,12 % 45,51 % 2 Simalungun 15 % 9,10 % 8,11 % 3 Karo 1,30 % 3,11 % 2,44 % 4 Mandailing 5 % 3,15 % 5,03 % 5 Jawa 20,07 % 16, 27 % 20,73 % 6 Tionghoa/Cina 10,06 % 14,23 % 13,87 % 7 Dan Lain-lain 2,19 % 4,08 % 4,67 %

Sumber : Kota Madya Pematang Siantar Dalam Angka Tahun 1980

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa suku Karo semakin meningkat. Pada umumnya suku Karo yang datang ke Pematang Siantar biasanya bekerja sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai pedagang buah. Pada periode 1981-1985 terlihat bahwa suku Jawa mengalami penurunan, hal ini di karenakan kota Pematang Siantar beralih menjadi kota industri kecil menengah. Perubahan tersebut

mengakibatkan menyempitnya lahan perkebunan. Orang Jawa yang pada umumnya bekerja sebagai buruh kebun, banyak yang pindah ke daerah Simalungun.

2.3. Mata Pencarian

Mata pencaharian penduduk di Kodya Pematang Siantar sebagian berada pada bagian non-agraris, hal tersebut dapat di lihat dalam tabel berikut ini :

TABEL.2. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian.

Sumber : Kota Madya Pematang Siantar dalam Angka Tahun 1980 NO Pekerjaan 1960 1970 1980 1 Pegawai/ABRI 35,6 % 17,65 % 19,15 % 2 Pedagang 25,18 % 19,04 % 19,15 % 3 Petani 9,93 % 10,78 % 4,97 % 4 Karyawan 12,81 % 26,98 % 37,17 % 5 Dan Lain-lain 16,48 % 25,55 % 18.09 % 2.3. Pendidikan

Kodya Pematang Siantar merupakan kota pendidikan. Di kota ini telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan

perguruan tinggi. Pelajar yang menuntut ilmu di kota inibukan hanya penduduk asli Pematang Siantar melainkan juga banyak yang berasal dari daerah-daerah tetangga seperti dari daerah Dairi, Simalungun, dan Tapanuli Utara. Hal ini di mungkinkan dengan adanya fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang iklim pendidikan tersebut, antara lain karena letak daerah Pematang Siantar yang strategis sehingga

memudahkan pelajar yang ingin menuntut ilmu. Komposisi penduduk menurut pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

TABEL.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan NO Tingkat Pendidikan 1960 1970 1980 1 Taman Kanak-kanak - 790 1.580 2 Sekolah Dasar 9.310 18.620 37.249 3 SLTP 2.616 5.232 10.465 4 SLTA 3.556 7.113 14.272 5 Perguruan Tinggi 791 1.582 3.165

Sumber : Kota Madya Pematang Siantar dalam Angka Tahun 1980

Jumlah penduduk Pematang Siantar setiap tahunya mengalami peningkatan. Pertambahan penduduk ini selain di sebabkan dengan tingginya angka kelahiran, tetapi juga di sebabkan meningkatnya jumlah pendatang ke Pematang Siantar yang berasal dari daerah-daerah tetangga kota Pematang Siantar, antara lain, Parapat, Tebing Tinggi, dan Simalungun.

TABEL.4. komposisi Penduduk Pematang Siantar

TAHUN JUMLAH PENDUDUK LUAS WILAYAH 1960 114.900 1.248

1970 129.200 1.248 1980 219.316 7.023 Sumber : Kota Madya Pematang Siantar dalam Angka Tahun 1980

Pertambahan jumlah pendududk tersebut meningkat cepat sekitar tahun 1950-an, ketika Pematang Siantar menjadi kota utama bagi daerah-daerah lain, baik sebagai perdagangan, industri, pemerintahan, pendidikan, dan militer11

Banyak etnis yang ada di Nusantara yang datang dari ke Pematang Siantar untuk mencari pekerjaan seperti buruh kebun. Banyak dari kelompok buruh ini yang tinggal menetap di Pematang Siantar atau sekitanya. Kelompok etnis inilah yang akan . Selain itu Pematang Siantar menjadi pusat suplai bagi perkebunan besar (teh, karet, kelapa sawit, dan cokelat) dari daerah yang berada di sekitar Pematang Siantar.

Pemusatan penduduk berada di tempat kelurahan yang merupakan pusat kota yaitu kelurahan Dwikora. Proklamasi, Pahlawan, dan kelurahan Simalungun. Kepadatan penduduk di empat kelurahan tersebut 14.167 Jiwa/Km. Semakin ke arah pinggiran kota, kepadatan penduduk semakin berkurang. Dengan demikian penyebaran penduduk tidak merata di setiap kecamatan. Jumlah penduduk menurut kantor statistk Pematang Siantar adalah 227.234 Jiwa yang terdiri dari laki-laki 11.076 Jiwa dan perempuan 116.158 Jiwa.

2.3 Struktur Sosial Budaya Masyarakat Pematang Siantar

Dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh pemerintah, setiap tahunnya penduduk yang menempati kota Pematang Siantar semakin bertambah, yang mana masyarakat tersebut dominan berusia antara 15-60 tahun. Pertambahan jumlah pada usia ini ditafsirkan sebagai masyarakat pendatang atau masyarakat karena proses urbanisasi, dengan tujuan untuk bekerja. Hal ini terjadi sebagai akibat dari berkembangnya berbagai uaha industri yang menyerap banyak tenaga kerja di Pematang Siantar.

11 B. N Marbun, Kota Indonesia Masa Depan; Masalah dan Prospek, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994. hal. 15.

menjadi dasar-dasar dari pembentukan sistem sosial dan budaya di Pematang Siantar, sebab mereka datang dengan budaya yang lengkap yang mereka miliki.

Sebelum merdeka, segala sistem yang berlaku di sekitar daerah kesultanan, Pematang Siantar pada umumnya, terbentuk dari kebijakan kesultanan dan pemerintah kolonial. Pada bagian administarsi masyarakat, kebijakan datang dari pemerintah kolonial, sedangkan kebijakan yang berhubungan dengan sistem sosial dan kemasyarakatan pada dasarnya dibentuk oleh kesultanan. Hal ini berlangsung sampai indonesia memperoleh kemerdekaan.

Kemerdekaan Indonesia memberikan dampak terhadap perubahan sistem sosial, dan struktur masyarakat kota Pematang Siantar. Hal ini berpengaruh terhadap sistem budaya Melayu yang sudah diingkari sebagai budaya Melayu kepada sistem sosial yaitu budaya nasional. Sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan dominasi dari budaya Melayu sangat besar sebagai tradisi yang disahkan di kesultanan Deli

Setelah kemerdekaan terdapat budaya baru di kota Pematang Siantar yang merupakan budaya percampuran (pluralis) dari berbagai suku yang mendiami Pematang Siantar. Seperti suku Jawa, Melayu, Batak Toba, Simalungun, Karo, Nias, Tionghoa dan suku-suku lainnya masing-masing melaksanakan tradisi yang mereka miliki, tanpa ada unsur paksaan dari budaya dan suku lain.

Dalam bidang agama, masing-masing suku yang tinggal di Pematang Siantar mayoritas agama yang mereka anut adalah agama yang mereka bawa dari daerah asal mereka datang. Seperti etnis Melayu, Jawa, Mandailing telah beragama Islam, demikian juga halnya dengan etnis Batak Toba, Simalungun, Karo pada umumnya menganut agama Kristen Protestan dan Katolik.

Nilai-nilai keagamaan yang ada di Pematang Siantar sangat banyak memberikan terselenggaranya kekerabatan sesama masyarakat. Unsur-unsur budaya

dan unsur keagamaan masyarakat yang saling menghormati menjadi salah satu ciri karakter masyarakat yang tinggal di sekitar Pematang Siantar.

Sistem sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat merupakan sistem sosial yang diatur berdasarkan sistem sosial yang berlaku di Indonesia. Peraturan pemerintah dan sistem norma masyarakat menjadi dasar dari kehidupan sosial masyarakat Pematang Siantar.

Unsur budaya masyarakat medan berasal dari inti sari dari budaya-budaya ( Batak Toba, Simalungun) etnis yang ada di kota Pematang Siantar. Unsur budaya tersebut merupakan penyesuaian dengan kaidah-kaidah peraturan dan undang-undang yang berlaku dalam Republik indonesia, sehingga tidak ada unsur yang dominan dari kelompok masyarakat ataupun etnis tertentu walaupun ada etnis yang lebih dominan di Pematang Siantar.

Dokumen terkait