• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pertanian 133.54

2. Pertambangan & Penggalian 2,684.16

3. Industri Pengolahan 40.28

4. Listrik, Gas & Air Bersih 3.99

5. Bangunan 70.56

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 70.76 7. Pengangkutan & Komunikasi 68.64 8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan 29.10

9. Jasa-Jasa 84.28

Sumber : BPS Provinsi Papua, 2007, diolah

4.4. Gambaran Sektor Pertambangan

Berdasarkan informasi dari dinas pertambangan Provinsi Papua yang dapat

diakses di website www.papua.go.id maka dapat diperoleh gambaran umum

sektor pertambangan di Provinsi Papua. Potensi sumberdaya mineral dan energi di Provinsi Papua telah dikenal luas oleh masyarakat international sebelum perang dunia kedua. Seorang geologist yang bernama J.J Dozy dalam ekspedisinya pada tahun 1936 Pegunungan Tengah dalam upaya pencarian minyak bumi, menemukan sebuah bukit berbentuk seperti gigi setinggi 131 meter yang kaya unsur tembaga kemudian ia menamakannya Erstberg atau Gunung Bijih. Tahun 1960 publikasi J.J Dozy dibaca oleh Fobes Wilson dari Freeport Sulphur Co dan menindaklanjutinya dengan meninjau bukit tersebut. Pada tanggal 7 April 1967 Perjanjian Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran

Inc. ditandatangani. Dimana Freeport mempunyai hak ekslusif untuk mengelola wilayah 10 x 10 Km2 atau seluas 100 km2 di sekitar Ertsberg. Sejak saat itulah pertambangan modern dimulai di Provinsi Papua.

Pada bulan Desember 1967 dimulailah pemboran untuk melakukan studi kelayakan. Studi ini selesai 2 tahun kemudian atau pada tahun 1969. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan tahap kontruksi pada 1969 - 1972. Pada tahun 1972 dimulailah pengapalan konsentrat tembaga untuk pertama kalinya ke Hibi Jepang. Mulai tahun inilah Provinsi Papua menjadi pengekspor konsentrat tembaga. Produksi Freeport pada saat itu baru mencapai 8.000 ton bijih/hari, kemudian meningkat menjadi 18.000 ton bijih/hari.

Selama tahun 1967-1988, Freeport menemukan sejumlah endapan tembaga dalam skala kecil seperti Gunung Bijih Timur, Intermediate Ore Zone (IOZ), Deep Ore zone (DOZ), DOM. Kemudian Pada tahun 1988 Freeport menemukan adanya cebakan endapan tembaga dan emas dengan kadar yang cukup ekonomis dengan cadangan lebih dari 400 MT yang merupakan endapan tunggal tembaga terbesar. Untuk mengembangkan potensi tersebut diperlukan investasi yang cukup besar, sehingga diperlukan adanya jaminan perpanjangan kontrak karya. Maka pada 30 Desember 1996 ditandatanganilah perpanjangan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia dengan membaginya menjadi 2 blok, yaitu blok A yang merupakan daerah kontrak karya lama, dan blok B seluas 1,9 juta ha untuk Blok B.

Keberhasilah Freeport menemukan sejumlah cadangan endapan tembaga di daerah konsensinya dan adanya kesamaan sejarah geologinya dengan Papua

New Guinea (terdapat 13 Perusahaan tambang yang sudah berproduksi), kemudian memicu perusahaan lain untuk menanamkan modalnya di Provinsi Papua. Oleh karena itu tidak heran jika mulai dari 1996 terjadi booming investasi pertambangan di Papua. Hingga akhir tahun 2000 paling tidak terdapat 22 perusahaan kontrak karya, 5 perusahaan Kuasa Pertambangan dan 3 perusahaan di bidang pengusahaan batubara melakukan eksplorasi di Provinsi Papua .

Dalam UU No. 11 tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, investasi asing di bidang pertambangan umum dilakukan melalui penerapan sistem Kontrak Karya (KK), yaitu perjanjian antara pemerintah dengan investor yang berbadan hukum Indonesia, dimana pemerintah bertindak sebagai pihak pemilik (principal) sedangkan perusahaan pertambangan bertindak sebagai kontraktor. Perjanjian kontrak karya secara khusus memberi hak tunggal kepada investor untuk melakukan penelitian sumberdaya mineral yang terkandung dalam wilayah kontrak karya, dan kemudian menambang, mengolah dan memasarkan endapan mineral yang ditemukan. Hak tunggal ini diberikan sebagai konsekuensi atas kesediaan menanggung resiko atas pelaksanaan kegiatan eksplorasi dimana resiko kegagalannya sangat tinggi, disamping pemenuhan pembayaran pajak dan kewajiban lainnya yang disebutkan dalam Kontrak Karya.

Dalam melaksanakan operasinya, pemegang Kontrak Karya mempunyai hak kendali dan manajemen tunggal atas semua kegiatannya, termasuk mempekerjakan sub kontraktor untuk melaksanakan tahap-tahap operasinya. Pemegang Kontrak Karya juga mempunyai kewajiban seperti menanam modal, membayar pajak dan pungutan-pungutan lain, kewajiban mengikuti standar

pertambangan yang ditetapkan pemerintah, kewajiban melaksanakan peraturan lingkungan hidup, dan kewajiban melaksanakan standar keselamatan kerja dan kesehatan.

Jika diperhatikan maka di masa lalu, semua keputusan mengenai pengusahaan pertambangan selalu dilakukan di Jakarta atau oleh pemerintah pusat. Peranan pemerintah daerah pada saat itu hampir tidak ada. Hal ini menimbulkan adanya ketidakadilan di dalam pembagian hasil dari pengusahaan sumber daya mineral tersebut. Padahal apabila kita cermati, hampir semua akibat yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas tersebut dipikul seluruhnya oleh pemerintah daerah dan masyarakat yang ada di sekitar lokasi penambangan. Hal ini sering menimbulkan konflik sosial dan ketidakstabilan keamanan di sekitar lokasi kegiatan tambang.

Belum isu mengenai masalah lingkungan hidup. Limbah tailing yang dihasilkan dari proses produksi PT Freeport telah banyak mencemari sungai. Dimana mata rantai makanan di daerah Omawita, Kaugapu dan sepanjang Kali Ajkwa Kabupaten Mimika terputus akibat sedimentasi tailing. Selain itu pemerintah pusat maupun Provinsi Papua merasa kompensasi yang diberikan leh PT Freeport masih belum cukup sehingga perlu ada tambahan kompensasi.

Disisi lain PT Freeport mengaku telah melakukan penanganan terhadap limbah ini dan hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa limbah tailing tidak beracun. Berdasarkan studi LAPI ITB limbah tailing sejak tahun 2000 dimanfaatkan sebagai bahan baku semen. Selain itu PT Freeport juga telah memberikan bantuan kepada masyarakat Papua terutama suku-suku di sekitar

lokasi PT Freeport baik berupa pembangunan perumahan, fasilitas kesehatan, dan program-program pelatihan.

Adanya pro dan kontra adanya PT Freeport dikalangan masyarakat telah merambah sampai tingkat pemerintahan. Oleh karena itu adanya Undang-Undang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua memberikan kesempatan yang luas bagi Pemerintah Provinsi Papua untuk membuat kebijakan yang lebih adil, baik bagi masyarakat pemilik hak ulayat, pemerintah daerah maupun bagi perusahaan itu sendiri.

5.1. Analisis Sektor Basis

Indikator suatu sektor dikatakan menjadi sektor unggulan daerah adalah ketika sektor tersebut menjadi sektor basis, yakni memiliki nilai LQ yang lebih besar dari satu. Hasil analisis tanpa melakukan eliminasi terhadap sub sektor pertambangan menunjukkan bahwa yang menjadi sektor basis (sektor unggulan) dari tahun 2001 sampai tahun 2007 adalah sektor pertanian dengan nilai LQ rata-rata sebesar 1,01 serta sektor pertambangan dan penggalian sebesar 6,02. Besarnya nilai LQ sektor pertanian menunjukkan bahwa produksi sektor tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di Provinsi Papua dan juga mampu melakukan ekspor.

Berdasarkan nilai LQ hasil penghitungan, sektor pertanian yang menonjol berurutan terdapat pada sub sektor kehutanan, perikanan, tanaman bahan makanan, serta peternakan dan hasil-hasilnya. Sektor kehutanan memberikan peranan besar dalam perekonomian Provinsi Papua dimana hutan banyak menghasilkan produk yang bernilai ekonomis tinggi. Pulikasi Papua dalam Angka Tahun 2007 menyebutkan bahwa volume hasil hutan berupa beberapa jenis kayu yang terjual di dalam negeri tahun 2004 sebanyak 337.029,86 kubik, sedangkan volume penjualan hasil hutan berupa beberapa jenis kayu di luar negeri tahun 2004 sebanyak 313.155,64 kubik dan tahun 2005 sebanyak 138.630,37 kubik. Demikian pula produksi hasil hutan ikutan seperti kulit masoi, gaharu,

kemendangan dan gambir tahun 2002 sebanyak 16.561.736 kg, Tahun 2003 sebanyak 58.259.883 kg dan tahun 2004 sebanyak 213.665.085 kg. Data ini mendukung bahwa Provinsi Papua telah mampu memanfaatkan hasil hutan untuk kepentingan masyarakat dan untuk ekspor. Demikian pula produksi perikanan, tahun 2005 sebanyak 209. 216 ton dan tahun 2006 meningkat menjadi 227.207 ton dengan nilai 2,7 trilyun.

Jika ditinjau dari besarnya konstribusi yang diberikan sektor pertambangan dan penggalian untuk PDRB Provinsi Papua maka tidak mengherankan bila sektor ini menjadi sektor basis (sektor unggulan). Dimana 68 persen nilai tambah sektor pertambangan berasal dari PT Freeport. Data produksi pertambangan PT Freeport tahun 2005 menunjukkan bahwa dari bijih yang diproses menjadi konsentrat rata-rata diperoleh kadar tembaga 29,81 persen dan emas 39,56 persen.

Hasil analisis dengan mengeliminasi sub sektor pertambangan menunjukkan bahwa yang menjadi sektor basis (sektor unggulan) dari tahun 2001 sampai tahun 2007 adalah sektor pertanian dengan nilai LQ rata-rata sebesar 2,56, sektor bangunan sebesar 1,93, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 1,68, sektor jasa-jasa sebesar 1,67. Ternyata dengan mengeliminasi sub sektor pertambangan dari perhitungan memunculkan 3 sektor lain sebagai sektor basis selain sektor pertanian, yaitu sektor bangunan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 1,93, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 1,68, serta sektor jasa-jasa sebesar 1,67. Sedangkan sektor non basis (bukan unggulan) antara lain : sektor industri dan pengolahan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,20, sektor listrik, gas

dan air bersih sebesar 0,69, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 0,73 serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.

Hasil analisis dengan mengeliminasi sub sektor pertambangan memunculkan adanya sektor-sektor non basis yang berpotensi sebagai sektor basis. Hal ini menunjukkan adanya peranan unggul sub sektor-sub sektor yang semula tidak menjadi basis. Sub sektor tanaman pangan, sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya, sub sektor penggalian, sub sektor air bersih, sub sektor pengangkutan, sub sektor komunikasi serta sub sektor hiburan dan rekreasi. Munculnya sub sektor air bersih sebagai basis menunjukkan bahwa sarana air bersih sudah makin banyak dinikmati oleh masyarakat di Papua, walaupun ketika sub sektor pertambangan masih dominan, nilai LQ sektor listrik, gas dan air bersih relatif kecil. Dimana hanya sebagian kecil masyarakat yang mendapat pelayanan listrik dan air bersih yakni yang tinggal di wilayah perkotaan.

Sektor bangunan berada pada urutan kedua menjadi basis yaitu denga rata-rata nilai LQ 1,93. Sektor bangunan sebagai sektor basis dapat dijelaskan dari meningkatnya jumlah infrastruktur pemerintah maupun swasta. Keadaan ini menunjukkan suatu perkembangan yang nyata dimana pada masa otonomi daerah pemerintah Provinsi Papua sedang giat membangun fasilitas infrastruktur terutama untuk menunjang pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum masyarakat. Kantor-kantor pemerintah dan sarana pelayanan umum banyak dibangun di daerah yang baru mekar. Selain itu di wilayah perkotaan pihak swasta banyak mendirikan bangunan usaha.

Sektor unggulan berikutnya yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi dengan rata-rata nilai LQ adalah 1,68. Pada sub sektor pengangkutan baik angkutan jalan raya, angkutan laut, angkutan sungai, danau dan penyeberangan serta angkutan udara semuanya memegang peran penting, hal ini sesuai dengan kondisi wilayah geografis Provinsi Papua yang bergunung-gunung, wilayahnya sulit ditembus, masih banyak sungai lebar dan pulau-pulaunya dikelilingi oleh laut maka hal ini mendukung pertumbuhan sub sektor pengangkutan laut dan pengangkutan udara. Dimana umumnya transportasi antar kabupaten dan antar distrik menggunakan moda transportasi laut dan udara sehingga moda-moda angkutan diatas menjadi sarana yang sangat vital bagi masyarakat. Maka wajar apabila sektor pengangkutan dan komunikasi berpotensi sebagai sektor basis.

Keadaan diatas dapat dijelaskan dengan data jumlah kunjungan kapal dan banyaknya penumpang yang tiba maupun berangkat dari pelabuhan-pelabuhan laut. Kunjungan kapal selama tahun 2004 sebanyak 3.198 kali, dengan jumlah penumpang tiba sebanyak 323.602 orang dan jumlah penumpang berangkat sebanyak 298.581 orang. Untuk transportasi udara keadaan ini dapat ditunjukan dengan banyaknya penerbangan dan penumpang baik yang berangkat maupun datang di bandara ibukota-ibukota kabupaten/kota. Tahun 2003 jumlah penerbangan berangkat sebanyak 32.529 kali, meningkat 22,2 persen pada tahun 2004 menjadi 41.824 kali, sedang penerbangan yang datang sebanyak 34.742 kali tahun 2003 meningkat sebanyak 16,74 persen pada tahun 2004. Untuk penumpang yang berangkat pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebanyak 44,4 persen

dibanding tahun 2003, sedang penumpang yang datang tahun 2004 meningkat sebanyak 239.444 penumpang atau 39 persen dibanding tahun 2003.

Sektor unggulan yang keempat yaitu jasa-jasa banyak ditopang oleh sub sektor pemerintahan umum. Alasan utama sektor jasa-jasa menjadi sektor basis adalah adanya pemekaran beberapa kabupaten, distrik dan kampung pada masa otonomi daerah. Untuk menangani wilayah-wilayah yang telah dimekarkan ini oleh pemerintah daerah dibentuk administrasi pemerintahan. Dalam hal ini sub-sub administrasi pemerintahan adalah gaji para pegawai pemerintah daerah. Dimana pertumbuhan jumlah pegawai pemerintah daerah semakin pesat pada masa otonomi daerah. Keadaan ini sejalan dengan banyaknya kabupaten dan distrik pemekaran yang merekrut para pegawai baru di lingkungan instansnya.Pada sisi lain nilai LQ sub sektor swasta bukan merupakan sub sektor basis namun bsub sektor hiburan dan rekreasi merupakan unggulan.

Sektor-sektor non basis (bukan unggulan) antara lain sektor industri dan pengolahan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,08, sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 0,28, sektor bangunan sebesar 0,78, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 0,30, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahan sebesar 0,14, dan sektor jasa-jasa sebesar 0,68.

Kondisi diatas menggambarkan bahwa sektor-sektor yang menjadi sektor basis merupakan sektor kuat disebabkan karena mempunyai nilai LQ lebih besar dari satu (LQ > 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor tersebut potensial dalam menunjang perekonomian Provinsi Papua dan mempunyai kecenderungan ekspor ke daerah (provinsi) lain. Sedangkan yang menjadi sektor non basis yaitu

sektor-sektor yang nilai LQnya lebih kecil dari satu (LQ < 1) sehingga menyebabkan sektor-sektor ini mempunyai kecenderungan untuk impor dari daerah (provinsi) lain.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dengan adanya ekspor maka Provinsi Papua akan memperoleh pendapatan. Dengan adanya arus pendapatan dari luar daerah (provinsi) ini menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi di Provinsi Papua, dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Adapun perhitungan nilai LQ suatu sektor dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 5.1. LQ Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-Rata Sektor T ET T ET T ET T ET T ET T ET T ET T ET 1. 0,84 2,63 0,86 2,62 0,92 2,60 1,20 2,54 0,95 2,58 1,23 2,55 1,22 2,42 1,01 2,56 2. 5,93 0,11 6,06 0,12 6,23 0,12 5,64 0,14 6,85 0,15 5,89 0,17 5,92 0,19 6,02 0,14 3. 0,07 0,21 0,07 0,21 0,07 0,20 0,09 0,20 0,07 0,20 0,09 0,19 0,09 0,18 0,08 0,20 4. 0,23 0,71 0,22 0,66 0,24 0,68 0,33 0,70 0,26 0,71 0,34 0,71 0,34 0,67 0,28 0,70 5. 0,60 1,88 0,63 1,90 0,67 1,90 0,92 1,94 0,71 1,93 0,93 1,92 1,02 2,03 0,76 1,93 6. 0,22 0,70 0,24 0,71 0,26 0,72 0,35 0,75 0,27 0,74 0,36 0,74 0,37 0,74 0,29 0,73 7. 0,52 1,62 0,54 1,63 0,60 1,71 0,82 1,74 0,64 1,74 0,81 1,68 0,84 1,66 0,68 1,68 8. 0,10 0,32 0,10 0,30 0,10 0,29 0,15 0,32 0,12 0,32 0,18 0,37 0,25 0,49 0,15 0,39 9. 0,56 1,74 0,58 1,75 0,60 1,70 0,80 1,68 0,60 1,62 0,78 1,61 0,82 1,62 0,68 1,67

Sumber : Hasil Olahan

T = Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan

Keterangan : 1. Sektor Pertanian

2. Sektor Pertambangan dan Penggalian 3. Sektor Industri Pengolahan

4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Sektor Bangunan

6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi

8. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 9. Sektor Jasa-Jasa

5.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah

Hasil pengukuran tingkat ketimpangan wilayah menggunakan Indeks Wiliamson menghasilkan indeks ketimpangan wilayah yang dapat digunakan untuk menggambarkan tendensi pemerataan pembangunan antar wilayah yang berada dalam suatu kawasan regional. Jika nilai indeks Williamson mendekati nol, maka tingkat ketimpangan antar wilayah semakin kecil (semakin merata). Sebaliknya, jika nilai indeks Williamson semakin jauh dari nol maka ketimpangan semakin melebar.

Tabel 5.2. Indeks Ketimpangan Antar Wilayah Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan

Indeks Williamson Tahun

Tanpa Eliminasi Tambang Eliminasi Tambang

2001 2,80 0,50 2002 2,55 0,50 2003 2,31 0,51 2004 2,15 0,60 2005 2,68 0,60 2006 2,56 0,63 2007 2,53 0,63

Sumber : Hasil Olahan

Data di atas menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Papua pada masa otonomi daerah tahun 2001 – 2007. Sesuai batasan tingkat ketimpangan antar wilayah menurut Nugraha (2004) dapat digambarkan besarnya ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua. Perhitungan indeks ketimpangan dengan mengeliminasi sub sektor tambang menunjukkan ketimpangan antar wilayah yang sangat tinggi yaitu nilai Indeks Williamson diatas 1. Ketimpangan terbesar terjadi pada tahun 2001, yaitu 2,80. Sedangkan yang indeks williamsonnya paling kecil adalah di tahun 2004, yaitu sebesar 2,15.

Perhitungan indeks ketimpangan tanpa mengeliminasi sub sektor tambang menunjukkan ketimpangan menengah menuju ke tinggi yaitu nilai Indeks Williamson antara 0,4 – 0,69. Melihat trend yang terjadi, meningkatnya indeks

kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Papua dari tahun 2001 – 2007 semakin lebar. Kecenderungan ketimpangan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Tambang Eliminasi Tambang 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun IW

Gambar 3.1. : Indeks Williamson Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan

Eliminasi Sub Sektor Pertambangan

Tingginya nilai indeks ketimpangan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Papua, menunjukkan bahwa rata – rata tingkat produk domestik regional bruto per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Papua mengalami ketimpangan yang cukup melebar. Keadaan ini juga menunjukkan perbedaan antara suatu daerah dengan daerah lain cukup besar. Salah satu hal yang menjadi pemicu adalah kondisi kabupaten/kota di Provinsi Papua cukup berbeda. Ada yang merupakan daerah pengahasil bahan tambang, namun juga ada daerah pertanian yang tidak mempunyai sektor unggulan untuk dikembangkan. Akibatnya ketimpangan yang terjadi jauh lebih besar.

Tingginya tingkat ketimpangan produk domestik regional bruto (PDRB) perkapita antarkabupaten/kota, tidak berarti secara otomatis menerangkan bahwa

tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua ada yang baik dan ada yang sangat buruk dibandingkan daerah lain.

Pembahasan diatas telah menghasilkan identifikasi sektor-sektor basis di Provinsi Papua dan menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi dari tahun 2001 – 2007 yaitu pada masa otonomi daerah dilaksanakan. Sesuai tujuan penulisan, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan atau bahan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat otonomi daerah.

Hasil identifikasi sektor-sektor basis dapat ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan analisis lebih lanjut. Analisis dalam bentuk time series / trend akan dapat melihat perkembangan nilai LQ pada suatu sektor tertentu pada waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan. Apabila naik maka bisa dilihat faktor-faktor apa saja yang membuat daerah tersebut tumbuh lebih cepat dari rata-rata nasional. Demikian pula apabila turun, perlu dikaji faktor-faktor yang membuat daerah tersebut tumbuh lebih lambat dari rata-rata nasional. Dengan demikia hal ini bisa membantu pemerintah daerah melihat kekuatan atau kelemahan wilayahnya dibandingkan secara relatif dengan wilayah yang lebih luas. Potensi-potensi yang positif digunakan dalam strategi pengembangan wilayah. Adapun faktor-faktor yang membuat potensi sektor di suatu wilayah lemah perlu dipikirkan apakah perlu ditanggulangi atau dianggap tidak prioritas.

Hasil analisis ketimpangan antar wilayah dapat digunakan sebagai bahan masukan pemerintah daerah dan rekomendasi kebijakan serta upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Beberapa upaya yang

dapat dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain yaitu dengan memperlancar proses perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar daerah, melalui transmigrasi atau pemindahan tenaga kerja dari daerah maju ke daerah kurang maju, melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan sehingga akan dapat menguragi ketimpangan karena adanya konsentrasi, serta melalui pelaksanaan otonomi daerah yang tegas, bertanggung jawab dan berkelanjutan.

6.1. Kesimpulan

1) Proses identifikasi sektor basis di Provinsi Papua tanpa mengeliminir peranan sub sektor pertambangan menghasilkan sektor pertanian dan sektor pertambangan sebagai sektor basis. Proses identifikasi sektor basis di Provinsi Papua dengan mengeliminir peranan sub sektor pertambangan menghasilkan sektor-sektor basis : sektor pertanian, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa.

2) Ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua tergolong ketimpangan sangat tinggi (Indeks Williamson > 1) apabila tidak mengeliminir sub sektor pertambangan dalam analisis. Apabila sub sektor pertambangan dieliminir dari analisis untuk mendapatkan tingkat ketimpangan wilayah, maka akan ditemui tingkat ketimpangan antar wilayah kategori menengah (Indeks Williamson 0,4 – 0,69).

Dokumen terkait