• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI PAPUA OLEH BAMBANG WAHYU PONCO AJI H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI PAPUA OLEH BAMBANG WAHYU PONCO AJI H"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

BAMBANG WAHYU PONCO AJI H14084025

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

BAMBANG WAHYU PONCO AJI. Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua (dibimbing oleh ALLA ASMARA)

Provinsi Papua telah menjalankan otonomi daerah sejak tahun 2001. Dengan adanya otonomi daerah maka Provinsi Papua dituntut untuk melakukan pembenahan dan pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif serta menetapkan kebijakan yang menitikberatkan pada sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada PDRB Provinsi Papua yaitu sektor pertambangan. Peranan sektor pertambangan pada PDRB Provinsi Papua sebesar 65 persen. Adanya dominasi sektor ini menyebabkan terjadinya ketimpangan secara sektoral dan ketimpangan antar wilayah.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi sektor-sektor basis yang berpotensi untuk dikembangkan di Provinsi Papua dan menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua. Untuk dapat mengetahui potensi sektor-sektor basis maka dilakukan analisis dengan menggunakan Location Quotient. Untuk dapat mengetahui ketimpangan antar wilayah maka dilakukan analisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Identifikasi sektor basis dan analisis ketimpangan antar wilayah dilakukan dengan melibatkan peran sektor pertambangan dan tanpa melibatkan peran sektor pertambangan (dieliminasi).

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa selain sektor pertambangan (LQ=6,02) dan pertanian (LQ=1,01 dan LQ=2,56), sektor basis di Provinsi Papua yaitu sektor bangunan (LQ=1,93), sektor pengangkutan dan komunikasi (LQ=1,68), serta sektor jasa-jasa (LQ=1,67). Berdasarkan hasil analisis ketimpangan antar wilayah, Provinsi Papua pada satu sisi mengalami ketimpangan antar wilayah tingkat menengah (Indeks Williamson 0,4 – 0,69), dan pada sisi lain mengalami ketimpangan antar wilayah yang sangat tinggi (Indeks Williamson >1).

(3)

sampai per sub sektor dan memberikan perhatian pada pengembangan sektor-sektor tesebut. Selain itu untuk mengatasi ketimpangan sektor-sektoral maupun ketimpangan antar wilayah yang terjadi, maka Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota perlu mengembangkan sektor lain sebagai sektor basis untuk menggantikan sektor pertambangan dan penggalian, salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan mengeluarkan peraturan daerah yang mendukung dan mendorong tumbuhnya sektor-sektor basis.

(4)

OLEH

BAMBANG WAHYU PONCO AJI H14084025

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Deperteman Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,

Nama Mahasiswa : Bambang Wahyu Ponco Aji

Nomor Registrasi Pokok : H14084025

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan

Antar Wilayah di Provinsi Papua

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Alla Asmara, S.Pt, M.Si NIP. 132159707

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131846872

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

Bambang Wahyu Ponco Aji H14084025

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan alih jenjang S1 Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor dan mencapai gelar Sarjana Ekonomi. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Alla Asmara, S.Pt, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji karya ilmiah penulis. Semua saran dan kritik beliau merupakan hal yang sangat berharga bagi penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya ucapan terima kasih penulis haturkan kepada orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan moral dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Penulis dengan segenap kemampuan berusaha untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, September 2008

Bambang Wahyu Ponco Aji H14084025

(8)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……….……… DAFTAR GAMBAR ……….……… DAFTAR LAMPIRAN ……….… iii iv v BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian ……….… 1.2 Identifikasi Masalah ……...……….….… 1.3 Tujuan Penelitian ……….……. 1.4 Manfaat Penelitian ……….…….. 1.5 Ruang Lingkup Penulisan ……….………

1 4 7 7 8

BAB II. LANDASAN TEORI

2.1 Kerangka Teori ………...………..…… 2.1.1. Konsep Otonomi Daerah ……… 2.1.2. Dampak Otonomi Daerah ………... 2.1.3. Teori Basis Ekonomi ………... 2.1.4. Konsep Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah . 2.1.5. Penelitian Terdahulu ………... 2.2 Kerangka Operasional ………...…….. 9 9 11 12 18 23 28

(9)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data ………. 3.2 Metode Analisis ………

3.2.1. Analisis Sektor Basis ..………... 3.2.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah ………..

31 32 32 37 BAB IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Kondisi Umum Wilayah ……….. 4.2 Kependudukan ……….…. 4.3 Perekonomian Provinsi Papua ..……… 4.4 Gambaran Sektor Pertambangan ………...

40 41 42 46

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………...…………

5.1. Analisis Sektor Basis ... 5.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah ...

51 57 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ………... 6.2 Saran ………... 62 62 DAFTAR PUSTAKA ………... LAMPIRAN ………...……… RIWAYAT HIDUP PENULIS ...

64 66 89

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Struktur Perekonomian Provinsi Papua 2001 - 2007 Berdasarkan

Kontribusi Sektor Terhadap Total PDRB ……….. 3

1.2. Laju Pertumbuhan PDRB Papua Dirinci menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2007 ………. 6

3.1. Kriteria Ketimpangan Antar Wilayah ……… 38

4.1. Wilayah Administrasi Provinsi Papua Tahun 2006 ………... 41

4.2. Kepadatan Penduduk Provinsi Papua Tahun 2006 ... 42

4.3. Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap Gabungan PDRB Provinsi Papua ………... 44

5.1. LQ Provinsi Papua dengan Sub Sektor Pertambangan dan Tanpa Sub Sektor Pertambangan ……….. 56

5.2. Indeks Ketimpangan Antar Wilayah Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan ………. 58

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Provinsi Papua

Tahun 2000 – 2007 ……….. 5

2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ……….. 30

5.1. Indeks Williamson Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut

Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2007. 64

2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut

Lapangan Usaha Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar

Harga Berlaku Tahun 2001 – 2007 ... 67

3. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut

Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 – 2007 70

4. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut

Lapangan Usaha Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar

Harga Konstan Tahun 2001 – 2007... 73

5. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi

Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2007 ... 76

6. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi

Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tanpa Sub Sektor

Pertambangan Tahun 2001 – 2007 ... 77

7. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi

Papua Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 – 2007 ... 78

8. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi

Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tanpa Sub Sektor

Pertambangan Tahun 2001 – 2007 ... 79

9. Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota

Se-Provinsi PapuaTahun 2001 – 2007 ... 80

10. Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota

Se-Provinsi Papua Tanpa Sub Sektor Tambang Tahun 2001 –

2007 ... 81

11. PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku menurut Kabupaten/

Kota Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Papua Tahun 2001 –

(13)

12. PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku menurut Kabupaten/ Kota Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Berlaku

Provinsi Papua Tahun 2001 – 2007... 83

13. Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua

Tahun 2001 – 2007 ... 84

(14)

1.1. Latar Belakang Penelitian

Potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah relatif berbeda dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah lain. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan karakteristik sumber daya fisik dan non-fisiknya. Beragamnya potensi dan karakteristik sumber daya tersebut menyebabkan tidak meratanya pembangunan antar daerah maupun antar sektor. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Oleh karena tu pembangunan daerah perlu dilaksanakan secara terpadu, selaras, serasi dan seimbang serta diarahkan agar pembangunan yang berlangsung di setiap daerah sesuai dengan prioritas dan potensi daerah.

Tujuan pembangunan daerah dalam kerangka kebijakan pembangunan sangat bergantung pada permasalahan dan karakteristik spesifik wilayah yang terkait. Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah melakukan pergeseran paradigma dari sentralistik menuju desentralistik. Merujuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemerintah daerah menyebutkan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya

(15)

untuk memberikan wewenang lebih besar kepada daerah agar dapat membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Dari aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk memberdayakan kapasitas daerah dan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui otonomi daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.

Berangkat dari keadaan ini maka otonomi daerah diharapkan bisa menjadi suatu solusi bagi permasalahan yang ada di daerah. Perbedaan kandungan sumber daya alam, perbedaan kondisi demografis, kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu serta alokasi besaran investasi sebagai sumber-sumber ketimpangan dapat dinetralisir oleh kewenangan pemerintah daerah dengan adanya kekuatan otonomi daerah.

Provinsi Papua telah menjalankan otonomi daerah sejak tahun 2001. Dengan adanya otonomi daerah maka Provinsi Papua dituntut untuk melakukan pembenahan dan pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif serta menetapkan kebijakan yang menitikberatkan pada sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

(16)

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa struktur perekonomian Provinsi Papua paling dominan adalah sektor primer kemudian diikuti sektor tersier dan sektor sekunder. Dominannya sektor primer disebabkan besarnya kontribusi sektor pertambangan, rata-rata pada periode tersebut mencapai 68 persen per tahun. Terkonsentrasinya perekonomian Provinsi Papua pada satu sektor saja menyebabkan kondisi perekonomiannya secara sektoral mengalami ketimpangan. Selain itu dominannya sektor pertambangan juga mengakibatkan adanya ketimpangan antar wilayah. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Mimika sebagai daerah yang kaya sumber daya pertambangan menguasai sekitar 68 persen komposisi PDRB Provinsi Papua.

Tabel 1.1. Struktur Perekonomian Provinsi Papua 2001 - 2007 Berdasarkan Kontribusi Sektor terhadap Total PDRB (persentase)

LAPANGAN USAHA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Sektor Primer 81,88 79,25 76,85 73,28 82,05 79,74 78,72

1. Pertanian 12,98 14,62 15,35 15,75 10,41 10,97 9,99

2. Pertambangan & Penggalian 68,90 64,62 61,50 57,53 71,65 68,77 68,74

Sektor Sekunder 5,38 5,93 6,63 7,80 5,31 6,07 6,44

3. Industri Pengolahan 1,89 2,01 2,25 2,51 1,62 1,78 1,62

4. Listrik, Gas & Air Bersih 0,14 0,19 0,24 0,26 0,17 0,17 0,16

5. Bangunan 3,36 3,74 4,14 5,02 3,53 4,11 4,66

Sektor Tersier 12,74 14,82 16,52 18,92 12,63 14,19 14,84

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 3,78 4,44 5,13 6,00 4,02 4,44 4,44

7. Pengangkutan & Komunikasi 2,62 3,01 3,88 4,72 3,44 3,88 4,05

8. Keuangan, Persewaan, & Jasa

Perusahaan 0,89 0,96 1,01 1,25 0,83 1,08 1,48

9. Jasa-Jasa 5,46 6,41 6,50 6,95 4,35 4,78 4,86

TOTAL 100 100 100 100 100 100 100

(17)

Besarnya kontribusi sektor pertambangan pada PDRB Provinsi Papua ternyata tidak banyak membawa pengaruh untuk mendongkrak pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lain. Ketiadaan industri pengolahan bahan tambang di Provinsi Papua menyebabkan seluruh hasil penambangan dikirim keluar Provinsi Papua tanpa melalui proses produksi. Padahal melalui proses produksi hingga terciptanya output akan memberikan banyak nilai tambah pada perekonomian Provinsi Papua.

Berdasarkan kondisi tersebut, adanya dominasi sub sektor pertambangan namun belum memberikan manfaat yang lebih besar kepada perekonomian Provinsi Papua maka perlu suatu analisis untuk melihat besarnya ketimpangan antar wilayah yang terjadi dan solusinya serta analisis identifikasi sektor-sektor basis yang mampu menjadi tumpuan perekonomian Provinsi Papua. Untuk itu diperlukan penelitian mengenai “Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua”.

1.2. Identifikasi Masalah

Desentralisasi sebagai wujud otonomi daerah mengindikasikan bahwa pemerintah daerah sudah saatnya tidak mengandalkan lagi dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Oleh karena itu pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengatur keuangannya sendiri dengan memanfaatkan potensi-potensi ekonomi yang ada untuk membiayai pembangunan daerahnya. Adanya inisiatif pemerintah daerah mengembangkan potensi-potensi ekonomi yang ada diharapkan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber dana untuk membiayai

(18)

pelaksanaan pembangunan daerah. Dimana hasil pembangunan ini dapat dinikmati secara merata, sehingga dengan keberhasilan pembangunan oleh pemerintah daerah dapat mengurangi dampak dari ketimpangan antar wilayah yang terjadi. Pembangunan daerah dalam jangka panjang harus dapat menjadi suatu usaha untuk menumbuhkan perekonomian daerah dan nasional sehingga diharapkan kedepannya daerah otonom dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. 36,4 -17,2 6,32 5,51 5,69 5,03 4,78 4,50 3,64 4,92 4,28 -22,53 -0,28 5,15 8,89 3,22 -30,00 -25,00 -20,00 -15,00 -10,00 -5,00 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 20 00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Indonesia Papua

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pada masa pelaksanaan otonomi daerah di Provinsi Papua, laju pertumbuhan ekonominya sangat fluktuatif dibanding laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua makin menurun sejak dilaksanakannya otonomi daerah tahun 2001. Puncak penurunan terjadi pada tahun 2004 dengan laju pertumbuhan ekonomi minus 22,53 persen. Selanjutnya laju pertumbuhan ekonomi sangat fluktuatif dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007.

Pertumbuhan

Ekonom

i (%)

Gambar 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Provinsi Papua Tahun 2000 - 2007

(19)

Permasalahan laju pertumbuhan ekonomi ini dapat kita pahami dari data pada Tabel 1.2. Fluktuatifnya laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua disebabkan oleh laju pertumbuhan sub sektor pertambangan. Seluruh sumbangan sub sektor pertambangan dalam PDRB Provinsi Papua berasal dari hasil produksi penambangan PT. Freeport. Besar atau kecilnya persentase kenaikan maupun penurunan sub sektor pertambangan sangat ditentukan oleh nilai kandungan logam hasil produksi penambangan PT. Freeport.

Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan PDRB Papua Dirinci menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 - 2007 (Persentase)

SEKTOR 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1. Pertanian 9,31 6,84 4,82 -0,62 4,82 5,16 0,58

2. Pertambangan & Penggalian 10,68 3,80 -3,47 -36,26 61,74 -31,38 0,57

a. Minyak dan Gas Bumi 0 0 0 0 0 0 0

b. Pertambangan Tanpa Migas 10,69 3,78 -3,52 -36,47 62,18 -31,62 0,41

c. Penggalian 9,24 8,58 6,49 7,57 9,46 12,25 18,53

3. Industri Pengolahan 6,26 4,97 5,87 3,21 3,64 6,79 -1,16

4. Listrik, Gas & Air Bersih 4,64 5,93 9,38 7,41 8,01 8,74 5,98

5. Bangunan 4,85 10,45 7,64 8,85 7,54 10,86 17,41

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7,32 9,77 8,87 8,06 8,20 9,63 9,69

7. Pengangkutan & Komunikasi 9,26 13,33 19,68 13,97 13,74 13,76 15,48

8. Keuangan, Persewaan, &

Jasa Perusahaan -49,64 2,91 5,01 17,03 7,66 25,25 47,16

9. Jasa-Jasa 10,60 8,71 2,67 3,62 1,80 8,76 9,58

PDRB Papua 8,89 5,15 -0,28 -22,53 36,40 -17,20 4,28 PDRB Papua Tanpa Tambang 5,09 8,20 6,63 4,39 6,09 8,71 8,66 PDB Indonesia Tanpa Tambang 3,32 4,33 4,81 5,47 5,50 5,53 6,34

(20)

Berdasarkan informasi yang telah disampaikan diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor basis di Provinsi Papua pada masa otonomi daerah?

2. Bagaimana ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua pada masa otonomi daerah ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini secara umum yaitu :

1. Mengidentifikasi sektor-sektor basis yang berpotensi untuk dikembangkan di Provinsi Papua.

2. Menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna :

1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan analisis mengenai perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Provinsi Papua.

2. Bagi mahasiswa yang lain dapat menjadi proses pembelajaran dan pengkajian dengan menggunakan disiplin ilmu yang telah dipelajari serta tercipta output yang dapat dijadikan sumber data, informasi, serta literatur bagi kegiatan penulisan maupun penelitian selanjutnya.

(21)

3. Bagi Pemerintah Daerah Provinsi Papua, dapat menjadi bahan masukan dalam mengelola dan mengembangkan wilayahnya berdasarkan potensi yang ada

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai ketimpangan antar wilayah yang timbul karena perbedaan kepemilikan sumber daya pertambangan dan ketimpangan sektoral yang terjadi karena dominasi sub sektor pertambangan, sehingga mengaburkan potensi sektor basis penopang perekonomian Provinsi Papua. Lingkup penelitian adalah Provinsi Papua pada masa otonomi daerah yaitu tahun 2001 - 2007.

(22)

2.1. Kerangka Teori

2.1.1. Konsep Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah bawahnya yang menjadi urusan rumah tangganya. Otonomi daerah adalah hak dan wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pergeseran paradigma dari sentralistik menjadi desentralistik diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang peraturan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemberlakukan undang-undang tersebut diharapkan akan mengubah pandangan pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten/kota, sehingga pemerintah daerah kabupaten/kota mempunyai peluang untuk secara leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi dan prakarsa daerah (Putra, 2004).

(23)

Pasal 1 (h) Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menyebutkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Berdasarkan pasal tersebut, kewengan daerah tidak hanya terbatas pada urusan yang akan diatur dan dikelola berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya (Ramadhanny, 2007). Oleh karena itu ada tiga prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah.

a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada

Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.

c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakekatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, artinya penetapan kebijakan sendiri, serta pembiayaan sendiri dan pertanggungjawaban daerah sendiri (Aser, 2005).

(24)

Berpegang pada landasan hukum diatas maka pemerintah daerah mempunyai wewenang secara penuh untuk untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri berdasarkan potensi yang ada. Untuk itu, pemerintah daerah perlu untuk mengidentifikasi potensi-potensi yang dimiliki daerah karena potensi tersebut sangat menentukan dalam prioritas pembangunan terutama sektor-sektor unggulan.

2.1.2. Dampak Otonomi Daerah

Penerapan otonomi daerah membagi dan menetapkan berbagai kewenangan tertentu antara pusat dan daerah dalam proses pembangunan dan pengembangan suatu daerah. Perubahan dalam sistem ketatanegaraan ini tentu saja melahirkan warna baru dengan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya terhadap tingkat hidup masyarakat.

Dalam hal kebijakan dan kewenangan tertentu pemerintah pusat masih memegang kendali dan memiliki kewenangan mutlak. Disisi lain, hasil-hasil pembangunan sudah berubah dengan adanya otonomi daerah, latar belakang dan keadaan suatu daerah dapat mengakibatkan adanya perbedaan tingkat hidup antara satu provinsi dengan provinsi yang lain, bahkan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi. Tingkat hidup suatu daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota Sangat dipengaruhi oleh berbagai potensi yang dimiliki, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lain. Perbedaan potensi yang dimiliki, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lainnya. Perbedaan potensi yang dimiliki masing-masing daerah ini mendorong perlunya

(25)

dibentuk suatu indeks ketimpangan antar wilayah yang dapat digunakan sebagai ukuran baku dalam membandingkan tingkat hidup antar kabupaten/kota di Provinsi Papua. Sehingga pada akhirnya dapat diketahui dampak otonomi daerah terhadap kemajuan suatu daerah dan kesenjangan yang timbul antar daerah dalam aspek sosial ekonomi. Selanjutnya dianalisa seberapa besar ketimpangan antar wilayah dan faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan antar wilayah.

2.1.3. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)

Dalam pengertian ekonomi regional dikenal adanya pengertian sektor basis dan sektor non basis. Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya, 1996).

Inti dari teori basis ekonomi menurut Arsyad, dalam Sadau (2002) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Pendekatan basis ekonomi sebenarnya

(26)

dilandasi pada pendapat bahwa yang perlu dikembangkan di sebuah wilayah adalah kemampuan berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut secara efisien dan efektif.

Secara umum, analisis ini digunakan untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor andalannya. Pentingnya ditetapkan komoditas unggulan di suatu wilayah (nasional, provinsi dan kabupaten) dengan metode LQ, didasarkan pada pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas. Selain itu hanya komoditas-komoditas yang diusahakan secara efisien yang mampu bersaing secara berkelanjutan, sehingga penetapan komoditas unggulan menjadi keharusan agar sumberdaya pembangunan di suatu wilayah lebih effisien dan terfokus (Handewi, 2003). Lebih lanjut model ini menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah atas dua sektor, yaitu:

1. Sektor basis, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani baik pasar

domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Sektor basis mampu menghasilkan produk/jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah. Itu berarti daerah secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk mengekspor barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain. Artinya sektor ini dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah sendiri maupun daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan.

(27)

2. Sektor non basis, yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu melayani pasar daerah itu sendiri sehingga permintaannya sangat dipengaruhi kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non unggulan.

Menurut Tarigan (2007), metode untuk memilah kegiatan basis dan kegiatan non basis adalah sebagai berikut :

a. Metode Langsung

Metode langsung dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha kemana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut. Kelemahan metode ini yaitu : pertanyaan yang berhubungan dengan pendapatan data akuratnya sulit diperoleh, dalam kegiatan usaha sering tercampur kegiatan basis dan non basis.

b. Metode Tidak Langsung

Metode ini dipakai karena rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari sudut waktu dan biaya. Metode ini menggunakan asumsi, kegiatan tertentu diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lain yang bukan dikategorikan basis adalah otomatis menjadi kegiatan basis.

c. Metode Campuran

Metode ini dipakai pada suatu wilayah yang sudah berkembang, cukup banyak usaha yang tercampur antara kegiatan basis dan kegiatan non basis. Apabila dipakai metode asumsi murni maka akan memberikan kesalahan yang besar, jika dipakai metode langsung yang murni maka akan

(28)

cukup berat. Oleh karena itu orang melakukan gabungan antara metode langsung dan metode tidak langsung yang disebut metode campuran. Pelaksanaan metode campuran dengan melakukan survei pendahuluan yaitu pengumpulan data sekunder, kemudian dianalisis mana kegiatan basis dan non basis. Asumsinya apabila 70 persen atau lebih produknya diperkirakan dijual ke luar wilayah maka maka kegiatan itu langsung dianggap basis. Sebaliknya apabila 70 persen atau lebih produknya dipasarkan ditingkat lokal maka langsung dianggap non basis. Apabila porsi basis dan non basis tidak begitu kontras maka porsi itu harus ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut harus dilakukan survei lagi dan harus ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan data sekunder dan sektor mana yang membutuhkan sampling pengumpulan data langsung dari pelaku usaha.

d. Metode Location Quotient

Metode LQ membandingkan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor tertentu untuk lingkup wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor yang sama untuk lingkup wilayah yang lebih besar.

E Li e li LQ / /  Dimana:

li = banyaknya lapangan kerja/nilai tambah sektor i di wilayah analisis e = banyaknya lapangan kerja/nilai tambah di wilayah analisis

Li = banyaknya lapangan kerja/nilai tambah sektor i secara nasional E = banyaknya lapangan kerja/nilai tambah secara nasional

(29)

Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.

Dari rumus diatas, apabila LQ > 1 berarti porsi lapangan kerja atau nilai tambah sektor i di wilayah analisis terhadap total lapangan kerja atau nilai tambah wilayah adalah lebih besar dibandingkan dengan porsi lapangan kerja atau nilai tambah untuk sektor yang sama secara nasional. LQ > 1 memberikan indikasi bahwa sektor tersebut adalah basis sedangkan apabila LQ < 1 berarti sektor tersebut adalah non basis.

Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Menurut Hendayana (2000), kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spread sheet dari Excel bahkan jika datanya tidak terlalu banyak kalkulator pun bisa digunakan. Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini maka validitas data sangat diperlukan. Disamping itu untuk menghindari

(30)

bias diperlukan nilai rata-rata dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun.

Sementara itu di lapangan, mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami hambatan. Keterbatasan lainnya dalam deliniasi wilayah kajian. Untuk menetapkan batasan wilayah yang dikaji dan ruang lingkup aktivitas, acuannya sering tidak jelas. Akibatnya hasil hitungan LQ terkadang aneh, tidak sama dengan apa yang kita duga. Misalnya suatu wilayah provinsi yang diduga memiliki keunggulan di sektor non pangan, yang muncul malah pangan dan sebaliknya.

Oleh karena itu data yang dijadikan sumber bahasan sebelum digunakan perlu diklarifikasi terlebih dahulu dengan beberapa sumber data lainnya, sehingga mendapatkan gambaran tingkat konsistensi data yang mantap dan akurat .

Inti dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak (Budiharsono, 2001).

Teori basis ini selanjutnya menyatakan bahwa karena sektor basis menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijual keluar daerah yang meningkatkan pendapatan daerah tersebut, maka secara berantai akan meningkatkan investasi yang berarti menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap industriy basic, tetapi juga

(31)

menaikkan permintaan akan industry non basic. Dengan dasar teori ini maka identifikasi sektor unggulan/sektor basis sangat penting terutama dalam rangka menentukan prioritas dan perencanaan pembangunan ekonomi didaerah. Oleh karena itu perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah.

Manfaat mengetahui sektor unggulan yaitu mampu memberikan indikasi bagi perekonomian secara nasional dan regional. Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi (technological progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Bank Indonesia, 2005).

2.1.4. Konsep Ketimpangan Antar Wilayah

Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Adanya perbedaan ini menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region).

(32)

Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Selain itu ketimpangan antar wilayah juga membawa implikasi pada perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

a. Hipotesa Neo Klasik

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik.

Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik. Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan

(33)

menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasi secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya.

b. Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah

Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal (2008) yaitu :

1) Perbedaan kandungan sumber daya alam

Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumbe daya alam dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah menjadi lebih tinggi.

(34)

2) Perbedaan kondisi demografis

Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat

pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

3) Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa

Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang

(35)

selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

5) Alokasi dana pembangunan antar wilayah

Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.

c. Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Salah satu model yang cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah indeks williamson yang dikemukakan oleh Williamson (1965). Williamson mengemukakan model Vw (indeks tertimbang atau weighted index terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau un-weighted index) untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu.

(36)

y

n

f

y

y

V

n i i i w

   1 2 ) ( ) (

Dimana : yi = PDRB Perkapita daerah i

y = PDRB Perkapita rata-rata seluruh daerah

fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah

2.1.5. Penelitian Terdahulu

Rangkaian berbagai penelitian tentang kesenjangan ditandai oleh tonggak-tonggak temuan. Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1966) menekankan pada kesenjangan antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan kesenjangan pendapatan rata-rata antarwilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping meneliti pola dan faktor penentu kesenjangan, peneliti juga mengamati proses terjadinya kesenjangan.

Myrdal, dalam Direktorat Kewilayahan I (2007) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang

(37)

menjelaskan penyebaran faktor produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar. Dalam penelitian lain, kesenjangan juga dikaitkan dengan faktor alam, yaitu tingkat kekayaan sumber daya alam suatu wilayah. Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa urbanisasi, sebagai akibat dari kesenjangan perdesaan dan perkotaan, merupakan proses menuju suatu bentuk tertentu dari keseimbangan. Guna memberikan gambaran perkembagan terakhir tentang penelitian kesenjangan, berikut ini disampaikan tinjauan singkat dari beberapa hasil penelitian.

Barrios dan Strobl, dalam Direktorat Kewilayahan I (2007) menuliskan laporan penelitian mengenai hubungan antara kesenjangan antarwilayah dengan pembangunan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data Produk Domestik Bruto di negara-negara Uni Eropa yang diolah dengan metoda ekonometrik untuk menjelaskan pola hubungan antara PDB dengan kesenjangan antarwilayah yang berbentuk kurva huruf u terbalik. Hasil penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa untuk negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memilki pola kesenjangan wilayah yang berbentuk kurva huruf u terbalik. Temuan ini sejalan dengan temuan Kuznets. Temuan lain dari penelitian ini membuktikan bahwa variabel yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan ekonomi negara Uni Eropa antara lain struktur anggaran negara dan desentralisasi fiskal dan mekanisme redistribusi jaminan sosial memberi dampak terhadap kesenjangan antar wilayah.

(38)

Penelitian lain yang relevan dengan desentralisasi dilakukan oleh Lessmann, dalam Direktorat Kewilayahan I (2007). Ia meneliti mengenai hubungan desentralisasi fiskal dengan kesenjangan wilayah. Penelitian ini mengunakan beberapa data statistik ekonomi 17 negara OECD yang diolah melalui analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan. Namun, hasil temuan ini hanya berlaku bagi negara-negara maju saja. Bagi negara berkembang dan miskin, desentralisasi mungkin akan menyebabkan semakin tajamnya kesenjangan antarwilayah. Hal ini disebabkan masih tingginya tingkat korupsi dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya dan pelayanan publik.

Azulaidin (2003) mengidentifikasi pengaruh investasi, jumlah penduduk, ekspor netto dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dan mengidentifikasi sektor yang menjadi basis ekonomi di wilayah pembangunan serta menggambarkan ketimpangan pembangunan antar wilayah pembangunan di Provinsi Sumatera Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku menurut Kabupaten dan Kota, PDRB perkapita, data penduduk, penanaman modal (PMA dan PMDN ), pengeluaran pemerintah dan data ekspor netto Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari Kantor Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD)

(39)

dan BAPPEDA Sumatera Utara. Sebagai alat analisis pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda. Location Quotient (LQ ) dan Indeks Williamson. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa di Wilayah Pembangunan III dan IV lebih maju bila dibandingkan dengan Wilayah Pembangunan I dan II. Secara positif dan sinifikan jumlah penduduk, penanaman modal, pengeluaran pemerintah dan ekspor netto memeberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian menjadi basis ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Tingkat ketimpangan terbesar terdapat didaerah Asahan, Medan. Labuhan Batu dan yang memiliki ketimpangan rendah adalah Langkat, Tebing Tinggi dan Tapanuli Selatan.

Rahman (2003) menganalisis peranan basis sektor pertanian dalam pembangunan wilayah di era otonomi Kesimpulannya bahwa masing-masing kecamatan di Kabupaten Kuningan memiliki beberapa komoditi basis pertanian yang jumlahnya berbeda-beda, secara keseluruhan surplus pendapatan komoditi basis yang dihasilkan relatif besar sehingga dapat digunakan untuk membeli komoditi non basis yang kurang untuk pendapatan masyarakat setempat. Hasil analisis LQ dan spesialisasi menunjukkan bahwa hampir semua komoditi pertanian menyebar dan tidak terdapat spesialisasi kegiatan pertanian atau cenderung menghaslkan komoditi yang beragam.

Daniati (2004) meneliti tentang evaluasi pembentukan Kabupaten Mentawai salah satunya memakai Location Quotients untuk menentukan sektor unggulan. Ditemukan bahwa sektor/subsektor unggulan di Kabupaten

(40)

Mentawai adalah sektor pertanian utamanya sub sektor perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan.

Nugroho (2004) meneliti ketimpangan pembangunan di wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat, digunakan indeks Williamson. Ketimpangan pembangunan antar kecamatan yang tertinggi terdapat di Kabupaten Ciamis yaitu 1,54. Sementara ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Garut, Subang dan Karawang relatif sama yaitu 1,00. Ditemukan bahwa ketimpangan pembangunan sebagian besar berasal dari kecamatan-kecamatan non pesisir.

Kristiyanti (2007) menganalisis sektor basis perekonomian dan peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur. Berdasar perhitungan LQ ada 5 sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Tahun 2004-2005 ada 3 sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah. Ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpanagn sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur untuk menciptakan pemerataan pendapatan belum optimal. Sektor basis yang memiliki pearanan besar dalam mengurangi tingkat ketimpangan

(41)

pendapatan terbesar di Propinsi Jawa Timur adalah sektor pertanian rata-rata 19 persen. Sektor basis lainnya seperti listrik, gas dan air bersih, serta sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata dibawah 3 persen. Namun sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama periode pengamatan sebesar 45 persen. Jadi tidak semua sektor basis dapat berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.

2.2. Kerangka Operasional

Kondisi perekonomian suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Sumber daya manusia yang handal dan didukung oleh potensi sumber daya alam yang besar akan mampu mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik yang ditunjukkan dengan adanya pemerataan pembangunan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

Perekonomian Provinsi Papua yang didukung dengan sumber daya alam besar ternyata belum diimbangi dengan penyediaan sumber daya yang handal. Akibatnya potensi-potensi ekonomi belum termanfaatkan secara optimal. Perekonomian masih didominasi oleh sektor pertambangan, sehingga potensi-potensi ekonomi yang lain belum terlihat peran pentingnya.

Adanya otonomi daerah, dimana kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sangat luas. Sedangkan Sektor-sektor

(42)

ekonomi yang ada belum mampu dioptimalkan. Dimana struktur perekonomian Provinsi Papua sebagian besar kontribusinya berasal dari sektor pertambangan. Sedangkan secara nyata sumbangan sektor pertambangan pada perekonomian masih sangat kecil, karena keberadaannya tidak banyak memberikan nilai tambah bagi sektor-sektor yang lain.

Adanya dominasi sektor pertambangan menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah dan ketimpangan secara sektoral. Dimana untuk mengetahui besarnya ketimpangan wilayah yang ada dilakukan analisis dengan

perhitungan indeks williamson. Analisis dilakukan tersendiri dengan

menggunakan sektor pertambangan dan tanpa memperhitungkan sektor pertambangan.

Ketimpangan sektoral yang ada tampak pada sangat besarnya dominasi sektor pertambangan pada PDRB Provinsi Papua. Adanya hal ini mengaburkan peranan sektor yang lain. Untuk dapat mengetahui potensi peran sektor-sektor ekonomi maka dilakukan analisis dengan menggunakan Location Quotient. Jadi analisis dilakukan dengan memisahkan adanya peranan sektor tambang dan tidak memperhitungkan sektor tambang sehingga akan didapatkan sektor-sektor unggulan yang lain selain sektor pertambangan.

(43)

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Kondisi Perekonomian

Provinsi Papua

Kebijakan Otonomi Daerah Dominasi Pertambangan Ketimpangan Wilayah Ketimpangan Sektoral Analisis Ketimpangan Antar Wilayah Indeks Williamson Location Quotient Analisis Sektor Basis Indeks Ketimpangan Wilayah Sektor Basis / Unggulan

(44)

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS dan BPS Provinsi Papua. Data yang digunakan berupa data PDB Indonesia tahun 2001 – 2007, data PDRB Provinsi Papua tahun 2001 – 2007, dan data PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Papua tahun 2001 – 2007.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian di suatu wilayah dalam suatu tahun tertentu. Pada dasarnya PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha di suatu wilayah tertentu atau merupakan nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.

Dalam perhitungan PDRB digunakan dua macam harga, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan.

a. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku setiap tahun dan dapat digunakan untuk melihat struktur ekonomi.

b. PDRB atas dasar harga konstan dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar dan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun.

(45)

Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan tahun dasar 2000. Penggunaan tahun dasar 2000 ditetapkan secara nasional untuk dijadikan sebagai dasar perhitungan PDRB yang disebabkan antara lain adanya kondisi perekonomian nasional yang relatif stabil tahun 2000, dan diselesaikannya Tabel Input Output (I-O) Indonesia pada tahun 2000 oleh BPS serta rekomendasi dari PBB.

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis sektor basis dan analisis ketimpangan antar wilayah. Dimana semua metode analisis diatas membedakan antara analisis PDRB tanpa mengeliminasi sub sektor pertambangan dan analisis PDRB dengan mengeliminasi sub sektor pertambangan.

3.2.1. Analisis Sektor Basis

Richardson, dalam Ghalib (2005) menyatakan bahwa teori ekonomi basis dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan potensi suatu wilayah dengan wilayah lain dan mengetahui hubungan antar sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh besarnya nilai ekspor dari wilayah tersebut.

Konsep ekonomi basis berguna untuk menganalisa dan memprediksi perubahan dalam perekonomian regional. Selain itu konsep ekonomi basis juga

(46)

dapat digunakan untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi dan kegiatan basis yang dapat melayani pasar ekspor.

Analisis basis menggunakan rumus yang sangat sederhana padahal analisis ini cukup ampuh untuk mengkaji dan memproyeksi pertumbuhan ekonomi wilayah. Permasalahan yang berat dalam menggunakan analisis ini adalah ketepatan dalam pemilahan antara kegiatan basis dan non basis dan berapa sebenarnya porsi masing-masing dalam perekonomian wilayah (Tarigan, 2007).

Ada beberapa metode pemilahan sektor basis dan non basis. Berhubung rumitnya melakukan survei langsung maka penulis memilih Metode Location Quotient. Location Quotient merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor andalannya.

Location Quotient adalah suatu metode untuk menghitung perbandingan relatif sumbangan nilai tambah sebuah sektor di suatu daerah terhadap sumbangan nilai tambah sektor yang bersangkutan dalam skala provinsi atau nasional. Location Quotients merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk menentukan kapasitas ekspor perekonomian daerah dan derajat self-sufficiency suatu sektor.

Dalam teknik ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

(47)

1) Kegiatan ekonomi atau industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan. Industri seperti ini dinamakan industri basis.

2) Kegiatan ekonomi atau industri yang mengalami pasar di daerah tersebut

saja, jenis ini dinamakan industri non basis atau industri lokal.

Dasar pemikiran teknik ini adalah teori basis ekonomi yang intinya adalah karena industri basis menghasilkan barang-barang dan jasa untuk pasar di daerah maupun di luar daerah yang bersangkutan, maka penjualan ke luar daerah akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus pendapatan dari luar daerah ini menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi di daerah tersebut, dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya menaikkan permintaan terhadap industri basis, tetapi juga menaikkan permintaan akan industri non basis atau lokal. Kenaikan permintaan ini akan mendorong kenaikan investasi pada industri yang bersangkutan sehingga investasi modal dalam sektor industri lokal merupakan investasi yang didorong sebagai akibat dari industri basis. Oleh karena itu, industri basic-lah yang patut dikembangkan di suatu daerah.

Untuk keperluan ini dipakai LQ, yaitu usaha mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi dalam suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian daerah itu dengan peranan kegiatan atau industri sejenis dalam perekonomian nasional. Metode LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian suatu wilayah yang mengarah pada identifikasi

(48)

spesialisasi kegiatan perekonomian, atau dengan kata lain untuk mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran penetapan sektor unggulan sebagai leading sector perekonomian suatu wilayah (Adisasmita, 2006).

Rumusan Location Quotient (LQ) menurut Val, dalam Sadau (2002) yang kemudian digunakan dalam penentuan sektor basis dan non basis di Provinsi Papua, yang dinyatakan dalam persamaan berikut:

RVn Xn RVr Xr LQ / /  atau RVn RVr Xn Xr LQ / /  Dimana:

LQ = Koefisien Location Quotient (LQ) Provinsi Papua

Xr = PDRB sektor i di Provinsi Papua

RVr = Total PDRB Provinsi Papua

Xn = PDB sektor i Indonesia

RVn = Total PDB Indonesia.

Untuk dapat menentukan suatu sektor sebagai sektor basis atau non basis maka pengukuran dengan metode LQ diberikan kriteria sebagai berikut :

1. LQ > 1

Jika LQ lebih besar dari 1 berarti sektor basis, artinya komoditas i di Provinsi Papua memiliki keunggulan komparatif dibanding sektor yang sama pada tingkat nasional.

2. LQ < 1

Jika LQ lebih kecil dari 1 berarti sektor non basis, artinya komoditas i di Provinsi Papua tidak memiliki keunggulan komparatif dibanding sektor yang

(49)

sama pada tingkat nasional, produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri.

3. LQ = 1

Jika LQ sama dengan 1 berarti sektor non basis, artinya komoditas i di Provinsi Papua tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar.

Menurut Hendayana (2003), setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan demikian halnya dengan metode LQ. Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spreadsheet dari Excel.

Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini maka validitas data sangat diperlukan. Disamping itu untuk menghindari bias musiman dan tahunan diperlukan nilai rata -rata dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun. Sementara itu di lapangan, mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami hambatan. Keterbatasan lainnya dalam deliniasi wilayah kajian. Untuk menetapkan batasan wilayah yang dikaji dan ruang lingkup aktivitas, acuannya sering tidak jelas. Akibatnya hasil hitungan LQ terkadang aneh, tidak sama dengan apa yang kita duga.

(50)

Misalnya suatu wilayah provinsi yang diduga memiliki keunggulan di sektor non pangan, yang muncul malah pangan dan sebaliknya. Oleh karena itu data yang dijadikan sumber bahasan sebelum digunakan perlu diklarifikasi terlebih dahulu dengan beberapa sumber data lainnya, sehingga mendapatkan gambaran tingkat konsistensi data yang mantap dan akurat.

3.2.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah

Perhitungan ketimpangan dilakukan dengan pendekatan wilayah. Dalam pendekatan wilayah sumber data yang digunakan adalah PDRB perkapita yaitu untuk menggambarkan seberapa besar proses kegiatan ekonomi di suatu daerah yang dihitung ditinjau dari nilai tambahnya. Ukuran yang sering digunakan oleh para peneliti, pengamat dan perencana pembangunan, untuk memperoleh gambaran tentang kondisi suatu wilayah dibanding wilayah lainnya adalah dengan menggunakan Indeks Wiliamson.

Indeks Williamson dapat menggambarkan tendensi pemerataan

pembangunan antar wilayah yang berada dalam suatu kawasan regional (propinsi atau kabupaten/kota). Perhitungan Indeks Williamson ini merupakan koefisien variasi yang diberi penimbang proporsi jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota terhadap jumlah penduduk Provinsi Papua.

Menurut Sjafrizal (2008) formula yang digunakan untuk menghitung

(51)

y

n

f

y

y

V

n i i i w

   1 2 ) ( ) (

Dimana : yi = PDRB Perkapita daerah i

y = PDRB Perkapita rata-rata seluruh daerah fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah i = 1,2,3…n

Untuk mengetahui besarnya ketimpangan yang terjadi maka diperlukan kriteria tingkat ketimpangan antar wilayah :

Tabel 3.1. Kriteria Ketimpangan Antar Wilayah

Indeks Ketimpangan

 1 Sangat Tinggi

0,7 – 1 Tinggi

0,4 – 0,69 Menengah

 0,39 Rendah

Sumber : Nugroho (2004), dimodifikasi

Kriteria Penilaiannya adalah sebagai berikut:

1. Jika nilai Vw menjauhi 0 (nol), menunjukkan bahwa tingkat disparitas regional atau tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Papua semakin besar (kemerataan antar kabupaten/kota semakin memburuk).

(52)

2. Jika nilai Vw mendekati 0 (nol), menunjukkan bahwa tingkat disparitas regional atau tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Papua semakin kecil (kemerataan antar kabupaten/kota semakin membaik).

(53)

4.1. Kondisi Umum Wilayah

Provinsi Papua yang secara geografis terletak antara 2°25´ LU – 9° Lintang Selatan dan 130° - 141° Bujur Timur. Batas wilayah Provinsi Papua adalah Laut Arafura di bagian selatan, Negara Papua New Guinea di sebelah Timur, Samudera Pasifik di sebelah Utara, Provinsi Papua Barat di sebelah Barat.

Semenjak adanya otonomi daerah, Provinsi Papua banyak mengalami pemekaran wilayah administrasi. Berdasarkan data statistik tahun 2006, jumlah wilayah administrasi di Provinsi Papua ada 19 kabupaten, 1 kota, 283 distrik dan 3.398 desa/kampung. Dimana diantara wilayah administrasi tersebut 10 kabupaten relatif masih tergolong sebagai kabupaten baru. Wilayah administrasi tersebut yaitu Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2002, serta Kabupaten Supiori yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2003.

Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.062 Km2. Dimana 37,55 persen

luas wilayah Provinsi Papua merupakan wilayah administrasi Kabupaten Merauke dan pemekarannya, yaitu 13,87 persen merupakan wilayah Kabupaten Merauke,

(54)

8,98 persen merupakan wilayah Kabupaten Boven Digoel, 8,72 persen merupakan wilayah Kabupaten Mappi dan 5,98 persen merupakan wilayah Kabupaten Asmat.

Tabel 4.1. Wilayah Administrasi Provinsi Papua Tahun 2006

Kabupaten/Kota Ibukota Jumlah Distrik Jumlah Desa/ Kampung Luas (Km2) % Thd Luas Papua 1. Merauke 2. Jayawijaya 3. Jayapura 4. Paniai 5. Puncak Jaya 6. Nabire 7. Mimika 8. Kepulauan Yapen 9. Biak Numfor 10. Boven Digoel 11. Mappi 12. Asmat 13. Yahukimo 14. Pegunungan Bintang 15. Tolikara 16. Sarmi 17. Keerom 18. Waropen 19. Supiori 20. Kota Jayapura Merauke Wamena Sentani Enarotali Mulia Nabire Timika Serui Biak Tanah Merah Kepi Agats Ninia Oksibil Karubaga Sarmi Arso Waren Sorendiweri Jayapura 11 39 16 11 16 17 12 7 10 15 6 7 51 10 30 8 5 3 4 5 168 378 132 280 147 156 85 112 187 88 137 139 510 90 505 98 48 62 38 38 43.979 12.680 15.309 14.215 10.852 16.312 20.040 3.131 2.360 28.471 27.632 18.976 15.771 16.908 8.816 25.902 9.365 24.628 775 940 13,87 4,00 4,83 4,48 3,42 5,14 6,32 0,99 0,74 8,98 8,72 5,98 4,97 5,33 2,78 8,17 2,95 7,77 0,24 0,30 Papua Jayapura 283 3 398 317.062 100,00

Sumber : Provinsi Papua dalam Angka, 2007

4.2. Kependudukan

Jumlah penduduk Provinsi Papua menurut data statistik tahun 2006 sebanyak 2.000.738 jiwa. Wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kabupaten Jayawijaya sebanyak 11,23 persen dari total penduduk Provinsi Papua, kemudian Kota Jayapura yaitu 10,68 persen, Kabupaten Paniai 8,61 persen dan Kabupaten Merauke 8,31 persen.

Gambar

Tabel 1.1. Struktur Perekonomian Provinsi Papua 2001 - 2007   Berdasarkan Kontribusi Sektor terhadap Total PDRB  (persentase)
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pada masa pelaksanaan otonomi daerah  di Provinsi Papua, laju pertumbuhan ekonominya sangat fluktuatif dibanding laju  pertumbuhan  ekonomi  Indonesia
Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan PDRB Papua Dirinci menurut Lapangan  Usaha Tahun 2001 - 2007 (Persentase)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Kondisi Perekonomian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dibuatnya website Informasi SMK STRADA akan sangat membantu dalam hal: memperkenalkan sekolah SMK STRADA kepada masyarakat, mempermudah bagi para calon siswa dan orang tua

001/Pokja-Konst/ULP-BANGKEP/2013 dibatalkan sambil menunggu informasi selanjutnya.. Demikian Pemberitahuan ini untuk

Kendala yang dihadapi adalah pengelolaan maupun pengarsipan data penjualan dan pemesanan barang yang masih menggunakan cara manual dan menggunakan aplikasi

PENGURUSAN TERTINGGI JABATAN KESIHATAN NEGERI PAHANG Hospita l.

- Daftar Informasi Publik Sekretariat PPID Sekretariat PPID Februari 2020, Rektorat Unpad Softcopy dan hardcopy Sesuai dengan retensi arsip yang berlaku - Daftar Informasi

Tabel Perbandingan antara total asset di neraca ( accounting asset ) dengan perhitungan eksposur Leverage Ratio ( leverage ratio exposure measure ) sebagaimana Tabel

Pada tahap identifikasi permasalahan bertujuan untuk mengetahui dan memahami kondisi terbaru mengenai tata kelola startup yang sudah berjalan di Kabupaten

Motorik adalah gerakan yang mennggunakan otot-otot halus atau sebagain anggota tubuh tertentu yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.Misalnya