C. Hasil Tambahan
5. Gambaran Self-Compassion Subjek Berdasarkan Suku
Gambaran self-compassion pada anak jalanan di kota Medan berdasarkan suku dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.19. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Suku Suku N Persentase Self-compassion Mean
Score
Rendah Sedang Tinggi
Batak 86 86% 2 21 63 77.6
Jawa 10 10% 0 1 9 81.6
Ambon 1 1% 0 0 1 93.0
Padang 1 1% 0 0 1 78.0
Melayu 2 2% 0 0 2 78.0
Berdasarkan tabel di atas, dijelaskan bahwa subjek pada suku Batak dari 86 orang (86%), sebanyak 2 orang (2%) memiliki self-compassion yang rendah, 21 orang (21%) dengan self-compassion yang rendah, dan
63 orang (63%) dengan self-compassion yang tinggi. Pada subjek dengan suku Jawa dari10 orang (10%), sebanyak 1 orang (1%) memiliki self-compassion yang sedang dan 9 orang memiliki self-compassion yang tinggi. Selanjutnya pada suku Ambon dan Padang terdapat masing-masing 1 orang subjek (1%) yang memiliki self-compassion yang tinggi, dan pada subjek dengan suku Melayu dari 2 orang (2%) subjek, keduanya memiliki self-compassion yang tinggi.
Berdasarkan tabel di atas, juga dapat dilihat bahwa subjek dengan suku Batak memiliki mean score sebesar 77.6, subjek dengan suku Jawa memiliki mean score sebesar 81.8. Selanjutnya subjek pada suku Padang dan Melayu masing-masing memiliki mean score sebesar 78.0, dan subjek dengan suku Ambon memiliki mean score sebesar 93.0. Meskipun nilai mean score yang dimiliki setiap suku berbeda-beda namun dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa self-compassion pada setiap suku berada pada kategori tinggi.
D. Pembahasan
Berdasarkanhasil penelitian terhadap 100 anak jalanan kota Medan, diketahui bahwasebanyak 77 orang (77%)anak jalanan kota Medan memiliki self-compassion yang tinggi. Dominannya nilai self-compassion yang tinggi pada anak jalanan kota Medan memiliki rata-rata nilai yang sama. Tingginya self-compassion yang dimiliki subjek dapat dijelaskan
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi self-compassion yaitu; lingkungan, usia, jenis kelamin, dan budaya (Neff, 2003).
Faktor lingkungan adalah seperti lingkungan keluarga, lingkungan dalam masyarakat, teman sebaya, maupun lingkungan pendidikan. Namun, lingkungan yang paling mempengaruhi self-compassion adalah lingkungan yang dekat dengan anak, yaitu lingkungan keluarga (Neff, 2003). Hubungan antara anak dan orang tua yang dapat mempengaruhi self-compassion seperti kepercayaan yang dibangun antara anak dan orang tua dalam hal kenyaman, perlindungan, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa anak jalanan pada kategori pertama yaitu children on the street berjumlah lebih banyak dari anak jalanan kategori kedua yaitu sebanyak 65 orang (65%), sedangkan anak jalanan pada kategori kedua yaitu children of the street sebanyak 35 orang (35%). Pada kategori children on the street, anak jalanan di kota Medan sebagian besar memiliki rumah. Mereka tetap tinggal bersama dengan orang tuanya, serta memiliki jadwal pulang yang masih teratur.Sedangkan pada kategori children of the street, mereka cenderung tinggal bersama kelompok. Waktu kepulangan yang tidak menentu bahkan ada yang tidak pernah pulang atau tidak mengetahui siapa orang tuanya. Anak-anak jalanan yang tidak pulang dan tidak memiliki rumah mereka tetap tidur bersama kelompok. Baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Sebagian dari anak jalanan ada yang tidur di
warnet, di pinggiran jalan, maupun menempati rumah-rumah kosong yang sudah tidak layak huni.
Jika dilihat dari nilai mean score, anak jalanan kategori children on the street memiliki mean score yang lebih tinggi dari anak jalanan kategori children of the street yang berarti self-compassion anak jalanan kategori children on the streetlebih tinggi dari self-compassionyang dimiliki anak jalanan kategori children of the street. Hal tersebut menjelaskan bahwa lingkungan keluarga dapat memengaruhi anak dalam menghadapi permasalahan kehidupan baik dalam bentuk kegagalan maupun kesulitan. Lingkungan keluarga juga dapat mempengaruhi motivasi anak untuk melihat permasalahan dalam hidup sebagai sesuatu yang positif serta dapat membantu anak mencari cara untuk meringankan permasalahan ataupun penderitaan yang sedang mereka alami.
Lingkungan lain yang dapat mempengaruhi self-compassion adalah lingkungan teman sebaya. Andari (2008) menyatakan bahwa lamanya durasi yang dimiliki anak dijalanan dapat membuat anak jalanan merasakan bahwa lingkungan jalanan sebagai keluarganya. Kualitas persahabatan yang dialami oleh anak dapat menentukan sikap anak dalam memandang masalah, kesulitan, ataupun kegagalan. Hal tersebut dapat diperkuat dengan pernyataan Erikson (dalam Papalia, 2004) bahwa pada usia remaja teman atau sahabat merupakan sebagai sumber utama dukungan sosial bagi anak. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan teman sebaya dapat mempengaruhi dan
mengeksplorasi sikap anak jalanan dalam menghadapi masalah, kegagalan, atau kesulitan dalam hidup.
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi tingkat self-compassion seseorang adalah usia. Neff (2011) menyatakan bahwa self-compassion terendah dalam periode kehidupan terjadi pada masa remaja. Pada usia tersebut seorang anak juga sedang menjalani masa pubertas dan sedang berada pada masa pencarian identitas diri (Erikson, dalam Papalia, 2008). Namun pada anak jalanan kota Medan, jika dilihat dari hasil penelitian sebagian besar dari mereka memiliki self-compassion yang tinggi. Hal tersebut bukan berarti mereka tidak memiliki kesulitan, tetapi lebih kepada mereka berusaha untuk pemenuhan kehidupannya sehari-hari untuk lebih baik lagi. Mereka juga dituntut untuk memiliki pemikiran yang lebih dewasa dari usia mereka, sehingga fase terendah tersebut sudah mereka lewati sebelumnya waktunya.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, maka tingkat self-compassion akan semakin tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari mean score yang dimiliki anak jalanan pada rentang usia perkembangan 12-15 lebih rendah dari mean score anak jalanan pada rentang usia 16-18 tahun. Mean skor yang dimiliki anak jalanan yang berusia 12-15 tahun adalah 77.26, sedangkan anak jalanan yang berusia 16-18 tahun memiliki mean score sebesar 79.18. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan Santrock (Adityosunu: 2013) yang mengatakan bahwa pada usia 15-19 tahun akan muncul keinginan yang lebih kuat
untuk berkarir, berhubungan, dan ekploitasi identitas diri, sehingga anak akan mencoba hal-hal baru dengan cara yang positif untuk tercapainya keinginan tersebut.
Faktor selanjutnya, yaitu faktor ketiga yaitu jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan mean score yang dimiliki anak jalanan laki-laki lebih tinggi yaitu sebesar 79.62 dari mean score yang dimiliki anak jalanan perempuan yaitu sebesar 75.95 yang menunjukkan bahwa self-compassion anak jalanan dengan jenis kelamin perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Hal inisesuai dengan pernyataan Neff (2011) bahwaperempuan memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada laki-laki. Penyebabnya adalah perempuan memiliki pemikiran yang lebih rumit dibandingkan laki-laki, sehingga perempuan lebih menderita depresi dan kecemasan dua kali lipat dibandingkan pria (Neff, 2011).
Faktor keempat yang dapat mempengaruhi self-compassion adalah faktor budaya. Sama seperti masyarakat Indonesia lainnya anak-anak jalanan kota Medan tetap menganut budaya collectivist. Medan yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia memiliki banyak budaya dengan suku-suku yang ada didalamnya. Hasil penelitian dari 100 anak jalanan kota Medan menunjukkan bahwa jumlah anak jalanan yang paling mendominasi berasal dari suku Batak, yaitu sebanyak 86 orang (86%). Namun jika dilihat berdasarkan mean score, semua suku baik suku Batak, Jawa, Ambon, Padang, dan Melayu memiliki self-compassion yang tinggi.
Hal tersebut dapat terjadi karena adanya proses asimilasi. Proses tersebut ditandai dengan adanya upaya-upaya untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara perorangan atau kelompok-kelompok manusia. Kota Medan yang menjadi mayoritas dari suku batak mencari cerminan bagi suku-suku lain, sehingga budaya yang ada pada suku minoritas melebur. Budaya pada suku Batak sendiri sangat menjunjung tinggi pendidikan. Irmawati (2004) menyatakan bahwa nilai-nilai filsafat hidup orang Batak dalam jalan menuju tercapainya kekayaan dan kehormatan adalah melalui pendidikan. Kebiasaan lain yang dimiliki suku Batak sebagai suku mayoritas adalah mereka merupakan masyarakat yang keras dan gigih dalam pendiriannya. Mereka selalu memprioritaskan kerja kerasnya dan komitmennya terhadap suatu pekerjaan dan dalam berorganisasi pun mereka sangat solid (Adityosunu: 2013).
Hestiana (2015) juga menyebutkan bahwa dengan adanya proses asimilasi dapat mengurangi kesalahpahaman sesama antar budaya. Dalam proses asimilasi juga dapat toleransi sesama budaya sehingga dapat meningkatkan komunikasi antar budaya. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa kesamaan self-compassionyang dimiliki budaya dari suku Jawa, Padang, Ambon, maupun Melayu sebagai suku minoritas telah melebur sejalan dengan lingkungan tempat tinggal dan terjadi perubahan kebiasaan-kebiasaan serta perilaku mengikuti budaya yang menjadi mayoritas. Sehingga saat menghadapi masalah, saat
mengalami kegagalan maupun kesulitan, setiap suku memiliki cara yang sama dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Sejalan dengan budaya yang di anut di Indonesia maupun kota Medan, anak jalanan juga bergantung pada kelompoknya masing-masing. Mereka menjunjung tinggi solidaritas. Mereka sudah menganggap bahwa kelompok seperti saudara bagi mereka. Mereka menjunjung tinggi solidaritas. Andari (2008) juga menjelaskan bahwa anak jalanan memiliki solidaritas sangat erat yang disebabkan karena seringnya berkumpul menyebabkan rasa kesetiakawanan yang erat. Solidaritas yang dimiliki anak jalanan adalah solidaritas yang berazas kebersamaan. Sebagai contoh, bila ada yang anak jalanan sakit mereka akan bergotong royong mencari bantuan dengan anak jalanan lainnya untuk membantu mengobati atau merujuk ke petugas kesehatan. Mereka juga selalu berbagi dalam makanan meskipun mereka berbeda-beda dalam mencari rezeki.
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, anak jalanan dikota Medan rata-rata memiliki pendidikan formal. Mereka bersekolah dipagi hari, dan melanjutkan aktivitas dijalanan mulai dari siang hingga malam. Dari 100 subjek anak jalanan yang paling banyak adalah anak jalanan yang sedang menempuh pendidikan SMP/Sederajat yaitu sebanyak 35 orang (35%). Namun jika dilihat berdasarkan mean score, nilai mean score tertinggi dimiliki oleh anak jalanan yang tidak bersekolah/pendidikan informal yaitu sebesar 83.03.Hasil tersebut menunjukkan bahwa meskipun
memiliki permasalahan, kesulitan, atau kegagalan hidup yang lebih besar, mereka akan selalu mencari usaha untuk menyelesaikan masalah yang mereka alami. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah, kegagalan, serta kesulitan dapat dikaitkan dengan adversity quotient. Stoltz (dalam Diana, 2008) mengatakan bahwa individu yang terbiasa berada dilingkungan yang sulit akan memiliki adversity quotient yang lebih besar karena pengalaman dan kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah, kesulitan, atau kegagalan hidup yang lebih besar akan meningkatkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki anak jalanan kota Medan dalam mengatasi masalah sehingga hal tersebut dapat meningkatkan self-compassion anak jalanan kota Medan, meskipun mereka tidak menjalanani pendidikan formal.
Pendidikan yang merupakan salah satu aspek yang dilihat oleh peneliti sebagai suatu harapan dan motivasi bagi anak jalanan kota Medan untuk kehidupan yang lebih baik juga dapat dilihat dari hasil penelitian. Dari 100 subjek, hanya 30 orang yang tidak bersekolah, namun mereka tetap menjalani pendidikan informal yang diberikan oleh relawan. Sebagian dari mereka juga bekerja keras untuk mendapatkan prestasi didunia pendidikan dengan harapan akan berhasil dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Keinginan untuk berprestasi untuk kehidupan yang lebih baik tersebut juga sesuai dengan pernyataan Mussen dkk (Adityosunu: 2013) yang
mengatakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi, yaitu harapan akan keberhasilan. Harapan anak jalanan yang tinggi adalah keberhasilan dimasa yang akan datang. Harapan yang tinggi dapat mendorong merekaserta membantu mereka untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan dengan cara pandang yang positif dan bersikap baik pada diri sendiri dalam menghadapinya.
Jika dilihat berdasarkan komponen-komponen self-compassion yang terdiri dari; self-kindness, common humanity, danmindfulness, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak jalanan kota Medan berada pada kategori tinggi disetiap komponen-komponen self-compassion. Komponenself-compassion yang memiliki mean score paling tinggi dimiliki oleh komponen mindfulness yaitu sebesar 28.25. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar anak jalanan kota Medan dalam melihat kesulitan, masalah, atau kegagalan sebagai suatu hal yang berguna dengan cara menganggap hal tersebut adalah suatu keseimbangan dalam kehidupan. Mereka memenuhi pikiran dan emosi dengan hal-hal yang positif dengan menganggap masalah, kesulitan, atau kegagalan yang mereka lalui merupakan sebuah pelajaran untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan hasil penelitian yang diperoleh. Pada bagian awal bab ini peneliti akan menguraikan kesimpulan dan pada bagian akhir akan disampaikan saran-saran yang diharapkan bermanfaat bagi penelitian yang akan datang.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis deskriptif self-compassion pada anak jalanan yang berada di kota Medan, didapatkan bahwa dari 100 subjek penelitian, sebanyak 77 orang (77%) memiliki self-compassion yang tinggi.
2. Berdasarkan 3 komponen self-compassion yaitu self-kindness; common humanity; dan mindfulness, komponen mindfulness memiliki nilai mean score paling tinggi yaitu sebesar 28.25.
3. Berdasarkan jenis kelamin,subjek yang berjenis kelamin laki-laki memiliki self-compassion yang lebih tinggi dari subjek yang berjenis kelamin perempuan.
4. Berdasarkan tingkat pendidikan,subjek yang tidak bersekolah atau menjalani pendidikan informal memiliki self-compassion yang lebih tinggi dari subjek yang berpendidikan formal dengan mean score sebesar 83.03.
5. Berdasarkan kategori kelompok anak jalanan, anak jalanan dengan kategori pertama yaitu children on the street memiliki self-compassion yang lebih tinggi dari anak jalanan dengan kategori kedua yaitu children of the street dengan mean scoresebesar 78.88.
6. Berdasarkan rentang usia, subjek yang berusia 16-18 memiliki self-compassion yang lebih tinggisubjek yang berusia 12-15 denganmean score sebesar 79.18.
7. Berdasarkan suku,suku yang paling mendominan adalah suku Batak. Namun subjek dari semua suku dimiliki self-compassion yang tinggi.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang telah disampaikan, maka peneliti mengajukan beberapa saran yang dibagi kedalam dua bagian, yaitu sebagai berikut: