• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

4 GAMBARAN UMUM

Perdagangan Komoditi CPO Indonesia

Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 14.43% pada tahun 2013 atau merupakan urutan kedua setelah sektor industri pengolahan. Sektor pertanian terbagi menjadi empat sub sektor, yaitu sub sektor tanaman pangan, holtikultura, perikanan dan peternakan, sub sektor perkebunan, sub sektor tanaman bahan penyegar dan rempah-rempah, serta sub sektor kehutanan. Salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya adalah sub sektor perkebunan. Meskipun kontribusi sub sektor perkebunan dalam PDB belum terlalu besar yaitu sekitar 1.93% pada tahun 2013 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan perikanan, namun sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja dan penghasil devisa. Neraca perdagangan pada sub sektor pertanian disajikanpada Gambar 9.

Sumber: BPS, 2013

Gambar 9 Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Periode 2008 – 2013 -10.000.000.000 0 10.000.000.000 20.000.000.000 30.000.000.000 40.000.000.000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 N ilai d al a m US $

Neraca Perdagangan Pada Sektor Pertanian

Tanaman Pangan, Holtikultura, Perikanan dan Peternakan Perkebunan

Tanaman Bahan Penyegar dan Rempah-rempah Kehutanan

Sub sektor perkebunan merupakan andalan nasional dalam neraca perdagangan sektor pertanian. Hal ini karena sub sektor perkebunan selalu mengalami surplus dan dapat menutupi defisit yang dialami oleh sub sektor lainnya. Surplus neraca perdagangan sektor pertanian terjadi karena lebih dari 90% berasal dari nilai ekspor komoditas sub sektor perkebunan dengan persentase impor yang lebih kecil, sebaliknya untuk sub sektor tanaman pangan, holtikultura, perikanan dan peternakan persentase nilai impor jauh lebih tinggi dibandingkan ekspornya sehingga mengalami defisit neraca perdagangan. Neraca perdagangan pada sub sektor perkebunan dapat dilihat pada Gambar 10.

Surplus neraca nilai perdagangan sub sektor perkebunan pada tahun 2008 mencapai US$ 14.5 milyar dan pada tahun 2009 naik menjadi US$ 20.6 milyar, tapi mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi US$ 15.6 milyar. Namun pada tahun-tahun berikutnya surplus neraca nilai perdagangan sub sektor perkebunan terus mengalami peningkatan hingga menjadi US$ 32.4 milyar di tahun 2012, kemudian turun lagi pada tahun 2013 menjadi US$ 27.9 milyar dengan rata-rata pertumbuhan per tahun meningkat sebesar 14.25%. Sementara neraca nilai perdagangan sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan selalu mengalami defisit, dan selama periode 2008 – 2013 besarnya defisit sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan cenderung meningkat. Pada tahun 2012-2013 defisit pada sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan adalah sebesar -40.07% (BPS 2013).

Sumber: BPS, 2013

Gambar 10 Neraca Perdagangan Sub Sektor Perkebunan Periode 2008 – 2013 Kinerja perdagangan suatu komoditas dapat dilihat dari besarnya ekspor, impor dan neraca perdagangan. Selama periode tahun 2008 –2013, nilai neraca perdagangan untuk komoditi CPO selalu mengalami surplus yang berarti nilai ekspor CPO lebih besar dibandingkan dengan nilai impornya. Selama periode tahun 2009-2013, pertumbuhan neraca perdagangan kelapa sawit dari sisi nilai mengalami peningkatan surplus sebesar 12.49% per tahun. Sektor perkebunan telah menjadi sumber penghasil devisa bagi Indonesia dengan CPO sebagai salah satu komoditas andalannya. Hal ini menjadikan CPO merupakan peringkat

0 5.000.000.000 10.000.000.000 15.000.000.000 20.000.000.000 25.000.000.000 30.000.000.000 35.000.000.000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 N ilai d al a m US $

Neraca Perdagangan Sub Sektor Perkebunan

pertama pada sektor perkebunan sebagai penghasil devisa. Disamping itu, komoditas CPO juga memberikan kontribusi lapangan kerja bagi keluarga petani, sektor industri, sektor jasa dan sektor-sektor lainnya dalam jumlah yang cukup besar. Neraca perdagangan komoditi CPO Indonesia dapat dilihat pada Gambar 11.

Crude palm oil (CPO) yang berasal dari kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. CPO juga salah satu komoditas ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara sesudah minyak dan gas. Indonesia saat ini merupakan negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Selain peluang ekspor yang semakin terbuka, pasar minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) di dalam negeri masih cukup besar. Pasar potensial yang menyerap pemasaran CPO dan PKO adalah industri fraksinasi/rafinasi (terutama industri minyak goreng), lemak khusus (cocoa butter substitute), margarine/shortening, oleochemical dan sabun mandi (BPS 2005).

Berdasarkan angka sementara Ditjen Perkebunan, pada tahun 2008 lahan perkebunan CPO Indonesia tercatat seluas 7.33 juta hektar, meningkat menjadi 10.13% juta hektar pada tahun 2012. Pada tahun 2013, luas areal perkebunan kelapa sawit masih terus meningkat sebesar 4.47% dari tahun 2012 menjadi 10.59 juta hektar dan di tahun 2014 diperkirakan meningkat sebesar 2.49% menjadi 10.85 juta hektar. Sementara itu, perkembangan produksi kelapa sawit meningkat sejalan dengan luas areal yaitu sekitar 3.38 sampai dengan 10.25% dari tahun 2008-2014, sebagian besar ditujukan untuk ekspor (BPS 2013).

Sumber: BPS, 2013

Gambar 11 Neraca Perdagangan Komoditi CPO Indonesia Periode 2008 – 2013 Produksi kelapa sawit Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Ekspor kelapa sawit Indonesia dikelompokkan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan kode HS (Harmonized System), yaitu:

 Kode HS 1511 10000 = Crude Palm Oil

 Kode HS 1511 90000 = Other Palm Oil

 Kode HS 1513 21000 = Crude Oil of Palm Kernel 0 5.000.000.000 10.000.000.000 15.000.000.000 20.000.000.000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 N ilai d al am US $

Neraca Perdagangan Komoditi CPO Indonesia

 Kode HS 1513 29000 = Other Palm Kernel Oil

Dari keempat jenis produk kelapa sawit tersebut yang paling besar volume ekspornya pada tahun 2013 adalah Other Palm Oil (HS 1511 90000) sebesar 62.97% dari total ekspor, diikuti oleh ekspor Crude Palm Oil (HS 1511 100000) sebesar 29.63%, kemudian Other Palm Kernel Oil (HS 1513 29000) sebesar 5.37%, serta Crude Oil of Palm Kernel (HS 1513 21000) sebesar 2.03%.

Menurut data BPS (2013), ekspor produk kelapa sawit dan turunannya akan terus mengalami kenaikan, baik volume maupun nilainya. Tujuan negara komoditas ini, antara lain India, Uni Eropa, China, Malaysia, Singapura, Pakistan dan negara tujuan ekspor lainnya. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan bahwa total volume ekspor minyak sawit akan tumbuh 11.11% menjadi 20 juta ton sepanjang 2013. Dari jumlah tersebut, seberat 12 juta ton atau 60% total ekspor merupakan produk olahan, seperti olefin dan biofuel. Adapun sisanya, sebanyak 8 juta tonatau 40% total ekspor adalah minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Apabila ditinjau negara tujuan ekspor CPO Indonesia pada tahun 2013, maka dominan ditujukan ke 10 (sepuluh) negara tujuan ekspor utama. India, Uni Eropa dan Cina merupakan 3 (tiga) negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia tahun 2013 yang mencapai 27.03%, 16.27% dan 11.32% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia dengan nilai ekspor sebesar US$ 4.2 milyar, US$ 2.5 milyar dan US$ 1.8 milyar. Berikutnya adalah ke Pakistan dengan total ekspor sebesar 5.14% (US$ 814.4 juta), 4.10% ke Singapura (US$ 650.1 juta), 3.56% ke Mesir (US$ 563.8 juta), 3.17% keBangladesh (US$ 501.7 juta), 2.80% ke Ukraina (US$ 443.2 juta), 2.35% ke Malaysia (US$ 372.7 juta), dan 1.94% ke Rusia (US$ 306.5 juta) (TRADEMAP 2014).

Volume ekspor minyak sawit olahan tahun 2013 telah meningkat tajam dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor CPO. Namun, ekspor CPO memiliki prospek yang sangat cerah karena adanya peningkatan konsumsi produk berbahan baku CPO yang sejalan dengan pertumbuhan produk diberbagai negara di dunia. Untuk perkembangan konsumsi CPO dunia dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren meningkat. India dan Cina dengan Indonesia merupakan negara yang paling banyak menyerap CPO dunia. Selain itu, negara Uni Eropa juga termasuk konsumen besar CPO. Permasalahan dari perdagangan CPO di dunia yaitu terjadinya fluktuasi harga yang cenderung dipengaruhi oleh isu-isu yang dibuat oleh negara penghasil produk subtitusi (pesaing CPO), yaitu negara-negara penghasil minyak dari kacang kedelai dan jagung yang umumnya merupakan negara-negara di Eropa dan Amerika (negara maju) (Kementerian Perdagangan 2013).

Kebijakan non tarif yang banyak diterapkan oleh negara pengimpor (khususnya negara maju) tidak hanya berupa kebijakan SPS, TBT dan trade remedy, tetapi berupa isu-isu negatif seperti produk yang tidak higienis, tidak baik bagi kesehatan karena dapat mengakibatkan penyakit tertentu, pengrusakan ekosistem hutan termasuk isu pemusnahan orang utan merupakan isu yang diangkat untuk menjatuhkan harga CPO dunia. Selain itu, isu pemanasan global dan meningkatnya kebutuhan energi dunia saat ini juga memicu penggunaan bahan bakar alternatif selain bahan bakar fosil yaitu dengan bahan bakar biodiesel, yang tidak terlepas dari minyak sawit atau CPO sebagai bahan baku utamanya.

Pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Dengan posisi sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar utama di dunia, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini dengan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan sampai dengan upaya menjaga agar tetap bertahan pada posisi sebagai country leader dan market leader.

Identifikasi Tingkat Daya Saing CPO

Kinerja perdagangan Indonesia dapat diindikasikan melalui keunggulan komparatif suatu komoditi. Analisis kinerja perdagangan atau kinerja ekspor Indonesia ini bertujuan untuk mengidentifikasi daya saing komoditi CPO Indonesia di negara tujuan ekspor utamanya. Keunggulan komparatif merupakan salah satu faktor penentu daya saing suatu komoditi di pasar tujuan ekspor. Analisis keunggulan komparatif ini digunakan karena nilai ekspor yang tinggi bukan merupakan suatu acuan utama apakah komoditi tersebut memiliki performa yang baik di pasar tujuan. Untuk memperkuat argumen tingkat kinerja ekspor komoditi CPO, penelitian ini menggunakan analisis pendekatan nilai RCA sebagai pengukur daya saing ekspor CPO Indonesia terhadap negara-negara tujuan ekspor utamanya.

Analisis daya saing komoditi CPO Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor utamanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan RCA. Metode ini digunakan atas dasar suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur yaitu kinerja ekspor komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya terhadap total ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya yang kemudian dibandingkan dengan pangsa pasar komoditi CPO dunia ke negara tujuan ekspor utamanya terhadap total ekspor dalam perdagangan dunia ke negara tujuan ekspor utama atau negara mitra dagang.

Pada Tabel 4 dapat diliat bahwa nilai RCA yang diperoleh menggambarkan kinerja komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya dengan kisaran nilai antara nol sampai tak hingga. Jika nilai RCA lebih dari satu maka dianggap memiliki kinerja ekspor yang baik dan sebaliknya. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu dapat dikatakan memiliki daya saing atau memiliki keunggulan komparatif. RCA dapat didefinisikan bahwa jika pangsa komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya di dalam total ekspor suatu negara lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor komoditi tersebut di dalam total ekspor komoditi dunia, diharapkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor komoditi tersebut.

Tabel 4 Hasil Nilai RCA Komoditi CPO Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utamanya No Negara Tujuan

Ekspor

Hasil Nilai RCA Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 2010 - 2013 1 India 34.17 34.09 27.04 23.98 21.98 26.77 2 Uni Eropa 120.55 114.47 85.00 91.86 103.92 98.81 3 Cina 33.75 35.25 24.17 33.57 31.55 31.13 4 Malaysia 18.45 19.63 14.11 13.51 13.00 15.06 5 Singapura 39.04 33.63 20.37 22.87 29.79 26.67 6 Banglades 20.67 20.88 19.63 20.55 19.43 20.12

7 Pakistan 5.33 2.67 5.87 10.63 13.67 8.21 8 Mesir 45.54 46.88 43.57 71.51 54.60 54.14 9 Ukraina 116.44 136.70 208.02 292.56 253.62 222.72 10 Rusia 27.84 113.64 141.37 146.16 150.95 138.03 11 Myanmar - 11.30 10.39 8.15 16.15 11.50 12 Afrika Selatan 51.09 57.92 28.28 28.72 48.56 40.87 13 Turki 32.07 26.59 30.00 81.98 70.64 52.31 14 Vietnam 17.95 14.64 11.10 10.97 9.67 11.60 15 Tanzania 44.29 33.31 35.43 35.98 42.19 36.73 16 Arab Saudi 51.22 7.08 11.16 35.31 55.42 27.24 17 Brazil 96.79 121.41 94.12 96.08 116.21 106.95 18 Jordania 57.37 40.15 11.75 39.46 32.01 30.85 19 Amerika Serikat 13.85 5.47 3.53 5.50 35.74 12.56 20 Sri Lanka 3.98 5.91 9.65 8.28 14.27 9.53 Sumber: TRADE MAP, diolah 2014

Hasil estimasi nilai RCA komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya yang seluruhnya menunjukkan nilai lebih dari satu. Artinya komoditi CPO Indonesia memiliki daya saing yang baik di pasar dunia. Daya saing yang baik ini merupakan nilai lebih Indonesia dalam memajukan perekonomiannya, karena komoditi CPO ini termasuk ke dalam kelompok komoditi utama Indonesia yang mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah dalam pengembangan ekspornya bagi Indonesia.

Meskipun nilai-nilai RCA yang tergolong besar dengan klasifikasi yang lebih dari 1 (satu) terpenuhi oleh hampir di seluruh negara tujuan ekspor utama di 4 tahun terakhir yaitu 2010-2013, namun terlihat hasilnya yang beragam. Masing- masing negara memiliki karakter tersendiri berdasarkan nilai RCA-nya. Sebagai contoh negara yang memiliki nilai rata-rata RCA tertinggi yang lebih dari dan hampir mendekati 100 yaitu Ukraina (222.72), Rusia (138.03), Brazil (106.95) dan Uni Eropa (98.81) menunjukkan bahwa komoditi CPO memiliki tingkat daya saing yang sangat besar dibandingkan dengan dunia. Sedangkan rata-rata RCA terendah tapi nilainya masih lebih dari 1 (satu) yaitu pada negara Srilanka (9.53) dan Pakistan (8.21). Keadaan ini sangat memungkinkan jika dilihat bahwa komoditi CPO merupakan salah satu komoditi unggulan ekspor Indonesia, dimana Indonesia mendominasi produksi komoditi ini dan sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar di dunia. Share ekspor CPO Indonesia ke dunia adalah sebesar 47.3% (TRADE MAP 2014).

Jika dilihat nilai RCA antara tahun 2010-2013 di beberapa tujuan ekspor utamanya seperti India, Malaysia, Banglades dan Vietnam mengalami penurunan. Namun, nilai RCA juga terlihat berfluktuatif antara tahun 2010-2013. Hal itu terjadi di negara Uni Eropa, Cina, Singapura, Mesir, Ukraina, Myanmar, Afrika Selatan, Turki, Brazil, Jordania, Amerika Serikat dan Srilanka. Terjadinya penurunan dan fluktuasinya nilai RCA tersebut diindikasikan adanya non-tariff measures yang diterapkan oleh negara pengimpor terhadap komoditi CPO Indonesia, tetapi tidak terlepas juga dari kondisi masing-masing perekonomian negara pengimpornya.

Sangat memungkinkan pula besarnya nilai RCA karena adanya kesepakatan khusus antara Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor utamanya tersebut mengenai pemenuhan kebutuhan terhadap komoditi ini di pasar

masing-masing negara tujuan ekspor utamanya. Misalnya saja Uni Eropa, karena adanya kesepakatan khusus antara Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa mengenai pemenuhan kebutuhan akan komoditi CPO ini di pasar Uni Eropa, sehingga meskipun dalam kondisi krisis sekalipun pada tahun 2008-2009, namun aliran perdagangan Indonesia dan Uni Eropa terhadap komoditi ini cenderung stabil dengan tren yang meningkat (Kementerian Perdagangan 2012).

Terdapat perjanjian dagang atau Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dengan negara mitra dagangnya, salah satunya adalah Indonesia dengan Pakistan. CPO Indonesia mendapat keringanan bea masuk impor hingga 0% dan Pakistan mendapatkan keringanan bea masuk impor terhadap Jeruk Kinnow Pakistan hingga 0%. Selain itu, saat ini Kementerian Perdagangan RI sedang menimbang melakukan preferential trade agreement (PTA) dengan Turki. Melalui Turki, pemasaran CPO dan produk turunannya bisa diperluas ke negara- negara di Asia Tengah serta negara-negara lain seperti Irak, Iran, dan Suriah. Hal tersebut sekaligus upaya meningkatkan daya saing dengan Malaysia yang sudah terlebih dahulu melakukan PTA dengan Turki5. Turki diperlukan untuk menjadi pintu gerbang pengembangan pasar ke Eropa dan Asia Barat untuk produk CPO, selain itu juga akan dibicarakan Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP) melalui tiga pilar yaitu Free Trade Arrangement, Capacity Building dan Trade and Investment Facilitation antara Indonesia dengan Turki.

Selain itu terdapat pula Comprehensive Partnership antara Indonesia dan Amerika Serikat, kerjasama bilateral antara Indonesia dan Malaysia dengan adanya nota kesepahaman (MoU) bidang pertanian, serta kerjasama bilateral antara beberapa negara mitra dagang lainnya seperti Uni Eropa yang merupakan salah satu kekuatan perdagangan utama di dunia dengan komitmen multilateral yang kuat. Pasar tunggal Uni Eropa, yang merupakan seperangkat peraturan dagang, cukai dan prosedur bersama yang berlaku di seluruh 28 negara anggota, menjadikan Uni Eropa sebagai suatu pasar yang sangat menarik bagi negara- negara lain. Sementara itu, Indonesia termasuk dalam pelaku ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu mitra penting bagi Uni Eropa baik dalam perdagangan maupun investasi. Jalan terjal CPO Indonesia untuk mendominasi pasar Eropa sedikit demi sedikit mulai terbuka bersamaan dengan respon positif dari Benua Biru terhadap diplomasi dagang RI untuk mengonvergensikan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil(ISPO) dengan Roundtable Sustainable Palm Oil(RSPO)6.

Komoditi CPO merupakan primary goods yang dibutuhkan bagi negara- negara mitra dagang dalam industri-industrinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Oktaviani (2008) yang menunjukkan komoditi yang tergolong primary goods memiliki daya saing tinggi dengan nilai RCA yang lebih dari satu. Tentu saja Indonesia sebagai salah satu penghasil hasil bumi terbesar dunia menjadi salah satu pemasok utama dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap komoditi CPO. Keadaan ini menjadikan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar dunia. Sehingga diharapkan pemerintah mampu menentukan kebijakan yang dapat

5Lutfi M. 2014. Ekspor CPO Diperluas Melalui Dua Negara Penghubung [Internet]. Metrotvnews, 9 Juni 2014; [diunduh

27 September 2014]. Tersedia pada:http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/06/07/250020/ekspor-cpo-diperluas- melalui-dua-negara-penghubung

6Herlinda WD. 2014. Peluang RI Rajai Pasar CPO Eropa Mulai Terbuka [Internet]. Bisnis Indonesia, 11 Juni 2014;

[diunduh 27 September 2014]. Tersedia pada: http://industri.bisnis.com/read/20140611/12/235175/peluang-ri-rajai-pasar- cpo-eropa-mulai-terbuka

menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara tujuan ekspor utamanya dan negara mitra dagang lainnya.

Non-Tariff Measures pada Komoditi CPO Indonesia

Kinerja ekspor Indonesia saat ini terancam oleh kebijakan hambatan non- tarif (non-tariff measures) yang diterapkan oleh sejumlah negara, terutama negara-negara maju. Hal tersebut mengakibatkan ekspor beberapa produk unggulan dari Indonesia ke beberapa negara pun terancam terganjal. Produk unggulan yang seringkali mendapatkan masalah ekspor tersebut diantaranya adalah produk kelapa sawit (CPO) dan produk perikanan. Kebijakan hambatan non-tariff tersebut menjadi penghambat perdagangan teknis7.

Peningkatan regulasi dalam makanan dan produk pertanian menyebabkan lebih banyak menggunakan non-tariff measures karena lebih banyak negara mengikuti standar makanan Codex Alimentarius. Dengan demikian, perdagangan pertanian lebih dipengaruhi oleh non-tariff measures relatif terhadap produk non- pertanian (WTO 2012). Salah satu alasannya adalah bahwa WTO memungkinkan negara-negara anggotanya untuk mengadopsi perlindungan yang tepat untuk manusia, tanaman dan hewan di bawah peraturan SPS dan TBT. Negara-negara anggotanya bahkan diperbolehkan untuk mengatur langkah-langkah yang lebih ketat jika terbukti secara ilmiah terdapat ancaman dan risiko tersebut (WTO 2012).

Namun, proteksionisme tampaknya meningkat oleh kenyataan bahwa tidak ada standar internasional terkait keamanan pangan, hewan dan tumbuhan untuk sebagian besar produk makanan dan pertanian yang diperdagangkan di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara mengembangkan standar sendiri yang berbeda dari satu wilayah/region ke wilayah/region lain dan satu negara dengan negara yang lainnya. Beberapa non-tariff measures yang paling sering digunakan dalam bentuk SPS dan TBT termasuk dalam perjanjian yang diizinkan penggunaannya. Bentuk penerapan hambatan perdagangan lainnya yang dipergunakan oleh negara-negara WTO dalam rangka melindungi industri dalam negerinya adalah instrumen trade remedy berupa antidumping, subsidy dan tindakan safeguard.

Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Menurut UNCTAD (2013) definisi dari sanitary and phytosanitary measures merupakan tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab penyakit.

Dalam prakteknya, SPS Measures dapat berbentuk: seluruh ketentuan, regulasi persyaratan dan prosedur terkait yang relevan, termasuk antara lain

7Siregar M. 2010. Hambatan Non-Tarif Ganjal Ekspor Indonesia [Internet]. Kontan, 9 Agustus 2010; [diunduh 14 Juni

adalah kriteria produk akhir (end-product); metode proses dan produksi; prosedur pengujian, inspeksi, sertifikasi dan persetujuan; penanganan karantina; pengawasan terhadap metode statistik, prosedur sampling dan metode penilaian resiko yang relevan; serta persyaratan pengemasan dan pelabelan yang secara langsung terkait dengan keamanan makanan.

Sesuai dengan SPS Agreement, dalam pelaksanaannya negara anggota WTO harus mengikuti sejumlah aturan ketika menerapkan dan melakukan tindakan SPS, yaitu prinsip ilmiah (scientific), prinsip ekuivalensi, harus sesuai dengan standar internasional, prinsip transparansi, prinsip kesesuaian (conformity), minimalisasi dampak terhadap perdagangan dan regionalisasi penyakit hewan dan tumbuhan. Jika penerapan dan pelaksanaan tindakan SPS tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan, maka tindakan tersebut dalam dianggap sebagai bentuk hambatan perdagangan.

Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan dengan tujuan non-trade. UNCTAD (2013) mendefinisikan technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS.

Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya.

Menurut Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement), setiap negara anggota World Trade Organization (WTO) diberi kewenangan untuk memformulasikan dan menerapkan regulasi teknis, menetapkan standar dan membangun sistem penilaian kesesuaian (conformity assessment system) dalam rangka melindungi kepentingan nasional atau kawasan, melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, melindungi lingkungan, menghindari tindakan penipuan, dan menjamin kualitas produk yang diimpor. Tindakan tersebut biasa disebut dengan TBT Measures.

Dokumen terkait