• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH NON-TARIFF MEASURES TERHADAP EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA

KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA

AYU RENITA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995 dan adanya liberalisasi dalam perdagangan, terjadi penurunan tarif bahkan sampai dengan nol persen. Hal ini membuat negara-negara anggota melakukan tindakan/kebijakan non tarif (non-tariff measures/NTM). Salah satu tujuannya adalah sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Penerapan NTM akan berdampak pada penurunan ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan. Sektor pertanian yang memiliki keunggulan dan potensial di Indonesia khususnya subsektor perkebunan adalah komoditi kelapa sawit yang kemudian diolah menjadi crude palm oil (CPO).

Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman penghasil minyak (CPO) yang paling efisien dan sangat produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Adanya ekspansi lahan secara besar-besaran dan muncul kampanye negatif dari LSM (lembaga sosial masyarakat) lingkungan hidup internasional yang menyoroti isu pelanggaran lingkungan dan isu produk yang mengganggu kesehatan, kemudian diformulasikan menjadi suatu regulasi yang sifatnya menghambat perdagangan. Selain itu dalam beberapa tahun belakangan ini tren nilai ekspor CPO cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan nilai yang negatif. Banyak negara terutama negara maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan NTM yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor. Akibatnya, industri CPO terkena dampak dari implementasi NTM dan akan kesulitan melakukan ekspansi atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan.

Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia dan implementasi NTM di negara tujuan ekspor utamanya. Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis pengaruh NTM terhadap arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan untuk mengestimasi daya saing CPO, pemberlakuan NTM dengan binary variable, serta analisis ekonometrika digunakan untuk mengestimasi model gravity dengan data panel. Data yang digunakan adalah data sekunder. Data panel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan time series tahunan 2003 – 2013 dan cross section dua puluh negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia. NTM yang akan diestimasi pada penelitian ini dikhususkan pada sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade (TBT) serta instrumen trade remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard).

(5)

labeling dan packaging yang berhubungan langsung dengan food safety requirements, food additives, dan terkait certification. Kebijakan TBT yang banyak diberlakukan antara lain berkaitan dengan food standard, labeling (terkait informasi nutrisi), conformity assessment, dan quality requirements. Sementara itu pada penerapan NTM jenis trade remedy yang banyak diberlakukan adalah dumping. Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan NTM untuk komoditi CPO Indonesia adalah Amerika Serikat.

(6)

Indonesian Crude Palm Oil (CPO) to the Main Export Destinations. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Since the establishment of the World Trade Organization (WTO) in 1995 and liberalization exist, a tariff has decline even up to zero percent. It makes the member states shifted to non-tariff measures/NTM. The main purpose is to protect the domestic producers in the face of import competition with foreign products. The impact of NTM is reducing or losing the potential export trade between countries. The agricultural sector which has advantages and potential in Indonesia especially subsector of plantation is palm oil then processed into crude palm oil (CPO).

Palm oil is considered as oil-producing plant called CPO which is the most efficient and highly productive compared to other oil-producing plants. The large-scale land expansion and the rise of negative campaigns from NGOs (non-government organizations) which focusing to the international environmental issues and concern with health issues, are formulated into a regulation that inhibiting trade. In recent years, trend shows that the export value of CPO tend to decrease and in some export destinations indicates a negative value. Many countries especially developed countries had protected their domestic industries by imposing the NTM that could impede a product to entry the export destinations. Consequently, the CPO industry affected by the implementation of NTM and would be difficult to expand or lose the competitiveness if these barriers are not removed.

This study provides an overview of the export trade flow of Indonesian CPO and the implementation of NTM in the main export destinations. The main objective of this study is to analyze the effect of NTM on export trade flow of Indonesian CPO to the main export destinations. Analysis of Revealed Comparative Advantage (RCA) is used to estimate the competitiveness of CPO, the incidence of NTM with binary variables, also the econometric analysis is used to estimate gravity models with panel data. The data used is secondary data. Panel data used in this study is an annual time series 2003 - 2013 and the cross section of twenty major export destinations of Indonesia's CPO. NTM that have to be estimated in this study is devoted to the sanitary and phytosanitary (SPS) and technical barriers to trade (TBT) also trade remedy instruments (anti-dumping, subsidy, and safeguard).

(7)

destination countries impede the export trade flow of Indonesian CPO, but the effect is not significant. However, if NTM are disaggregated into SPS, TBT and trade remedy, the results showed that the increase in SPS measures and trade remedy did not impede the export trade flow of Indonesian CPO, while the increase in TBT measures would impede the export trade flow of Indonesian CPO. The government should be more concerned with policy TBT measures which more impede Indonesian CPO exports by focusing to the standards and other technical requirements to improve and expand the export of Indonesian CPO.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

ANALISIS PENGARUH NON-TARIFF MEASURES TERHADAP EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA

KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

NIM : H151120231

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua

Dr Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir R. Nunung Nuryartono, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)
(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan perdagangan internasional dengan judul Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama, dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada:

1. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MSc.Agr sebagai penguji utama dan Dr Ir Wiwiek Rindayati, M.Si sebagai penguji dari Komisi Akademik yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan thesis ini.

3. Dr Ir Nunung Nuryartoro, M.Si selaku Ketua Program Studi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.

4. Dr Ir Sri Mulatsih, MSc.Agr sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi FEM.

5. Biro Organisasi dan Kepegawaian (Roganpeg) Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB.

6. Bapak Oke Nurwan, Bapak Donny Tamtama, Bapak Sugih Rahmansyah, dan rekan-rekan di Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.

7. Teman-teman kuliah kelas khusus IPB-Kemendag Batch-1 atas segala bantuannya selama penulis menyelesaikan pendidikan di IPB.

8. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Kepada suami tercinta Reiza Nova Pratama dan anak tercinta Marqueezava Rafaelo Alfathian Gaffar atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang telah diberikan.

Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa mendatang.

(14)
(15)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Tinjauan Teori dan Konsep 10

Tinjauan Empiris 19

Kerangka Pemikiran Penelitian 20

Hipotesis Penelitian 21

3 METODE 22

Jenis dan Sumber Data 22

Metode Analisis 22

Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) 23

Binary Variable 23

Analisis Data Panel Model Gravity 24

Spesifikasi Model 31

Definisi Operasional 33

4 GAMBARAN UMUM 34

Perdagangan Komoditi CPO Indonesia 34

Identifikasi Tingkat Daya Saing CPO Indonesia 37 Non-Tariff Measures pada Komoditi CPO Indonesia 40

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

Pengujian Data Panel Model Gravity 45

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Ekspor CPO

Indonesia 46

Dampak Non-Tariff Measures terhadap Arus Perdagangan Ekspor CPO

Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama 50

6 SIMPULAN DAN SARAN 59

Simpulan 59

Implikasi Kebijakan 59

Saran Penelitian Lanjutan 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 66

(16)

DAFTAR TABEL

1 Negara-negara Tujuan Ekspor Utama Komoditi CPO Indonesia 5

2 Klasifikasi Non-Tariff Measures UNCTAD 14

3 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan 22

4 Hasil Nilai RCA Komoditi CPO Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor

Utamanya 38

5 Non-Tariff Measures yang Diberlakukan pada Komoditi CPO Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utamanya Tahun 2003-2013 43 6 Hasil Estimasi Dampak Non-Tariff Measures (koefisien parameter

dengan GLS) Periode 2003-2013 47

DAFTAR GAMBAR

1 Nilai Ekspor Terbesar Sepuluh Kelompok Hasil Industri Periode

2007-2011 2

2 Ekspor Komoditi CPO Indonesia dan Turunannya ke Dunia 4 3 Perbandingan Tarif dan Ad Valorem Equivalents dari non-tariff

measures yang Dikenakan terhadap Negara Pengekspor 4

4 Kurva Perdagangan Internasional 9

5 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor terhadap Welfare 13 6 Klasifikasi Non-Tariff Measures berupa Core dan Non Core Measures 15

7 Klasifikasi Baru Non-Tariff Measures 15

8 Kerangka Pemikiran 21

9 Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Periode 2008-2013 34 10 Neraca Perdagangan Sub Sektor Perkebunan Periode 2008-2013 35 11 Neraca Perdagangan Komoditi CPO Indonesia Periode 2008-2013 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Estimasi 67

2 Uji Asumsi Dasar 68

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Liberalisasi perdagangan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan meningkatkan akses pasar ke negara lain, sehingga suatu negara akan berusaha membuka dirinya terhadap perdagangan dengan negara lainnya (Stephenson 1994). Selain itu, perdagangan dapat memberikan keuntungan bagi negara-negara yang terlibat didalamnya karena negara tersebut akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara efisien (Salvatore 1997). Liberalisasi melalui rangkaian kerjasama bilateral, regional maupun multilateral merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari lagi. Tingginya kuantitas perjanjian liberalisasi memberikan indikasi setiap negara sangat tergantung dengan negara tetangganya baik di tingkat bilateral, regional maupun multilateral. Liberalisasi ini harus dilakukan Indonesia jika ingin terlibat dalam lingkup perdagangan internasional. Hal ini menyebabkan integrasi perdagangan global dengan ketahanan ekonomi nasional menjadi salah satu pokok strategis pembangunan perdagangan (Departemen Perdagangan 2010).

Perdagangan antar negara-negara di dunia yang semula menyepakati mengenai sistem tarif dalam sistem perdagangan internasional yang diwujudkan dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947 menemukan perumusan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan jaman. Pada tahun 1995 dalam Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang membahas mengenai implementasi praktek perdagangan dunia, para negara yang tergabung dalam kesepakatan GATT menyepakati berdirinya suatu organisasi yaitu World Trade Organization (WTO) yang akan mewadahi negara anggotanya dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dalam lingkup perdagangan internasional.

Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan di dalam forum tersebut telah menyebabkan turunnya hambatan tarif diantara negara-negara anggota WTO secara signifikan. Negara-negara anggota WTO sepakat untuk menurunkan bea masuk terhadap produk-produk impor yang masuk ke negara mereka bahkan sampai dengan nol persen.Namun demikian, penurunan bea masuk ini ternyata tidak serta merta menghilangkan hambatan dalam perdagangan dan memberikan kelancaran arus barang di antara negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan masing-masing negara anggota WTO masih berupaya melindungi pasar dalam negerinya dan menghindari persaingan dengan produk impor. Upaya perlindungan tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan banyak diantaranya justru menjadi hambatan perdagangan baru (Kementerian Perdagangan 2013).

(18)

diberlakukan dalam perdagangan, membuat negara untuk melakukan tindakan/kebijakan non tarif. Salah satu tujuan dari kebijakan non tarif atau non-tarif measures (NTM) adalah sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing.

Penerapan non-tarif measures akan berdampak pada penurunan ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan, sehingga akan mengurangi volume perdagangan serta akan menimbulkan potensial ekspor yang hilang. Penggunaan non-tarif measures oleh negara-negara di dunia meningkat tajam seiring dengan banyaknya kerjasama ekonomi di bidang liberalisasi tarif. Menurut International Trade Centre/ITC (2013) menyatakan bahwanon-tarif measures mendapat perhatian khusus dari eksportir dan importir di negara berkembang. Hal ini disebabkan non-tarif measures merupakan hambatan utama dalam perdagangan internasional dan dapat mencegah akses pasar. Sebagai perusahaan eksportir penting untuk mencari akses ke pasar luar negeri, dan sebagai perusahaan importir produk penting juga mematuhi berbagai persyaratan dalam perdagangan termasuk regulasi teknis, standar produk, dan prosedur kepabeanan.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pembentukan WTO melalui UU No. 7 tahun 1994. Dalam ratifikasi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang terkandung di dalamnya, termasuk Perjanjian Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen WTO. Perjanjian pertanian yang dibentuk oleh WTO ini semakin menunjukkan fokus dunia terhadap sektor pertanian. Karena sifatnya yang strategis, sejak awal sektor pertanian telah menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan WTO (Departemen Luar Negeri 2003). Perdagangan pertanian yang banyak dilakukan oleh negara baik ekspor maupun impor, mengharuskan setiap negara mempunyai daya saing dan proteksi pada sektor pertanian.

Indonesia mempunyai keunggulan dan potensi sebagai negara agraris dengan banyaknya masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 14.43% pada tahun 2013 dan menempati urutan kedua setelah sektor industri pengolahan (industri non migas) (BPS 2014). Pada saat krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi dan ternyata dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian nasional.

Sumber: Kementerian Perindustrian RI, 2014

(19)

Sektor pertanian yang menjadi keunggulan Indonesia adalah subsektor perkebunan. Kontribusi subsektor perkebunan terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian yaitu sebesar 1.93% pada tahun 2013 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan perikanan (BPS 2014). Selain itu subsektor perkebunan juga merupakan penyedia bahan baku bagi sektor industri, penyerap tenaga kerja dan penghasil devisa. Salah satu komoditi produk pertanian yang berasal dari sub sektor perkebunan adalah kelapa sawit.

Buah kelapa sawit terdiri dari daging dan biji. Daging kelapa sawit akan diolah menjadi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), sedangkan bijinya akan diolah menjadi minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Pengolahan tersebut dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penimbangan, sortasi, pengumpulan buah, perebusan (sterilisasi), penebahan, pelumatan, penempaan, pengutipan minyak, pemurnian minyak dan penyimpanan minyak mentah berupa CPO. Oleh karena itu, CPO termasuk ke dalam produk pengolahan kelapa sawit. Selama bertahun-tahun, produksi minyak sawit global dan rantai pasokan telah dikembangkan, memasok minyak sawit dan turunannya ke berbagai industri dan konsumen (van Gelder 2004). Terdapat peningkatan permintaan secara signifikan dari waktu ke waktu, jumlah besar minyak sawit dikonsumsi di seluruh dunia, didistribusikan di seluruh dunia untuk berbagai produsen sebagai bahan untuk produk konsumen yang tak terhitung jumlahnya, seperti produk makanan, deterjen dan kosmetik, bahan kimia serta pakan ternak.

CPO merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia dan merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara di luar minyak dan gas. Selain itu, peranannya membantu perekonomian Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun dilihat dari perkembangan ekspor minyak sawit. Pada produksi perkebunan besar di Indonesia menurut jenis tanaman, minyak sawit menempati urutan pertama yaitu sebesar 15 420.67 ton pada tahun 2012, diikuti dengan biji sawit, gula tebu dan karet kering (BPS 2014). Saat ini Indonesia merupakan negara produsen sekaligus eksportir CPO terbesar di dunia (USDA 2013).

(20)

Sumber: UN COMTRADE, 2014

Gambar 2 Ekspor Komoditi CPO Indonesia dan Turunannya ke Dunia

Pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa nilai ekspor CPO Indonesia rata-rata mengalami kenaikan setiap tahunnya, namun pada tahun 2009 dan 2013 mengalami penurunan. Menurut data Kementerian Pertanian, sepanjang tahun 2013 ini terjadi penurunan harga CPO yang disebabkan menurunnya permintaan secara global akibat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, penurunan nilai tukar dan adanya beberapa kebijakan baru yang berpotensi menghambat di negara tujuan ekspor.

Sumber: International Trade Centre, 2012

Gambar 3 Perbandingan Tarif dan Ad Valorem Equivalents dari non-tariff measures yang Dikenakan terhadap Negara Pengekspor

Gambar 3 menunjukkan bahwa penerapan non-tariff measures lebih banyak diterapkan pada sektor pertanian daripada sektor manufaktur, baik di negara-negara high income, middle income maupun low income. Dari World Trade Report (2012) diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa technical barriers to trade dan sanitary and phytosanitary measures berdampak positif terhadap perdagangan bagi sektor yang berteknologi tinggi tetapi

2.000.000,00 4.000.000,00 6.000.000,00 8.000.000,00 10.000.000,00 12.000.000,00 14.000.000,00 16.000.000,00 18.000.000,00 20.000.000,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

N

il

ai

d

al

am

r

ib

u

(21)

berdampak negatif terhadap sektor pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir komoditi CPO Indonesia mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari beberapa negara maju yang berdampak merugikan kepentingan Indonesia. Pangsa pasar terbesar komoditi kelapa sawit Indonesia adalah di India, Uni Eropa dan Cina. Tabel 1 Negara-negara Tujuan Ekspor Utama Komoditi CPO Indonesia

(Nilai dalam ribu ekspor lainnya. Tren nilai ekspor dari beberapa tahun belakangan ini cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan nilai yang negatif. Salah satu penyebabnya yaitu saat ini banyak negara terutama negara maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan atau regulasi non-tariff measures yang berpeluang untuk menjadi non-tariff barrier yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor. Oleh karena itu, upaya menembus pasar ekspor CPO pun masih mengalami hambatan dari negara tujuan ekspornya. Hal ini perlu dicermati karena komoditi CPO dan industri turunannya sangat potensial untuk terus tumbuh dan memiliki keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan komoditas minyak nabati sejenis yang tidak hanya digunakan untuk bahan pangan tetapi juga untuk bahan bakar ramah lingkungan.

(22)

sangat merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Akibatnya, industri CPO akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan. Hambatan CPO Indonesia antara lain yaitu kampanye negatif, tarif antidumping terhadap biodiesel di Eropa, pelabelan makanan di Eropa, dan rencana tarif bea masuk khusus seperti yang diterapkan Perancis tahun 2013. Pemerintah harus fokus menghadapi hal ini karena seluruh negara Eropa menjadi tujuan ekspor CPO terbesar kedua Indonesia setelah India1. Tema kampanye anti-sawit yang semakin diperkuat dengan adanya tekanan yang diberikan kepada pelaku industri CPO, masih dikaitkan dengan isu perubahan iklim maupun kerusakan lingkungan secara umum. Hambatan tersebut semakin terstruktur dan sistematis, baik berupa regulasi atau kebijakan yang bersifat non-tariff measures dan mengarah pada technical barrier to trade (TBT), sanitary and phytosanitary (SPS), serta trade remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard) maupun bersifat praktis melalui upaya penggalangan opini negatif terhadap peredaran dan penggunaannya. Hambatan-hambatan tersebut dibuat dengan berbagai alasan yang seringkali tidak berdasar bahkan terlihat sangat protektif dan diskriminatif terutama terhadap produk pesaing lokal (rapeseeds, sunflower, dan sebagainya). Rangkaian kampanye anti-sawit ini akan semakin sistematik yang tidak saja dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) saja melainkan oleh group consumer tertentu dan beberapa negara di Uni Eropa serta diikuti juga oleh Amerika Serikat. Adanya peningkatan pemberlakukan standar baru dalam perdagangan CPO dan penerapan aturan yang berbentuk non-tariff measures kemudian dapat berpeluang menjadi non-non-tariff barrier.

Perumusan Masalah

Cikal bakal kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1848 saat empat bibit dibawa dari Afrika ke Kebun Raya Bogor kemudian dipindahkan ke Deli/Sumatera dan dikembangkan tahun 1911 oleh pedagang Belanda. Terjadi ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Suharto tahun 1990-an, perluasan perkebunan kelapa sawit ini berlanjut hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana Pembangunan Nasional Tahunan disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM/2010-2014) yang fokus sektoral tahunannya disesuaikan dengan rencana besar pemerintah dalam bidang pertanian, yaitu kelapa sawit2.

Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman penghasil minyak (CPO) yang paling efisien dan sangat produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Menurut Hai (2004), kelapa sawit hanya membutuhkan 0.3 ha untuk menghasilkan 1 ton minyak sementara kedelai, bunga matahari dan rapeseed membutuhkan 2.17 ha, 1.52 ha dan 0.75 ha untuk menghasilkan jumlah yang sama. Kelapa sawit menghasilkan tujuh kali hasil minyak per hektar lebih tinggi dari kedelai, lima kali lebih tinggi dari bunga matahari dan 2.5 kali lebih

1[GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2014. Diplomasi Kelapa Sawit [Internet]. Kompas 14 Februari

2014; [diunduh 6 Mei 2014]. Tersedia pada: http://www.gapki.or.id/Page/NewsDetail?guid=8f33e88c-f7f5-49b2-ab46-8de6f349cb59

2Prasaja H. 2010. Kebijakan Pangan: Menyempitnya Lahan Pangan Dan Dilema Perluasan Perkebunan Sawit Besar

(23)

tinggi dari rapeseed. Dengan keunggulan komparatif ini, CPO juga sedang dipromosikan sebagai salah satu masukan penting untuk produksi biodiesel, dan dengan demikian merupakan sumber energi alternatif untuk bahan bakar fosil (Hai 2004).

Di dalam Masterplan Perluasan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah mengatakan telah menyusun rencana pembangunan jangka panjang industri CPO Indonesia yang memfokuskan pembangunan di empat wilayah: Dumai, Sei Mangkai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Empat wilayah ini akan menjadi backbone industri perkebunan CPO dan produk turunannya. Di wilayah-wilayah itu akan dibangun pelabuhan-pelabuhan yang dibutuhkan agar CPO yang telah diolah dapat terjaga kualitasnya. Disisi lain, dunia usaha menyambut pesan Presiden RI agar Menteri Perdagangan memperhatikan CPOsebagai tulang punggung ekspor, sehingga diplomasi dan kampanye positif untuk memperluas ekspor CPO perlu diperkuat. Menjelang tahun 2015 seluruh negara anggota Eropa telah menyatakan hanya akan menerima CPO yang memiliki sertifikasi sustainable dan pasar CPO di Cina diprediksi mengecil seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina3.

Crude palm oil (CPO) merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis. Salah satunya karena CPO merupakan bahan baku pembuatan minyak makan, sementara minyak makan merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan pada minyak makan di dalam dan di luar negeri yang kuat dan terus meningkat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas CPO dalam perekonomian bangsa. Kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia juga terus meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto, agar kebutuhan tersebut terpenuhi maka pemerintah mendorong peningkatan pengusahaan kebun kelapa sawit (Pahan 2008). Industri CPO menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, dimana sekitar 4.5% GDP Indonesia pada 2012 berasal dari komoditas ini. Dengan permintaan global dan domestik yang terus meningkat yang ditunjukkan dengan tren kenaikan permintaan CPO untuk bahan bakar nabati selain fungsi tradisionalnya untuk bahan pangan, sehingga diperlukan praktik agribisnis yang berkelanjutan4.

Namun, akibat adanya ekspansi besar-besaran tersebut kemudian muncul kampanye negatif dari LSM (lembaga sosial masyarakat) lingkungan hidup internasional, yang menyoroti isu pelanggaran lingkungan. Pada tahun 1990-an lalu CPO juga diterpa oleh isu produk yang mengganggu kesehatan karena diduga mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi. Menurut GAPKI (2010) para LSM tersebut tak sadar telah ditunggangi oleh para produsen minyak nabati pesaing minyak sawit seperti minyak bunga matahari, minyak kedelai, rapeseed oil, dan sebagainya yang khawatir karena kelapa sawit lebih efisien. Produk-produk minyak nabati pesaing kelapa sawit tak mampu berkompetisi dengan produk minyak sawit. Pada tahun 2010 volume perdagangan CPO di dunia mencapai 34% dari volume dunia, padahal di era tahun 1990-an pasarnya hanya

3Wisnu D. 2013. Tugas Besar Sawit Indonesia [Internet]. Koran SINDO, 4 Desember 2013; [diunduh 20 Desember 2013].

Tersedia pada: http://economy.okezone.com/read/2013/12/04/279/906917/tugas-besar-sawit-indonesia

4Ruzuar A. 2014. ICOPE 2014: Konferensi Internasional Pengelolaan Sawit Bertanggung Jawab [Internet]. WWF;

(24)

10%. Pangsa produksi kelapa sawit telah mencapai 34% di seluruh dunia, sementara soyabean (minyak kedelai) 30.1% selebihnya untuk produk minyak nabati lainnya seperti sunflower, cotton, rapeseed oil, groundnut, coconut, casto, dan sesame. Sedangkan dari sisi areal, luas area lahan CPO hanya 4.5% sedangkan soybean 40.5%.

Dengan adanya ekspansi besar-besaran dan munculnya kampanye negatif tersebut maka diformulasikan menjadi suatu regulasi yang sifatnya menghambat perdagangan. Selain itu dalam beberapa tahun belakangan ini tren nilai ekspor CPO cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan nilai yang negatif. Banyak negara terutama negara maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan atau regulasi non-tariff measures yang berpeluang untuk menjadi non-tariff barrier yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor. Oleh karena itu, upaya menembus pasar ekspor CPO pun masih mengalami hambatan dari negara tujuan ekspor khususnya non-tariff measures yang berpotensi akan merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Akibatnya, industri CPO akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan.

Penggunaan jenis non-tariff measures seperti technical barriers to trade (TBT) dan sanitary and phitosanitary (SPS) memiliki dampak perdagangan yang paling banyak diakui ataupun diterapkan oleh negara-negara maju. United Nations Conference on Trade Development/UNCTAD (2013) mengemukakan bahwa TBT dan SPS paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia. Bentuk penerapan hambatan perdagangan lainnya yang dipergunakan oleh negara-negara WTO dalam rangka melindungi industri dalam negerinya adalah instrumen trade remedy berupa antidumping, subsidy dan tindakan safeguard. Langkah ini dinilai perlu dilakukan sebagai upaya strategi penyesuaian harga ekspor suatu barang sesuai dengan harga normal di dalam negeri, serta melakukan tindakan pengamanan untuk mencegah ancaman kerugian serius industri di dalam negeri. Penerapan instrumen trade remedy menjadi salah satu obat penyembuhan/pemulihan terhadap industri dalam negeri yang mengalami kemunduran sebagai akibat dari kekalahan dalam persaingan dagang dengan para kompetiter dari negara-negara pengekspor yang diantaranya disebabkan oleh praktek penjualan harga produk dibawah harga di dalam negeri (dumping), penjualan produk yang mengandung subsidi dari pemerintahnya (subsidy), serta melonjaknya produk impor di dalam negeri (safeguard) (Barutu 2007).

Hambatan-hambatan yang diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor produk CPO mengharuskan Indonesia sebagai negara pengekspor memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, dampak dari non-tariff measures pada komoditi CPO menjadi penting dan memberikan ruang bagi peneliti untuk mengkaji lebih lanjut terkait permasalahan berikut ini:

1. Bagaimana daya saing komoditi CPO Indonesia terhadap negara-negara tujuan ekspor utamanya?

2. Bagaimana pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi CPO di negara-negara tujuan ekspor utamanya?

(25)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis daya saing komoditi CPO Indonesia terhadap negara-negara tujuan ekspor utamanya.

2. Menganalisis pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi CPO di negara-negara tujuan ekspor utamanya.

3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan non-tariff measures terhadap ekspor komoditi CPO dan produk turunannya.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain yaitu:

1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam pembuatan strategi pengembangan industri CPO nasional dan kebijakan perdagangan dalam bentuk non-tariff measures.

2. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan pertimbangan dalam menentukan strategi kebijakan perusahaan dalam pengembangan industri CPO.

3. Penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu daya saing dan arus ekspor perdagangan Indonesia dengan 20 (dua puluh) negara mitra dagang tujuan ekspor utamanya yaitu India, Uni Eropa, Cina, Malaysia, Singapura, Banglades, Pakistan, Mesir, Ukraina, Rusia, Myanmar, Afrika Selatan, Turki, Vietnam, Tanzania, Arab Saudi, Brazil, Jordania, Amerika Serikat dan Srilanka. Iran dikecualikan karena belum masuk menjadi anggota WTO. Pada penelitian ini dikhususkan pada komoditi CPO dengan kode HS 1511 (4 digit). Periode waktu yang akan digunakan adalah tahun 2003-2013, karena CPO dinilai memiliki kinerja yang paling baik dan pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an. Oleh karena itu, CPO di pasar dunia memiliki daya saing untuk menggeser peran minyak nabati lainnya (Susila 1998; Basiron 2002).

(26)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori dan Konsep

Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam era globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja, bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy 1997). Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional dimana setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman dan Obstfeld (2003) berpendapat bahwa pada dasarnya perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama, yaitu:

a. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain dan mereka akan mendapatkan keuntungan secara relatif dengan berdagang daripada dalam kondisi autarki (tertutup);

b. Negara-negara berdagang dengan tujuan mencari skala ekonomi sehingga mencapai efisiensi produksi barang dan jasa.

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 4 Kurva Perdagangan Internasional

Proses perdagangan internasional dari sisi keseimbangan parsial sehingga tercipta harga komoditi ekuilibrium dapat dijelaskan pada Gambar 4. Panel A memperlihatkan bahwa dengan adanya perdagangan internasional, negara 1 akan mengadakan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar P1. Negara 2 akan berkonsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif P3. Setelah hubungan

perdagangan berlangsung diantara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan berkisar antara P1 dan P3 seandainya kedua negara tersebut cukup besar kekuatan

ekonominya. Apabila harga yang berlaku di atas P1, maka negara 1 akan memasok atau

penawaran komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestik.

(27)

Kelebihan penawaran itu selanjutnya akan diekspor (lihat panel A) ke negara 2. Di lain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami

peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada penawaran domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya atas komoditi X itu dari negara 1 (lihat panel C).

Negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X (Panel A) karena Px/Py lebih besar dari P1, sehingga kurva penawaran ekspornya atau S mengalami

peningkatan (Panel B). Dilain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka

negara 2 mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (Panel C) dan ini mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau D, mengalami kenaikan (Panel B). Panel B juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2

maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh negara 1. P2 merupakan Px/Py atau

harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Tapi jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terdapat kelebihan

penawaran ekspor komoditi X dan hal ini akan menurunkan harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan bergerak mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil daripada P2, maka akan tercipta

kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehingga akan sama dengan P2. Titik E adalah titik pertemuan antara jumlah barang

yang diekspor dan jumlah barang yang diimpor, atau jumlah barang yang diperjualbelikan dalam perdagangan internasional.

Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh AdamSmith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). David Ricardo mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya pengorbanan yang lebih murah daripada negara lain (Salvatore 2007). Perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya dikuasai. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods).

Konsep Hambatan Perdagangan

(28)

hambatan perdagangan tersebut antara lain berupa hambatan tarif dan non tarif. Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atasbarang impor yang masuk untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri (Hady 2004). Dengan kata lain, tarif merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Hambatan non tarif (non-tariff barrier) adalah suatu regulasi perdagangan selain tarif atau otoritas kebijakan untuk memproteksi negaranya dengan mengeluarkan batasan-batasan didalam perdagangan internasional (Sarfati 1998).

Bentuk hambatan non tarif yang sering digunakan adalah kuota impor, pembatasan ekspor secara sukarela dan tindakan antidumping. Praktek perdagangan yang terjadi pada saat ini, pemerintah melakukan intervensi dalam perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrumen kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela (voluntary export restrain), dan persyaratan kandungan lokal (local contain requirement). Berbagai proteksi perdagangan non tarif ini dapat diturunkan menjadi serangkaian negosiasi perdagangan multilateral.

Perkembangan hambatan non tarif ini kemudian memberikan ruang bagi WTO untuk mendisiplinkan penggunaaanya. WTO kemudian mendefinisikan kebijakan- kebijakan perdagangan non tarif dengan istilah non-tariff measures (NTM). Hambatan perdagangan non tarif atau proteksionisme baru semakin menonjol dan menjadi lebih penting dibanding tarif, sehingga ancamannya terhadap arus perdagangan internasional secara bebas juga lebih membahayakan (Salvatore 1997).

Dampak Kebijakan Hambatan Non Tarif

Kebijakan hambatan non tarif yang diberlakukan di hampir semua negara digunakan untuk melindungi sektor tertentu. Di negara maju, umumnya melindungi produk-produk pertanian dan negara berkembang melindungi produk- produk hasil manufaktur. Hambatan seperti kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran pembayaran yang defisit. Pemberlakuan hambatan non tarif akan meningkatkan harga produk. Sehingga pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997). Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan mempengaruhi welfare. Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 5.

(29)

merupakan surplus konsumen yang ditranfer ke produsen. Area B dan D adalah dead weight loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan dapat

meningkat melalui penjualan lisensi kuota. Sehingga dengan menggunakan θ yang

mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.

Sumber : Wall, 1999

Gambar 5 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor terhadap Welfare

Non-Tariff Measures

UNCTAD mulai mengumpulkan dan mengklasifikasikan non-tariff barriers (NTB) berdasarkan Coding System of Trade Control Measures (TCMCS). Coding system ini kemudian mengklasifikasikan tariffs, para-tariffs, dan non-tariff measures (NTM) ke dalam 100 sub kategori sejak tahun 1994. Coding system ini kemudian digunakan untuk membangun database NTM yang disebut database Trade Analysis and Information System (TRAINS). Kerja sama yang dilakukan oleh UNCTAD dan World Bank telah mengembangkan TRAINS menjadi system yang dapat diakses oleh peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi software yang disebut World Integrated Trade Solution (WITS).

(30)

Tabel 2 Klasifikasi Non-Tariff MeasuresUNCTAD

4300 Restrictive Official Foreign Exchange Allocation 4500 Regulations Concerning Terms of Payment for Import 4600 Transfer Delays, Queuing

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa klasifikasi non-tariff measures berdasarkan UNCTAD dibagi menjadi enam kategori utama yaitu price control measures; finance measures; automatic licensing measures; quantity control measures; monopolistic measure; dan technical measures.

(31)

Sumber : Basu et al, 2009

Gambar 6 Klasifikasi Non-Tariff Measures berupa Core dan Non Core Measures Kebijakan non tarif dalam perdagangan internasional di era globalisasi telah mengalami perkembangan dan terjadi sesuai dengan kondisi beberapa tahun terakhir dalam membuat metodologi klasifikasi, penghitungan dan pengumpulan data non-tariff measures. Oleh karena itu, pada tahun 2006 dibentuk tim yang diberi nama Multi-Agency Support Team (MAST) oleh Sekretariat General Established the Group of Eminent Persons on Non-Tariff Barriers (GNTB) untuk menyusun dan memperbaiki klasifikasi, penghitungan dan pengumpulan data non-tariff measures. Definisi dari non-non-tariff measures (NTM) yang ditetapkan menurut UNCTAD (2013) adalah kebijakan-kebijakan selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada perdagangan komoditi internasional, dengan mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya.

Sumber: UNCTAD, 2013

(32)

Pada Gambar 7 terdapat penambahan beberapa cabang baru dari klasifikasi non-tariff measures yang secara garis besar dibagi menjadi 2 (dua) bagian pokok yaitu import measures (berupa technical measures dan non technical measures) dan export measures (berupa export related measures). Untuk technical measures terdiri dari sanitary and phytosanitary measures, technical barriers to trade, dan pre-shipment inspection and other formalities. Sedangkan untuk non technical measures terdiri dari contingent trade-protective measures, non-automatic licensing; quota; prohibitions and quantity-control measures other than for SPS or TBT reasons, price-control measures including additional taxes and charges, finance measures, measures affecting competition, trade-related investment measures, distribution restrictions, restrictions on post-sales services, subsidies, government procurement restrictions, intellectual property, dan rules of origin.

Klasifikasi baru dari non-tariff measures ini terlihat perbedaannya dengan klasifikasi tariff measures sebelumnya yaitu penambahan beberapa jenis non-tariff measures yang lebih spesifik khususnya yang terkait dengan non technical measures, serta adanya penambahan dasar klasifikasi terkait export measures.

Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan bukan dengan tujuan perdagangan.

Menurut UNCTAD (2013) definisi dari sanitary and phytosanitary measures merupakan tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab penyakit. Selain itu, untuk mencegah atau membatasi kerusakan lainnya terhadap suatu negara dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, dan melindungi keanekaragaman hayati. Hal ini termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi kesehatan dari ikan dan fauna liar, serta hutan dan tumbuhan liar.

(33)

dari penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk turunannya, atau akibat dari masuk, berkembang atau menyebarnya hama; serta (4) untuk mencegah atau membatasi kerusakan di dalam wilayah negara anggota akibat dari masuk, berkembang dan menyebarnya hama. Berbagai tindakan ini disebut dengan Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS measures).

Dalam prakteknya, SPS Measures dapat berbentuk: seluruh ketentuan, regulasi persyaratan dan prosedur terkait yang relevan, termasuk antara lain adalah kriteria produk akhir (end-product); metode proses dan produksi; prosedur pengujian, inspeksi, sertifikasi dan persetujuan; penanganan karantina; pengawasan terhadap metode statistik, prosedur sampling dan metode penilain resiko yang relevan; serta persyaratan pengemasan dan pelabelan yang secara langsung terkait dengan keamanan makanan.

Sesuai dengan SPS Agreement, dalam pelaksanaannya negara anggota WTO harus mengikuti sejumlah aturan ketika menerapkan dan melakukan tindakan SPS, yaitu prinsip ilmiah (scientific), prinsip ekuivalensi, harus sesuai dengan standar internasional, prinsip transparansi, prinsip kesesuaian (conformity), minimalisasi dampak terhadap perdagangan dan regionalisasi penyakit hewan dan tumbuhan. Jika penerapan dan pelaksanaan tindakan SPS tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan, maka tindakan tersebut dalam dianggap sebagai bentuk hambatan perdagangan.

Sedangkan menurut UNCTAD (2013) definisi technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya.

Menurut Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement), setiap negara anggota World Trade Organization (WTO) diberi kewenangan untuk memformulasikan dan menerapkan regulasi teknis, menetapkan standar dan membangun sistem penilaian kesesuaian (conformity assessment system) dalam rangka melindungi kepentingan nasional atau kawasan, melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, melindungi lingkungan, menghindari tindakan penipuan, dan menjamin kualitas produk yang diimpor. Tindakan tersebut biasa disebut dengan TBT Measures.TBT Agreement mempunyai sejumlah prinsip dalam penerapannya, yaitu meminimalkan dampak terhadap perdagangan, prinsip-prinsip non-diskriminasi, sesuai dengan standar internasional, kesamaan (equivalency) dari regulasi teknis, kesepahaman terhadap CAP serta prinsip transparansi.

(34)

negara. Sengketa yang banyak terjadi terdapat pada ketentuan SPS dibandingkan dengan ketentuan TBT.

Trade Remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard)

Antidumping, subsidy, dan safeguard merupakan bagian dari non technical measures (termasuk ke dalam contingent trade-protective measures) sekaligus tiga instrumen kebijakan pengamanan perdagangan yang diakui oleh negara-negara anggota WTO dan mereka diperkenankan untuk menggunakan instrumen tersebut untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan curang yang dapat menghancurkan dan merusak tatanan sistem perdagangan yang fair (Barutu 2007).

Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar domestik, dimana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk antidumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping tersebut.

Demikian pula mengenai tindakan subsidy, dimana produk dijual dengan harga murah karena mendapat subsidi oleh negara pengekspor. Pada prinsipnya tindakan subsidy dilarang jika hal itu dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor, sehingga negara pengimpor dapat memberlakukan tindakan imbalan (countervailing measures) terhadap produk yang dituduh mendapat subsidi dari negara pengekspor.

Kedua instrumen ini baik antidumping maupun subsidy digolongkan sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya perdagangan yang curang yang dapat menimbulkan kerugian yang serius (serious injury) terhadap industri dalam negeri (domestic industry) di negara pengimpor. Dalam WTO keberadaan ketentuan antidumping diatur dalam Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994 yang dikenal dengan nama Antidumping Agreement (ADA). Sedangkan untuk subsidy diatur dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. Dalam persetujuan ini diatur cara dan mekanisme untuk melakukan investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping dan countervailing yang bertujuan untuk mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini tidak melakukan praktik penyalahgunaan instrumen tersebut untuk melakukan proteksi yang berlebihan serta tidak perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam perdagangan internasional.

WTO mengatur mengenai masalah safeguard dalam Agreement on Safeguard. Safeguard tidak ada kaitannya dengan praktik antidumping dan subsidy, tetapi beredarnya barang impor yang masuk ke pasar domestik telah mengakibatkan terjadinya kerugian (injury) terhadap industri serupa di dalam negeri. Oleh karena itu, perbedaan antara antidumping, antisubsidy dan safeguard terletak pada dasar pertimbangan pengenaan instrumen tersebut. Menurut catatan WTO dari ketiga instrumen ini, tindakan antidumping merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri (Barutu 2007).

(35)

negara-negara Asia Timur yaitu China, Jepang, Korea, Hong Kong dan Taiwan. Pada periode 1991-2003, negara-negara Asia Timur menyumbang 32% dari jumlah total 394 investigasi/tindakan antidumping yang diprakarsai oleh Uni Eropa. Dalam hal ini, Cina dan Jepang adalah target yang paling populer oleh investigasi antidumping Uni Eropa. Hasil estimasi secara empiris bahwa determinan makro ekonomi (exchange rate, pertumbuhan GDP, dan tingkat pengangguran) secara signifikan mempengaruhi inisiasi antidumping terhadap negara tertentu dalam tahun tertentu. Di samping itu, struktur persaingan yang terus berubah dan lingkungan dalam perdagangan internasional juga memainkan peran dalam mendorong tindakan antidumping, dan negara-negara yang merupakan sumber impor besar bagi Uni Eropa mungkin akan lebih terkena dampak dengan tindakan antidumping tersebut.

Tinjauan Empiris

Andriamananjara et al. (2003) menganalisis metode estimasi non-tariff measuresprice gapsdan juga menggunakan CGE untuk mengestimasi dampak ekonomi secara keseluruhan (trade, production dan welfare) dari penghapusan non-tariff measures terhadap produk alas kaki, pakaian dan makanan olahan di wilayah regional di dunia seperti Asia Timur, Australia dan New Zealand, Uni Eropa, Mercusor, dan sebagainya. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa liberalisasi non-tariff measures mendorong peningkatan yang besar terhadap perdagangan dunia dan meningkatkan global welfare.

Disdier et al. (2008) meneliti dampak regulasi dari perdagangan sektor pertanian terkait dengan SPS dan TBT Agreements dengan menggunakan model Gravity. Penelitian ini menggunakan inventory approach untuk mengukur perdagangan di sektor pertanian, dan melihat apakah SPS dan TBT measures mempengaruhi arus perdagangan serta bagaimana dampaknya bagi negara pengekspor. Hasilnya menyimpulkan bahwa SPS dan TBT measures secara signifikan mengurangi ekspor negara-negara berkembang ke negara-negara OECD tapi tidak mempengaruhi arus perdagangan antara negara anggota OECD.

Fassarella et al. (2011) mengkaji dampak dari sanitary dan technicalmeasures terhadap ekspor daging unggas asal Brazil. Dengan menggunakan data bilateral antara Brazil dan negara mitra dagang utama periode 1996-2009, hasil dari model gravity dengan estimasi fixed effect model menunjukkan bahwa dampak SPS dan TBT measures terhadap ekspor daging unggas Brazil adalah ambigu. Adanya peraturan teknis dan sanitasi yang berkaitan dengan pelabelan mungkin merangsang perdagangan terhadap produk daging unggas tersebut, sementara itu peraturan terkait penyesuaian muncul untuk mengurangi volume ekspor daging unggas Brazil. Hasil ini menunjukkan pentingnya dalam mempertimbangkan karakteristik yang berbeda serta isi peraturan untuk menganalisis dampak dari SPS dan TBT measures dalam perdagangan.

(36)

dengan anggota inti persatuan tersebut. Penelitian ini menggunakan data sertifikasi ISO 9000 sebagai pendekatan untuk standar internasional. Penelitian ini mengadopsi model gravity dengan sampel dari negara-negara Uni Eropa 15 (EU15). Penelitian ini menggunakan panel gravity. Hasil dari penelitian ini menyarankan adopsi ISO 9000 di promosi ekspor Turki ke negara mitra dagang Eropa yang mungkin diindikasi dari signal kualitas produk yang tinggi.

Fugazza (2013) menganalisis bahwa jumlah pemberlakuan non-tariff measures di dunia terkait regulasi teknis telah meningkat selama dua dekade terakhir ini. Kemudian menjelaskan perbedaan antara TBT dan SPS measures ditemukan untuk menghasilkan efek perdagangan yang berbeda, baik bagi eksporter maupun industri. Metode estimasi yang sering digunakan adalah inventory, price comparison dan quantity impact. Hasil dari penelitian ini dapat membantu mengidentifikasi apakah tindakan (measures) tersebut sah dan masuk akal, atau pada dasarnya telah diimplementasikan hanya untuk tujuan proteksi.

Bratt (2014) meneliti tentang dampak non-tariff measures terhadap arus perdagangan dapat berbeda antara masing-masing negara dengan menggunakan prosedur Heckman two-stage dari model gravity yang memasukkan variabel comparative advantage. Variabel tersebut terdiri dari factor endowments dari masing-masing negara mitra dagang dan menghasilkan country-spesific effects dari non-tariff measures. Hasilnya kemudian diubah ke dalam ad-valorem equivalents (AVEs), dan menjelaskan bahwa sejumlah non-tariff measures tidak menghambat perdagangan namun untuk sebagian besar kasus dampaknya secara keseluruhan terhadap perdagangan adalah negatif.

Kerangka Pemikiran

Negara-negara anggota WTO sepakat untuk menurunkan bea masuk terhadap produk-produk impor yang masuk ke negara mereka bahkan sampai dengan nol persen.Namun demikian, penurunan bea masuk ini ternyata tidak secara langsung menghilangkan hambatan dalam perdagangan dan memberikan kelancaran arus barang di antara negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan masing-masing negara anggota WTO masih berupaya melindungi pasar dalam negerinya dan menghindari persaingan dengan produk impor. Upaya perlindungan tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan, namun banyak diantaranya justru menjadi hambatan perdagangan baru. Karena sifatnya yang strategis, sejak awal sektor pertanian telah menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan WTO. Perdagangan pertanian yang banyak dilakukan oleh negara baik ekspor maupun impor, mengharuskan setiap negara mempunyai daya saing dan proteksi pada sektor pertanian.Pada saat krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi dan ternyata dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian nasional.

(37)

peraturan teknis lainnya, dan prosedur penilaian kesesuaian) dan SPS (peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan), selain itu bentuk penerapan hambatan perdagangan lainnya yang dipergunakan oleh negara-negara WTO dalam rangka melindungi industri dalam negerinya yaitu instrumen trade remedy berupa antidumping, subsidy dan tindakan safeguard. Dalam hal ini yang berkaitan dengan komoditi kelapa sawit dan produk turunannya yang berasal dari Indonesia. Analisis yang digunakan yaitu model gravity dan penelitian ini akan menghasilkan implikasi kebijakan yang terkait dengan perdagangan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah.

Gambar 8 Kerangka Pemikiran

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. GDP riil suatu negara berhubungan positif dengan arus ekspor.

Instrumen kebijakan perdagangan antara Indonesia sebagai negara produsen sekaligus eksportir CPO terbesar di dunia

dengan negara-negara tujuan ekspor utama

Analisis daya saing komoditi CPO

Kebijakan Perdagangan

Revealed Comparative Advantage (RCA)

Tarif Non-tariff measures

Implementasi non-tariff measures pada komoditi CPO

SPS, TBT, Trade Remedy

Dampak non-tariff measures terhadap ekspor CPO Model Gravity

(38)

2. Biaya perdagangan antar negara dagang dengan proxy pada jarak berhubungan negatif dengan arus ekspor. Semakin besar biaya perdagangan maka akan mengurangi arus perdagangan kedua negara. 3. Populasi berpengaruh positif dengan arus ekspor. Adanya pertambahan

populasi pada negara pengimpor akan meningkatkan jumlah produk yang dapat diekspor karena adanya pertambahan konsumsi di negara tersebut. 4. Nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor

berpengaruh positif terhadap arus ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya.

5. Non-tariff measures (berupa sanitary and phytosanitary (SPS), technical barriers to trade (TBT) dan trade remedy (antidumping, subsidy, safeguard) yang diberlakukan pada suatu produk di suatu negara berhubungan negatif terhadap arus perdagangan ekspor.

3

METODE

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber antara lain WTO, World Bank (World Development Indicators), Trademap, CEPII, Fx Sauder, Kementerian Perdagangan RI, publikasi internasional dan sumber lainnya. Rincian data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan

No Data Sumber Satuan

1 Non-tariff measures WTO dan Kementerian Perdagangan RI

2 GDP WDI Juta US $

3 Ekspor/Impor TRADE MAP Juta US $

4 Jarak CEPII Km

5 Populasi WDI Jiwa

6 Nilai Tukar Fx Sauder Rp/LCU

7 IHK WDI

Metode Analisis

(39)

ekspor pertanian pada komoditi CPO Indonesia dengan menggunakan data panel model gravity.

Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)

Untuk menganalisis tingkat daya saing komoditi CPO Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor utamanya, menggunakan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA). Nilai RCA adalah indikator yang bisa menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global (Kuncoro 1997). Nilai RCA juga menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia (Tambunan 2001). Sehingga secara matematis penelitian ini akan tetap menggunakan rumus RCA dengan modifikasi sebagai berikut:

RCA =

(3.1)

Dimana:

Xpq = Nilai ekspor komoditas q dari Indonesia ke negara p

Xp = Nilai ekspor total (produk q dan lainnya) dari Indonesia ke negara p

Wpq = Nilai ekspor komoditas q dunia ke negara p

Wp = Nilai ekspor total dunia ke negara p

Jika nilai RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari 1 (satu), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari 1 (satu), berarti keunggulan komparatif untuk komoditi tersebut tergolong rendah, di bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai RCA, semakin tinggi pula tingkat keunggulan komparatifnya.

Binary Variable

(40)

Hal ini dimungkinkan untuk menggunakan binary variable atau discrete variable yang sering menjadi karakter non-tariff measures dalam pendekatan gravitasi. Oleh karena itu, memasukkan non-tariff measures secara eksplisit ke dalam model akan lebih berguna, bahkan jika hanya sebagai variabel dummy, daripada tidak mengikutsertakan non-tariff measures sebagai alasan untuk errors yang tidak dapat dijelaskan dalam estimasi model (Bellanawithana dan Wijerathne 2009).

Analisis Ekonometrik Data Panel Model Gravity

Analisis Data Panel

Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang dan waktu, yakni kombinasi antara data cross section yang sama diobservasi menurut waktu atau time series (Gujarati 2004). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.

Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas (collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) lebih baik dalam studi dynamics of adjustment; (iv) lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh data cross section atau time series murni; dan (v) dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni (Baltagi 2005).

Namun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah desain survei, pengumpulan dan manajemen data, di antaranya coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon, seperti pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain; (iii) masalah selektivitas, yakni selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); dan (iv) cross section dependence yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (missleading inference).

Data Panel Statis

Gambar

Gambar 1 Nilai Ekspor Terbesar Sepuluh Kelompok Hasil Industri Periode 2007-
Gambar 2 Ekspor Komoditi CPO Indonesia dan Turunannya ke Dunia
Tabel 1 Negara-negara Tujuan Ekspor Utama Komoditi CPO Indonesia
Gambar 4  Kurva Perdagangan Internasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan non tarif SPS memiliki dampak yang negatif terhadap nilai ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dan kebijakan tersebut bersifat

Secara simultan, semua variabel yaitu Nilai Tukar, Produksi, Harga Internasional CPO dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ekspor CPO.. Dan

Tujuan penelitian berdasarkan permasalahan tersebut adalah (1) menganalisis pengaruh kebijakan WTO terhadap aliran perdagangan CPO antara Indonesia dengan empat mitra

Skripsi yang mengambil judul “Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Indonesia” sebagai salah satu syarat dalam

Berdasarkan MoU antara Indonesia dengan Vietnam yang ditandatangani oleh Menteri Industri dan perdagangan RI serta Menteri Perdagangan Republik Sosialis Vietnam

Komponen biaya transportasi laut dibutuhkan untuk menghitung freight (tarif pengiriman) komoditi ekspor CPO dengan armada kapal nasional baik dengan voyage atau

Hasil Analisis Regresi Pengaruh Harga CPO Dunia, Harga Minyak Rapeseed Dunia, Harga Minyak Kedelai Dunia, PDB Uni Eropa, Konsumsi Uni Eropa dan Kebijakan Perdagangan CSPO

VOLUME EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA PERIODE 1984- 2014” untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan