• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Non Tariff Measures (NTMS) Terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Non Tariff Measures (NTMS) Terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK

NON TARIFF MEASURES

(NTMs) TERHADAP

EKSPOR REMPAH-REMPAH INDONESIA

KE NEGARA TUJUAN EKSPOR

NUR ARIYANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul berjudul Dampak

Non Tariff Measures (NTMs) terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Januari 2016

Nur Ariyani

(4)
(5)

ABSTRAK

NUR ARIYANI. Dampak Non Tariff Measures (NTMs) terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor. Dibimbing oleh IDQAN FAHMI.

Indonesia merupakan negara tropis yang berpotensi besar dalam menghasilkan tanaman rempah. Tanaman rempah yang menjadi komoditas unggulan Indonesia yakni lada, kayu manis, dan pala. Berdasarkan nilai ekspornya, ketiga jenis rempah tersebut memiliki nilai yang tinggi dibandingkan jenis rempah lainnya. Namun, saat ini berbagai macam bentuk tarif sudah semakin dibatasi dan semakin berkurang. Adanya batasan tarif tersebut menyebabkan negara-negara mulai memberlakukan tindakan-tindakan non tarif (NTM). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja ekspor dan dampak NTM terhadap ekspor rempah-rempah Indonesia dengan periode penelitian 2009-2013. Cakupan penelitian meliputi 7 negara tujuan ekspor utama rempah Indonesia yaitu Amerika Serikat, China, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif melalui pendekatan inventory

(frequency index dan coverage ratio) dan model gravity. Hasil estimasi menunjukkan variabel GDP perkapita negara pengimpor, jarak ekonomi,

frequency index dan coverage ratio untuk SPS dan TBT berpengaruh nyata terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia. Variabel frequency index dan

coverage ratio SPS dan TBT menunjukkan nilai koefisien yang positif.

Kata kunci: ekspor, gravity model, inventory approach, NTM, rempah-rempah

ABSTRACT

Nur Ariyani. Impact of Non-Tariff Measures (NTMs) on Indonesia’s Spices Export to The Export Destination Countries. Supervised by IDQAN FAHMI.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DAMPAK

NON TARIFF MEASURES

(NTMs) TERHADAP

EKSPOR REMPAH-REMPAH INDONESIA

KE NEGARA TUJUAN EKSPOR

NUR ARIYANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Dampak Non Tariff Measures (NTMs) terhadap Ekspor Rempah-Rempah Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor (diambil sebagai judul oleh penulis yang fokus pada konsentrasi perdagangan internasional.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa dukungan, bimbingan, bantuan, serta doa dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi. Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan saran-sarannya yang sangat bermanfaat, serta bantuannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen komisi pendidikan yang telah memberikan ilmu, saran, dan motivasi kepada penulis untuk perbaikian skripsi ini.

3. (Alm.) Rokip dan (Almh.) Rusda selaku kedua orang tua penulis, Irawan dan Achmad Syaichu selaku kakak penulis serta keluarga besar atas do’a, motivasi, dan dukungan moril maupun materiil yang telah diberikan kepada penulis.

4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departemen Ilmu Ekonomi, dan Tingkat Persiapan Bersama atas segala bantuan, dukungan, dan ilmu-ilmu yang diberikan selama penulis menyelesaikan pendidikannya di kampus IPB.

5. Teman-teman satu bimbingan, Ira Miranti, Siti Khamila, Cahyaning Rosy, Dhia Adhiati, dan Sri Subakti atas semangat, kebersamaan, dan bantuannya selama menyelesaikan skripsi.

6. Sahabat terbaik, Nabila, Ririn, Khairani, Dhieta, DC, dan Kiki atas kebersamaan, semangat, dan doa yang telah diberikan kepada penulis. 7. Sahabat-sahabat seperjuangan, Marsella, Anne, Ririn Indah,

Iswahyuni, Dian Asti, dan Carla Sheila, terima kasih atas keceriaan, semangat, dan arahan kalian selama ini.

8. Oktavina Widya, Isti Rahmadhani, Nurul Rahmadhani, atas saran dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Teman-teman terbaik Ilmu Ekonomi 48 yang senantiasa berjuang bersama dan telah memberikan momen-momen terbaik selama menjalani perkuliahan bersama.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan di masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Teori Perdagangan Internasional 6

Teori Hambatan Perdagangan 6

Hambatan Tarif 6

Hambatan Non Tarif 7

Non Tariff Measures (NTM) 7

Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan

Technical Barriers to Trade (TBT) 8

Kajian Terdahulu 9

Kerangka Pemikiran 10

Hipotesis Penelitian 11

METODE PENELITIAN 12

Jenis dan Sumber Data 12

Metode Penelitian 12

Pendekatan Inventory 12

Model Gravitasi (Gravity Model) 13

Model Penelitian 14

Pemilihan Model Estimasi 15

HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Kinerja Perdagangan Rempah-Rempah Indonesia 18

Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Rempah-Rempah Indonesia 20 Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Rempah-Rempah Indonesia 26 Dampak NTM pada Ekspor Rempah Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor 29

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

(14)

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 35

RIWAYAT HIDUP 44

DAFTAR TABEL

1 Volume dan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke sembilan negara

tujuan ekspor utama tahun 2011-2013 2

2 Volume produksi, volume ekspor, dan nilai ekspor rempah-rempah

Indonesia tahun 2009-2013 4

3 Klasifikasi baru non tariff measures 8

4 Kerangka identifikasi autokorelasi 17

5 Ekspor lada Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama 18 6 Ekspor kayu manis Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama 19 7 Ekspor pala Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama 19 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi

rempah-rempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2000-2013 21 9 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi

rempah-rempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2009-2013 22

10 Hasil estimasi model dampak NTM 27

DAFTAR GAMBAR

1 Nilai ekspor rempah-rempah Indonesia tahun 2009-2013 1

2 Kerangka pemikiran 11

3 Frequency index SPS pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan

utama tahun 2009-2013 23

4 Frequency index TBT pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan

utama tahun 2009-2013 24

5 Coverage ratio SPS pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan

utama tahun 2009-2013 25

6 Coverage ratio TBT pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Neraca perdagangan rempah-rempah Indonesia ke negara-negara

tujuan utama tahun 2009-2013 (usd) 35

2 Neraca perdagangan rempah-rempah Indonesia ke negara-negara tujaun utama berdasarkan kelompok komoditi 2009-2013 (usd) 36 3 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian 37

4 Uji normalitas 38

5 Matriks korelasi antar variabel 39

6 Uji heteroskedastisitas 39

7 Cross section effect 40

8 Penetapan model terbaik 41

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan memiliki potensi besar untuk produk pertaniannya. Pertanian merupakan sektor yang penting dalam memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, peranannya dalam penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya dalam menghasilkan devisa (Anggriawan dan Indrawati, 2013). Salah satu sektor pertanian yang memiliki potensi adalah sektor perkebunan. Indonesia memiliki beragam tanaman perkebunan yang bernilai tinggi dan mampu bersaing di pasar dunia.

Rempah-rempah merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan Indonesia dan merupakan salah satu dari 10 komoditas ekspor potensial yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia (Kemendag 2014). Tanaman rempah yang menjadi komoditas unggulan Indonesia yakni lada, kayu manis, dan pala dimana nilai ekspor komoditi tersebut cukup tinggi. Tingginya nilai ekspor rempah-rempah Indonesia menunjukkan bahwa sektor ini memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa negara dari sektor nonmigas. Pada zaman yang semakin modern dan seiring dengan berkembangnya seni kuliner di seluruh dunia, rempah-rempah juga akan semakin banyak digunakan pada industri makanan sebagai bumbu dan bahan penyedap yang alami. Selain sebagai pemberi cita rasa dan aroma, rempah-rempah dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi untuk pengobatan dan perawatan kecantikan (kosmetik), serta sebagai sumber makanan dan minuman fungsional seiring dengan perubahan gaya hidup dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Perkembangan ekspor rempah-rempah Indonesia mengalami mengalami perubahan setiap tahunnya, khususnya lada, kayumanis, dan pala. Perkembangan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: UN COMTRADE 2015 (diolah)

Gambar 1 Nilai Ekspor Rempah-Rempah Indonesia tahun 2009-2013

(18)

2

Gambar 1 menunjukkan bahwa tanaman rempah yang menjadi komoditas unggulan dan berkontribusi terhadap ekspor Indonesia adalah lada, kayu manis, pala, serta jahe, kunyit, dan temulawak. Nilai ekspor lada, kayu manis, dan pala mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Nilai ekspor lada mengalami kenaikan di tahun 2010 dan di tahun 2012 yang mencapai nilai sebesar 435.44 juta USD, namun di tahun 2013 nilainya menurun menjadi 356.62 juta USD. Sementara itu, nilai ekspor kayu manis mengalami peningkatan di tahun 2009 hingga 2011 dengan nilai 30.50 juta USD menjadi 60.79 juta USD, sedangkan di tahun 2012 mengalami penurunan dan nilainya konsisten hingga tahun 2013 yakni sebesar 49.59 juta USD. Begitu pula dengan nilai ekspor pala yang mengalami perubahan setiap tahunnya dimana pada tahun 2009 mencapai 60.42 juta USD dan terus mengalami kenaikan hingga mencapai 158.82 juta USD di tahun 2012, kemudian di tahun 2013 nilainya kembali menurun menjadi 133.48 juta USD. Berbeda halnya dengan nilai ekspor jahe, kunyit dan temulawak yang cenderung menurun selama tahun 2009-2013 dimana nilai ekspor pada tahun 2009 sebesar 42.46 juta USD terus mengalami penurunan hingga mencapai 22.76 juta USD pada tahun 2013.

Rempah-rempah Indonesia memiliki potensi ekspor yang cukup tinggi ke beberapa negara tujuan utama diantaranya Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan, China, Thailand, dan Singapura. Perkembangan ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan utama dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Volume dan Nilai Ekspor Rempah-Rempah Indonesia ke Sembilan Negara Tujuan Ekspor Utama tahun 2011-2013

Negara

Sumber: UN Comtrade 2015 (diolah)

(19)

3

Adanya perubahan nilai maupun volume ekspor rempah-rempah Indonesia dari tahun ke tahun dipengaruhi oleh faktor kualitas dan standar mutu sebagai isu utama yang membuat ekspor komoditas rempah-rempah Indonesia menghadapi beberapa hambatan. Terkait isu mutu produk, terdapat dua aspek yang menjadi pokok penilaian oleh bebeapa negara di dunia dalam memberikan izin impor. Pertama, aspek kesehatan (sanitary), yang meliputi penelusuran terhadap kandungan-kandungan yang terdapat dalam suatu produk. Kedua, aspek keberlanjutan (sustainability) yang meliputi jaminan bahwa produk tersebut bukan didapat dari tindakan illegal. Persyaratan yang berkaitan dengan sanitasi tersebut dapat menjadi hambatan bagi akses pasar ekspor hasil pertanian Indonesia di negara tujuan ekspor, termasuk rempah-rempah. Selain itu, Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa ekspor rempah-rempah Indonesia beberapa kali mengalami penolakan di negara tujuan ekspor karena alasan sanitasi, terutama karena adanya kandungan aflatoxin dalam produk atau racun yang dapat mengakibatkan kanker hati. Pada tahun 2012 juga tercatat 21 kali terjadi penolakan ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor (Indonesia Business Daily 2015).

Kebijakan non tarif atau yang lebih dikenal dengan non tariff measures

(NTMs) merupakan salah satu bentuk kebijakan perdagangan internasional yang semakin banyak diterapkan oleh negara-negara terkait standar mutu dan persyaratan yang berkaitan dengan aspek kesehatan (sanitary). NTMs sering disebut juga sebagai non tariff barriers (NTBs). Akan tetapi, NTMs merupakan tindakan yang lebih luas dibandingkan dengan NTBs yang umumnya cenderung diskriminatif terhadap produk impor dan termasuk kebijakan yang melanggar hukum perdagangan internasional. Pemberlakuan non tarif tersebut merupakan bentuk kebijakan yang diterapkan sebagai pengganti kebijakan tarif yang pemberlakuannya mulai menurun karena penetapan tingkat tarif di berbagai negara yang semakin dibatasi.

Hambatan non tarif tersebut merupakan bentuk proteksi pada produsen domestik, bentuk pengendalian mutu, dan persyaratan teknis dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing, serta bertujuan untuk melindungi produk-produk dalam negeri, meningkatkan kualitas produk-produk, dan melindungi hak konsumen. NTMs mendapat perhatian khusus dari eksportir dan importir di negara berkembang. Hal ini dikarenakan NTMs dapat menjadi hambatan utama dalam perdagangan internasional.

Bachetta dan Beverelli (2012) mengemukakan bahwa NTM mencakup semua instrumen kebijakan selain tarif mulai dari persyaratan pelabelan hingga kebijakan makro yang memengaruhi perdagangan. Ada beberapa jenis NTM, yakni Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) yang semakin banyak diberlakukan. Penggunaan kebijakan SPS lebih banyak pada sektor pertanian dan produk yang berasal dari hewan. SPS merupakan salah satu bentuk kebijakan yang sangat penting untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan konsumen serta melindungi lingkungan. TBT, biasa diterapkan pada sektor yang lebih luas dan memang ditemukan lebih merata pemberlakuannya pada seluruh sektor ekonomi. Penggunaannya paling banyak pada tekstil, sepatu, makan olahan, dan kimia.

(20)

4

pertumbuhan ekspornya khususnya di negara-negara tujuan ekspor selama lima tahun terakhir mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Hal ini diduga karena adanya persyaratan terkait standar mutu dan kualitas produk berupa penerapan NTMs seperti SPS dan TBT yang telah diberlakukan oleh negara pengimpor sebagai bentuk proteksi dalam negeri. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai dampak kebijakan non tarif terhadap perkembangan ekspor rempah-rempah Indonesia di negara-negara tujuan ekspornya.

Perumusan Masalah

Rempah-rempah merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang dimiliki Indonesia yang memiliki potensi besar dalam mendorong ekspor Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan data yang tersedia bahwa angka produksi rempah-rempah Indonesia tergolong tinggi. Indonesia mampu memproduksi rempah-rempah rata-rata sebesar 1 juta ton setiap tahunnya. Namun, volume yang diekspor untuk rempah-rempah rata-rata hanya sebesar 500 ribu ton atau setengah dari jumlah yang diproduksi dan cenderung mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Nilai ekspor rempah-rempah Indonesia juga cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya. Perkembangan nilai dan volume ekspor serta produksi rempah-rempah Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Volume Produksi, Volume Ekspor, dan Nilai Ekspor Rempah-Rempah Indonesia tahun 2009-2013

Tahun Volume Produksi (ton) Volume Ekspor (ton) Nilai Ekspor (juta USD)

2009 1 583 831 578 508 1 017.39

2010 1 519 856 687 996 936.29

2011 1 680 279 445 324 813.16

2012 1 858 884 699 745 685.12

2013 1 930 382 562 388 488.64

Sumber: UN COMTRADE 2015, FAO 2015

Penurunan nilai dan volume ekspor rempah-rempah Indonesia diindikasikan oleh beberapa hal. Namun, hal utama yang diduga menyebabkan penurunan tersebut yakni adanya penerapan kebijakan non tarif berupa NTMs.

Bentuk kebijakan dalam perdagangan internasional khususnya kebijakan NTMs yang mulai banyak diterapkan di negara-negara pelaku perdagangan menyebabkan ekspor Indonesia, salah satunya rempah-rempah mengalami beberapa kendala seperti terjadinya kasus penolakan ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.

Menurut UNCTAD (2013), yang termasuk jenis NTMs yaitu SPS dan TBT memiliki dampak perdagangan yang paling banyak diakui dan diberlakukan oleh seluruh negara di dunia. Tingginya nilai SPS dan TBT yang diberlakukan oleh suatu negara pengimpor dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pengekspor dari negara berkembang seperti Indonesia karena harus lebih memperhatikan persyaratan yang telah diberlakukan untuk menjamin keamanan dan standar kualitas dari produk atau komoditi yang diperdagangkan.

(21)

5

tersebut pada negara tujuan ekspor rempah-rempah mengharuskan Indonesia lebih memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan dan harus memenuhi persyaratan tersebut. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut mengenai SPS dan TBT yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor rempah-rempah Indonesia dan pengaruhnya terhadap perkembangan ekspor rempah-rempah Indonesia.

Berdasarkan penjabaran yang telah dipaparkan maka yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia?

2. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas rempah-rempah Indonesia di negara-negara tujuan ekspor?

3. Bagaimana dampak NTMs pada ekspor rempah-rempah Indonesia? Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia.

2. Menganalisis pemberlakuan NTMs pada komoditas rempah-rempah Indonesia di negara-negara tujuan ekspor.

3. Menganalisis dampak pemberlakuan NTMs terhadap kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia.

Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak, diantaranya sebagai berikut:

1. Bagi penulis diharapkan dapat melatih kemampuan penulis dalam menganalisis dampak NTMs terhadap ekspor rempah-rempah dan menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi ekspor rempah-rempah Indonesia selain pengaruh dari kebijakan NTMs.

2. Bagi pemerintah atau instansi terkait diharapkan dapat memberikan masukan terkait dengan kebijakan perdagangan khususny NTMs.

3. Bagi masyarakat diharapkan dapat menambah wawasan serta informasi mengenai kebijakan perdagangan dalam bentuk NTMs dan dampaknya terhadap ekspor rempah-rempah Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

(22)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa yang dilakukan penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Faktor utama yang menjadi alasan suatu negara melakukan perdagangan internasional adalah adanya perbedaan sumberdaya antarnegara dan setiap negara bertujuan mencapai skala ekonomis dalam produksinya (Krugman dan Obstfeld 2000). Perbedaan antarnegara yang mendorong terjadinya perdagangan internasional adalah perbedaan sumberdaya alam, sumberdaya modal, tenaga kerja, dan teknologi yang mengakibatkan perbedaan efisiensi produksi antarnegara (Halwani 2002).

Secara umum, perdagangan internasional terdiri dari kegiatan ekspor dan impor. Ekspor merupakan suatu kegiatan menjual barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara ke negara lain, sebaliknya impor merupakan suatu kegiatan dimana suatu negara membeli barang dan jasa dari negara lain. Negara yang memproduksi lebih dari kebutuhan dalam negerinya dapat mengekspor kelebihan produksi tersebut ke negara lain. Akan tetapi, negara yang tidak mampu memproduksi sendiri dapat mengimpor dari negara lain. Pada dasarnya ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perdagangan internasional. Pertama, keinginan suatu negara untuk memperluas pasaran komoditinya. Kedua, suatu negara ingin memperoleh devisa untuk membiayai pembangunan dalam negeri. Ketiga, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara atas produk tertentu. Keempat, adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan produk tertentu (Salvatore, 1997).

Teori Hambatan Perdagangan

Perdagangan bebas (free trade) bertujuan untuk memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya. Namun dalam kenyataannya hampir setiap negara menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas. Bentuk hambatan perdagangan antara lain hambatan tarif dan hambatan non tarif (Salvatore 1997).

Hambatan Tarif

(23)

7

Hambatan Non Tarif

Hambatan non tarif merupakan hambatan perdagangan yang terjadi di era modern dan merupakan bentuk proteksi perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Bentuk hambatan non tarif yang sering digunakan adalah kuota impor, pembatasan ekspor secara sukarela, dan anti

dumping. Pemerintah melakukan intervensi dalam perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrument kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela, dan persyaratan kandungan lokal. Perkembangan hambatan non tarif ini kemudian memberi ruang bagi WTO untuk mendisiplinkan penggunaannya. WTO mendefinisikan kebijakan-kebijakan perdagangan non tarif dengan istilah non tariff measures (NTMs).

Non Tariff Measures (NTMs)

Non Tariff Measures (NTMs) merupakan sejumlah tindakan selain tarif yang memiliki dampak pada arus perdagangan. NTMs terdiri dari tiga kategori. Kategori pertama yaitu NTMs yang dikenakan pada impor. Kategori ini mencakup antara lain kuota, larangan impor, perizinan impor, prosedur penilaian kesesuaian, dan administrasi biaya. Kategori kedua yakni NTMs yang dikenakan pada ekspor. Kategori ini termasuk diantaranya pajak ekspor, subsidi ekspor, kuota ekspor, larangan ekspor, dan pembatasan ekspor secara sukarela. Kategori ketiga yaitu NTMs yang dikenakan secara internal di dalam suatu negara. Tindakannya termasuk legislasi domestik, meliputi tenaga kerja, standar kesehatan lingkungan, regulasi teknis, pajak-pajak internal, atau subsidi domestik (Staiger 2012).

NTMs mencakup semua instrumen selain tarif, mulai dari persyaratan pelabelan hingga makro yang memengaruhi kebijakan perdagangan. Tindakan ini telah tumbuh sebagai pengurangan tarif yang besar. Di antara NTMs, khususnya tindakan SPS dan hambatan teknis perdagangan TBT telah dikembangkan. Tindakan ini memiliki banyak kesamaan tindakan standar yang memengaruhi biaya dan potensi permintaan dengan mengatasi ketidaksempurnaan pasar, pengaruh eksternal (Baccheta dan Beverelli dalam Beghin 2013).

UNCTAD juga mengklasifikasikan NTMs. Pada tahun2006, klasifikasi NTMs dibahas dan disepakati oleh beberapa organisasi internasional yang membentuk Multi Agency Support Team (MAST). Klasifikasi tersebut tidak didasarkan pada kecukupan, kebutuhan, atau diskriminasi dalam bentuk intervensi kebijakan apapun yang digunakan dalam perdagangan internasional, melainkan didasarkan pada realitas perdagangan, metode penghitungan, dan pengumpulan data NTMs. Terdapat enam belas klasifikasi yang dibuat oleh UNCTAD. Enam kategori diantaranya price contol measures; finance measures; automatic licensing measures; quantity control measures; monopolistic measures; dan

technical measures.

Hal yang baru dari klasifikasi NTMs ini yakni dengan adanya penambahan beberapa cabang klasifikasi baru yang merupakan perluasan dari klasifikasi NTMs yang lama seperti kebijakan terkait ekspor yakni subsidi. Klasifikasi NTMs yang disusun oleh UNCTAD dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu Import Measures

dan Export Measures. Pada import measures terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu

(24)

8

hanya satu klasifikasi yaitu export related measures. Skema klasifikasi baru NTMs dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi Baru Non Tariff Measures

Impor

Pre-Shipment Inspection and Other Formalities

Non Technical Measures

Contingent Trade-Protective Measures

Non-Automatic Licensing, Quotas, Prohibitions and Quantity Control Measures Other Than For SPS or TBT Reasons

Price-Control Measures, including Additional Taxes and Charges

Subsidies (Excluding Export Subsidies Under P7)

Government Procurement Restrictions Intellectual Property

Rules of Origin

Exports Measures Export-Related Measures

Sumber: UNCTAD, 2013

Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)

Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian produk guna menjamin keamanan, kualitas, dan perlindungan lingkungan.

Menurut UNCTAD (2013) definisi dari SPS adalah tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun, atau organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit, untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab penyakit. Selain itu, untuk mencegah atau membatasi kerusakan lainnya, pembentukan atau penyebaran hama, dan melindungi keanekaragaman hayati. Hal ini termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi kesehatan dari ikan dan fauna liar, serta hutan dan tumbuhan liar.

(25)

9

penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, diantaranya mencakup prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, serta evaluasi.

Kajian Terdahulu

Bratt (2014) meneliti mengenai dampak bilateral NTMs pada 85 negara dengan menggunakan model gravity yang mencakup variabel keunggulan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NTMs memiliki dampak negatif. Bagi negara eksportir yang berpendapatan rendah, pemberlakuan NTMs oleh negara yang berpendapatan tinggi cenderung memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan NTMs yang diberlakukan oleh negara berkembang kepada eksportir negara maju.

Dahar et al. (2014) menganalisis mengenai dampak pemberlakuan NTMs

pada ekspor holtikultura Indonesia ke negara ASEAN+3. Penelitian ini menganalisis regulasi SPS dan TBT pada perdagangan hortikultura dengan menggunakan pendekatan inventory untuk mengukur NTMs dan model gravity

untuk melihat dampak NTMs terhadap ekspor hortikultura Indonesia ke negara tujuan ekspornya. Hasil analisis menunjukkan bahwa NTMs berupa SPS dan TBT berpengaruh negatif pada ekspor hortikultura Indonesia ke mitra dagangnya dan kelompok hortikultura yang paling banyak terkena NTMs adalah kelompok buah-buahan. Selain itu, negara ASEAN+3 yang paling banyak memberlakukan NTMs adalah Jepang dan dominan SPS.

Margaretha (2012) meneliti mengenai hambatan non tarif SPS yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap ekspor udang Indonesia dengan menggunakan model gravity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan non tarif SPS memiliki dampak yang negatif terhadap nilai ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dan kebijakan tersebut bersifat restriktif terhadap perdagangan bilateral komoditas yang bersangkutan serta tidak sesuai dengan semangat perdagangan bebas yang diusung oleh WTO.

Nakakeeto (2011) mengkaji dampak NTMs terhadap perdagangan komoditi di Uganda, Mali, dan Senegal. Penelitian ini menggunakan pendekatan

inventory untuk mengukur NTMs dan model gravity untuk melihat dampak NTMs terhadap ekspor komoditi pertanian. Pada penelitian ini digunakan tiga indikator yang berbeda untuk mengukur NTMs yaitu variabel dummy, coverage ratio, dan

advalorem equivalent of NTMs. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda untuk ketiga model. Model dengan menggunakan variabel dummy NTMs menunjukkan bahwa NTMs memiliki dampak yang negatif terhadap ekspor. Model dengan menggunakan indikator coverage ratio dan AVE’s of NTMs

menunjukkan bahwa NTMs memiliki dampak positif terhadap ekspor.

(26)

10

bahwa Indonesia tetap diijinkan untuk mengekspor ke Uni Eropa tetapi harus sesuai dengan standar yang diberlakukan.

Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan memiliki potensi besar pada produk pertaniannya. Salah satu hasil dari sektor pertanian yang sangat potensial dan merupakan salah satu komoditi ekspor potensial Indonesia adalah rempah-rempah. Rempah-rempah Indonesia yang bernilai tinggi dan berkontribusi besar terhadap ekspor Indonesia dari sektor non migas adalah lada, kayu manis, dan pala. Pasar utama bagi ekspor rempah-rempah Indonesia adalah Amerika Serikat, Kanada, China, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand.

Namun, pada tahun 2012 tercatat 21 kali terjadi penolakan ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor (Indonesia Business Daily 2015). Tingginya standar mutu dan banyaknya persyaratan yang berkaitan dengan aspek kesehatan (sanitary) yang diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor merupakan salah satu bentuk dari NTMs. NTMs dapat berupa hambatan perdagangan teknis, isu sanitasi, dan isu standar lingkungan terkait dengan komoditi yang diperdagangkan dan salah satunya adalah komoditas rempah-rempah. Salah satu bentuk NTMs yang paling banyak digunakan yaitu SPS dan TBT. Penggunaan SPS dan TBT paling banyak pada sektor pertanian dan makanan olahan yang bertujuan untuk melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan hidup dari transfer penyakit, serta pemenuhan standar mutu produk.

(27)

11

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dan alur kerangka pemikiran, maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. GDP per kapita negara pengimpor diduga berpengaruh positif terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.

2. Populasi negara tujuan ekspor diduga berpengaruh positif terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.

Non Tariff Measures (SPS dan TBT)

Implementasi NTMs(SPS dan TBT) terhadap ekspor rempah-rempah Indonesia

Dampak penerapan NTMs terhadap ekspor rempah-rempah Indonesia

Implikasi Kebijakan

Rempah-rempah termasuk 10 komoditi ekspor potensial Indonesia

Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Rempah-Rempah Indonesia Terjadi penolakan ekspor rempah-rempah Indonesia di negara tujuan

ekspor

Pendekatan Inventory

(Frequency Index dan

Coverage ratio)

 GDP per kapita

 Nilai tukar riil

 Populasi negara tujuan

 Jarak ekonomi

Frequency Index SPS & TBT

(28)

12

3. Nilai tukar riil diduga berpengaruh positif terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.

4. Jarak ekonomi yang direpresentasikan oleh biaya transaksi diduga berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor. 5. Non Tariff Measures yang diberlakukan pada komoditas rempah-rempah di negara

pengimpor diduga berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder time-series periode 2009-2013 dan cross section negara tujuan ekspor meliputi Amerika Serikat, Singapura, Jepang, Kanada, China, Korea Selatan, dan Thailand. Data-data tersebut meliputi data NTMs berupa pemberlakuan SPS dan TBT, GDP Per Kapita negara pengimpor, volume dan nilai ekspor dan impor rempah-rempah Indonesia, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi, nilai tukar riil Indonesia terhadap dollar AS.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya World Trade Organization (WTO), United Nation Commodity Trade (Un Comtrade), World Bank, International Financial Statistic, Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, CEPII, Kementerian Perdagangan, dan Food and Agriculture Organization (FAO).

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua metode analisis yaitu analisis deskriptif dengan pendekatan inventory dan analisis data panel dengan model gravity.

Pendekatan Inventory

Analisis deskriptif merupakan analisis yang digunakan untuk memaparkan gambaran umum mengenai kinerja perdagangan komoditas rempah-rempah Indonesia dan kebijakan perdagangan berupa NTMs khususnya SPS dan TBT yang diberlakukan di negara-negara tujuan ekspor. Pada bagian ini terdapat dua sub pokok bahasan. Pertama, membahas mengenai kinerja perdagangan komoditas rempah-rempah Indonesia terhadap negara-negara tujuan ekspor. Kedua, membahas kebijakan yang terkait dengan SPS dan TBT di negara-negara tujuan ekspor pada komoditas rempah-rempah. Pada bagian ini akan dilakukan analisis pemberlakuan SPS dan TBT dengan menggunakan pendekatan inventory

(inventory approach) yaitu melakukan inventarisasi kebijakan-kebijakan non tarif khususnya SPS dan TBT yang dilakukan oleh setiap negara dengan menggunakan

frequency index dan coverage ratio pada periode waktu yang disesuaikan dengan ketersediaan data sebagai indikatornya.

(29)

13

dijadikan sebagai ukuran tingkat hambatan suatu negara. Sedangkan coverage ratio untuk menghitung persentase besarnya cakupan komoditi impor yang terkena NTMs pada negara pengimpor serta mengukur pentingnya NTMs pada keseluruhan impor. Merujuk pada metodologi yang digunakan oleh Bora et al,

(2002) kedua indikator dapat dirumuskan dalam persamaan berikut:

=

x100

=

x 100 Dimana:

= Frequency index negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun

t (%)

= Coverage ratio negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun

t (%)

= variabel dummy yang menunjukkan ada atau tidaknya NTMs pada produk k pada tahun t (1 atau >1 = ada NTMs, 0 = tidak ada NTMs) = jumlah produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor

= volume impor komoditi dari negara i ke negara j j = negara pengimpor

i = negara pengekspor k = produk yang diimpor

t = tahun diberlakukannya NTMs

T = total tahun dari jumlah yang diimpor negara tujuan

Nilai frequency index dan coverage ratio berada pada rentang nilai 0-100. Nilai frequency index yang semakin kecil dan mendekati 0 menunjukkan semakin sedikit penggunaan NTMs oleh suatu negara. Sebaliknya, nilai frequency index

yang semakin besar dan mendekati 100 menunjukkan semakin banyak penggunaan NTMs oleh suatu negara. Semakin tinggi nilai frequency index

menunjukkan negara tersebut semakin protektif terhadap perdagangan. Nilai

coverage ratio yang semakin kecil menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan semakin kecil, sedangkan nilai coverage ratio yang semakin besar menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan NTMs semakin luas.

Model Gravity

(30)

14

menggunakan pendekatan frequency index dan coverage ratio sebagai variabel bebasnya. Secara ekonometrika model tersebut dirumuskan sebagai berikut: Model 1:

ln = α + + + + +

+ + Model 2:

ln = α + + + + +

+ + Dimana:

= nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara j pada tahun t (juta US$)

= GDP perkapita negara pengimpor j pada tahun t (juta US$) = populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa)

= jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan (km) = nilai tukar riil Indonesia terhadap negara pengimpor j pada tahun

t (Rp/US$)

= coverage ratio TBT negara pengimpor j terhadap rempah-rempah Indonesia pada tahun t (%)

= coverage ratio SPS negara pengimpor j terhadap rempah-rempah Indonesia pada tahun t (%)

= frequency index TBT negara pengimpor j terhadap rempah rempah Indonesia pada tahun t (%)

= frequency index SPS negara pengimpor j terhadap rempah rempah Indonesia pada tahun t (%)

Definisi Operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Ekspor (X) adalah total nilai ekspor komoditi rempah-rempah (lada, kayu

manis, dan pala) Indonesia ke negara tujuan utama.

2. GDP perkapita (GDPC) merupakan jumlah pendapatan rata-rata dari penduduk suatu negara pada periode tertentu.

3. Populasi (POP) adalah jumlah penduduk di negara tujuan ekspor dalam satu tahun.

4. Real Exchange Rate (RER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor terhadap negara pengimpor yang diperoleh dari:

RER = Nilai tukar nominal ×

5. Jarak ekonomi (EDIST) merupakan variabel yang merepresentasikan biaya transportasi yang diperoleh dari:

(31)

15

6. Frequency Index SPS (FI SPS) adalah ukuran seberapa seringnya NTM berupa SPS yang dikenakan pada suatu produk dan diukur dalam satuan persen.

7. Frequency Index TBT (FI TBT) adalah ukuran seberapa seringnya NTM berupa TBT yang dikenakan pada suatu produk dan diukur dalam satuan persen. 8. Coverage Ratio SPS (CR SPS) adalah ukuran NTM berupa SPS yang dihitung

dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan persen.

9. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah ukuran NTM berupa SPS yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan persen.

Pemilihan Model

Terdapat tiga pengujian statistik yang digunakan dalam data panel untuk menentukan model mana yang paling baik untuk dipilih, yaitu:

1. Uji Chow

Uji Chow atau yang biasa disebut uji F statistic merupakan pengujian statistik yang bertujuan untuk memilih apakah menggunakan model Pooled Least Square atau Fixed Effect. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu:

H0 : model pooled square H1 : model fixed effect

Jika nilai F-stat hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0, artinya model yang dipilih adalah model

fixed effect, dan sebaliknya 2. Uji Hausman

Uji Hausman merupakan pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau menggunakan model

random effect. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu: H0 : model random effect

H1 : model fixed effect

Jika nilai Hausman test hasil pengujian lebih besar dari Chi square, maka cukup bukti untuk menolak H0, artinya model yang dipilih adalah model fixed effect, dan sebaliknya.

3. Uji LM

Uji LM (The Breush-Pagan LM Test) merupakan pengujian statistik yang digunakan sebagai dasar pertimbangan statistik dalam memilih model random effect dan pooled least square. Hipotesis dari pengujian ini yaitu:

H0 : model pooled square H1 : model random effect

Dasar penolakan H0 yaitu dengan cara membandingkan antara nilai statistik LM dengan nilai Chi-square. Apabila nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari tabel Chi-square, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah random effect, dan sebaliknya.

Uji Kesesuaian Model

(32)

16

a) Uji F (Uji untuk semua variabel)

Uji F bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan probabilitas nilai F statistik (p-value) dengan probabilitas taraf nyata (α) yang digunakan. Analisa pengujian uji F adalah sebagai berikut: 1. Pengujian Hipotesis

Hipotesisnya adalah :

H0= parameter model bernilai nol (β1 = β2= β3= βk= 0)

H1 = minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol. 2. Penentuan penerimaan atau penolakan H0

Apabila:

P-value > α, maka H0 diterima

P-value < α, maka H0 ditolak.

3. Apabila keputusan yang diperoleh adalah p-value < α dimana koefisien regresi berada di luar daerah penerimaan H0, maka implikasinya tolak H0. Artinya minimal ada salah satu dari variabel independen yang dapat memengaruhi secara nyata terhadap variabel independennya. Apabila didapatkan p-value > α, maka implikasinya terima H0 artinya variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya.

b) Uji t (Uji Parsial)

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara individu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap varibel dependen. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0= βi = 0 i= 1,2,3…..

H1= βi≠ 0 Apabila:

Probabilitas t-statistik (p-value) < taraf nyata, maka implikasinya tolak H0 Probabilitas t-statistik (p-value) > taraf nyata, maka implikasinya terima H0. Apabila tolak H0, maka variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Sebaliknya, jika terima H0 maka variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel independen.

c) Uji Keberartian Model (Uji )

Uji dilakukan untuk mengukur kebaikan (goodness of fit) dari garis regresi. Pengujian ini digunakan untuk melihat sejauhmana variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen. Semakin besar nilai (mendekati 1), maka ketepatan dikatakan semakin baik (Gujarati, 1997). Lebih lanjut Gujarati menjelaskan bahwa nilai selalu berada diantara 0 dan 1. Apabila = 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dan variabel dependen, atau model regesi yang terbentuk tidak tepat untuk meramalkan variabel dependen. Apabila = 1, garis regresi yang terbentuk dapat meramalkan variabel dependen secara sempurna.

Pengujian Asumsi Klasik a) Uji Autokolerasi

Autokorelasi mencerminkan adanya hubungan yang terjadi antara error

(33)

17

statistiknya yang dibandingkan dengan nilai dari tabel DW (Tabel 4). Berikut merupakan kerangka identifikasi dalam menentukan ada tidaknya autokorelasi. Tabel 4 Kerangka Identifikasi Autokorelasi

Nilai DW Hasil

4-dl<DW<4 Tolak H0, autokorelasi negatif 4-du<DW<4-dl Hasil tidak dapat ditemukan 4<DW<4-du Terima H0, tidak ada autokorelasi du<DW<2 Terima H0, tidak ada autokorelasi dl<DW<du Hasil tidak dapat ditentukan 0<DW<dl Autokorelasi positif

Sumber: Gujarati, 2004 b) Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas terjadi apabila terdapat hubungan linier antar variabel independen. Indikasi terjadinya multikolinearitas adalah dengan melihat hasil t dan F statistik hasil regresi. Apabila koefisien parameter dari t statistik banyak yang tidak signifikan sementara F hitungnya signifikan, maka patut diduga terjadi masalah multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan cara menghilangkan variabel yang tidak signifikan, mentransformasi data, dan menambah variabel.

c) Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term

terdistribusi normal. Untuk mengetahui adanya normalitas, maka digunakan uji

Jarque-Bera. Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata (α), maka persamaan tersebut tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal.

d) Uji Heteroskedastisitas

Uji ini digunakan untuk melihat varians residual apakah konstan atau berubah-ubah. Apabila varians residual konstan maka asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Salah satu cara untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan Uji White. Uji White

menggunakan residual kuadrat sebagai variabel dependen yang diregresikan terhadap variabel-variabel independennya.

Uji heteroskedastisitas hipotesisnya adalah: H0 = Homoskedastisitas.

H1 = Heteroskedastisitas.

Apabila dalam pengujian yang dilakukan, didapatkan nilai p-value lebih besar dari

(34)

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Perdagangan Rempah-Rempah Indonsia

Indonesia merupakan negara pengahasil rempah-rempah yang sudah terkenal sejak zaman penjajahan. Rempah-rempah merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh subur di kawasan tropis, seperti Indonesia. Selain sebagai kekuatan dalam menciptakan rasa dan aroma pada makanan, rempah-rempah juga memiliki banyak khasiat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat dan kosmetik. Sebagai bahan baku utama dalam menciptakan cita rasa dalam makanan, hampir seluruh masyarakat di berbagai negara membutuhkan rempah-rempah sebagai perisa dan pengawet yang bersifat alami. Hal tersebut menyebabkan banyak negara-negara lain yang di negaranya tidak dapat ditumbuhi tanaman rempah-rempah harus mengekspor rempah-rempah dari Indonesia. Oleh karena itu, rempah-rempah termasuk salah satu komoditi ekspor yang sangat potensial bagi Indonesia.

Ekspor Lada Indonesia

Salah satu jenis rempah-rempah yang digunakan dalam penelitian ini adalah lada. Berdasarkan Tabel 5, ditunjukkan bahwa kinerja ekspor lada mengalami perubahan setiap tahunnya dilihat dari pertumbuhan nilai ekspornya selama tahun 2009 hingga 2013 dimana pada tahun 2011 mengalami penurunan yang tidak terlalu tinggi hanya sebesar 2.85% dan tahun 2012 mengalami kenaikan yang cukup signifikan mencapai 65.67% hingga pada akhirnya mengalami penurunan kembali sebesar 16.64% pada tahun 2013. Begitu pula dengan volume ekspornya yang mengalami penurunan sebesar 20.52% pada tahun 2013.

Tabel 5 Ekspor lada Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama

Tahun Volume Ekspor

(35)

19

peningkatan hingga mencapai angka 65.13% dan volume ekspornya juga meningkat sebesar 49.16%.

Tabel 6 Ekspor kayu manis Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama

Tahun Volume Ekspor

(ton)

Tingkat Pertumbuhan (%)

Nilai Ekspor

(juta USD) Tingkat Pertumbuhan (%)

2009 19 584.73 0 17.49 0 digunakan oleh masyarakat di berbagai negara sebagai perisa dan pengawet alami dalam menghasilkan produk makanan tertentu. Tabel 7 menunjukkan tingkat pertumbuhan ekspor pala ke negara tujuan ekspornya selama periode tahun 2009-2013. Tahun 2009 dan 2010 kinerja ekspor pala menunjukkan pertumbuhan yang positif dimana nilai ekspornya mengalami kenaikan yang cukup tinggi hingga mencapai 78% di tahun 2011, sedangkan volume ekspornya mengalami penurunan. Sementara pada tahun 2013, baik volume maupun nilai ekspor pala memperlihatkan tren yang menurun dimana terus mengalami pertumbuhan yang negatif.

Tabel 7 Ekspor pala Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama

Tahun Volume Ekspor

Ekspor Rempah Rempah ke Negara Tujuan Utama

(36)

20

USD di tahun 2013. Selanjutnya, Jepang juga merupakan negara yang cukup berpotensi untuk ekspor rempah-rempah Indonesia dimana total nilai ekspornya juga cenderung meningkat dari tahun 2009 hingga 2012, meskipun pada tahun 2013 mengalami penurunan namun ekspor rempah-rempah ke Jepang tetap mengalami surplus neraca perdagangan.

Kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia yang ditunjukkan oleh neraca perdagangan rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor utama selama periode tahun 2009 hingga tahun 2013 hampir keseluruhan mengalami surplus kecuali pada tahun 2009 hingga 2011 untuk negara China (Lampiran 1) . Surplus neraca perdagangan terbesar pada tahun 2012 ke negara Amerika Serikat sebesar 198.23 juta USD, sedangkan defisit terbesar ke negara China pada tahun 2009 yang mencapai nilai sebesar 3.18 juta USD. Defisit neraca perdagangan rempah-rempah Indonesia ke negara China pada tahun 2009 hingga 2011disebabkan oleh defisit neraca perdagangan pada komoditi Lada dengan nilai sebesar 3.69 juta USD (Lampiran 2). Hal ini dikarenakan volume impor lada dari China lebih besar dibandingkan volume ekspor lada Indonesia ke China. China bukan merupakan negara penghasil lada, tetapi China memiliki sarana processing yang dapat meningkatkan mutu rempah-rempah yang diimpornya dari negara lain untuk diolah dan diekspor kembali. Lada mengalami surplus terbesar hampir ke seluruh negara tujuan ekspor. Pala mengalami surplus terbesar yakni ke negara Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Kayu manis juga mengalami surplus terbesar yakni ke negara Amerika Serikat dan Thailand. Kinerja perdagangan Indonesia terhadap negara tujuan ekspor untuk masing-masing kelompok rempah-rempah menunjukkan kondisi yang relatif baik yang dibuktikan dengan neraca perdagangan yang hampir keseluruhan mengalami surplus. Hal ini membuktikan rempah-rempah sebagai salah satu komoditi potensial yang dapat mendorong neraca perdagangan nasional.

Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTMs) pada Rempah-Rempah Indonesia

Bentuk kebijakan dalam perdagangan internasional khususnya kebijakan NTMs yang mulai banyak diterapkan di negara-negara pelaku perdagangan menyebabkan terbentuknya hambatan perdagangan dalam bentuk yang baru. Perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin memperhatikan kesehatan dan keamanan dalam mengkonsumsi suatu produk serta proses produksi dari suatu produk tersebut yang ramah lingkungan menyebabkan kebijakan NTMs mendapat perhatian khusus bagi negara-negara yang melakukan perdagangan internasional, terutama terkait dengan pengendalian mutu dan kualitas produk.

Kebijakan NTMs yang paling banyak diberlakukan dalam sektor pertanian terdiri atas Sanitary and phytosanitary (SPS) dan Technical barriers to trade

(37)

21

Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi rempah-rempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2000-2013

Negara SPS TBT Total

Pada Tabel 8 dijelaskan bahwa negara-negara tujuan ekspor rempah-rempah Indonesia memberlakukan kebijakan SPS dan TBT kecuali Singapura. Kebijakan SPS merupakan yang paling banyak diberlakukan oleh negara-negara tersebut. Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan NTMs adalah Kanada dengan total 338 kebijakan yang terdiri atas 328 kebijakan SPS dan 10 kebijakan TBT. Kebijakan SPS yang paling banyak diberlakukan oleh Kanada sebagian besar terkait keamanan pangan, kesehatan manusia, kesehatan tanaman, kontrol dan pemeriksaan, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman,

food additives, maximum residues limits (MRLs), pestisida, sertifikasi, serta pelabelan. Adapun kebijakan TBT yang diberlakukan diantaranya terkait standar pangan, kesehatan tanaman, nutrition information, trade facilitation, organic agriculture, dan pelabelan.

Negara yang paling banyak memberlakukan NTMs berikutnya adalah negara China dengan total 75 kebijakan berupa 63 kebijakan SPS dan 12 kebijakan TBT. Pemberlakuan SPS sebagian besar terkait keamanan pangan, kesehatan manusia, kontrol dan pemeriksaan, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, food additives, contaminants (zat pencemar), heavy metals (logam berat), hygienic standard, packaging, dan sertifikasi. Kebijakan TBT yang diberlakukan diantaranya mencakup standar keamanan pangan, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, kesehatan tanaman, perlindungan konsumen, dan pelabelan. Thailand merupakan negara yang juga banyak memberlakukan NTMs yaitu sebanyak 51 kebijakan SPS dan 10 kebijakan TBT. Kebijakan SPS yang diberlakukan berupa keamanan pangan, kesehatan manusia, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, food additives, contaminants, toxins, bacteria, control dan pemeriksaan, pelabelan, dan sertifikasi. Adapun kebijakan TBT yang diberlakukan meliputi standar pangan, perlindungan terhadap lingkungan, nutrition information, dan pelabelan.

(38)

22

maximum residues limits (MRLs), sedangkan kedua jumlah kebijakan TBT diberlakukan untuk kebijakan pelabelan. Korea Selatan hanya memberlakukan kebijakan TBT dan hanya sebanyak 7 kebijakan yaitu mencakup standar pangan,

nutrition information, organic agriculture, dan pelabelan. Adapun negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTM yaitu Singapura.

Tabel 9 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi rempah-rempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2009-2013

Negara 2009 2010 2011 2012 2013

Pada Tabel 9 dijelaskan mengenai pemberlakuan NTMs di negara-negara tujuan ekspor rempah-rempah dari tahun 2009 hingga 2013. Pada lima tahun terakhir Kanada hanya memberlakukan sebanyak 203 kebijakan NTMs yang terdiri dari 201 kebijakan SPS dan kebijakan TBT yang hanya 2 kebijakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kanada juga merupakan negara yang paling banyak memberlakukan kebijakan NTMs. China juga merupakan negara yang cukup banyak memberlakukan NTMs yaitu terdapat 66 kebijakan berupa 61 kebijakan SPS dan 5 kebijakan TBT. Kemudian Jepang yang hanya memberlakukan kebijakan SPS sebanyak 36 kebijakan. Selanjutnya, Amerika Serikat yang memberlakukan NTMs dimulai pada tahun 2010 sebanyak 27 kebijakan yang meliputi 9 kebijakan SPS dan 18 kebijakan TBT. Sedangkan Thailand hanya memberlakukan 21 kebijakan berupa 18 kebijakan SPS dan 3 kebijakan TBT. Adapun Korea Selatan yang pada lima tahun terakhir tidak memberlakukan kebijakan NTMs dan Singapura yang memang tidak memberlakukan kebijakan NTMs. Jepang merupakan salah satu negara yang memberlakukan NTMs cukup tinggi karena kebijakan lain berupa tarif yang diberlakukan untuk ekspor dari Indonesia ke Jepang khususnya rempah-rempah dikenakan tarif yang paling rendah yaitu sebesar 3 persen. Amerika Serikat juga merupakan salah satu negara yang memberlakukan tarif bea masuk yang relatif rendah karena dimasukkan dalam klasifikasi tarif Most Favoured Nation (MFN). Selain itu, Indonesia menikmati bebas tarif bea masuk karena produk ekspornya termasuk dalam produk Generalized Sysem of Preferences (GSP) yakni salah satunya produk pertanian. Oleh karena itu, sebagai bentuk kebijakan lain Amerika Serikat menerapkan hambatan non tarif yang berlaku bagi produk-produk impor dari Indonesia.

Frequency Index dan Coverage Ratio

(39)

23

mendefinisikan frequency index sebagai indikator untuk menghitung ada atau tidaknya pemberlakuan NTMs pada suatu komoditi dan menghitung persentase dari produk yang menggunakan satu atau lebih NTMs. Coverage ratio merupakan indikator untuk menghitung persentase dari subjek perdagangan yang terkena NTMs pada negara pengimpor serta mengukur pentingnya NTMs pada keseluruhan impor.

Gambar 5 menunjukkan bahwa ekspor rempah-rempah ke negara tujuan ekspor dari tahun 2009 hingga 2013 yang terkena SPS berdasarkan frequency index berkisar antara 0.82% hingga 100%. Negara-negara yang banyak memberlakukan kebijakan SPS pada komoditi rempah-rempah yaitu Jepang dan Thailand dengan menunjukkan angka yang konsisten selama lima tahun terakhir sebesar 100%. Kanada juga merupakan negara yang menunjukkan penggunaan SPS sangat tinggi selama tahun 2010 hingga 2012 sebesar 100%, namun berbeda pada tahun 2013 dimana kebijakan SPS tidak diberlakukan di negara ini. Sementara untuk Amerika Serikat dan China, menunjukkan nilai yang berfluktuasi setiap tahunnya. Namun demikian, Amerika Serikat memberlakukan kebijakan SPS cukup tinggi yaitu pada tahun 2010, 2012, dan 2013 masing-masing sebesar 46.85%, 100%, dan 96.01%, sedangkan pada tahun 2009 dan 2011 kebijakan SPS tidak diberlakukan. Jepang juga memberlakukan kebijakan SPS yang sangat tinggi pada tahun 2010 dan 2011 yaitu sebesar 100%. Sementara pada tahun 2012 pemberlakukan kebijakan SPS menurun tajam hanya sebesar 0.82%, sedangkan pada tahun 2009 dan 2013 tidak memberlakukan kebijakan SPS. Adapun negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTMs SPS selama kurun waktu 2009-2013 yakni Korea Selatan dan Singapura.

Sumber: Data setelah diolah 2015

Gambar 3 Frequency index SPS pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan utama tahun 2009-2013

(40)

24

memberlakukan TBT hanya pada tahun 2009 hingga 2012, dimana tahun 2009 hingga 2011 pemberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% dan menurun sebesar 99.18% pada tahun 2012. Selanjutnya, Thailand yang konsisten memberlakukan TBT sangat tinggi namun hanya pada tahun 2010 hingga 2012 sebesar 100% dan Kanada yang juga memberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% hanya pada tahun 2009 dan 2013. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura merupakan negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTMs TBT selama periode waktu tersebut.

Sumber: Data setelah diolah 2015

Gambar 4 Frequency index TBT pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan utama tahun 2009-2013

Pengukuran NTMs melalui pendekatan inventory selain menggunakan

frequency index juga dengan menggunakan coverage ratio. Pengukuran NTMs dengan menggunakan coverage ratio bertujuan untuk melihat besarnya cakupan impor yang terkena dampak NTMs di negara yang bersangkutan berdasarkan dengan besarnya nilai coverage ratio. Sama halnya dengan frequency index SPS dan TBT yang cenderung tinggi, coverage ratio SPS dan TBT pada ekspor rempah-rempah Indonesia di negara tujuan ekspor juga memiliki nilai yang tinggi. Berdasarkan Gambar 7, negara yang paling banyak memberlakukan kebijakan SPS adalah Jepang dan Thailand dengan menunjukkan angka yang konsisten selama kurun waktu 2009-2013 yakni dengan nilai coverage ratio

(41)

25

Sumber: Data setelah diolah 2015

Gambar 5 Coverage ratio SPS pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan utama tahun 2009-2013

Persentase dampak TBT yang dikenakan pada rempah-rempah Indonesia selama tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 8. Penggunaan TBT berdasarkan nilai coverage ratio paling banyak diterapkan oleh Amerika Serikat, China, dan Thailand. Amerika Serikat memberlakukan TBT hanya pada tahun 2010 hingga 2013. Pada tahun 2010 hingga 2012 menunjukkan angka yang konsisten sebesar 100% dan pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 89.05%. China memberlakukan TBT hanya pada tahun 2009 hingga 2012, dimana tahun 2009 hingga 2011 pemberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% dan menurun sebesar 98.41% pada tahun 2012. Selanjutnya, Thailand yang konsisten memberlakukan TBT sangat tinggi namun hanya pada tahun 2010 hingga 2012 sebesar 100% dan Kanada yang juga memberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% hanya pada tahun 2009 dan 2013. Sementara Jepang, Korea Selatan, dan Singapura merupakan negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTMs TBT selama periode tahun tersebut.

Sumber: Data setelah diolah 2015

(42)

26

Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Rempah-Rempah Indonesia

Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujauan utama dijelaskan dengan menggunakan regresi data panel. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekspor rempah-rempah Indonesia (X), sedangkan variabel independen yang digunakan adalah GDP per kapita negara tujuan ekspor (GDPC), populasi negara tujuan ekspor, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara tujuan (RER), jarak ekonomi (EDIST), frequency index SPS (FI SPS), frequency index TBT (FI TBT),

coverage ratio SPS (CR SPS), dan coverage ratio TBT (CR TBT). Hasil Estimasi Model Ekspor Rempah-Rempah Indonesia

Berdasarkan Tabel 10, hasil uji Chow pada model faktor-faktor yang memengaruhi ekspor rempah-rempah Indonesia diperoleh nilai probability

(0.0000) < taraf nyata 10 persen, sehingga cukup bukti untuk tolak H0. Hal tersebut berarti bahwa model yang digunakan adalah model FEM. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 10.

Hasil estimasi pada Tabel 10 menunjukkan nilai R-squared kedua model masing-masing sebesar 0.990 dan 0.989. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 99% dan 98.9% perubahan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, nilai tukar riil (RER), jarak ekonomi antara Indonesia dan negara pengimpor, frequency index SPS, frequency index TBT, coverage ratio SPS, dan coverage ratio TBT, sedangkan sisanya sebesar 1% dan 1.1% faktor lain di luar model.

Uji F-statistic yang dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel dependennya. Hasil estimasi pada Tabel 10 menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang kurang dari taraf nyata 10%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setidaknya terdapat satu variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia.

Uji t-statistic yang dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh dari koefisien masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Hasil estimasi pada Tabel 10 menunjukkan bahwa variabel independennya yang terdiri dari GDP per kapita negara pengimpor, jarak ekonomi antara Indonesia dan negara pengimpor, frequency index SPS, frequency index TBT, coverage ratio

SPS, dan coverage ratio TBT memiliki nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 10%. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel independennya secara individu berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia. Variabel lainnya yakni nilai tukar riil dan populasi negara impor tidak signifikan memengaruhi variabel dependennya (nilai ekspor) pada taraf nyata 10%. Walaupun sebagian variabel tidak signifikan, tetapi secara keseluruhan semua variabel independennya memengaruhi nilai ekspor rempah-rempah Indonesia.

(43)

27

Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan linear sempurna antar variabel bebas dalam model tersebut. Adanya multikolinearitas dapat disebabkan oleh nilai R-squared yang tinggi tetapi variabel independennya banyak yang tidak signifikan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai korelasi parsial antar variabel bebas kurang dari 0.8 (Spearmen’s Rho

Correlation), atau nilai variabel bebas tidak melebihi nilai R-squared sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas.

Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW hitung pada weights statistics pada masing-masing model dengan nilai mendekati dua yaitu sebesar 1.88 dan 1.92. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi pada model.

Pada lampiran 5, Sum Square Residual Weighted Statistic masing-masing model sebesar 1.94 dan 1.95 dimana lebih kecil dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistic sebesar 2.68 dan 2.69. dengan demikian, model terindikasi masalah heteroskedastisitas sehingga perlu diatasi dengan menggunakan metode panel cross-section weights dan coefficient of covariance white cross-section.

Tabel 10 Hasil Estimasi Model Dampak NTMs

Variable Bebas Model 1 Model 2

Koefisien Prob Koefisien Prob

LNPOPULASI 0.183052 0.9458 0.224415 0.9339

LNRER 0.238341 0.3424 0.279547 0.3397

LNGDPC 2.233688 0.0000 2.198226 0.0000

LNEDIST -1.644984 0.0311 -1.687660 0.0319

CR_SPS 0.004107 0.0000

Prob(F-statistic) 0.000000 0.000000

Sum squared resid 1.943069 1.954374

Durbin-Watson stat 1.886884 1.923980

Unweighted Statistics

R-squared 0.964469 0.964261

Sum squared resid 2.683576 2.699339

Durbin-Watson stat 1.840032 1.862947

Keterangan: *)signifikan pada taraf nyata 5%, 10%

Gambar

Tabel 1 Volume dan Nilai Ekspor Rempah-Rempah Indonesia ke Sembilan
Gambar 2   Kerangka Pemikiran
Tabel 5   Ekspor lada Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama
Tabel 6   Ekspor kayu manis Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama
+3

Referensi

Dokumen terkait

Apabila penetuan nilai ini berdasarkan pada nilai hasil tes belajar yang digunakan pada kriterium peserta didik, maka pada hal ini mengandumg arti bahwa nilai yang

Berdasarkan apa yang dibincangkan dalam kajian ini, dapat disimpulkan bahawa pembinaan trust model yang berasaskan etika perniagaan Islam dan diperbaiki atau ditambah baik dengan

Dari hasil analisa waktu yang tidak produktif (NPT) serta analisa masalah pada operasi pemboran sumur NB-AAA di lapangan XY Total E&amp;P Indonesie, dapat disimpulkan: 1.

Sehubungan telah dilaksanakannya Ujian tertulis dan paparan Penyesuaian Ijazah S1, dengan ini diberitahukan perubahan jadwal Ujian Psikologi (Assesment Psikologi) yang

Tujuan penulisan laporan akhir ini adalah untuk membuat Aplikasi Pemesanan Bahan Kimia Pertanian pada CV.. Gilang Perkasa Berbasis

H 1 :Diduga variabel konten blog “The Laughing Phoenix” tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi followers mengenai nilai sosial merek pribadi Henry Manampiring

Setelah Guru menayangkan sebuah video pembelajaran mengenai “How to Make Oreo Milkshake”, guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak

berkaitan dengan percobaan bunuh diri. Selain itu antara 30% sampai 50% penderita skizophrenia minimal sekali melakukan percobaan bunuh diri. b) Penggunaan alkohol dan