• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Perdagangan Rempah-Rempah Indonsia

Indonesia merupakan negara pengahasil rempah-rempah yang sudah terkenal sejak zaman penjajahan. Rempah-rempah merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh subur di kawasan tropis, seperti Indonesia. Selain sebagai kekuatan dalam menciptakan rasa dan aroma pada makanan, rempah-rempah juga memiliki banyak khasiat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat dan kosmetik. Sebagai bahan baku utama dalam menciptakan cita rasa dalam makanan, hampir seluruh masyarakat di berbagai negara membutuhkan rempah-rempah sebagai perisa dan pengawet yang bersifat alami. Hal tersebut menyebabkan banyak negara-negara lain yang di negaranya tidak dapat ditumbuhi tanaman rempah-rempah harus mengekspor rempah-rempah dari Indonesia. Oleh karena itu, rempah-rempah termasuk salah satu komoditi ekspor yang sangat potensial bagi Indonesia.

Ekspor Lada Indonesia

Salah satu jenis rempah-rempah yang digunakan dalam penelitian ini adalah lada. Berdasarkan Tabel 5, ditunjukkan bahwa kinerja ekspor lada mengalami perubahan setiap tahunnya dilihat dari pertumbuhan nilai ekspornya selama tahun 2009 hingga 2013 dimana pada tahun 2011 mengalami penurunan yang tidak terlalu tinggi hanya sebesar 2.85% dan tahun 2012 mengalami kenaikan yang cukup signifikan mencapai 65.67% hingga pada akhirnya mengalami penurunan kembali sebesar 16.64% pada tahun 2013. Begitu pula dengan volume ekspornya yang mengalami penurunan sebesar 20.52% pada tahun 2013.

Tabel 5 Ekspor lada Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama

Tahun Volume Ekspor

(ton) Tingkat Pertumbuhan (%) Nilai Ekspor (juta USD) Tingkat Pertumbuhan (%) 2009 31 083.88 0 81.87 0 2010 34 086.32 9.66 131.13 60.16 2011 23 266.16 -31.7 127.39 -2.85 2012 31 407.56 34.99 211.04 65.67 2013 24 963.11 -20.52 175.92 -16.64

Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah) Ekspor Kayu Manis Indonesia

Jenis rempah-rempah yang juga menjadi objek pada penelitian ini adalah kayu manis. Perkembangan ekspor kayu manis Indonesia ke negara tujuan utama selama periode tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 6. Kinerja ekspor kayu manis juga mengalami perubahan setiap tahunnya dimana tahun 2011 juga mengalami penurunan baik nilai maupun volume ekspornya. Namun, berbeda dengan volume ekspornya yang menunjukkan pertumbuhan negatif, meskipun nilai ekspor kayu manis mengalami penurunan tetapi masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Sedangkan pada tahun 2012 baik nilai maupun volume ekspornya mengalami penurunan. Sementara di tahun 2013 ekspor kayu manis mengalami pertumbuhan yang positif dimana nilai ekspornya mengalami

19

peningkatan hingga mencapai angka 65.13% dan volume ekspornya juga meningkat sebesar 49.16%.

Tabel 6 Ekspor kayu manis Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama

Tahun Volume Ekspor

(ton)

Tingkat Pertumbuhan (%)

Nilai Ekspor

(juta USD) Tingkat Pertumbuhan (%)

2009 19 584.73 0 17.49 0

2010 24 288.87 24.02 27.26 55.85

2011 24 198.65 -0.371 33.49 22.85

2012 18 676.45 -22.82 23.98 -28.41

2013 27 857.19 49.16 39.59 65.13

Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah) Ekspor Pala Indonesia

Pala juga merupakan salah satu jensi rempah-rempah yang sering digunakan oleh masyarakat di berbagai negara sebagai perisa dan pengawet alami dalam menghasilkan produk makanan tertentu. Tabel 7 menunjukkan tingkat pertumbuhan ekspor pala ke negara tujuan ekspornya selama periode tahun 2009- 2013. Tahun 2009 dan 2010 kinerja ekspor pala menunjukkan pertumbuhan yang positif dimana nilai ekspornya mengalami kenaikan yang cukup tinggi hingga mencapai 78% di tahun 2011, sedangkan volume ekspornya mengalami penurunan. Sementara pada tahun 2013, baik volume maupun nilai ekspor pala memperlihatkan tren yang menurun dimana terus mengalami pertumbuhan yang negatif.

Tabel 7 Ekspor pala Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama

Tahun Volume Ekspor

(ton)

Tingkat Pertumbuhan (%)

Nilai Ekspor

(USD) Tingkat Pertumbuhan (%)

2009 2 875.66 0 15.01 0

2010 3 174.97 10.41 20.87 38.99

2011 3 383.19 6.56 37.32 78.90

2012 3 061.34 -9.51 43.94 17.72

2013 2 619.65 -14.43 30.24 -31.17

Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah)

Ekspor Rempah Rempah ke Negara Tujuan Utama

Kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor utama ditunjukkan neraca perdagangan rempah-rempah selama periode tahun 2009 hingga tahun 2013 yang disajikan dalam Lampiran 1. Ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan utama selama tahun 2009 hingga 2013 tertinggi adalah ke negara Amerika Serikat. Hal ini diperlihatkan dengan total nilai ekspornya sebesar 83.60 juta USD di tahun 2009 yang terus mengalami kenaikan hingga mencapai nilai 198.42 juta USD di tahun 2012. Namun, tahun 2013 nilai ekspornya mengalami penurunan mencapai 156.78 juta USD. Meskipun demikian, Amerika Serikat tetap menjadi negara tujuan ekspor terbesar rempah- rempah Indonesia. Negara terbesar kedua untuk rempah-rempah Indonesia adalah Singapura. Total nilai ekspor rempah-rempah Indonesia ke Singapura cenderung menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, dimana nilai ekspor di tahun 2009 sebesar 13.46 juta USD terus mengalami kenaikan hingga mencapai 48.67 juta

20

USD di tahun 2013. Selanjutnya, Jepang juga merupakan negara yang cukup berpotensi untuk ekspor rempah-rempah Indonesia dimana total nilai ekspornya juga cenderung meningkat dari tahun 2009 hingga 2012, meskipun pada tahun 2013 mengalami penurunan namun ekspor rempah-rempah ke Jepang tetap mengalami surplus neraca perdagangan.

Kinerja ekspor rempah-rempah Indonesia yang ditunjukkan oleh neraca perdagangan rempah-rempah Indonesia ke negara tujuan ekspor utama selama periode tahun 2009 hingga tahun 2013 hampir keseluruhan mengalami surplus kecuali pada tahun 2009 hingga 2011 untuk negara China (Lampiran 1) . Surplus neraca perdagangan terbesar pada tahun 2012 ke negara Amerika Serikat sebesar 198.23 juta USD, sedangkan defisit terbesar ke negara China pada tahun 2009 yang mencapai nilai sebesar 3.18 juta USD. Defisit neraca perdagangan rempah- rempah Indonesia ke negara China pada tahun 2009 hingga 2011disebabkan oleh defisit neraca perdagangan pada komoditi Lada dengan nilai sebesar 3.69 juta USD (Lampiran 2). Hal ini dikarenakan volume impor lada dari China lebih besar dibandingkan volume ekspor lada Indonesia ke China. China bukan merupakan negara penghasil lada, tetapi China memiliki sarana processing yang dapat meningkatkan mutu rempah-rempah yang diimpornya dari negara lain untuk diolah dan diekspor kembali. Lada mengalami surplus terbesar hampir ke seluruh negara tujuan ekspor. Pala mengalami surplus terbesar yakni ke negara Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Kayu manis juga mengalami surplus terbesar yakni ke negara Amerika Serikat dan Thailand. Kinerja perdagangan Indonesia terhadap negara tujuan ekspor untuk masing-masing kelompok rempah-rempah menunjukkan kondisi yang relatif baik yang dibuktikan dengan neraca perdagangan yang hampir keseluruhan mengalami surplus. Hal ini membuktikan rempah-rempah sebagai salah satu komoditi potensial yang dapat mendorong neraca perdagangan nasional.

Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTMs) pada Rempah-Rempah Indonesia

Bentuk kebijakan dalam perdagangan internasional khususnya kebijakan NTMs yang mulai banyak diterapkan di negara-negara pelaku perdagangan menyebabkan terbentuknya hambatan perdagangan dalam bentuk yang baru. Perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin memperhatikan kesehatan dan keamanan dalam mengkonsumsi suatu produk serta proses produksi dari suatu produk tersebut yang ramah lingkungan menyebabkan kebijakan NTMs mendapat perhatian khusus bagi negara-negara yang melakukan perdagangan internasional, terutama terkait dengan pengendalian mutu dan kualitas produk.

Kebijakan NTMs yang paling banyak diberlakukan dalam sektor pertanian terdiri atas Sanitary and phytosanitary (SPS) dan Technical barriers to trade

(TBT). Berikut jumlah kebijakan SPS dan TBT yang diberlakukan oleh negara- negara tujuan ekspor rempah-rempah Indonesia selama tahun 2000 hingga 2013 yang disajikan pada Tabel 8 dan jumlah kebijakan SPS dan TBT yang diberlakukan oleh negara-negara tujuan ekspor rempah-rempah pada tahun 2009 hingga 2013 pada Tabel 9.

21

Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi rempah- rempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2000-2013

Negara SPS TBT Total Amerika Serikat 13 47 60 China 63 12 75 Jepang 55 2 57 Kanada 328 10 338 Korea Selatan 0 7 7 Singapura 0 0 0 Thailand 51 10 61 Total 510 69 579 Sumber: WTO 2015

Pada Tabel 8 dijelaskan bahwa negara-negara tujuan ekspor rempah- rempah Indonesia memberlakukan kebijakan SPS dan TBT kecuali Singapura. Kebijakan SPS merupakan yang paling banyak diberlakukan oleh negara-negara tersebut. Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan NTMs adalah Kanada dengan total 338 kebijakan yang terdiri atas 328 kebijakan SPS dan 10 kebijakan TBT. Kebijakan SPS yang paling banyak diberlakukan oleh Kanada sebagian besar terkait keamanan pangan, kesehatan manusia, kesehatan tanaman, kontrol dan pemeriksaan, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman,

food additives, maximum residues limits (MRLs), pestisida, sertifikasi, serta pelabelan. Adapun kebijakan TBT yang diberlakukan diantaranya terkait standar pangan, kesehatan tanaman, nutrition information, trade facilitation, organic agriculture, dan pelabelan.

Negara yang paling banyak memberlakukan NTMs berikutnya adalah negara China dengan total 75 kebijakan berupa 63 kebijakan SPS dan 12 kebijakan TBT. Pemberlakuan SPS sebagian besar terkait keamanan pangan, kesehatan manusia, kontrol dan pemeriksaan, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, food additives, contaminants (zat pencemar), heavy metals (logam berat), hygienic standard, packaging, dan sertifikasi. Kebijakan TBT yang diberlakukan diantaranya mencakup standar keamanan pangan, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, kesehatan tanaman, perlindungan konsumen, dan pelabelan. Thailand merupakan negara yang juga banyak memberlakukan NTMs yaitu sebanyak 51 kebijakan SPS dan 10 kebijakan TBT. Kebijakan SPS yang diberlakukan berupa keamanan pangan, kesehatan manusia, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, food additives, contaminants, toxins, bacteria, control dan pemeriksaan, pelabelan, dan sertifikasi. Adapun kebijakan TBT yang diberlakukan meliputi standar pangan, perlindungan terhadap lingkungan, nutrition information, dan pelabelan.

Amerika Serikat juga memberlakukan NTMs sebanyak 60 kebijakan berupa dimana kebijakan TBT lebih dominan yaitu sebanya 47 kebijakan dan kebijakan SPS sebanyak 13 kebijakan. Kebijakan TBT yang diberlakukan sebagian besar mencakup standar pangan, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, sustainable agriculture management, nutrition information, perlindungan konsumen, dan pelabelan, sedangkan kebijakan SPS meliputi keamanan pangan, kesehatan manusia, kesehatan tanaman, proteksi tanaman, allergens, control dan pemeriksaan, packaging, dan sertifikasi. Jepang juga memberlakukan 55 kebijakan SPS meliputi keamanan pangan, kesehatan manusia, perlindungan manusia dari hama/penyakit tanaman, food additives, dan

22

maximum residues limits (MRLs), sedangkan kedua jumlah kebijakan TBT diberlakukan untuk kebijakan pelabelan. Korea Selatan hanya memberlakukan kebijakan TBT dan hanya sebanyak 7 kebijakan yaitu mencakup standar pangan,

nutrition information, organic agriculture, dan pelabelan. Adapun negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTM yaitu Singapura.

Tabel 9 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi rempah- rempah Indonesia di negara tujuan ekspor tahun 2009-2013

Negara 2009 2010 2011 2012 2013 SPS TBT SPS TBT SPS TBT SPS TBT SPS TBT Amerika Serikat 0 0 1 4 0 2 3 5 5 7 China 0 2 60 1 1 1 0 1 0 0 Jepang 6 0 10 0 7 0 5 0 8 0 Kanada 34 1 96 0 65 0 6 0 0 1 Korea Selatan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Singapura 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Thailand 5 0 2 1 3 1 5 1 3 0 Sumber: WTO 2015

Pada Tabel 9 dijelaskan mengenai pemberlakuan NTMs di negara-negara tujuan ekspor rempah-rempah dari tahun 2009 hingga 2013. Pada lima tahun terakhir Kanada hanya memberlakukan sebanyak 203 kebijakan NTMs yang terdiri dari 201 kebijakan SPS dan kebijakan TBT yang hanya 2 kebijakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kanada juga merupakan negara yang paling banyak memberlakukan kebijakan NTMs. China juga merupakan negara yang cukup banyak memberlakukan NTMs yaitu terdapat 66 kebijakan berupa 61 kebijakan SPS dan 5 kebijakan TBT. Kemudian Jepang yang hanya memberlakukan kebijakan SPS sebanyak 36 kebijakan. Selanjutnya, Amerika Serikat yang memberlakukan NTMs dimulai pada tahun 2010 sebanyak 27 kebijakan yang meliputi 9 kebijakan SPS dan 18 kebijakan TBT. Sedangkan Thailand hanya memberlakukan 21 kebijakan berupa 18 kebijakan SPS dan 3 kebijakan TBT. Adapun Korea Selatan yang pada lima tahun terakhir tidak memberlakukan kebijakan NTMs dan Singapura yang memang tidak memberlakukan kebijakan NTMs. Jepang merupakan salah satu negara yang memberlakukan NTMs cukup tinggi karena kebijakan lain berupa tarif yang diberlakukan untuk ekspor dari Indonesia ke Jepang khususnya rempah-rempah dikenakan tarif yang paling rendah yaitu sebesar 3 persen. Amerika Serikat juga merupakan salah satu negara yang memberlakukan tarif bea masuk yang relatif rendah karena dimasukkan dalam klasifikasi tarif Most Favoured Nation (MFN). Selain itu, Indonesia menikmati bebas tarif bea masuk karena produk ekspornya termasuk dalam produk Generalized Sysem of Preferences (GSP) yakni salah satunya produk pertanian. Oleh karena itu, sebagai bentuk kebijakan lain Amerika Serikat menerapkan hambatan non tarif yang berlaku bagi produk-produk impor dari Indonesia.

Frequency Index dan Coverage Ratio

Kebijakan NTMs yang diberlakukan oleh suatu negara sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam perdagangan internasional dapat diukur dengan pendekatan inventory. Pengukuran dengan pendekatan inventory menggunakan dua indikator yakni frequency index dan coverage ratio. UNCTAD (2013)

23

mendefinisikan frequency index sebagai indikator untuk menghitung ada atau tidaknya pemberlakuan NTMs pada suatu komoditi dan menghitung persentase dari produk yang menggunakan satu atau lebih NTMs. Coverage ratio merupakan indikator untuk menghitung persentase dari subjek perdagangan yang terkena NTMs pada negara pengimpor serta mengukur pentingnya NTMs pada keseluruhan impor.

Gambar 5 menunjukkan bahwa ekspor rempah-rempah ke negara tujuan ekspor dari tahun 2009 hingga 2013 yang terkena SPS berdasarkan frequency index berkisar antara 0.82% hingga 100%. Negara-negara yang banyak memberlakukan kebijakan SPS pada komoditi rempah-rempah yaitu Jepang dan Thailand dengan menunjukkan angka yang konsisten selama lima tahun terakhir sebesar 100%. Kanada juga merupakan negara yang menunjukkan penggunaan SPS sangat tinggi selama tahun 2010 hingga 2012 sebesar 100%, namun berbeda pada tahun 2013 dimana kebijakan SPS tidak diberlakukan di negara ini. Sementara untuk Amerika Serikat dan China, menunjukkan nilai yang berfluktuasi setiap tahunnya. Namun demikian, Amerika Serikat memberlakukan kebijakan SPS cukup tinggi yaitu pada tahun 2010, 2012, dan 2013 masing- masing sebesar 46.85%, 100%, dan 96.01%, sedangkan pada tahun 2009 dan 2011 kebijakan SPS tidak diberlakukan. Jepang juga memberlakukan kebijakan SPS yang sangat tinggi pada tahun 2010 dan 2011 yaitu sebesar 100%. Sementara pada tahun 2012 pemberlakukan kebijakan SPS menurun tajam hanya sebesar 0.82%, sedangkan pada tahun 2009 dan 2013 tidak memberlakukan kebijakan SPS. Adapun negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTMs SPS selama kurun waktu 2009-2013 yakni Korea Selatan dan Singapura.

Sumber: Data setelah diolah 2015

Gambar 3 Frequency index SPS pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan utama tahun 2009-2013

Gambar 6 menunjukkan penggunaan TBT berdasarkan frequency index di negara tujuan ekspor yang diterapkan pada rempah-rempah Indonesia. Amerika Serikat, China, dan Thailand merupakan negara yang juga banyak memberlakukan NTMs berupa TBT. Amerika Serikat memberlakukan TBT hanya pada tahun 2010 hingga 2013. Pada tahun 2010 hingga 2012 menunjukkan angka yang konsisten sebesar 100% dan pada tahun 2013 menurun sebesar 96.01%. China

0 20 40 60 80 100 0 0 100 100 0 0 100 46.85 100 100 100 0 0 100 0.82 0 0 96.01 0 0 0 0 100 F r e q u e n c y In d e x S P S (% ) Negara 2009 2010 2011 2012 2013

24

memberlakukan TBT hanya pada tahun 2009 hingga 2012, dimana tahun 2009 hingga 2011 pemberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% dan menurun sebesar 99.18% pada tahun 2012. Selanjutnya, Thailand yang konsisten memberlakukan TBT sangat tinggi namun hanya pada tahun 2010 hingga 2012 sebesar 100% dan Kanada yang juga memberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% hanya pada tahun 2009 dan 2013. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura merupakan negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTMs TBT selama periode waktu tersebut.

Sumber: Data setelah diolah 2015

Gambar 4 Frequency index TBT pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan utama tahun 2009-2013

Pengukuran NTMs melalui pendekatan inventory selain menggunakan

frequency index juga dengan menggunakan coverage ratio. Pengukuran NTMs dengan menggunakan coverage ratio bertujuan untuk melihat besarnya cakupan impor yang terkena dampak NTMs di negara yang bersangkutan berdasarkan dengan besarnya nilai coverage ratio. Sama halnya dengan frequency index SPS dan TBT yang cenderung tinggi, coverage ratio SPS dan TBT pada ekspor rempah-rempah Indonesia di negara tujuan ekspor juga memiliki nilai yang tinggi. Berdasarkan Gambar 7, negara yang paling banyak memberlakukan kebijakan SPS adalah Jepang dan Thailand dengan menunjukkan angka yang konsisten selama kurun waktu 2009-2013 yakni dengan nilai coverage ratio

sebesar 100%. Kanada juga merupakan negara yang memberlakukan SPS sangat tinggi dengan nilai coverage ratio sebesar 100%, namun hanya pada tahun 2010 hingga 2012 sedangkan pada tahun 2013 kebijakan SPS tidak diberlakukan. Sementara di Amerika Serikat pemberlakuan SPS hanya pada tahun 2010, 2012, dan 2013 dengan nilai masing-masing sebesar 24.13%, 100%, dan 89.08%. China juga memberlakukan SPS hanya pada tahun 2010-2012, dimana pada tahun 2010 dan 2011 menunjukkan nilai yang konsisten yakni sebesar 100% dan tahun 2012 mengalami penurunan yang tajam hingga mencapai 1.59%. Adapun negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTM SPS selama kurun waktu 2009-2013 yakni Korea Selatan dan Singapura.

0 20 40 60 80 100 0 100 0 100 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 99.18 0 0 0 0 96.01 0 0 100 0 0 0 F r e q u e n c y In d e x TB T (% ) Negara 2009 2010 2011 2012 2013

25

Sumber: Data setelah diolah 2015

Gambar 5 Coverage ratio SPS pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan utama tahun 2009-2013

Persentase dampak TBT yang dikenakan pada rempah-rempah Indonesia selama tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 8. Penggunaan TBT berdasarkan nilai coverage ratio paling banyak diterapkan oleh Amerika Serikat, China, dan Thailand. Amerika Serikat memberlakukan TBT hanya pada tahun 2010 hingga 2013. Pada tahun 2010 hingga 2012 menunjukkan angka yang konsisten sebesar 100% dan pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 89.05%. China memberlakukan TBT hanya pada tahun 2009 hingga 2012, dimana tahun 2009 hingga 2011 pemberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% dan menurun sebesar 98.41% pada tahun 2012. Selanjutnya, Thailand yang konsisten memberlakukan TBT sangat tinggi namun hanya pada tahun 2010 hingga 2012 sebesar 100% dan Kanada yang juga memberlakukan TBT sangat tinggi sebesar 100% hanya pada tahun 2009 dan 2013. Sementara Jepang, Korea Selatan, dan Singapura merupakan negara yang tidak memberlakukan kebijakan NTMs TBT selama periode tahun tersebut.

Sumber: Data setelah diolah 2015

Gambar 6 Coverage ratio TBT pada ekspor rempah-rempah ke negara tujuan utama tahun 2009-2013

0 20 40 60 80 100 0 0 100 100 0 0 100 24.13 100 100 0 0 100 0 0 0 100 1.59 0 0 89.08 0 100 0 0 0 C o v e r ag e R at io S P S (% ) Negara 2009 2010 2011 2012 2013 0 20 40 60 80 100 0 100 0 100 0 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 98.41 0 0 0 0 89.05 0 0 100 0 0 0 C o v e r age R ati o TB T (% ) Negara 2009 2010 2011 2012 2013

26

Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Rempah-Rempah Indonesia Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor rempah-rempah Indonesia ke negara tujauan utama dijelaskan dengan menggunakan regresi data panel. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekspor rempah-rempah Indonesia (X), sedangkan variabel independen yang digunakan adalah GDP per kapita negara tujuan ekspor (GDPC), populasi negara tujuan ekspor, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara tujuan (RER), jarak ekonomi (EDIST), frequency index SPS (FI SPS), frequency index TBT (FI TBT),

coverage ratio SPS (CR SPS), dan coverage ratio TBT (CR TBT). Hasil Estimasi Model Ekspor Rempah-Rempah Indonesia

Berdasarkan Tabel 10, hasil uji Chow pada model faktor-faktor yang memengaruhi ekspor rempah-rempah Indonesia diperoleh nilai probability

(0.0000) < taraf nyata 10 persen, sehingga cukup bukti untuk tolak H0. Hal tersebut berarti bahwa model yang digunakan adalah model FEM. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 10.

Hasil estimasi pada Tabel 10 menunjukkan nilai R-squared kedua model masing-masing sebesar 0.990 dan 0.989. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 99% dan 98.9% perubahan nilai ekspor rempah-rempah Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, nilai tukar riil (RER), jarak ekonomi antara Indonesia dan negara pengimpor, frequency index SPS, frequency index TBT, coverage ratio SPS, dan coverage ratio TBT, sedangkan sisanya sebesar 1% dan 1.1% faktor lain di luar model.

Uji F-statistic yang dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel dependennya. Hasil estimasi pada Tabel 10 menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang kurang dari taraf nyata 10%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setidaknya terdapat satu variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia.

Uji t-statistic yang dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh dari koefisien masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Hasil estimasi pada Tabel 10 menunjukkan bahwa variabel independennya yang terdiri dari GDP per kapita negara pengimpor, jarak ekonomi antara Indonesia dan negara pengimpor, frequency index SPS, frequency index TBT, coverage ratio

SPS, dan coverage ratio TBT memiliki nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 10%. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel independennya secara individu berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor rempah-rempah Indonesia. Variabel lainnya yakni nilai tukar riil dan populasi negara impor tidak signifikan memengaruhi variabel dependennya (nilai ekspor) pada taraf nyata 10%. Walaupun sebagian variabel tidak signifikan, tetapi secara keseluruhan semua variabel independennya memengaruhi nilai ekspor rempah-rempah Indonesia.

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya error term yang dilihat dari nilai probabilitas Jarque-Bera yang lebih dari taraf nyata 10%. Hasil estimasi menunjukkan nilai probabilitas Jarque-Bera pada masing- masing model sebesar 0.34 dan 0.30 sehingga dapat disimpulkan bahwa model sudah memiliki error term yang menyebar normal.

27

Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan linear sempurna antar variabel bebas dalam model tersebut. Adanya multikolinearitas dapat disebabkan oleh nilai R-squared yang tinggi tetapi variabel independennya banyak yang tidak signifikan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai korelasi parsial antar variabel bebas kurang dari 0.8 (Spearmen’s Rho

Correlation), atau nilai variabel bebas tidak melebihi nilai R-squared sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas.

Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW hitung pada weights statistics pada masing-masing model dengan nilai mendekati dua yaitu sebesar 1.88 dan 1.92. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi pada model.

Pada lampiran 5, Sum Square Residual Weighted Statistic masing-masing model sebesar 1.94 dan 1.95 dimana lebih kecil dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistic sebesar 2.68 dan 2.69. dengan demikian, model terindikasi masalah heteroskedastisitas sehingga perlu diatasi dengan menggunakan metode panel cross-section weights dan coefficient of covariance white cross-section.

Tabel 10 Hasil Estimasi Model Dampak NTMs

Variable Bebas Model 1 Model 2

Koefisien Prob Koefisien Prob

LNPOPULASI 0.183052 0.9458 0.224415 0.9339 LNRER 0.238341 0.3424 0.279547 0.3397 LNGDPC 2.233688 0.0000 2.198226 0.0000 LNEDIST -1.644984 0.0311 -1.687660 0.0319 CR_SPS 0.004107 0.0000 CR_TBT 0.001511 0.0213 FI_SPS 0.004080 0.0000 FI_TBT 0.001355 0.0341 C 10.37769 0.7933 10.26128 0.7990 Weighted Statistics R-squared 0.990303 0.989766 Prob(F-statistic) 0.000000 0.000000

Sum squared resid 1.943069 1.954374

Durbin-Watson stat 1.886884 1.923980

Unweighted Statistics

R-squared 0.964469 0.964261

Sum squared resid 2.683576 2.699339

Durbin-Watson stat 1.840032 1.862947

Keterangan: *)signifikan pada taraf nyata 5%, 10%

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 10 ditunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang signifikan memengaruhi ekspor rempah-rempah Indonesia. Faktor-faktor tersebut meliputi GDP perkapita negara pengimpor, jarak ekonomi, dan kebijakan NTMs berupa SPS dan TBT yang diukur dengan variabel frequency index dan coverage ratio. Pada penelitian ini hasil estimasi model menunjukkan

28

bahwa kebijakan SPS dan TBT yang diberlakukan pada rempah-rempah

Dokumen terkait