• Tidak ada hasil yang ditemukan

9. Real Exchange Rate (ER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor dan negara pengimpor yang diperoleh dari :

4 GAMBARAN UMUM

Hortikultura sebagai salah satu subsektor dari pertanian memberikan konstribusi yang cukup penting pada perekonomian Indonesia. Hortikultura terdiri atas empat kelompok yaitu kelompok buah-buahan, sayuran, tanaman obat (biofarmaka), dan tanaman hias atau florikultur. Keempat kelompok ini mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis, yang tentunya akan mendorong peningkatan pendapatan petani khususnya petani hortikultura.

Sumber: BPS 2013

Gambar 3 PDB sektor pertanian atas dasar harga konstan 2000 (milliar Rupiah) tahun 2007-2012. 0 10 20 30 40 50 60 2007 2008 2009 2010 2011* 2012** P DB ha rg a k o ns ta n (M ily a r Rp) Tahun a. Tanaman Bahan Makanan (Tanaman Pangan dan Hortikultura) b. Tanaman

Perkebunan c. Peternakan

d. Kehutanan

23 Produk hortikultura merupakan produk yang potensial dimana bernilai ekonomis dan permintaan pasar yang tinggi. Produk hortikultura yang terbesar adalah kelompok buah-buahan, yang kemudian diikuti kelompok sayuran. Dengan kondisi wilayah Indonesia yang luas dan keragaman agroklimat, memberikan potensi bagi produk hortikultura untuk dapat dikembangkan lebih baik lagi. Pengembangan berbagai jenis tanaman ini mencakup 323 jenis komoditas yang terdiri dari 60 jenis kelompok buah-buahan, 80 jenis kelompok sayuran, 66 jenis kelompok biofarmaka atau tanaman obat, dan 117 jenis kelompok tanaman hias atau florikultur. Jumlah-jumlah tersebut diatur dalam komoditas binaan untuk empat kelompok hortikultura Direktur Jenderal Hortikultura sesuai keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 511/Kpts/PD.310/9/2006 Tanggal: 12 September 2006. Jumlah ini dapat bertambah melihat luas wilayah Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya.

Nilai PDB sebagai salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan konstribusi sektor terhadap pendapatan nasional. Total nilai PDB hortikultura umumnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada kelompok komoditas, buah-buahan menunjukkan share yang besar dari tahun 2007-2011. Kelompok berikutnya adalah sayuran yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sementara kelompok tanaman obat memberikan share yang menurun dan semakin sedikit pada tahun-tahun tersebut.

Sumber: Hasil Kajian Dirjen Hortikultura 2012

Gambar 4 Nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku tahun 2007-2011 (milliar Rupiah).

Perkembangan Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia

Kinerja perdagangan Indonesia pada sektor hortikultura menunjukkan perkembangan yang cukup baik yang dilihat berdasarkan data ekspor impor. Neraca perdagangan komoditi pertanian subsektor hortikultura pada tahun 2012 mempunyai pertumbuhan dengan total 7.03% yang terdiri atas 92 komoditi hortikultura (Lampiran 2). Pada neraca perdagangan tersebut komoditi hortikultura segar dan olahan, komoditi kentang (segar) mengalami pertumbuhan yang negatif (defisit) sebesar 365.41%. Pada umumnya untuk sayuran lainnya (olahan) mengalami defisit sebesar 471.29%. Untuk kelompok buah-buahan secara umum baik segar maupun olahan mempunyai pertumbuhan yang cukup

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 2007 2008 2009 2010 2011 55.16 55.89 54.83 52.54 55.54 33.32 33.50 34.53 36.09 33.22 5.35 6.17 4.58 6.04 4.41 6.22 4.23 7.13 3.65 7.59 PD B h ar g a b e rl aku ( m il y ar u p iah ) Tahun Buah-buahan Sayuran Tan. Obat Tan. Hias

24

bagus dengan nilai masing-masing 666.86 dan 12.76%. Akan tetapi terdapat pula beberapa komoditi yang mengalami pertumbuhan defisit. Pisang (segar), misalnya, dengan nilai sebesar -252.24%. Untuk kelompok tanaman obat atau biofarmaka secara keseluruhan mengalami surplus sebesar 66.66% yang diwakilkan oleh tanaman biofarmaka lainnya (segar). Pada neraca perdagangan ini, untuk kelompok biofarmaka terdiri atas jahe (segar dan olahan), saffron (segar), turmeric (segar) dan kapulaga (segar). Trade balance hortikultura Indonesia ke seluruh dunia menunjukkan nilai yang positif dengan kelompok yang terbesar baik ekspor maupun impornya adalah kelompok buah-buahan. Ekspor hortikultura Indonesia untuk kelompok buah-buahan ke seluruh dunia sebesar US $ 113 juta.

Kinerja perdagangan Indonesia terhadap negara-negara ASEAN +3 untuk masing-masing kelompok hortikultura menunjukkan kondisi dengan nilai yang cukup bagus. Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian masih memiliki potensi yang tinggi. Hal ini terlihat dari tingkat keragaman hortikultura dan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang tropis sangat cocok untuk kondisi tumbuh yang dibutuhkan tanaman hortikultura. Oleh karenanya, hortikultura masih berpotensi untuk peningkatan ekspornya. Neraca pada tabel 2 terlihat bahwa tanaman hortikultura Indonesia masih harus ditingkatkan produksinya. Hal ini dikarenakan, ada beberapa neraca pada negara kawasan ASEAN +3 yang memiliki neraca negatif (defisit). Sehingga untuk meningkatkan ekspor yang lebih tinggi lagi perlu peningkatan produksi dan mengurangi impor baik pada kelompok tanaman sayuran maupun buah-buahan.

Neraca perdagangan Indonesia terhadap negara ASEAN +3 pada tahun 2012 menunjukkan untuk negara Cina dan Thailand mengalami defisit baik pada kelompok sayuran maupun kelompok buah-buahan (Lampiran 3). Sementara negara-negara lainnya (Jepang, Korea, Malaysia, Piliphina, Singapura) memiliki neraca yang surplus. Surplus yang terbesar dengan tujuan ekspor pada negara Singapura dengan ekspor yang paling banyak pada kelompok buah-buahan. Perdagangan Indonesia untuk ekspor yang paling banyak kedua adalah Malaysia dengan kelompok yang terbanyak yaitu buah-buahan. Sedangkan untuk perdagangan ekspor kelompok sayuran dengan total 14 kelompok produk yang paling banyak ke Jepang.

Neraca perdagangan juga menunjukkan defisit pada negara tujuan yang paling tinggi adalah Cina dan diikuti oleh Thailand. Jika dilihat dari neraca perdagangan, Indonesia memiliki neraca perdagangan yang dapat dikatakan stabil. Melihat kondisi dimana terjadi ekspor yang tinggi pada suatu negara, tetapi terjadi juga impor yang tinggi pada negara lain. Adapun kelompok hortikultura yang mengalami defisit besar-besaran adalah kelompok buah-buahan dengan total 14 kelompok produk. Tetapi kelompok ini juga memiliki surplus dengan tujuan negara yang lain.

Ekspor produk hortikultura Indonesia pada negara ASEAN +3 pada tahun 2012 didominasi dengan negara tujuan Singapura. Kemudian diikuti oleh negara Malaysia, Cina dan Jepang. Ekspor hortikultura yang paling sedikit dengan negara tujuan Thailand, Philipina, dan Korea. Pada gambar 5, Singapura dengan tujuan terbanyak disebabkan oleh karena tidak adanya atau kurangnya hambatan perdagangan khususnya mengenai SPS dan TBT. Hal ini dapat dilihat lebih jelas pada bagian selanjutnya yang membahas mengenai ada tidaknya hambatan

25 perdagangan (Non Tarif Measures). Kondisi ekspor hortikultura Indonesia dengan negara ASEAN +3 masih dapat ditingkatkan lebih jauh lagi.

Singapura tidak memberlakukan NTM berupa SPS dan TBT pada produk hortikultura yang diekspor oleh Indonesia. Perdagangan ekspor untuk hortikultura Singapura memperlihatkan jumlah yang berfluktuasi selama tiga tahun terakhir. WITS (2013) mencatat bahwa untuk ekspor Singapura pada tahun 2010-2012 masing-masing sebesar US $ 282; 372; dan 334 juta. Berdasarkan kelompok hortikultura, Singapura mengekspor paling banyak pada kelompok buah-buahan dengan nilai yang juga fluktuatif. Neraca perdagagan hortikultura selama tiga tahun terakhir menunjukkan neraca yang defisit. Hal ini terlihat dari nilai impor yang sangat besar daripada nilai ekspornya. Total impor Singapura untuk produk hortikultura selama kurun waktu tersebut sebesar US $ 5 383 juta sedangkan total ekspor hortikultura hanya sebesar US $ 989 juta. Oleh karenanya, Singapura tidak memberlakukan NTM pada produk hortikulturanya. Selain untuk dikonsumsi, diindikasikan Singapura juga melakukan diversifikasi produk untuk diekspor kembali.

Sumber: Data setelah diolah 2013

Gambar 5 Ekspor hortikultura Indonesia pada negara-negara ASEAN +3 tahun 2012 (USD)

Nilai ekspor hortikultura Indonesia bervariasi pada setiap negara tujuan ASEAN +3. Berdasarkan kelompok hortikultura selama tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan nilai yang diekspor. Kelompok tanaman hias selama tiga tahun terakhir menunjukkan produk yang paling banyak diekspor berupa bunga dan kuncup bunga potong yang digunakan untuk karangan bunga atau untuk pajangan/hiasan baik segar maupun kering (Cut flowers and flower buds of a kind suitable for bouquets or for ornamental purposes, fresh, dried, dyed, bleached, impregnated or otherwise prepared). Produk dari kelompok tanaman hias yang paling sedikit diekspor adalah umbi, bonggol, akar berbonggol, tajuk dan sebagainya (Bulbs, tubers, tuberous roots, corms, crowns and rhizomes, dormant, in growth or in flower; chicory plants and roots other than roots of heading 12.12).

Kelompok sayuran yang terdiri atas 14 produk selama tiga tahun terakhir menunjukkan nilai produk yang bertambah. Pada tahun 2010-2012 produk yang paling banyak diekspor adalah ubi kayu atau ubi jalar dan sejenisnya (Manioc, arrowroot, salep, Jerusalem artichokes, sweet potatoes and similar roots and

34 193.86 25 917.873 7 056.271 34 577.736 8 782.655 72 577.501 12 343.304 China Japan Korea, Rep. Malaysia Philippines Singapore Thailand

26

tubers with high starch or inulin content, fresh, chilled, frozen or dried, whether or not sliced or in the form of pellets; sago pith). Ketimun dan acarnya baik segar maupun dingin (Cucumbers and gherkins, fresh or chilled) merupakan produk yang paling sedikit diekspor.

Produk berupa kelapa, kacang brazil dan kacang mede baik segar maupun kering (Coconuts, Brazil nuts and cashew nuts, fresh or dried, whether or not shelled or peeled) merupakan produk yang paling banyak diekspor dari kelompok buah-buahan. Akan tetapi, jumlah yang diekspor selama tiga tahun mengalami perubahan tiap tahunnya. Nilai ekspor yang terbesar pada tahun 2011 mencapai US $ 77 852. Jumlah ini berkurang pada tahun 2012 yang hanya sebesar US $ 56 850. Selain itu, buah yang paling banyak diekspor adalah buah bertempurung lainnya baik segar atau kering (Other nuts, fresh or dried, whether or not shelled or peeled). Kelompok buah-buahan memiliki keragaman pada setiap produknya selama tiga tahun terakhir. Salah satunya pada tahun 2010, produk berupa anggur, apel, apricot dan sejenisnya, kulit buah jeruk atau melon (termasuk semangka) merupakan produk yang tidak ada nilai ekspornya. Akan tetapi pada tahun 2012, produk-produk tersebut tercatat ada transaksi ekspor yang dilakukan walaupun dengan jumlah yang sangat kecil berkisar US $ 0.019-11.337. Kecuali pada produk berupa anggur pada tahun 2012 tetap tidak ada ekspor ke negara-negara ASEAN +3.

Berbeda halnya dengan ketiga kelompok sebelumnya, untuk kelompok tanaman obat dimana dalam perhitungannya hanya menggunakan satu kode hs (0910). Kondisi ini menyebabkan tidak adanya pencatatan atau pun data yang diperoleh secara detail untuk masing-masing produk tanaman obat. Walaupun demikian, selama kurun waktu 2010-2012 kelompok tanaman obat menunjukkan peningkatan dari US $ 4 713.09 menjadi US $ 5 268.251.

Non Tariff Measures (NTM) Hortikultura Indonesia

Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) mendorong negara-negara di kawasan ASEAN untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan. Pengurangan yang dilakukan pada tarif dan non tarif. MAE dapat tercapai dengan adanya integrasi antara pasar dan produksi, khususnya pada sektor pertanian. Untuk memenuhi tujuan tersebut, ASEAN dihadapkan pada tantangan efisiensi produk pertanian agar dapat bersaing dengan negara lain. Efisiensi ini harus diiringi dengan adanya tindakan-tindakan yang berpengaruh terhadap efisiensi tersebut. Dalam rangka mengurangi biaya transaksi untuk tercapainya keefisienan dan keefektifan, salah satu hal yang penting yaitu mengenai isu non tariff measure.

Pada bagian ini dilakukan analisis mengenai pemberlakuan NTM di ASEAN +3 dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang digunakan yaitu dengan menghitung jumlah pemberlakuan NTM (Incidence of NTM), frequency index, dan coverage ratio. Untuk incidence of NTM menyajikan sebaran penggunaan NTM baik berdasarkan negara, komoditas, maupun jenis NTM. Sementara untuk frequency index menyajikan informasi besaran indeks yang dapat dijadikan ukuran tingkat hambatan suatu negara. Sedangkan coverage ratio

27 memberikan informasi berapa besar cakupan komoditi impor yang terkena kebijakan non tarif (NTM) tersebut.

Incidence of NTM

Non Tarif Measures di negara ASEAN +3 menjadi fokus pada perdagangan antar anggotanya. Non Tarif Measures berupa Sanitary dan Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) yang diberlakukan oleh negara ASEAN +3 disajikan pada tabel berikut. Dengan jumlah pemberlakuan masing-masing sebanyak 200 kebijakan dan 43 kebijakan selama tahun 2000-2012.

Tabel 4 Jumlah NTM yang diberlakukan pada produk hortikultura di negara ASEAN +3 tahun 2000-2012 Negara SPS TBT Total Cina 53 21 74 Indonesia 10 0 10 Jepang 90 1 91 Korea 11 9 20 Malaysia 1 3 4 Philipina 11 1 12 Singapura 0 0 0 Thailand 24 8 32 Total 200 43 243 Sumber: UNCOMTRADE 2013

Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa hampir seluruh negara ASEAN +3 menggunakan kebijakan-kebijakan NTM khususnya SPS dan TBT kecuali Singapura. Singapura baik SPS maupun TBT tidak ada yang diberlakukan. Hal ini pula yang menjadi alasan negara tujuan ekspor hortikultura Indonesia didominasi ke Singapura. Sementara untuk Indonesia, kebijakan NTM yang digunakan lebih banyak pada Sanitary dan Phitosanitary (SPS) daripada Technical Barriers to Trade (TBT). Indonesia bahkan tidak memberlakukan TBT pada perdagangan hortikulturanya. Penerapan NTM Indonesia untuk hortikultura lebih banyak pada SPS dengan 10 kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut mengenai karantina tanaman dan rekomendasi impor yang dibuat oleh pemerintah Indonesia.

Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan NTM untuk seluruh produk hortikultura adalah Jepang dengan total 91 kebijakan, dengan SPS sebanyak 90 kebijakan dan sisanya pada TBT. Jepang memberlakukan SPS berupa standar dan spesifikasi untuk makanan dan zat tambahan makanan dibawah hukum kesehatan pangan sebanyak 43 peraturan/kebijakan. Selain itu, terdapat 32 kebijakan/peraturan yang tidak diketahui atau pun tidak tercatat secara detail dari SPS. Negara yang memberlakukan NTM terbanyak selanjutnya adalah Cina dan Thailand dengan masing-masing sebanyak 74 dan 32 kebijakan. Cina memberlakukan NTM berupa SPS sebanyak 53 kebijakan dengan peraturan/kebijakan mengenai standar nasional keamanan pangan sebanyak 18 kebijakan/peraturan. NTM berupa TBT yang diberlakukan oleh Cina paling banyak adalah standar nasional dan standar peraturan spesifik dengan jumlah masing-masing sebanyak 7 kebijakan/peraturan. Berbeda halnya dengan Jepang

28

dan Cina, Thailand memberlakukan NTM berupa SPS dalam berbagai jenis kebijakan atau pun peraturan dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Kebijakan-kebijakan tersebut berupa penentuan larangan pangan untuk diproduksi baik yang diimpor maupun dijual (prescribed prohibited food to be produced, imported or sold), food additives, the food act (imported food requirement).

SPS dan TBT yang diberlakukan negara-negara ASEAN +3 terdiri atas berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut, banyak kebijakan yang tidak ada penjelasan atau pun deskripsi yang menggambarkan mengenai kebijakan yang ada. Kebijakan SPS dan TBT yang banyak diterapkan pada produk hortikultura yang mengenai food additives dan standar nasional. Kebijakan food additives yang paling banyak digunakan oleh Jepang.

Frequency Index dan Coverage Ratio

Pengukuran besaran NTM umumnya dilakukan dengan menggunakan

inventory approach. Inventory approach ini merupakan pendekatan yang sederhana dengan menggunakan dua indeks yaitu frequency index dan coverage ratio. Definisi frequency index menurut UNCTAD (2013) adalah pendekatan yang hanya menghitung ada tidaknya NTM dan persentase dari produk yang menggunakan NTM satu atau pun lebih. Sedangkan coverage ratio merupakan persentase dari subyek perdagangan yang terkena NTM pada negara pengimpor dan memberikan suatu ukuran pentingnya NTM dari keseluruhan impor. Selain itu, Disdier et al. (2008) menyatakan bahwa frequency index menyediakan informasi ada tidaknya tindakan non tarif. Sedangkan coverage index memberikan informasi pada nilai relatif dari produk yang terkena non tarif.

Frequency index dan coverage ratio ini mempunyai kelemahan dalam menghitung non tarif. Hal ini dikemukakan oleh Deardoff dan Stern (1997) bahwa terdapat dua kelemahan dari frequency index dan coverage ratio. Pertama, tidak menunjukkan efek jera dari hambatan non tarif pada harga dan kuantitas berdasarkan keputusan eksportir. Kedua, indeks ini tidak memberikan informasi mengenai mungkin adanya efek hambatan perdagangan pada harga, produksi, dan perdagangan internasional. Selain itu pada kasus SPS dan TBT, terdapat informasi yang tidak lengkap pada produk yang diperdagangkan. Dimana SPS dan TBT memfasilitasi perdagangan dengan menandakan bahwa produk yang diperdagangkan aman untuk dikonsumsi.

Ekspor produk hortikultura ke negara-negara ASEAN +3 yang terkena SPS selama kurun waktu 2010-2012 berdasarkan frequency index menunjukkan bahwa penggunaannya masih tinggi berkisar antara 50% hingga 75.76%. Negara yang paling banyak penggunaan SPS pada produk hortikultura adalah Malaysia. Selanjutnya adalah Jepang yang mengalami perubahan dari tahun ke tahunnya. Penggunaan SPS yang konstan pada produk hortikultura dari tahun 2010-2012 adalah Philipina sebesar 18.18%. Penggunaan SPS di Cina selama tahun 2010-2012 mengalami peningkatan dari 39.39% menjadi 51.52%. Sementara untuk Thailand, memberlakukan SPS pada produk hortikultura mengalami peningkatan pada tahun 2011 sebesar 45.45% daripada pada tahun 2010 sebesar 33.33%. Akan tetapi pemberlakuan SPS ini menurun pada tahun 2012 menjadi 42.42%. Korea mempunyai tren yang sama dengan Thailand, hanya saja jumlahnya sebesar 21.21; 24.24; dan 18.18% selama kurun waktu yang sama.

29

Sumber: Data setelah diolah 2013

Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor produk hortikultura ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012

Frequency index SPS berbeda dengan jumlah yang beragam pada tiap negara-negara ASEAN +3. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan frequency index

TBT. Berdasarkan gambar di bawah dapat diketahui bahwa Malaysia masih tetap menjadi negara yang paling banyak memberlakukan NTM berupa TBT. Jumlah pemberlakuannya meningkat dari tahun ke tahun yang mencapai hingga 87.88%. Sementara Jepang dengan penggunaan SPS terbanyak kedua, untuk TBT hanya mencapai 15.15% selama tahun 2010-2012 dan menjadi negara yang paling rendah memberlakukan NTM berupa TBT.

Frekuensi indeks selama kurun waktu 2010-2012 pada gambar menunjukkan pemberlakuan NTM pada total ekspor hortikultura. Hortikultura terbagi atas empat kelompok besar yaitu tanaman hias, sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat. Jumlah produk hortikultura yang terkena NTM yang paling banyak dengan jumlah 100% pada kelompok tanaman obat. Hal ini dikarenakan dalam perhitungannya yang dimasukkan dalam kode HS dua digit hanya satu dari kelompok tersebut. Tanaman obat yang dimasukkan dalam kelompok ini yaitu pada kelompok empat digit HS yaitu 0910. Sehingga hampir seluruh negara tujuan ekspor di ASEAN +3 memberlakukan NTM pada produk ini. Secara keseluruhan untuk masing-masing kelompok hortikultura terdapat beberapa produk yang paling sering diberlakukan NTM. Pemberlakuan NTM berupa SPS yang paling sering pada kelompok tanaman hias adalah tanaman hidup lainnya termasuk akarnya baik yang dipotong atau berupa stek dan yang menumbuhkan jamur. Pada kelompok sayuran yang paling sering berupa sayuran lainnya baik segar maupun beku. Selain itu produk sayuran seperti bawang merah, bawang putih, selada, chicory, dan sejenisnya juga merupakan produk yang paling sering dalam pemberlakuan NTM berupa SPS. Kelompok buah-buahan yang paling tinggi keseringan pemberlakuan SPS yaitu buah-buahan lainnya (buaha-buahan yang tidak termasuk dalam kode HS yang lain) dalam bentuk segar. Selain itu, buah-buahan seperti apricot, cherri, buah persik, apel, pear juga sering diberlakukan hambatan SPS.

Berdasarkan gambar 7, Korea lebih banyak memberlakukan TBT daripada SPS. Hal ini terlihat dari frequency index yang mencapai 42.42% pada tahun 2010, walaupun mengalami penurunan untuk dua tahun berikutnya hingga 33.33%. Philipina dan Thailand merupakan negara yang pemberlakuan baik SPS dan TBT berjumlah sama selama kurun waktu 2010-2012.

0 20 40 60 80 F re qu ency I nd ex SPS ( %) Negara 2010 2011 2012

30

Sumber: Data setelah diolah 2013

Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012

Kebijakan mengenai TBT pada keempat kelompok hortikultura menunjukkan keragaman pada negara-negara ASEAN +3. Kelompok tanaman hias, tanaman hidup lainnya dan umbi, bonggol, akar berbonggol dan sejenisnya merupakan produk yang paling sering. Negara yang memberlakukan hambatan pada produk tersebut yaitu Cina, Jepang, dan Malaysia. Pada kelompok sayuran, produk seperti sayuran kering, sayuran kacang-kacangan kering, dan kentang yang pemberlakuannya paling sering. Penerapan hambatan berupa TBT pada produk ini diberlakukan paling banyak oleh Jepang dan Malaysia. Pisang, Jeruk, dan buah-buahan lainnya (other fruit) merupakan produk dari kelompok buah-buahan dengan tingkat keseringan yang paling tinggi. Negara yang menerapkan kebijakan tersebut yaitu Korea, Malaysia, dan Thailand.

Sumber: Data setelah diolah 2013

Gambar 8 Frequency index SPS pada produk ekspor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012

0 20 40 60 80 100 Fr e q u e n cy In d e x TB T (% ) Negara 2010 2011 2012 0 20 40 60 80 100 25 0 75 0 0 0 0 57.14 71.43 14.29 92.86 21.43 0 50 50 28.57 7.14 78.57 21.43 0 42.86 F re qu ncy I nd ex SPS Negara Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat

31

Sumber: Data setelah diolah 2013

Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012

Secara umum untuk SPS dan TBT yang dilihat dari frekuensi indeksnya ekspor hortikultura Indonesia selama kurun waktu 2010-2012 pada negara tujuan yaitu negara ASEAN +3 mengalami peningkatan khususnya dengan negara tujuan Cina dan Malaysia. Sementara untuk Jepang dan Thailand pemberlakuan NTM mengalami penurunan pada tahun 2012. Kemudian pada negara tujuan Korea mengalami penurunan pemberlakuan NTM dari tahun 2010-2012 dan Philipina yang selama kurun waktu tersebut memberlakukan NTM dalam jumlah yang sama. Berdasarkan gambar juga dapat diperoleh informasi bahwa negara tujuan yang paling banyak memberlakukan NTM adalah Malaysia dan yang terendah adalah Singapura yang sama sekali tidak memberlakukan NTM.

Pilihan lain dalam mengukur NTM selain frequency index adalah coverage ratio. Coverage ratio ini merupakan pengukuran NTM dengan memasukkan cakupan impor yang terkena dampak kebijakan di negara yang bersangkutan. Cakupan NTM yang semakin besar dapat terlihat dari semakin besarnya nilai

coverage ratio. Coverage ratio produk ekspor hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3 pada tahun 2012 menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu sebesar 100%. Coverage ratio SPS dan TBT terlihat hampir di setiap negara ASEAN +3 menunjukkan nilai yang sama. Misalnya seperti Cina, Korea, dan Malaysia yang untuk masing-masing kelompok sebesar 100%. Sementara Philipina dan Thailand, masing-masing kelompok hortikultura sebesar 100% kecuali kelompok tanaman hias yang nilainya nol. Sedangkan untuk Jepang, kelompok tanaman hias sebesar 17.71% dan ketiga kelompok lainnya sebesar 100%. Ini berarti untuk semua kelompok hortikultura dikenakan NTM baik SPS maupun TBT. Berdasarkan

coverage ratio SPS ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara

Dokumen terkait