• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM

4.1 Kecamatan Medan Marelan

Penelitian tentang pemanfaatan TOGA dilakukan di satu kelurahan, yaitu kelurahan Tanah Enam Ratus yang terletak di Kecamatan Medan Marelan, yang memiliki luas wilayah 44,47 km2 dan terletak 5 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Medan Marelan terdiri dari 5 kelurahan, yaitu :

1). Kelurahan Tanah Enam Ratus 2). Kelurahan Rengas Pulau 3). Kelurahan Terjun

4). Kelurahan Paya Pasir 5). Kelurahan Labuhan Deli

Sedangkan jumlah penduduk, luas kelurahan dan kepadatan penduduk di Kecamatan Medan Marelan dapat dilihat pada Tabel 4.1. berikut :

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Marelan Tahun 2007

No Kelurahan Jumlah Penduduk Luas Wilayah Kepadatan Penduduk Per km2

1 Tanah Enam Ratus 22.903 30.42 753

2 Rengas Pulau 57.178 10.5 5.446

3 Terjun 18.890 16.05 1.177

4 Paya Pasir 10.273 10 1.027

5 Labuhan Deli 15.125 4.5 3.361

Medan Marelan 124.369 71.47 1.740

Sumber : BPS Kota Medan, 2008

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Kelurahan Tanah 600 memiliki wilayah paling luas tetapi kepadatan penduduk paling rendah jika dibandingkan dengan empat kelurahan lainnya.

Penduduk di Kecamatan Medan Marelan memiliki jenis mata pencaharian yang beragam, tetapi yang paling besar adalah petani, seperti terlihat pada Tabel 4.2. berikut :

Tabel 4.2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Menurut Kelurahan Di Kecamatan Medan Marelan Tahun 2007

No Kelurahan PNS Peg. Swasta ABR I Petan i Nelaya n Pedaga - ng Pensi -unan Lain -nya 1 Tanah Enam Ratus 113 859 8 768 14 56 19 0 2 Rengas Pulau 204 2241 62 2024 16 334 9 0 3 Terjun 201 722 8 4173 119 39 16 0 4 Paya Pasir 25 892 18 361 82 47 6 0 5 Labuhan Deli 180 2004 7 76 947 37 12 0 6 Medan Marelan 723 6718 103 7402 1178 513 62 0

Sumber : BPS Kota Medan, 2008

Kelurahan Tanah Enam Ratus mempunyai luas 30.42 km2, dengan batas-batas wilayah daerah ini adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : berbatasan dengan kelurahan Terjun dan Kelurahan R. Pulau. Sebelah timur : berbatasan dengan kelurahan Titi Papan.

SSebelah barat : berbatasan dengan PTP IX

Sebelah selatan : berbatasan dengan Desa Manunggal Labuhan Deli.

Di Tanah 600 dapat ditemukan tanaman obat keluarga (TOGA) masing- masing di depan rumah masyarakat. Ada yang menanam hanya untuk kebutuhan dapur, ada juga yang menanam untuk keperluan obat. Memang, sekitar sepuluh tahun yang lalu, keluarga-keluarga di Tanah 600 sangat bersemangat dalam menanam TOGA. Hal ini dinyatakan oleh mak Salon, yang merupakan salah seorang pelopor

dalam pemanfaatan TOGA. Menurut beliau, dahulu Tanah 600 selalu menjadi daerah yang dikunjungi oleh kelompok-kelompok tani dari daerah atau kota lain, jika melakukan studi banding tentang pemanfaatan TOGA. Dinas pertanian atau dinas kesehatan selalu membawa rombongan tamu-tamu tersebut ke Tanah 600, karena pada saat itu di daerah ini, penanaman dan pemanfaatan TOGA cukup berkembang dan merupakan daerah binaan dari kedua dinas pemerintahan tersebut.

Bahkan, dahulu rumah mak Salon menjadi tempat penampungan tanaman- tanaman obat dari para tetangga, karena banyaknya masyarakat atau mahasiswa yang mencari dan membeli tanaman obat ke lingkungan mereka. Kemungkinan, karena besarnya peminat terhadap TOGA, sehingga masyarakat juga bersemangat untuk menanamnya. Tetapi, sejak dua tahun belakangan ini, permintaan pasar terhadap TOGA sudah menurun, sehingga beberapa keluarga sudah tidak lagi menanam TOGA. Termasuk dalam kelompok ini adalah mak Salon, terlihat pada halaman samping rumahnya yang masih meninggalkan kesan ‘kejayaan TOGA’, beberapa tanaman masih tumbuh menutupi sebuah papan yang berisi daftar nama-nama TOGA miliknya. Tetapi sebagian telah tergusur oleh pembangunan sebuah studio foto, untuk tempat usaha salah seorang putranya.

Pekerjaan penduduk Tanah 600 mayoritas bertani, yaitu sebesar 70%. Jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat adalah padi dan tanaman palawija seperti kacang kedelai, kacang panjang, kacang hijau, kangkung, sawi dan terong. Tetapi jenis tanaman padi masih tetap menjadi primadona jika dibanding dengan tanaman

Dulunya, lingkungan di Tanah 600 sebagian besar merupakan daerah pertanian, tetapi perkembangan zaman dan pertambahan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal, menyebabkan banyaknya lahan pertanian yang telah berubah menjadi tapak-tapak perumahan. Sehingga, menjadi pemandangan yang biasa jika berkeliling ke sekitar lingkungan di Tanah 600 , tampak beberapa rumah-rumah, di sebelah atau di depan rumah tersebut masih ada sawah-sawah produktif, yang bukan milik mereka.

Sedangkan selebihnya masyarakat Tanah 600 memiliki pekerjaan sebagai buruh pabrik, tukang cuci, tukang ojek, dan lain-lain. Selama penelitian juga tidak jarang ditemukan masyarakat berkumpul-kumpul di depan rumah sambil memotong/merapikan tali selop. Selop-selop yang dipotong atau dirapikan oleh warga masyarakat tanah 600 adalah produk dari sebuah pabrik selop ‘Swallow’, dimana keberadaan pabrik ini masih tidak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka. Satu warga setiap harinya dapat menyelesaikan 2 lusin (48 buah) selop, setiap selop dihargai Rp.100. Satu keluarga dapat menghasilkan sepuluh ribu rupiah setiap sore. Mereka juga menganggap bahwa apa yang mereka dapatkan sudah bisa mengganti uang jajan anak-anak mereka.

4.2 Mak Intan

Di daerah ini ditemukan satu rumah tempat mengolah TOGA ke dalam bentuk jamu dan minuman sehat. Tempat pengolahan TOGA ini dikelola oleh satu keluarga yang dikenal dengan keluarga Mak Stepia. Dia sangat memahami seluk beluk TOGA.

Pengetahuan dan keterampilan mengolah TOGA ini diperolehnya semenjak kecil, yang diwariskan oleh kakek, nenek dan ibunya sendiri.

Mak Intan lahir pada tanggal 12 Desember 1951 di daerah Titi Rante, Padang Bulan. Beliau anak paling kecil dari 4 bersaudara (satu laki-laki dan tiga orang perempuan). Kesulitan ekonomi yang menimpa orangtuanya menyebabkan keluarga orangtuanya pindah ke Tanah 600 saat itu usia mak Intan baru 3 bulan untuk tinggal bersama kakek dan neneknya (dari pihak ayahnya). Ketika usia mak Intan menginjak 4 tahun, ibunya meninggal dunia, sehingga dia diasuh oleh kakek dan nenek. Ayahnya menikah lagi dan tinggal di tempat yang berbeda dengan mereka.

Kakek dan neneknya merupakan orang-orang yang sejak masa mudanya sudah memanfaatkan tanaman-tanaman untuk pengobatan. Setiap ada anggota keluarga yang sakit, obat yang diberikan selalu dari bahan tanaman, baik yang diminum atau yang dioleskan pada tubuh si sakit. Dan, semua anggota keluarga diajari cara-cara pengobatan ini, tetapi hanya mak Intan yang menaruh minat cukup besar untuk mempelajarinya.

Sejak usia 4 tahun, mak Intan sudah diajari kakek dan neneknya untuk mengenali dan menanam jenis-jenis rumput yang berguna sebagai bahan obat. Keterlibatan awal mak Intan adalah dengan mengisi plastik-plastik bekas kantong belanja dengan tanah-tanah yang diambil dari pembakaran sampah. Tanah-tanah ini setelah diisi ke dalam plastik-plastik tersebut, dibiarkan sekitar 2 minggu, baru kemudian ditanami oleh tanaman obat, seperti kunyit, jahe, temulawak, seledri, dan

kantong plastik tersebut, sering juga dari tanah-tanah yang ada di parit/selokan. Perlakuan terhadap tanah parit ini sama dengan tanah bakaran sampah. Kantong yang berisi tanah parit juga dibiarkan untuk beberapa lama, baru bisa ditanami oleh tanaman obat.

Dulunya beliau bingung mengapa mesti tanah bekas membakar sampah atau tanah dari parit, yang dijadikan tanah untuk menanam tanaman tersebut, tetapi kakeknya dengan sabar menjelaskan tentang ‘kesuburan tanah’ dari debu sisa-sisa pembakaran sampah atau proses pembusukan dari sampah-sampah yang berada di selokan atau parit. Pengetahuan itu tetap menjadi pegangan mak Intan sampai saat ini. Tanaman obat miliknya tidak pernah dipupuk dengan menggunakan pupuk kimia. Pupuk yang digunakan olehnya adalah pupuk kompos yang dibuatnya sendiri, yaitu dengan memasukkan ke dalam sebuah lubang beberapa sampah-sampah organik, menutupnya dan membiarkannya berminggu-minggu. Ketika tiba masa memupuk, maka yang digunakan adalah pupuk buatan tersebut. Sehingga beliau dengan keyakinan penuh mengatakan bahwa tanaman obat yang dimilikinya merupakan tanaman obat organik, tanaman yang terbebas dari pupuk-pupuk kimia.

Dalam meracik tanaman obat menjadi jamu, maka mak Intan juga dilibatkan oleh kakek dan neneknya. Setiap ada kegiatan pembuatan jamu, maka beliau selalu diajak serta membuatnya. Neneknya selalu mengulang-ulang nama-nama tanaman yang dicampurkan untuk membuat satu jenis jamu. Terkadang, jika ada tanaman yang kurang dalam campurannya, maka nenek selalu menyuruh mak Intan untuk mencarinya di pinggir-pinggir jalan atau di pekarangan tetangga.

Tehnik pengajaran ini juga diterapkannya kepada salah seorang anak menantunya, yang juga sangat meminati pemanfaatan TOGA sebagai obat. Keterlibatan anak menantunya untuk mempelajari pembuatan jamu adalah dengan cara dia mengumpulkan tanaman-tanaman yang diperlukan untuk satu jenis jamu. Ketika semua sudah terkumpul maka mak Intan memeriksa kelengkapan semua jenis tanaman tersebut. Tidak hanya itu, saat ini perawatan tanaman obat miliknya, telah sepenuhnya diserahkan ke tangan anak menantunya. Mak Intan hanya sekali-sekali memeriksa kesehatan tanaman tersebut. Tehnik pendidikan yang seperti ini membuat anak menantunya lebih cepat mempelajari jenis-jenis tanaman obat beserta khasiatnya serta cara perawatannya.

Pada tahun 1972, mak Intan menikah dengan pemuda bernama Wahyu. Pernikahan ini menyebabkan beliau pindah ke Titi Rante, Padang Bulan. Saat itu suaminya bekerja sebagai buruh pengangkut barang (porter), di pelabuhan Belawan Medan. Ketidakpuasan mak Intan akan keadaan ekonomi keluarganya telah memunculkan ide yang terpendam, yaitu untuk kembali menggeluti pembuatan jamu- jamu dan menjualnya. Ketika kelahiran anak kelima (tahun 1980), maka mak Intan beserta suami dan anak-anaknya boyongan kembali pindah ke Tanah 600. Alasan kepindahan ke Tanah 600 saat itu sangat sederhana, karena di sana masih ada kakek dan nenek mak Intan tempat untuk berguru kembali dalam pembuatan jamu.

Sinar terang sepertinya memang berada di Tanah 600. Pada tahun 1981 ini juga, mak Intan memulai debutnya sebagai penanam TOGA dan pembuat jamu. Jam

temulawak, jeruk nipis, kunyit, sambiroto, lengkuas, beras, daun sirih dan asam jawa - untuk membuat jamu. Jam 6 pagi mak Intan sudah berangkat menjajakan jamu- jamunya ke daerah seputar Marelan. Tetapi sejak beliau mendapat hadiah sepeda tua dari mamak mertuanya, daerah penjualan jamu mak Intan semakin luas, sampai ke Hamparan Perak, Klumpang dan daerah-daerah perkebunan sekitar Deli Serdang. Jam 6 sore, mak Intan baru kembali ke rumah.

Pada tahun 1988, suami mak Intan terpilih sebagai kepala lingkungan, walaupun bergaji kecil, tetapi keberadaannya sebagai istri seorang kepala lingkungan telah membuatnya selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan Posyandu dan PKK. Kegiatan di Posyandu dan PKK ini telah membuka peluang untuk semakin berkembang dalam pemanfaatan TOGA. Pergaulannya dengan orang-orang di dinas kesehatan dan dinas pertanian, semakin meningkatkan wawasannya dan peluang-peluang yang dapat diraih dalam bidang TOGA.

Sambil menjalankan usaha penjualan jamu, dimana ruang lingkupnya semakin luas, mak Intan terus menambah koleksi tanamannya. Jumlah tanaman obatnya yang semakin banyak, seiring juga dengan digalakkannya program pemanfaatan pekarangan dengan menanam TOGA oleh pemerintah, telah mampu membuat pihak dinas pertanian untuk selalu mengajak serta mak Intan setiap ada kegiatan pameran.

Beliau bersyukur memiliki suami yang cukup pengertian dan mendukung usaha yang dijalankannya. Selama mak Intan berjualan, urusan rumah tangga dijalankan suaminya dan dibantu oleh anak-anak yang sudah cukup besar. Mak Intan memiliki enam orang anak, tiga orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Anak

tertua lahir pada tahun 1974, diikuti adik-adiknya berturut-turut pada tahun 1976, 1978, 1980, 1983 dan 1989.

Selama berjualan jamu ini, mak Intan tetap berusaha untuk menambah pengetahuannya tentang pemanfaatan TOGA. Keputusannya untuk menggeluti TOGA secara sepenuh hati, memberikan bukti. Anak-anaknya semua bisa mengenyam pendidikan menengah, keperluan-keperluan keluarga lainnya juga bisa dipenuhi dari hasil pemanfaatan TOGA.

Rumah mak Intan memiliki luas bangunan 6 x 17 m. Disamping rumahnya juga terdapat sebidang tanah berukuran 8 x 20 m yang dipergunakan untuk menanam TOGA. Rumah tempat tinggal mak Intan dikelilingi oleh tanaman-tanaman, yang jika sepintas dipandang tidak memiliki nilai keindahan yang spesifik. Tanaman yang ada di pekarangan rumah ini tidak tampak berbeda dengan tanaman-tanaman liar yang tumbuh sebagai semak belukar di hutan-hutan, sehingga tidak terlihat keistimewaannya. Tidak seperti tanaman anggrek yang menghasilkan bunga beranekaragam yang indah dan tahan lama, atau juga tanaman aglonema yang menonjolkan pancaran keindahan dari daun-daunnya.

Tanaman yang kebanyakan ditanam di samping rumah ini biasa-biasa saja. Beberapa pot tanaman digantung, beberapa pot lagi dibiarkan tergeletak di tanah, dan sebagian lagi, untuk tanaman-tanaman ukuran besar, seperti kumis kucing, kunyit dan kejibeling, tumbuh begitu saja pada bagian tepi halaman. Tampak membedakan hanya pemasangan paranet, sebagai tanda bahwa tanaman yang dinaunginya tidak

Ketika tanaman-tanaman tersebut didekati secara langsung, barulah saya bisa melihat perbedaan-perbedaan dari beberapa tanaman. Dari seluruh tanaman yang ada di pekarangan rumah mak Intan, ‘hanya’ sebagian kecil yang bisa ditebak namanya, selebihnya saya harus bertanya pada mak Intan.

Kekaguman saya dengan mak Intan tidak dapat dipungkiri, beliau bisa sangat hapal dengan nama, jenis dan khasiat tanaman yang ditanamnya. Salah satu tanaman yang membuat saya tertarik adalah tanaman Stevia yang memiliki kegunaan sebagai pengganti gula pada penderita diabetes melitus. Ketika saya bertanya lebih dalam mengenai tanaman ini, mak Intan dengan lugas bisa menjawab semua pertanyaan mengenai khasiat dan cara penggunaan tanaman tersebut, bahkan beliau bisa menguraikan dengan baik pengembangan tanaman ini ke depan jika diolah secara modern bagi penderita diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit dan rawat jalan.

4.3 Jamu-Jamu Instant

Dari TOGA yang ditanam di pekarangan rumah Mak Intan, maka keluarga ini juga menghasilkan beberapa jenis jamu yang sudah diberi izin oleh departemen kesehatan, produk jamu yang mereka hasilkan adalah produk jamu instant. Produk jamu ini sudah dibuat dalam kemasan yang diberi label berisi khasiat dan takaran penggunaan serta tanggal kadaluarsa. Penggunaan jamu-jamu ini sangat mudah, si pemakai tinggal menyeduh dengan air hangat dan dapat langsung diminum. Tidak ada serbuk yang tampak kasar dan sulit untuk diminum. Begitu bubuk jamu-jamu ini bersentuhan dengan air hangat, maka bubuk jamu tersebut langsung larut dalam air.

Rasa yang dimiliki jamu-jamu instant ini pun jauh dari bayangan yang terkonsep dalam pemikiran saya, yaitu rasa pahit dan sepat. Jamu instant daun jati, jamu instant kejibeling dan kumis kucing, serta jamu sapu jagat, terasa ‘enak’ ketika diminum. Sangat berbeda dengan jamu-jamu bubuk lainnya yang diproduksi secara pabrikan.

Pengolahan jamu-jamu ini juga sangat sederhana. Hanya satu peralatan listrik yang digunakan yaitu blender, selebihnya menggunakan peralatan yang cukup sederhana. Bahkan, untuk menutup kemasan pada plastik atau botol dengan tehnik pemanasan, digunakan lampu dinding (lampu teplok).

Bahan-bahan tanaman yang sudah dikumpulkan, dibersihkan, kemudian ditumbuk pada sebuah lumpang, tidak langsung menggunakan blender, karena serat- serat tanaman cukup keras dan dapat merusak blender. Setelah bahan-bahan tersebut setengah halus, baru diblender untuk mendapat tekstur yang sangat halus. Campuran ini kemudian dimasak sampai airnya tinggal sebagian, untuk jamu dalam bentuk cair, tinggal saring dan dinginkan. Kemudian dimasukkan ke dalam botol-botol yang sudah disterilkan dengan tehnik perendaman pada air mendidih. Setelah dingin, baru ditutup dan diberi segel plastik pada tutupnya. Sedangkan untuk jamu yang dijual dalam bentuk serbuk, dimasak sampai setengah kering, kemudian dimasak beserta gula pasir sampai menjadi kering benar. Jamu-jamu ini sudah melalui proses uji coba oleh departemen kesehatan, melalui bagian pengawasan obat tradisional.

Dokumen terkait