• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN TANAMAN OBAT KELUARGA

5.1 Pengetahuan Tentang TOGA

Tanaman Obat Keluarga (TOGA) seakan sudah mendarah daging dalam kehidupan mak Intan. Kecintaan beliau akan TOGA tampak jelas ketika beliau menceritakan jenis-jenis TOGA yang dimilikinya. Rasa kebanggaan tampak dari raut wajahnya ketika menceritakan jenis TOGA baru yang dimilikinya, dengan berapi-api beliau bercerita bagaimana perjuangan yang dilakukannya untuk memiliki jenis TOGA tersebut.

Rasa kecintaan yang ‘sangat dalam’ ini juga tampak ketika beliau bercerita tentang perjuangan yang dilakukannya untuk mewujudkan TOGA menjadi jamu- jamu instant yang tampak terpajang di sebuah lemari kaca di rumahnya. Rasa kecintaan ini juga dibarengi dengan rasa kebanggaan. Kebanggaan ini tampak diwujudkannya dengan pemajangan beberapa gambarnya dengan pejabat pemerintah dan piagam penghargaan yang diterimanya dari beberapa instansi pemerintah.

Pengetahuan tentang TOGA ini sebenarnya sudah diperoleh mak Intan sejak masih kecil. Ada beberapa unsur yang sangat berperan memberikan pengetahuan dan kecintaan akan TOGA pada mak Intan. Adapun unsur-unsur tersebut adalah :

5.1.1. Warisan Keluarga

Kecintaan akan TOGA ternyata sudah ditanamkan sejak kecil kepada mak Intan. Sejak kecil mak Intan sudah dikenalkan dengan ‘rumput-rumput’ yang dapat digunakan sebagai obat-obatan. Kakek, nenek dan ibunya6 adalah orang-orang yang selalu memanfaatkan tanaman sebagai bahan pengobatan. Sejak dahulu kakek dan neneknya tidak pernah menggunakan obat-obat buatan pabrik untuk mengobati penyakit yang diderita anggota keluarganya. Intan kecil sudah terbiasa mencari rumput-rumputan yang diperlukan kakeknya untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Narasi ini dapat menggambarkannya :

“Dulu kakek dan nenek ku kalau mengobati kami selalu dengan TOGA ini. Baik itu luka, demam, diare atau mencret atau penyakit lainnya selalu pakai tanaman TOGA. TOGA ini juga selalu ada ditanam di sekitaran rumah kami. Jadi pengetahuan tentang TOGA ini dapat juga dikatakan sebagai warisan, karena memang dari dulu kami semuanya selalu pakai obat-obatan dari tanaman”, tutur mak Intan.

Cara yang dilakukan oleh kakek dan neneknya untuk menularkan rasa kecintaan dan pengetahuan terhadap TOGA ini cukup unik. Saya katakan unik karena apa yang dilakukan olek kakek dan nenek mak Intan cukup alamiah dan tidak memiliki unsur paksaan. Setiap ada anggota keluarga kakeknya yang menderita penyakit tertentu seperti demam, mencret atau luka-luka, untuk itu diperlukan tanaman sebagai pengobatan, maka sang kakek selalu menyuruh mak Intan untuk mengambilkan atau mencarikan rumput-rumput yang diperlukan untuk pengobatan

6

tersebut. Bahkan sejak usia mak Intan masih sangat dini yaitu usia 4 tahun proses pembelajaran ini sudah berlangsung.

Mak Intan tidak hanya diajari untuk mengenali jenis-jenis tanaman dan cara perawatannya. Tetapi kakek dan neneknya juga melibatkan mak Intan untuk memproses tanaman tersebut hingga menjadi jamu yang siap dikonsumsi. Jadi, pengetahuan mak Intan tentang jenis-jenis tanaman dan bagaimana proses pengolahannya memang sudah sejak lama dipahaminya. Proses pembelajaran ini memang sangat alamiah, tingkat keseringan bergaul dengan TOGA telah membuat mak Intan paham betul dengan berbagai jenis tanaman dan khasiat dari tanaman tersebut. Pengalaman yang cukup lama tersebut membuatnya mempunyai kelebihan dalam membuat jamu, bila ada bahan yang kurang, maka beliau juga biasanya “berburu” ke daerah lain.

5.1.2. Membaca

Kakek dan nenek mak Intan termasuk orang Jawa yang masih memegang pemahaman bahwa bangku pendidikan tidak begitu diperlukan bagi anak perempuan. Hal ini mengingatkan saya pada zaman R.A. Kartini, yang sangat berminat menperoleh pendidikan secara formal tetapi terbelenggu oleh kerangkeng adat istiadat. Mak Intan pun mengalami belenggu ini. Keinginannya untuk sekolah lebih tinggi terhalang oleh paham yang dianut kakek dan neneknya bahwa ‘anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akan kembali ke dapur’.

Pemahaman ini menyebabkan mak Intan hanya mengecap pendidikan sekolah dasar, itupun tidak sampai menamatkannya. Namun, sesuatu yang masih disyukuri oleh mak Intan adalah dengan sekolah singkat yang sempat dikecapnya (sampai kelas 5 SD), beliau sudah memiliki kemampuan membaca. Kemampuan membaca ini yang banyak mempengaruhinya untuk selalu menambah pengetahuannya tentang jenis- jenis dan kegunaan TOGA.

Sejak kecil mak Intan telah didorong oleh kakeknya untuk selalu menambah wawasannya tentang pemanfaatan TOGA. Kakeknya selalu menanamkan prinsip pada dirinya bahwa kepandaian tidak selalu diperoleh di bangku sekolah. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan diri. Salah satu yang ditanamkan sang kakek adalah rajin membaca rajin membaca disini lebih mengarah kepada rajin membaca buku atau koran yang memiliki informasi pemanfaatan TOGA . Selain membaca buku-buku atau koran yang memuat berita tentang pemanfaatan TOGA, mak juga menambah pengetahuannya dengan mendengar dan menyimak berita-berita di Radio dan Televisi, jika ada siaran tentang TOGA.

Tingginya minat baca mak Intan akan buku-buku yang memuat pemanfaatan TOGA, ditunjukkannya kepada saya dengan membawa beberapa buku-buku koleksinya. Beberapa buku-buku itu ditulis oleh pakar-pakar pengobatan tradisonal seperti Setiawan Dalimartha. Koleksi buku pengobatan tradisional mak Intan cukup banyak.

Pengetahuan pengobatan tradisional yang diperolehnya dari berbagai media tersebut, ternyata tidak ditelannya bulat-bulat dalam membuat obat-obat tradisional karyanya. Racikan obat tradisionalnya tidak ada yang sama persis dengan apa yang dibacanya. Resep-resep obat tradisional yang dibacanya di buku-buku tersebut hanya berguna untuk menambah wawasannya tentang pemanfaatan TOGA, termasuk khasiat dan jenis-jenis tanaman obat yang belum dimilikinya.

Beberapa buku yang telah dibaca oleh mak Intan, dan menjadi sumber ilmu bagi dirinya dalam meracik jamu-jamu tradisional miliknya, seperti terlihat pada Tabel 5.1. berikut :

Tabel 5.1. Buku-Buku Kesehatan Koleksi Mak Intan

No Judul Buku Pengarang Tahun

Terbit

Penerbit 1 Khasiat dan Manfaat Jati

Belanda si Pelangsing Tubuh dan Peluruh Kolesterol

Dra. Suharmiati, Msi, Apt Dra. Herti Maryani

2003 Agromedia Pustaka

2 Hancurkan Batu Ginjal dengan

Ramuan Herbal

Hardi Soenanto Sri Kuncoro

2005 Puspa Swara

3 Musnahkan Penyakit dengan Tanaman Obat

Hardi Soenanto 2005 Puspa Swara

4 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.

Seri 1

Drs.H. Arief Hariana 2004 Penebar

Swadaya

5 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.

Seri 3

Drs.H. Arief Hariana 2006 Penebar

Swadaya

6 Ramuan Herbal untuk Diabetes

Melitus

Dr.Ir.M.Ahkam Subroto, M.App.Sc.,APU

2006 Penebar Swadaya 7 Ramuan Tradisional untuk

Kesuburan Suami Istri

Lina Mardiana Fendy R. Paimin

2005 Penebar Swadaya

8 Tanaman Obat Pelancar Air Seni Adi Permadi, S.Si 2006 Penebar

Swadaya

9 Kanker pada Wanita.

Pencegahan dan Pengobatan dengan Tanaman Obat

Lina Mardiana 2004 Penebar

Swadaya 10 Tanaman Obat di Lingkungan

Sekitar

dr. Setiawan Dalimartha 2005 Puspa Swara

11 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 2

Drs.H. Arief Hariana 2005 Penebar

Swadaya 12 Atlas Tumbuhan Obat Indonesia

Jilid 1

dr. Setiawan Dalimartha 1999 Trubus

Agriwidya 13 Atlas Tumbuhan Obat Indonesia

Jilid 3

dr. Setiawan Dalimartha 2003 Puspa Swara

14 Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2

dr. Setiawan Dalimartha 2000 Trubus

Agriwidya

15 Toga 1. Tanaman Obat Keluarga Hieronymus Budi Santoso 1998 Kanisius

16 Obat-obatan Ramuan Asli W. Surya Endra - Usaha

Nasional

17 Sehat dan Ayu dengan Ramuan

Tradisional Jawa

Tim Intisari Mediatama 2000 Gramedia

18 99 Resep Ramuan Surga (Menuju RT Bahagia)

MB. Rahimsyah - Amelia

Surabaya 19 Sehat di Usia Lanjut dengan

Ramuan Tradisional

Drs. Bambang Mursito, Apt., M.Si

2001 Penebar Swadaya

5.1.3 Jalinan Kerja

a. Dinas Pertanian

Pengetahuan mak Intan tentang TOGA juga banyak dipengaruhi oleh dinas pertanian. Suami mak Intan memiliki jabatan sebagai kepala lingkungan di tempat tinggal mereka. Jabatan kepling ini sudah disandangnya sejak tahun 1988. Sebagai istri kepala lingkungan maka otomatis mak Intan menjadi ketua PKK di lingkungannya. Jabatan sebagai ketua PKK menyebabkannya menjadi sering bersinggungan dengan program-program pemerintah, baik di bidang kesehatan maupun pertanian.

Awalnya mak Intan banyak berkecimpung di Posyandu, tetapi karena pekerjaannya sebagai penjual jamu keliling (sejak tahun 1981), maka di setiap kesempatan pertemuan-pertemuan dengan petugas pemerintah (diundang sebagai peserta rapat atau pelatihan), maka mak Intan selalu membawa serta jamu-jamu jualannya. Inilah membuat dinas pertanian mulai menaruh perhatian pada pekerjaan mak Intan.

Mak Intan mulai dibina oleh dinas pertanian, bahkan diangkat sebagai ketua kelompok pemanfaatan tanaman pekarangan (saat ini mak Intan memiliki 25 anggota kelompok). Pembinaan yang dilakukan oleh dinas pertanian meliputi cara merawat TOGA dan pengembangannya. Pengembangan yang dilakukan oleh dinas pertanian dengan cara mengajak mak Stepia mengikuti pameran-pameran yang dilakukan oleh dinas pertanian, atau menginformasikan pameran-pameran yang ada dan mendorongnya untuk ambil bagian. Selain itu, dinas pertanian juga mendorong mak

Intan untuk meningkatkan pembuatan jamu dari cara tradisional menjadi jamu instant, sehingga produk-produk ini bisa lebih praktis bagi konsumen.

Salah seorang petugas dinas pertanian (PPL Pertanian) yang saya wawancarai mengatakan bahwa :

“Mak Intan termasuk orang yang gigih. Sudah sejak lama dia sangat ‘care’ pada tanaman-tanaman yang dapat digunakan sebagai obat. Setiap kami mengadakan acara, baik itu rapat atau pelatihan yang berkaitan dengan masyarakat, mak Intan tidak pernah mau ketinggalan. Dia selalu mengupayakan untuk hadir. Dia termasuk salah satu ketua pertanian yang merupakan pemekaran dari Layar Sari. Mak Intan mau belajar dan mau dibina, dan dia gak mau setengah-setengah dalam bidang TOGA ini. Makanya dia termasuk orang yang sampai sekarang bertahan dan maju dalam bidang TOGA dibandingkan orang lain. Yang lain selalu mengeluh, bilang gak ada waktu, gak ngerti ngurusnya, gak ada modal, macam-macamlah. Tapi kalo mak Intan gak gitu, makanya kamipun kalo ada pameran- pameran selalu ngajak dia sebagai peserta. Pokoknya salutlah dengan mak Intan, jarang-jarang ada orang seperti dia”, kata petugas tersebut.

Apa yang dikatakan oleh si petugas PPL tersebut benar adanya, sewaktu saya berkunjung ke seorang tetangga mak Intan sebut saja bu Ayu yang juga pernah dibina dalam bidang pemanfaatan pekarangan dengan TOGA, tampak pekarangannya jauh berbeda dengan pekarangan rumah mak Intan yang memiliki tanaman beranekaragam jenis dan tumbuh dengan subur. Tanaman di pekarangan rumah ibu Ayu tidak banyak dan kurang terawat. Narasi di bawah ini dapat menggambarkan mengapa ibu Ayu tidak memiliki tanaman yang seperti dimiliki mak Intan :

”Aku memang sudah pernah mencoba menanam TOGA ini bu, tapi namanya pekerjaan kan ada yang cocok ada yang tidak cocok. Orang bilang serasi-serasian. Sekali itu pengen juga mencoba menanam TOGA ini, biar macam mak Stepia itu gitu, tetapi tanaman TOGA saya banyak layu, padahal itu sudah saya rawat, udah gitu saya memang tidak hobbi di situ, jadinya saya tidak sabar lagi menunggunya dan saya biarkan saja. Saya cari pekerjaan tukang cuci saja sudah. Tidak ada resikonya menurut saya dan punya uang tiap awal bulan, jadi saya tidak mengalami kerugian. Kalo menunggu hasil dari menanam TOGA kan gak jelas bu, hasilnya gak tentu, gak bisalah mencukupi keperluan rumah tangga”, kata bu Ayu.

Saya mencoba mengorek dari mak Intan tentang kegagalan beberapa temannya dalam mengelola TOGA. Menurut mak Intan, khususnya kecamatan Medan Marelan, hanya istri kepling lingkungan 7 (dia sendiri) yang mau melakukan seperti apa yang dilakukannya dan ternyata berhasil. Mak Intan mengatakan bahwa beberapa temannya itu tidak sabar menunggu hasilnya dan lebih berpikir bekerja yang memberikan uang dengan mudah. Teman-temannya itu hanya menunggu tetapi tidak mau berbuat. Ungkapan ini mungkin akan lebih mudah untuk memberikan pemahaman mengenai hal di atas :

“Orang-orang itu hanya memikirkan bagaimana mengejar uang yang mudah didapat. Kalau ngurus TOGA ini kan sifatnya menunggu, tetapi sambil menunggu kita mencari dan berbuat. Namanya manusia, tapi kan semua serupa. Keinginan itu semua sama, keinginan untuk mempunyai; tetapi mereka tidak memiliki keinginan untuk menjalankan atau membuahkan hasil. Kalo aku gak, aku punya keinginan dan mau berbuat. Aku gak hanya nanam TOGA saja dan nunggu orang membelinya, tetapi aku membuat TOGA ini menjadi obat, pokoknya kukembangkanlah sampai seperti ini”, kata mak Intan.

b. Teman Seprofesi (Mak Salon)

Mak Salon adalah tetangga mak Intan, walaupun rumahnya berbeda lingkungan. Mak Salon juga mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan pengetahuan mak Intan mengenai TOGA dan sangat mendorongnya untuk terus berkembang dalam pemanfaatan TOGA. Mak Salon sejak 1982 telah menanam dan memanfaatkan TOGA. Beliau, salah seorang yang dipanggil ke istana presiden Susilo Bambanga Yudhoyono, untuk mendapat penghargaan pada tahun 2006.

Menurut mak Salon, beberapa tahun yang lalu daerah disekitar tempat tinggalnya termasuk daerah yang memiliki keluarga-keluarga yang menanam TOGA. Mak Salon menjadi tempat penampungan tanaman obat yang mereka tanam untuk dibeli oleh konsumen. Tetapi dua tahun belakangan ini, situasi tersebut menjadi menurun seiring rendahnya peminat yang datang untuk membeli tanaman obat di rumah mak Salon.

Dan, sekarang lahan untuk menanam TOGA pun menjadi sempit, karena lahan-lahan tersebut sudah dibagi dengan anggota keluarga yang lain atau dijual untuk keperluan hidup mereka. Halaman rumah mak Salon yang cukup luas pun saat ini menjadi sempit karena adanya pembangunan studio foto untuk keperluaan usaha anaknya. Tanaman-tanaman obat miliknya yang cukup banyak seakan ‘tersingkir’ dengan adanya pembangunan gedung tersebut.

Mak Salon masih dapat mengingat dengan jelas betapa dulu kelurahan Tanah 600 menjadi daerah ‘primadona’ untuk pemanfaatan TOGA. Mak Salon menyediakan

TOGA, kemudian tanaman-tanaman obat ini dijual kembali ke mak Salon. Dalam sehari mak Salon bisa menjual 10-20 pot tanaman obat dengan kisaran harga antara Rp.5.000-10.000.

Sampai saat ini menurut mak Salon hanya mak Intan yang masih tetap tekun dengan TOGA, mak Salon sendiri, mulai mundur dari TOGA, selain karena usia juga dikarenakan kesibukannya sebagai ‘bidan pengantin’. Menurut mak Salon, mak Intan punya potensi untuk mengembangkan TOGA, karena sejak dulu mak Intan sudah memulainya dengan menjadi penjual jamu gendong. Narasi ini menggambarkan jalinan kerja antara mereka berdua :

“Kami memang sudah sejak lama saling dukung dalam pemanfaatan TOGA, sejak tahun 80-an. Sampai sekarang pun, hanya tinggal kami berdua yang masih tetap memanfaatkan TOGA ini”, kata mak Salon. “Hanya saja kami memiliki perbedaan, aku memang mengetahui kegunaan tanaman-tanaman ini untuk mengobati beberapa penyakit Mak Salon sering diundang oleh dinas pertanian sebagai narasumber TOGA , tetapi karena kesibukan ku sebagai bidan pengantin, makanya aku gak sempat meracik tanaman-tanaman ini. Lain dengan mak Intan, dia memang sejak dulu sudah menjual jamu, dan memang dia betul- betul tekun sama TOGA, mau belajar dan mau berkembang, makanya dia sampai bisa membuat jamu instant”, lanjut mak Salon. “Aku selalu bilang sama mak Intan untuk maju terus, apa- apa yang perlu dibantu kasi tau aku biar aku bantu, aku juga sering mengajak dia ke dinas pertanian, sehingga dia juga bisa belajar untuk bisa menjadi narasumber. Aku pengen daerah kami ini sebagai daerah unggulan dalam memanfaatkan TOGA. Sekarang ada undangan untuk mengikuti PENAS di Kalimantan, aku sudah tua, gak sanggup lagi, nanti mak Intan yang ku usulkan jadi gantinya”, tutur mak Salon.

Sampai sekarang jalinan kerja mereka tetap berlanjut. Setiap mak Intan membuat jamu, beberapa tanaman yang sebagai bahan pembuatan jamu diperolehnya

dari halaman rumah mak Salon. Setiap mak Intan mengikuti pameran, maka beliau juga mendukungnya dengan menyediakan tanaman-tanaman obat untuk dipajang di pameran. Bahkan beliau selalu menganjurkan mak Intan untuk menambah ilmunya dengan membeli buku-buku pemanfaatan TOGA. Jadi mak Salon ini termasuk orang yang mengkader mak Intan untuk tetap eksis dalam memanfaatkan TOGA.

Mak Salon berharap agar totalitas mak Intan dalam menekuni TOGA tetap bertahan dan semakin maju, karena mak Intan sudah bisa membuktikan bahwa dengan memanfaatkan TOGA dan mau mengembangkannya, ternyata dapat menjadi sumber perekonomian utama keluarga.

c. Instansi Lainnya

Mak Intan termasuk orang yang supel dan suka bergaul. Untuk mengembangkan usaha pemanfaatan TOGA ini beliau tidak hanya menjalin kerja dengan dinas pertanian dan teman seprofesi. Instansi-instansi lain yang akan memberikan kontribusi dalam peningkatan ataupun perkembangan usaha pemanfaatan TOGA, bahkan yang tidak memiliki kaitan sama sekali pun tetap dijalinnya tali kerjasama.

Salah satu instansi yang memiliki kontribusi dalam usahanya ini adalah dinas kesehatan. Jalinan kerja dengan dinas kesehatan sampai saat ini terus berlangsung. Informasi-informasi adanya pameran di dalam kota Medan ataupun yang di luar kota Medan masih terus diterimanya dari dinas kesehatan. Bahkan untuk

dilakukan oleh dinas kesehatan. Salah satu pelatihan yang diikutinya pada bulan Mei 2004 adalah pelatihan tentang penyuluhan keamanan pangan dalam rangka Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) diselenggarakan atas kerjasama dinas kesehatan kota Medan dengan Balai Pengawas Obat dan Makanan . Dan, untuk usaha pembuatan jamunya, beliau juga telah memiliki surat rekomendasi/persetujuan dari dinas kesehatan kota Medan untuk pembuatan minuman segar kerkhasiat.

Untuk dapat merawat dan memupuk tanaman TOGA miliknya sehingga terbebas dari hama, tetapi tidak menggunakan bahan-bahan kimia, maka mak Intan mengikuti sekolah lapangan pengendalian hama terpadu yang diselenggarakan oleh Field Training Facilities (FTF) Tanjung Morawa, Sumatera Utara selama 3 (tiga) bulan mulai 12 Nopember 1993 s/d 14 Januari 1994.

Selain hal di atas, mak Intan juga mengikuti “Sosialisasi HAKI” yang diselenggarakan oleh dinas koperasi kota Medan dari tanggal 3 – 5 Desember 2008 di hotel Semarak Internasional Medan. Dengan dasar sosialisasi HAKI inilah mak Intan saat ini sedang mengurus hak paten akan merek dagang dari jamu-jamu yang dibuatnya.

Semua ini menandakan keseriusan dari mak Intan untuk mengembangkan TOGA. Dia tidak hanya puas dengan kemampuan untuk meracik TOGA menjadi jamu saja, tetapi juga mempunyai keinginan untuk lebih mengembangkan TOGA menjadi suatu usaha yang diakui keberadaannya. Oleh karena itu jalinan-jalinan kerja ini dirajutnya untuk semakin memperkuat pondasi pengembangan TOGA miliknya.

Jika dinas atau instansi di atas memiliki keterkaitan dengan pengembangan usaha TOGA miliknya, maka ada juga pelatihan yang diikuti oleh mak Intan tetapi tidak memiliki hubungan dengan pembuatan jamu-jamu miliknya. Pada tahun 1996, beliau juga mengikuti pelatihan budidaya air tawar proyek pendukung progran Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang diselenggarakan oleh dinas perikanan. Menurut suami mak Intan, mak Intan termasuk memiliki keahlian untuk melakukan perkawinan pada ikan-ikan air tawar. Hanya saja mak Intan tidak bisa membagi perhatiannya dengan usaha pemanfaatan TOGA miliknya dan usaha tambak ikan. Sepertinya, usaha pemanfaatan TOGA ini lebih kuat dalam dirinya sehingga dia lebih menekuni usaha ini dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Tapi kemampuan yang dimilikinya inilah yang memberikan nilai tambah seorang mak Intan.

5.1.4. Motivasi

Motivasi/dorongan untuk terus meningkatkan pengetahuan mak Intan tentang pemanfaatan TOGA, juga diperolehnya dari pujian yang diterimanya dari kosumen yang menggunakan jamu buatannya, untuk penyakit yang dialami oleh si konsumen. Mak Intan cukup berhasil membantu tetangga, teman-teman atau siapa saja yang datang mencari pengobatan padanya.

Beberapa contoh yang disebutkan mak Intan adalah ketika dia menolong seseorang yang menderita batu ginjal. Mak Intan memberikan beberapa jenis tanaman untuk direbus dan diminum si penderita, ternyata penyakit batu ginjal dapat sembuh,

ketika datang seorang pasien yang menderita kanker rahim dengan stadium yang cukup tinggi, sudah terlihat payah dan kesakitan. Lalu mak Intan memberikan jamu sapu jagat, beberapa kali meminum obat tersebut, si pasien sudah bisa duduk dan merasa lebih sehat. Contoh lain lagi adalah ketika seorang pasien yang menderita kista pada rahim, dengan minum jamu sapu jagat secara teratur, maka kista yang diderita si pasien dapat hilang tanpa harus melakukan operasi.

Narasi di bawah ini adalah pengungkapan oleh pasien-pasien yang penyakitnya dapat ‘diper-ringan’ kondisinya dengan meminum jamu buatan mak Intan (sumber ungkapan ini adalah ‘Buku Pernyataan Minuman Sehat Konsumen’):

1. Bapak Agus, sudah divonis oleh dokter untuk melakukan operasi karena ada batu pada saluran kemihnya. Setiap buang air kecil, dia selalu merasa nyeri dan air seni cuma sedikit yang keluar. Biaya yang harus disiapkan untuk menjalani operasi sekitar 10 juta rupiah. Awalnya dia hanya iseng-iseng saja mendatangi mak Intan. “nek, aku kok punya penyakit seperti ini dia menjelaskan riwayat penyakitnya , aku harus operasi lho nek”, kata bapak Agus pada mak Intan. Lalu mak Intan memberikan dua bungkus jamu kejibeling dan kumis kucing, dan menerangkan cara meminumnya. “Ajaib lho

Dokumen terkait