• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Gambaran Umum Pola Pengobatan Pada Pasien Anak Dengue Shock

Pengobatan pada pasien anak DSS dilakukan terutama untuk mengatasi

kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan

sebagai akibat perdarahan. Pada kasus DSS permasalahan yang terjadi tidak hanya

syok tetapi juga manifestasi syok lainnya seperti ensefalopati, udem paru, DIC,

asites, perdarahan gastrointestinal, bahkan adanya infeksi bakteri. Sehingga pada

beberapa kasus yang diteliti pengobatan tidak hanya dengan resusitasi cairan

tetapi juga dengan penggunaan obat dari beberapa kelas terapi untuk mengatasi

manifestasi-manifestasi yang terjadi. Distribusi kelas terapi yang diberikan pada

pada pasien anak DSS dapat dilihat pada tabel III.

Tabel III. Distribusi Kelas Terapi Obat Pada Pasien Anak DSS Di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008

No Kelas Terapi Jumlah Kasus

(n=27) Presentase (%) 1 Rehidrasi 27 100,0 2 Analgesik-Antipiretik 24 88,9 3 Diuretika 11 40,7 4 Amina Simpatomimetika 9 33,3 5 Antibiotik 7 25,9 6 Antitukak 7 25,9 7 Vitamin 6 22,2 8 Pencahar 3 11,1

9 Obat Topikal untuk Peredaran Darah 2 7,4

10 Kortikosteroid 2 7,4

Dari tabel III dapat diketahui bahwa rehidrasi dilakukan pada semua

kasus. Hal ini sesuai dengan prinsip penanganan pada syok yaitu penggantian

cairan plasma yang hilang akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan

perdarahan. Terapi paling banyak kedua yang diberikan pada pasien anak DSS

adalah analgesik-antipiretik dengan presentase 88,89 % kemudian setelah itu

adalah diuretika dengan presentase 40,74%. Analgetik-antipiretik digunakan

untuk mengatasi gejala demam, kemudian diuretik digunakan untuk mengatasi

kelebihan cairan yang banyak terjadi pada kasus DSS.

1. Cairan Rehidrasi

Terapi cairan dilakukan pada semua pasien DSS, hal ini untuk mengatasi

kebocoran plasma dan untuk memelihara homeostasis pada pasien yang kurang

asupan cairan per oral. Resusitasi volume pada syok perlu segera dilakukan untuk

mengoptimalisasikan transpor oksigen ke jaringan dan organ-organ penting dalam

tubuh. Distribusi jenis cairan yang digunakan pada terapi DSS ditampilkan pada

tabel IV.

Tabel IV. Distribusi Jenis Cairan pada Terapi DSS Anak Di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008

No Cairan Jumlah Kasus

(n=27) Presentase (%) 1 Ringer Laktat 26 96,3 2 FFP 10 37,0 3 HAES 6 22,2 4 KAEN 3A 3 11,1 5 Dekstran 1 3,7 6 Ringer Asetat 1 3,7

Ringer laktat paling banyak digunakan karena kelebihannya yaitu lebih

imunologik. Kelemahan dari ringer laktat adalah tidak efektif untuk memperbaiki

volume intravaskular, oleh karena itu HAES atau dekstran biasa digunakan karena

lebih lama bertahan diintravaskular dan memiliki efek mengurangi kebocoran

kapiler. Cairan koloid biasanya digunakan pada awal terapi untuk mengatasi

kebocoran plasma agar syok segera teratasi, setelah itu akan terapi dilanjutkan

dengan cairan kristaloid.

2. Analgesik – Antipiretik

Pada penelitian ini analgetik-antipiretik digunakan pada 88,9 % pasien

anak DSS. Hal ini karena kasus DBD selalu diawali dengan fase demam, biasanya

fase demam akan berlangsung selama 2-7 hari, oleh sebab itu pemberian

analgesik-antipiretik digunakan untuk mengatasi demam, serta nyeri kepala dan

perut yang sering muncul pada pasien DBD (Anonim, 2005 a).

Analgesik-antipiretik yang digunakan untuk mengatasi demam pada kasus DSS adalah

parasetamol karena tidak menimbulkan efek samping yang dapat memperparah

perdarahan yang sering terjadi pada kasus DSS dibandingkan dengan

analgesik-antipiretika lainnya.

Salisilat dan ibuprofen merupakan analgesik-antipiretika yang tidak

boleh diberikan pada penderita DSS. Salisilat tidak boleh diberikan karena dapat

mengganggu agregasi trombosit, mengganggu koagulasi darah. Bila salisilat

diberikan pada pasien DSS dikawatirkan akan timbul perdarahan atau

memperparah perdarahan yang telah terjadi, sedangkan ibuprofen walaupun

memiliki efek antipiretik lebih cepat dari parasetamol tetap tidak boleh diberikan

perdarahan gastrointestinal, dan trombositopenia. Efek samping tersebut dapat

memperparah gejala-gejala yang timbul pada DSS.

3. Diuretika

Diuretika yang digunakan pada terapi DSS dalam penelitian ini adalah

diuretika golongan diuretik kuat yaitu furosemid. Furosemid digunakan pada

40,7% kasus DSS yang diteliti. Furosemid pada kasus DSS digunakan untuk

mengatasi tanda-tanda kelebihan cairan, seperti asites (pengumpulan cairan di

rongga abdomen) dan udem paru (pengumpulan cairan dalam pleura). Furosemid

digunakan untuk segera mengeluarkan cairan tersebut agar tidak timbul

komplikasi lain yang membahayakan seperti sesak nafas atau infeksi bakterial.

Pada terapi DSS furosemid juga dapat digunakan untuk mempertahankan

urin output di atas 20 ml/jam dan mencegah timbulnya edema paru setelah

pemberian cairan berlebih (Suharto, 2008), seperti saat pemberian fresh frozen

plasma (FFP) agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan dalam tubuh. 4. Antitukak

Manifestasi yang sering muncul pada pasien anak DSS adalah perdarahan

gastrointestinal, oleh sebab itu obat antitukak diperlukan untuk melindungi

lambung dari asam yang dapat menimbulkan tukak lambung yang parah, akibat

kondisi mukus lambung yang rusak akibat adanya perdarahan, serta untuk

mengatasi keluhan nyeri lambung yang dialami pada pasien DSS. Antitukak yang

Tabel V. Golongan Dan Jenis Obat Antitukak yang Digunakan pada Pasien Anak DSS Di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008

No Golongan Obat Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=27)

Presentase (%)

1 Antagonis reseptor H2 ranitidin 7 25,9

2 Khelator dan senyawa komplek sukralfat 5 18,5 Berdasarkan tabel V diketahui bahwa ranitidin paling banyak digunakan

sebagai obat antitukak. Ranitidin bekerja dengan cara menghambat reseptor H2

sehingga sekresi asam lambung berkurang, sedangkan sukralfat bekerja dengan

cara melindungi mukosa dari serangan peptin asam.

5. Amina Simpatomimetika

Obat simpatomimetika digunakan untuk mengatasi gangguan

hemodinamik pada syok yang tidak teratasi hanya dengan pemberian cairan saja.

Gambaran penggunaan amina simpatomimetika yang sering digunakan tampak

dalam tabel VI.

Tabel VI. Golongan Dan Jenis Obat Amina Simpatomimetika yang Digunakan pada Pasien Anak DSS Di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008

No Golongan Obat Jenis Obat Jumlah Kasus

(n= 27)

Presentase (%)

1 Amina simpatomimetika dopamin 9 33,3

dobutamin 3 11,1

Berdasarkan data pada tabel V obat golongan amina simpatomimetika

yang sering digunakan pada pasien anak di RSUP. Dr. Sardjito adalah dopamin

dan dobutamin. Dopamin bekerja dengan cara merangsang reseptor beta,

meningkatkan cardiac output sehingga perfusi jaringan dapat meningkat.

Dobutamin memiliki efek chronotropic (gangguan terhadap keteraturan gerak

periodik seperti denyut jantung) lebih kecil daripada dopamin, tetapi efek lainnya

6. Antibiotik

Pada saat terkena DSS pertahanan tubuh menurun yang ditandai dengan

leukopenia. Pada kondisi seperti itu tubuh rentan terkena infeksi bakterial. Infeksi

dapat terjadi saat proses transfusi, melalui cairan, jarum, botol infus yang

terkontaminasi, bahkan luka tusukan di kulit. Bila timbul luka atau tromboflebitis

pada bekas infus, maka potensi terinfeksi bakteri akan semakin besar, sehingga

diperlukan antibiotik.

Pada kasus DSS juga sering muncul infeksi yang berpotensi

menimbulkan komplikasi yang berupa sepsis. Sepsis merupakan respon sistemik

inflamasi tubuh karena adanya infeksi. Infeksi ini juga harus segera diatasi, salah

satunya dengan pemberiaan antibotik. Pemberian antibiotik harus dilakukan

dengan segera tanpa harus menunggu hasil biakan kuman, antibiotik yang dipilih

untuk penanganan awal adalah antibiotik dengan spektrum luas (Soegijanto,

2001). Gambaran golongan antibiotik yang digunakan pada kasus DSS anak di

RSUP. Dr. Sardjito dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Golongan Dan Jenis Antibiotik yang Digunakan pada Pasien Anak DSS Di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008

No Golongan Obat Jenis Obat Jumlah

Kasus (n= 27) Presentase (%) 1 Penisilin amoksisilin 1 3,7 ampisilin 1 3,7 2 Sefalosporin sefotaksim 3 11,1 seftriakson 1 3,7 3 Aminoglikosida gentamisin 1 3,7 4 Polimiksin collistin 1 3,7

Antibiotik yang digunakan pada pasien anak DSS di RSUP Dr. Sardjito

dan ampisilin), dan golongan polimiksin (collistin). Golongan sefalosporin paling

sering digunakan karena paling aktif terhadap bakteri gram negatif yang

merupakan penyebab dari kebanyakan infeksi yang dialami pasien DSS.

Polimiksin digunakan apabila pasien diketahui telah resisten dengan antibiotik

golongan penisilin, sefalosporin, maupun aminoglikosida.

7. Vitamin

Vitamin yang digunakan pada pasien anak DSS di RSUP. Dr. Sardjito

adalah vitamin B1 atau tiamin. Vitamin B1 membantu tubuh dalam

memetabolisme karbohidrat. Pemberian vitamin bagi penderita DSS merupakan

terapi yang bersifat suportif untuk membantu pemulihan kondisi pasien.

8. Kortikosteroid

Kortikosteroid yang banyak digunakan adalah deksametason.

Deksametason pada pasien DSS digunakan untuk mengatasi udem otak pada

ensefalopati dengue yang merupakan manifestasi dari syok yang berkepanjangan,

selain itu deksametason dapat digunakan sebagai antiinflamasi sistemik saat

transfusi trombosit atau FFP. Fungsi lain dari kortikosteroid adalah untuk

mengatasi reaksi alergi pada kulit akibat injeksi ataupun transfusi (misalnya

gatal-gatal dan kemerahan pada kulit).

9. Pencahar

Pencahar digunakan pada beberapa pasien yang mengeluh tidak dapat

buang air besar. Kesulitan buang air besar ini bukan manifestasi langsung dari

DSS. Pasien DSS yang harus istirahat dan tidak melakukan aktifitas dalam waktu

timbul keluhan konstipasi. Gambaran golongan obat pencahar yang digunakan

pada pasien DSS tampak pada tabel VIII.

Tabel VIII. Golongan Dan Jenis Obat Pencahar yang Digunakan pada Pasien Anak DSS Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008

No Golongan obat Jenis Obat Jumlah Kasus

(n= 27)

Presentase (%)

1 Pencahar Osmotik laktulosa 2 7,4

2 Pelunak Tinja paraffin cair 1 3,7

Pencahar yang diberikan baik yang berasal dari golongan pencahar

osmotik (laktulosa) maupun golongan pelunak tinja (paraffin cair) diberikan

dalam bentuk sediaan per oral.

10.Obat Topikal untuk Peredaran Darah Di Kulit

Pada pasien DSS sering sekali dilakukan transfusi baik transfusi darah

maupun cairan. Salah satu reaksi alergi yang muncul pada beberapa orang adalah

thromboflebitis di bekas tusukan jarum. Hal ini diatasi dengan pemberian zat

bekuan darah. Heparin bekerja dengan cara memperbaiki sirkulasi pada daerah

yang mengalami thromboflebitis.

11.Obat Asma

Pada pasien DSS sering terjadi overloading atau kelebihan volume darah

dalam sirkulasi pulmonal dimana jaringan paru tidak dapat menampung lebih

banyak lagi. Gejala yang timbul akibat adanya kelebihan cairan antara lain sesak

nafas, dada terasa terikat, batuk non produktif, dan sianosis. Obat asma dalam

terapi DSS digunakan untuk mengatasi simptom sesak nafas yang timbul akibat

overloading. Obat asma yang digunakan di RSUP. Dr. Sardjito adalah salbutamol.

Salbutamol termasuk stimulan adrenoseptor B2 selektif, yang memiliki efek

Dokumen terkait