• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM 5.1 Prospek Kakao Indonesia

Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada tahun 2005. Mengingat kakao sebagai komoditas ekspor unggulan setelah karet dan minyak sawit, maka pemerintah bertekad untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab potensi lain lahan yang cukup dan sesuai untuk pertanaman kakao, juga didukung fasilitas riset yang memadai dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kakao Indonesia, tersedianya SDM yang memadai sehingga mempunyai potensi untuk menjadikan Indonesia mampu menghasilkan kakao selaras dengan pertumbuhan dan permintaan dunia. (Departemen Pertanian, 2006)

Indonesia masih memiliki prospek yang sangat besar untuk pengembangan perkakaoan baik dari tingkat hulu sampai dengan hilir. Negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia mampu membangun industri kakao yang notabene tidak memiliki bahan baku. Industri kakao bukan hanya semata-mata untuk industri makanan, tetapi industri kosmetika juga memerlukan bahan baku hasil olahan kakao. (Departemen Pertanian, 2006)

Tercatat bahwa pada periode 1997-2002 laju pertumbuhan ekspor kakao Indonesia mencapai 12 persen, sementara pertumbuhan ekspor kakao dunia hanya 3.51 persen. Disamping itu hingga pada tahun 2005 ekspor kakao Indonesia masih berkembang dengan 3.30 persen, sementara rata-rata ekspor dunia mencapai 1.70 persen. Pertumbuhan permintaan dunia akan kakao dan produk olahannya seperti yang terjadi di negara-negara maju Eropa dan Amerika meningkat 2-4 persen per

tahun. Sementara tingkat konsumsi di negara berkembang seperti Indonesia diperkirakan baru mencapai 0.06 kg/kapita/tahun juga akan meningkat sejalan dengan tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. (Departemen Pertanian, 2006)

Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Sebagian besar (lebih dari 90 persen) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).

5.1.1. Produksi Kakao di Indonesia

Produksi kakao Indonesia pada tahun 2005 dapat digambarkan sebagai berikut: wilayah Sulawesi sebesar 439 167 ton (67.3 persen), wilayah Sumatera sebesar 99 725 ton (15.3 persen), wilayah Jawa-Bali- Nusa Tenggara sebesar 47 910 ton (7.3 persen), wilayah Maluku dan Irian Jaya sebesar 37 673 ton (5.8 persen) dan wilayah Kalimantan sebesar 27 875 ton (4.3 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi merupakan sentra kakao terbesar di Indonesia dengan luas areal tanaman kakao 593 448 ha (59.8 persen). (Departemen Pertanian, 2006)

Perkembangan produksi kakao secara nasional selama lima tahun terakhir rata-rata adalah 5.9 persen per tahun, sementara itu untuk PR mengalami lonjakan yang cukup signifikan yaitu 6.9 persen, sedangkan untuk PBN dan PBS cenderung

48 konstan dan beberapa diantaranya mengalami penurunan. (Departemen Pertanian, 2006)

Sementara itu, disisi lain industri pengolahan kakao dalam negeri menghasilkan semi dan final produk dengan jumlah perusahaan yang ada di Indonesia sebanyak 16 perusahaan dengan kapasitas terpasang 325 000 ton/th dan kapasitas terpakai baru mencapai 165 000 ton/th atau hanya 51 persen. Hal ini dikarenakan keterbatasan untuk memperoleh bahan baku yang berkualitas di dalam negeri. (Departemen Pertanian, 2006)

5.1.2. Konsumsi Kakao di Indonesia

Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dipublikasikan oleh BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat bubuk dan cokelat instan. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1982-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yakni masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi cokelat bubuk. Konsumsi cokelat bubuk sangat berfluktuatif dan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 20.8 gr/kapita. Sementara data konsumsi cokelat instan hasil SUSENAS hanya tersedia sejak tahun 1999-2008.

5.2. Industri Kakao di Indonesia

Industri hilir pengolahan kakao nasional memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku biji kakao yang cukup melimpah di dalam negeri. Selama ini Indonesia tercatat sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada tahun 2010 produksi biji kakao Indonesia mencapai 600 000 ton. Pengembangan industri hilir

kakao nasional yang kini sedang digalakkan pemerintah Kementerian Perindustrian diharapkan mampu meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan mendongkrak perolehan devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao. (Kementerian Perindustrian, 2012)

Beberapa kebijakan yang kurang mendukung upaya pengembangan industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional kurang berkembang, antara lain adanya kebijakan pengenaan pajak produk primer dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditi primer. Pengenaan PPN sebesar 10 persen mengakibatkan beralihnya biji kakao yang tadinya diolah di dalam negeri menjadi diekspor dalam bentuk biji, sehingga industri pengolahan kakao tidak memperoleh bahan baku yang cukup. Akibatnya, beberapa perusahaan pengolahan biji kakao tidak dapat beroperasi. (Kementerian Perindustrian, 2012)

Dalam rangka menumbuhkan kembali industri pengolahan kakao, maka tahun 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini belum serta merta menghidupkan industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui Program Gerakan Nasional Kakao pada tahun 2009 dan masih berlanjut sampai sekarang. (Kementerian Perindustrian, 2012)

50 Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan pengenaan Bea Keluar Biji Kakao pada bulan April 2010 melalui PMK No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao. Rangkaian kebijakan tersebut diambil pemerintah dalam rangka menghidupkan kembali industri pengolahan kakao dalam negeri. Keberhasilan kebijakan ini juga terlihat dari data ekspor biji kakao yang menurun pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009. Sedangkan ekspor biji kakao sampai dengan bulan Mei 2011 mencapai 97 265 ton, turun dibandingkan dengan ekspor Januari-Mei 2010 sebesar 158 855 ton. Sedangkan ekspor kakao olahannya meningkat pada periode Januari-Mei 2011 sebesar 55 651 ton dibandingkan Januari-Mei 2010 sebesar 35 508 ton. (Kementerian Perindustrian, 2012)

Dokumen terkait