• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

5. Karakteristik Responden Berdasarkan Lamanya Mengikuti

4.3. Gambaran Umum Salafiyah dan Perkembangannya

Secara istilah salafiyah adalah arus pemikiran yang mengedepankan nilai-nilai Islam baik secara metode maupun sistematis, yang senantiasa komitmen terhadap petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu’alihi Wasallam dan petunjuk para sahabat baik secara keilmuan dan pengalaman, menolak berbagai cara dan metode beragama yang

44%

42% 14%

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lamanya Mengikuti Kajian Salafiyah

±2 tahun 2-5 tahun ≥ 5 tahun

menyelisihi petunjuk tersebut, baik yang terkait dengan masalah keyakinan kepada tuhan, keagamaan, dan penetapan aturan yang berhubungan prilaku dan interaksi umat Islam. Salafiyah menjadi istilah yang sah untuk disematkan pada setiap orang yang berusaha memelihara kemurnian keyakinan, dan juga cara pemahaman beragama agar selalu sesuai dengan cara beragamanya Rasulullah dan para sahabatnya juga generasi berikutnya yang mengikuti mereka terutama dari kalangan tabiin dan tabiut tabiin serta para imam sunnah yang senantiasa menjaga kemurnian islam (Zainal Abidin, 2009:24-26).

Berdasarkan pengertian tersebut, maka siapapun itu apabila didapati beragama sesuai apa yang dipahami para sahabat nabi, dan dua generasi setelahnya tanpa terikat waktu dan tempat dan juga diikuti rujukan terhadap ulama-ulama yang telah mengikuti sebelumnya dialah salafiyah. Salafiyah memiliki alasan penting dan harusnya merujuk sisi beragamanya sesuai pemahaman Salafush Shalih (sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in) ada beberapa hal diantarannya. Pertama, adalah bahwa pada masa Rasulullah Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam sumber hukum Islam itu sendiri diturunkan (Alqur’an) dan juga para sahabatnya mendengarkan penjelasan langsung tentang makna, cara beribadah, hakikat dari alqur’an dan hadits sebagai sumber hukum Islam. Kedua, kalangan sahabat nabi adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari suku Muhajirin dan Anshar yang telah mendapat ridho (restu) langsung dari Allah yang dicatat dalam Alqur’an Surat Taubah ayat 100. Dan disinilah dijadikan pembelaaan bahwa sebaik-baiknya kehidupan beragama berada pada zaman sahabat nabi melalui penjelasan perkataan Nabi Muhammad yang

diriwayatkan Bukhari dan Muslim dalam buku Shahihnya; “Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya dan generasi setelah mereka..”.

Terjaminnya masa Rasulullah menjadikan alasan terjaminnya kemurnian agama ini, maka tentunya didapati pada masa ini belum terpecah belahnya agama dari pemahaman-pemahaman sesat dan berlebihan dalam beragama seperti yang didapati saat ini, umat Islam sendiri telah tepecah–pecah dalam berbagai golongan/kelompok baik itu dari sisi pemahaman pemikiran agama, ritual peribadatan, dan lainnya hingga penafsiran terhadap sifat-sifat Tuhan. Kemudian pada masa tabi’in (generasi kedua) dan tabiut tabi’in (generasi ketiga) dari umat Islam inilah bahwa merekalah yang mendengar langsung dari sahabat nabi hasil didikan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam. Dan disinilah salafiyah berupaya untuk terus menjaga juga menerapkan pemahaman ini melalui penafsiran dan karya ilmiah dari kalangan ulama-ulama besar dari generasi ke generasi. Bahwa dari kalangan ulama salafiyahlah sangat perhatian dan fokus pada penelitian terhadap riwayat-riwayat hadits dan pernyataan-pernyataan yang kuat dan lemah dimana untuk bertujuan terus menjaga keberadaan sumber hukum Islam.

Salafiyah menolak untuk dikatakan sebagai sebuah kelompok tertentu yang terorganisir dimana adanya urutan-urutan kepemimpinan dalam tubuh salafiyah. Maka jika dirujuk dari hal ini dalam salafiyah tidaklah didapati siapakah yang menjadi rujukan pimpinan mereka, keberadaan dikalangan salafiyah seutuhnya sama sebagai makhluk Tuhan yang membedakan diantaranya adalah perolehan dan pemahaman ilmu agama itu sendiri terhadap pribadi dari pengikut salafiyah itu

sendiri, maka disinilah kalangan tokoh baik itu para ulama dan ustadz salafiyah sebagai rujukan kalangan salafiyah bersikap dan mengambil pendapat berdasarkan ilmu yang dimilikinya dan pendapat masing-masing dari mereka tidak menutup kemungkinan untuk ditolak atau diterima dalam hal yang bersifat masih dalam keadaaan perselisihan ulama. Meskipun begitu perkembangan terakhir dari salafiyah adanya didapati yayasan-yayasan dibawah naungan salafiyah di berbagai tempat termasuk Indonesia yang tentunya adanya pengorganisasian dakwah salafiyah, maka dalam hal ini bahwa pendirian yayasan-yayasan ini hanyalah untuk sarana (wasilah) yang memudahkan segala urusan untuk perkembangan dakwah salafiyah mengingat apalagi yang berkaitan dengan kegiatan yang melibatkan kegiatan administrasi dan birokrasi yang membutuhkan izin.

Ada beberapa poin yang menjadi prinsip-prinsip salafiyah dalam cara atau metode dalam memahami agama, yaitu :

- Salafiyah tidak mengakui kesempurnaan agama kecuali Rasulullah. Sehingga mengembalikan dan menimbang pendapat siapapun dengan timbangan hukum Islam.

- Berpegang teguh pada Alqur’an dan hadits dalam menetapkan masalah agama. Dan berpegang teguh pada pemahaman sahabat dalam berinteraksi dengan ajaran-ajaran agama dan mengambil interpretasi mereka dalam menganalisis dan menyimpulkan kandungan Alqur’an dan hadits.

- Ijma’ dan qiyas sumber penetapan hukum syariat setelah Alqur’an dan hadits, keduanya harus tunduk kepada kemauan Alqur’an dan dan hadits.

- Tajdid (pembaharuan) dan ijtihad (proses pendefenisian dan keputusan hukum) merupakan istilah Islam yang berdasarkan hadits yang kuat dan terpercaya.

- Islam merupakan ajaran sempurna dan paripurna. Sebab itu salafiah memandang bahwa Islam tidak perlu penambahan dan pengurangan, yang dibutuhkan dalam beragama hanya ketundukan dan kepatuhan.

Dakwah salafiyah tidaklah berjalan mulus dalam mengembangkan pemahaman dan ajaran yang mereka miliki, beberapa hal negatif sering disandarkan pada dakwah salafiyah seperti istilah wahabi yaitu sebuah ajaran baru Islam yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin abdul Wahhab dari Nejd, Saudi Arabia yang dilahirkan pada tahun 1703 M/1115 Hijriah, diluar kalangan salafiyah dakwah wahabi diidentikan dengan kekerasan, kebencian terhadap kubur, anti tradisi dan budaya dan lainya. Saat hal ini ditanyakan kembali pada salafiyah maka mereka mengingkarinya dan menyatakan bahwa salafiyah bukanlah metode dakwah yang baru diciptakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan tetapi dakwah ini telah ada sebagaimana Islam disebarkan pada masa sahabat, inilah metode yang didakwahkan olah ulama-ulama sebelum beliau seperti Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Imam Malik, Imam Syafi’i,Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah dan lainnya.

Akan tetapi salafiyah menganggap bahwa Muhammad bin Abdul Wahab lah yang menegakan kembali dakwah-dakwah sunnah yang seperti apa yang dipahami ulama sebelumnya saat dakwah ini mulai ditinggalkan. Dakwahnya mulai berkembang pesat setelah meninggalnya ayahnya pada tahun 1153 H/1741 M, dan diikuti pada tahun 1773 M pendukung dakwah beliau menguasai Riyadh, Saudi Arabia dan semenjak itu dakwahnya berkembang lebih pesat. Dakwahnya

Muhammad bin Abdul Wahhab berupaya pembaruan pergerakan kembali ajaran tauhid dan menumpaskan kesyirikan yang terjadi pada masa hidupnya di zaman kekuasaan kekhalifahan Utsmaniyyah. Hal ini dilihat oleh Muhammad bin Abdul Wahab sebagai syirik (menyekutukan Tuhan) sebab itu harus dihilangkan. Oleh karena itu tujuan dari gerakan Wahabiyah ini (Iqbal:2008) adalah kembali kepada Islam murni dan penekanan aspek hukum, gerakan pembaharuan yang sering disebut gerakan radikal di zamannya ini mempunyai pengaruh yang sangat luas, gerakan ini juga menolak taklid buta dan menganut ijtihad serta menjadikan Alqur'an hadist sebagai sumber utama jaran Islam.

Memasuki abad ini pergerakan dakwah salafiyah mulai berkembang pesat diseluruh dunia, dan pada masa ini dikenal tiga tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan dakwah salafiyah diseluruh dunia, mereka adalah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Wafat Mei 1999) dan Muhammad bin Sholih Utsaimin (Wafat Januari 2001) yang berasal dari Saudi Arabia, serta Nashiruddin Albani (wafat Oktiber 1999) dari Yordania. Ketiga ulama ini dikenal dikalangan salafiyah abad ini dan menjadi rujukan dalam perkara-perkara keagamaan seperti fatwa terhadap permasalahan yang dihadapi kaum muslimin seperti pandangan dan sikap keras mereka terhadap peristiwa terorisme yang dilakukan oleh Usamah bin Laden. Ketiga ulama ini banyak menulis buku dalam upaya untuk menyebarkan pemahaman salafiyah. dan diantara buku-buku mereka yang cukup dikenal seperti Sifat Shalat Nabi, Silsilah Hadits Shahih dan Lemah, Syarah Hadits Bukhari dan Muslim (Albani) dan lainnya, Syarah Juz’amma, Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Adab Menuntut Ilmu (Utsaimin). Selain ketiganya ada beberapa orang juga yang mumpuni dan

dianggap sebagai ulama yang turut mengembangkan dakwah salafiyah yaitu Muqbil bin hadi Wadi’i di Yaman, Robi’ bin Hadi Madhkali, Muhammad bin Hadi Al-Madhkali, Muhammad Jibrin Al-Jibrin, Muhsin Abbad Al-Badr dan kalangan ulama besar lainnya asal Madinah dan dilanjutkan oleh murid-murid diikan mereka.

Univesitas Islam Madinah (UIM), Saudi Arabia adalah salah satu lembaga pendidikan yang cukup memiliki andil dan terkenal dalam mengembangkan dakwah salafiyah diseluruh dunia disamping lembaga pendidikan lainnya seperti Lembaga Pendidikan Dammaj di Yaman, Universitas Ummul Qura Makkah dan lainnya. Universitas Islam Madinah didirikan pada 6 September 1961 pada masa pemerintahan Raja Su'ud bin Abdul Aziz Alu Su'ud. Rektor pertamanya adalah Muhammad bin Ibrahim (Ketua fatwa Kerajaan Saudi Arabia), kemudian Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz (Ketua fatwa Kerajaan Saudi Arabia selanjutya), dan saat ini dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad bin Ali al-'Uqla. Universitas Islam Madinah merupakan hadiah dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia untuk para pemuda Islam di seluruh penjuru dunia. Setiap tahunnya universitas ini memberikan beasiswa penuh terhadap para mahasiswanya, dimana terbuka bagi pemuda muslim seluruh dunia yang tertarik memperdalam agama Islam.

Proses mendapatkan beasiswa ini menurut UIM terbagi pada dua cara, disebut Murasalah dan Muqabalah. Mursalah yaitu dengan cara mengirimkan berkas langsung ke Madinah, sedangkan muqabalah adalah interview langsung didua tempat yaitu dikampus UIM atau bagi masyarakat yang jauh dari Saudi Arabia melalui interview langsung ditempat penyelenggaraan pengajian besar (Daurah) dari para ulama Madinah dan utusan UIM lainnya. Hingga tahun 2008 M, universitas ini telah

meluluskan 20.385 sarjana S1 dari 147 negara, 74 %-nya dari luar Saudi, serta 968 master dan 621 doktor, 47 %-nya dari luar Saudi. Untuk Indonesia secara khusus, UIM telah meluluskan 828 sarjana, 19 master, dan 8 doktor.

Salafiyah di Indonesia juga berkembang pesatdi Indonesia sebagai salah satu paham keagamaan dimasyarakat akan tetapi jumlahnya masih belumlah menjadi mayoritas. Haedar Nashir (2007) menyatakan bahwa salafiyah di Indonesia terbagi dari salafiyah ideologis, salafiyah wahabi, dan salafiyah politik. Sementara itu Jamhari dan Jahroni (2004:VI) menyatakan banyak ahli yang berpendapat bahwa kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras didunia sunni sekarang ini berkaitan dengan reformasi pemahaman ideologi salaf, sebuah paham yang mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Ideologi salaf yang pada awalnya menekankan pada pemurnian akidah, mengalami metamorfosis pada abad ke-20. Salafisme tidak hanya gerakan purifikasi keagamaan semata tapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.

Tidak diketahui sejak kapan salafiyah mulai memasuki Indonesia. Namun kalangan salafiyah di Indonesia menyatakan bahwa ajaran ini telah ada dari dahulu karena ajaran ini identik dengan sisi pemurnian keyakinan dan tauhid umat Islam diantaranya pada masa Tuanku Imam Bonjol di Paderi Sumatera Barat. Disamping itu juga beberapa diantaranya dari kalangan salafiyah, seperti Abdurrahman At-Tamimi (2004) menjelaskan bagaimana perkembangan salafiyah di Indonesia (//http:almanhaj.or.id/). Dimana dijelaskan bahwa peribadatan masyarakat Indonesia mulai kacau dan jauh dari mazhab syafi’i yang dibawa pada masa Kerajaan Demak

pasca penjajahan yang dilakukan Belanda. Maka pada masa tersebut, Ahmad bin Muhammad As-Syurkati seorang reformis berasal dari negeri Sudan pada tahun 1908, yang menyeru manusia kepada tauhid, memerangi sikap menyekutukan Tuhan, tindakan keluar dari agama Islam, dan berlebihan dalam beragama. Dakwahnya meliputi seluruh negeri, dan ia telah mencetak kader yang menolong dan membantu dakwahnya diseluruh Indonesia. Ahmad Syurkati terpengaruh dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dan juga Muhammad Rasyid Ridha beserta majalahnya “Al Manar”. Beliau mengarang , mengajar, dan membangun "Madrasah Al-Irsyad" pada tahun 1914.

At-Tamimi (2004) menambahkan Indonesia belumlah lama mengenal dakwah salafiyah yang murni dan benar, tidak lebih dari 15 tahun yang lalu melalui perantaraan sebagian putra-putra Indonesia yang lulus dari Universitas Islam Madinah, dan mereka terpengaruh dengan para ulama salafiyah di Madinah sedangkan mereka itu sedikit. Pengaruh yang jelas dan penyebaran yang luas dakwah salafiyah ini juga timbul dari penyebaran dan penerjemahan buku-buku salafiyah ke dalam bahasa Indonesia dari para ulama salaf, baik yang lampau maupun ulama pada saat ini. Dari buku-buku itulah mereka mengenal metode beragama salaf yang benar. Berada pada bagian yang terdepan dalam hal ini adalah buku-buku Muhammad Nashiruddin Al Albani dan murid- muridnya, kemudian buku-buku Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Al Allaamah Al Imam ahli fikih zaman ini Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Karangan-karangan dan fatwa-fatwa mereka tersebar di seluruh Indonesia, Selain itu, demikian pula buku-buku Ibnu Taimiyyah dan muridnya Al

Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dan buku-buku Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dan anak-anak beserta cucu-cucu beliau yang shalih.

Dakwah salafiyah pada awal perkembangan berada di Jawa dan kota-kota besar di Indonesia. Di Yogyakarta misalnya salafiyah muncul dengan pimpinan Abu Nida, beriringan dengan kehadiran Forum Komunikasi Ahli Sunah Wal Jama’ah (FKAWJ) pimpinan Ja’far Umar Thalib. Ja’far dan Abu Nida memang mempunyai ide yang sama mengenai bagaimana Islam seharusnya dipratekkan (Afdlal, dkk 2005:158). Dalam perkembangannya Ja’far Umar Thalib melakukan dakwahnya melalui organisasi ini dan Ja’far serta pengikutnya kemudian mendirikan Laskar Jihad pada 30 Januari 2000 di Stadion Kridosono Yogyakarta dalam tabligh akbar yang diselenggarakan oleh Forum Komunkasi Ahlussunnah Wal Jam’ah (FKWAJ), dan Laskar Jihad yang terlibat dalam pertikaian yang terjadi di Ambon yang sering diidentikan dengan pertikaian agama antara Muslim dan Kristen. Namun hal yang dilakukan oleh Ja’far tersebut mendapatkan pertentangan juga perselisihan pendapat dari kalangan ustadz-ustadz di Indonesia,seperti Abu Nida dan Abu Haidar di Bandung yang awalnya ikut berkomitmen dalam FKWAJ terakhir memilih melakukan dakwah tanpa organisasi.

Dan dalam pandangan Abu Haidar, keterlibatan di Ambon benar-benar politis yang memang tidak boleh mereka lakukan karena tidak sejalan dengan ide pembangunan kembali Islam. Hal ini juga memicu permasalahan dalam pasang-surutnya perkembangan dakwah salafiyah di Indonesia. Bukan hanya itu pelabelan buruk terhadap salafiyah di Indonesia mulai dirasakan, isu ekstrim dan keras mencuat ditubuh salafiyah terutama terhadap Ja’far Umar Thalib dan pengikutnya, kalangan

salafiyah diluar pengikut Ja’far juga terkena imbas isu ini. Ali Nur menanggapi mengenai isu bahwa salafiyah didentik dengan sikap keras:

“Salaf adalah mereka dari kalangan salafus shalih (orang-orang shalih dari kalangan sahabat), dan mengikuti mereka merupakan manhaj (cara beragama) rasulullah dan masa sahabat jelas ini paling benar. Hanya saja yang bermasalah adalah orang yang menisbatkan (pengakuan mengikuti) pada manhaj salaf itu, oknumnya. Salaf tegas mungkin tapi keras tidak, bersifat keras hanyalah dinyatakan oleh orang-orang yang sentimen dan tidak menyukai dakwah salaf… tentang nasehat yang diberikan bukanlah menyalahi-nyalahi orang lain, tapi karena itulah inti dari nasehat yaitu mengingatkan apa yang salah……” (tanya jawab dengan Ustadz Ali Nur, pada kajian Masjid Dakwah Hari, Sabtu 17/07/2010)

Maka atas berbagai pertimbangan tahun 2002 Ja’far Umar Thalib membubarkan organisasi Laskar Jihad dan segenap organisasi yang pernah didirikannya dan kembalinya ia juga mengakui kesalahannya terhadap dakwah salafiyah guna untuk kembali memurnikan tujuan dakwah salafiyah iapun mempublikasikan pernyataan di berbagai media yang berkaitan dengan salafiyah seperti majalah, situs pribadi dan lainnya.

Hingga saat ini, di Indonesia salafiyah dikatakan cukup berkembang pesat, kota-kota besar di negeri ini mulai diisi dengan berbagai kegiatan dakwah salafiyah seperi halnya Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Batam, Medan dan lainnya. Adanya hal ini mengindikasikan bahwa salafiyah juga tidaklah berporos pada sistem pondok pesantren yang monoton, tetapi mereka mulai mengembangkan dakwah-dakwahnya di masjid-masjid. Maka dari itu salafiyah memiliki dua jalur perkembangan ajarannnya dimasyarakat Indonesia, disini penulis membagi menjadi dua bagian jalur akademis dan pengajian umum yang biasa dilakukan pemukiman masyarkat.

Jalur akademis menunjukan adanya langkah-langkah intensif sesuai tahapan yang direncanakan dalam bentuk kurikulum pendidikan demi menciptakan pelaku-pelaku aktif salafiyah seperti ustadz dan lainnya. Pondok-pondok pesantren salafiyah di Indonesia mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, berorientasi pada dua kurikulum yaitu kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional untuk studi umum dan penyesuaian materi studi keagamaan dibawah naungan Kementrian Agama juga terkadang juga menyesuaikan kurikulum pesantren lainnya diseluruh Indonesia dan mengacu pada ajaran-ajaran salafiyah. Adapun pondok pesantren yang beraliran salafiyah yang di Indonesia seperti Islamic Centre Bin Baz dan Pondok Imam Bukhari di Yogyakarta, Ihya’us Sunnah di Jawa Barat, Al-Irsyad, Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah (SDTI)/Perguruan Tinggi Imam Syafi’I di Jember, dan banyak lagi.

Maka dari jalur-jalur pondok pesantren inilah calon-calon penerima beasiswa Indonesia ke berbagai perguruan tinggi di tanah arab lebih berpeluang dan lebih mudah walaupun tidak menutup kemungkinan dari luar didikan pesantren. Sementara perkembangan dakwah salafiyah pada masyarakat umum seperti telah dijelaskan diatas dan tidaklah terlepas dari jalur akademis salafiyah tentunya. Dalam pengajian rutin ini biasanya tidaklah kajian ini bersifat tematik akan tetapi biasanya salafiyah mengkaji sebuah buku karangan para ulamanya hingga selesai dan inilah yang menjadi sebuah keterikatan anggotanya. Dan juga jalur ini tidak dipungkiri sedikit sulit bagi tokoh/pengajar dari salafiyah untuk mempertahankan dan mengendalikan anggotanya mengingat bahwa dalam sistem pengajian ini selalu bersifat terbuka yang memberikan kesempatan siapa saja dapat turut mengikuti pengajian salafiyah, namunlah kesadaran ideologis dan pribadilah mereka saling mengenal. Selain kajian

rutin salafiyah juga mengembangkan ajaranya melalui media cetak seperti Majalah As-Sunnah, Al-Furqan, Al-Mawaddah, Fatawa dan majalah lainnya, sedangkan media elektronik seperti radio yang juga dapat didengarkan melalui streaming online yaitu Radio Rodja (Cileungsi-Jawa Barat), Radio HANG (Batam), Radio Muslim (Yogyakarta), dan juga media internet yang juga telah banyak didapati dan setiap tahunya kalangan salafiyah Indonesia kerap mengundang ulama mereka yang berasal dari Saudi Arabia dan Yaman dimana dilakukannya sebuah pengajian yang bersifat nasional.

Dokumen terkait