• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Ubi Kayu/Singkong di Indonesia

3. ANALISIS KUALITATIF DAN KUANTITATIF PT SORINI AGRO ASIA

3.1. Analisis Kualitatif

3.1.3. Gambaran Umum Ubi Kayu/Singkong di Indonesia

Secara umum pola perkembangan luas panen ubi kayu di Indonesia selama kurun waktu 1980-2015 berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami penurunan, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan rata-rata yaitu turun sebesar 0,87% per tahun yaitu luas panen sebesar 1,412 juta hektar di tahun 1980 menjadi 1,016 juta hektar di tahun 2015. Pada periode yang lebih pendek yaitu 5 tahun terakhir laju pertumbuhan luas panen ubi kayu mengalami penurunan dengan laju penurunan yang lebih besar yaitu 5,19% pertahun. Penurunan luas panen cukup signifikan terjadi di tahun 1990 sebesar 15,40% dan tahun 1997 sebesar 13,05%. Peningkatan luas panen ubi kayu cukup signifikan di tahun 1999 yaitu sebesar 23,28% sebagai akibat peningkatan luas panen baik di wilayah Pulau Jawa maupun Luar Jawa masing-masing sebesar 28,65% dan 17,88%. Prediksi tahun 2015 berdasarkan Angka Ramalan I untuk luas panen ubi kayu diperkirakan masih akan mengalami penurunan sebesar 4,63% sebagai akibat penurunan luas panen ubi kayu di Pulau Luar Jawa sebesar 4,45% dan luas panen di Pulau Jawa sebesar 4,85%.

Luas panen ubi kayu di Indonesia mempunyai kencenderungan terus mengalami penurunan, dilihat rata-rata luas panen dari 1980-2015, dimana share di pulau Jawa masih cukup signifikan yaitu sebesar 55,41% sementara pulau Luar Jawa sebesar 44,59%. Akan tetapi dilihat dari rata-rata luas panen lima tahun terakhir, share luas panen ubi kayu di Jawa menjadi lebih kecil yaitu hanya 46,36% sedang Luar Jawa menjadi lebih besar yaitu 53,64%. Sedang share produksi dilihat rata-rata produksi dari 1980-2015 share di pulau Jawa sebesar 55,62% sementara pulau Luar Jawa sebesar 44,52% terhadap total produksi ubi kayu Indonesia, tetapi dilihat dari rata-rata produksi lima tahun terakhir, share produksi ubi kayu di Jawa menjadi lebih kecil yaitu hanya 45,61% sedang Luar Jawa menjadi lebih besar yaitu 54,40%.

Figur 12. Rata-Rata Luas Panen, Produksi, Produktivitas dan Rata-Rata Pertumbuhannya di Jawa dan Luar Jawa

Sumber : Outlook Ubi Kayu 2015

Perkembangan luas panen ubi kayu di Jawa dan di Luar Jawa sangat berbeda. Pada periode 1980 – 2015 secara rata-rata luas panen ubi kayu di Jawa turun sebesar 2,05% per tahun, sementara pertumbuhan luas panen di Luar Jawa justru meningkat sebesar 1,01% per tahun. Pada periode lima tahun terakhir, pertumbuhan luas panen ubi kayu di Jawa mengalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar 5,03% per tahun, dan Luas panen di Pulau Luar Jawa mengalami penurunan sedikit lebih besar yaitu sebesar 5,31% per tahun, sehingga menyebabkan penurunan luas panen ubi kayu Indonesia sebesar 5,19% per tahun.

Figur 13. Perkembangan Luas Panen Ubi Kayu di Indonesia

Sumber : Outlook Ubi Kayu 2015

Pola pertumbuhan produktivitas ubi kayu Indonesia menunjukkan pola yang berbeda dibandingkan dengan pola luas panen, cenderung meningkat sejak tahun 1980 hingga 2015 dengan pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 2,68%.

Figur 14. Perkembangan Produktivitas Ubi Kayu di Indonesia

Sumber : Outlook Ubi Kayu 2015

Selama lima tahun terakhir (periode 2011-2015) perkembangan produktivitas ubi kayu Indonesia mengalami peningkatan sebesar 3,84% per tahun sebagai akibat peningkatan produktivitas di Pulau Jawa sebesar 5,08%, dan peningkatan produktivitas rata-rata di Luar Pulau Jawa lebih rendah yaitu sebesar 2,84% per tahun. Peningkatan produktivitas ubi kayu pada periode tersebut di picu oleh peningkatan pertumbuhan produktivitas di tahun 1990 sebesar 21,41% dan tahun 2003 sebesar 11,87%. Peningkatan produktivitas ubi kayu lima tahun terakhir terlihat lebih tinggi, di Jawa mencapai 5,08% dan di Luar Jawa 2,84%.

Berdasarkan ARAM I tahun 2015, produktivitas ubi kayu Indonesia diperkirakan mencapai 235,84 ku/ha atau 0,98% lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2014 yang mencapai 233,55 ku/ha menjadi 235,84 Ku/Ha.

Figur 15. Perkembangan Produksi Ubi Kayu di Indonesia

Perkembangan produksi ubi kayu di Indonesia periode 1970-2015 secara umum berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami peningkatan. Secara lebih rinci perkembangan produksi ubi kayu pada periode 1980-2015 meningkat rata-rata sebesar 1,77% per tahun. Sementara pada periode yang lebih pendek yaitu lima tahun terakhir antara tahun 2011 hingga tahun 2015, perkembangan produksi ubi kayu Indonesia cenderung mengalami penurunan yaitu rata-rata 0,06% per tahun.

Perkembangan ubi kayu per wilayah menunjukkan pola serupa antar periode dengan kecenderungan peningkatan produksi luar Pulau Jawa lebih tinggi dari pada di Pulau Jawa. Periode tahun 1980-2015 peningkatan pertumbuhan produksi di luar pulau Jawa cukup signifikan yaitu sebesar 3,97% sementara di pulau Jawa lebih rendah yaitu hanya sebesar 0,44% per tahun. Secara lebih rinci pada periode lima tahun terakhir yaitu antara tahun 2011 hingga 2015, pola perkembangan ubi kayu di Luar Pulau Jawa sedikit mengalami penurunan yaitu rata-rata sebesar 0,94% per tahun, sementara di Pulau Jawa sedikit mengalami kenaikan, dengan laju peningkatan produksi sebesar 1,08% per tahun.

Meskipun secara umum perkembangan produksi ubi kayu di Pulau Jawa lebih kecil peningkatannya, namun share rata-rata produksi ubi kayu 1980- 2015 di wilayah pulau Jawa masih cukup signifikan yaitu sebesar 55,62% dari total produksi ubi kayu nasional, sementara provinsi di Luar Pulau Jawa berkontribusi lebih rendah yaitu sebesar 44,52 %. Tetapi jika dilihat share produksi selama lima tahun terakhir pola ini berubah menjadi share Pulau Jawa lebih kecil dibanding Luar Jawa yaitu 45,61% dibanding 54,40% Luar Jawa.

3.1.3.2. Perkembangan Harga Ubi Kayu

Perkembangan harga produsen ubi kayu di Indonesia antara tahun 2002-2014 cenderung terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 16,33% per tahun. Selama kurun waktu tersebut terjadi peningkatan pertumbuhan harga tertinggi tahun 2004 sebesar 59,65% dan tahun 2009 sebesar 28,99%.

Figur 16. Perkembangan Harga Produsen Ubi Kayu Indonesia

3.1.3.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Ubi Kayu

Perkembangan volume ekspor total ubi kayu Indonesia yaitu penjumlahan antara ekspor dalam bentuk ubi kayu segar dan ubi kayu olahan antara tahun 2000-2014 mempunyai pola yang sangat berfluktuasi. Rata-rata pertumbuhan volume ekspor ubi kayu meningkat sebesar 109,18% per tahun, demikian halnya dengan nilai ekspornya yang meningkat sebesar 132,07% per tahun. Peningkatan volume ekspor ubi kayu cukup drastis di tahun 2004 yaitu sebesar 1.467,13% atau ekspor ubi kayu mencapai 448,60 ribu ton, selain juga terjadi peningkatan di tahun 2013 sebesar 296,57%.

Bila dilihat dari sisi impor, perkembangan volume impor ubi kayu Indonesia pada periode yang sama juga cukup berfluktuasi dengan kecenderungan terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan volume impor ubi kayu Indonesia rata-rata meningkat 77,17% per tahun atau rata-rata sebesar 242,75 ribu ton per tahun. Peningkatan pertumbuhan volume impor pada 5 tahun terakhir yaitu antara 2009-2014 dengan kisaran peningkatan pertumbuhan -88,91% hingga 284,42% atau mencapai volume impor tertinggi di tahun 2014 yaitu sebesar 365,09 ribu ton sebagai pemicu peningkatan rata-rata pertumbuhan volume impor ubi kayu Indonesia antara tahun 2000 hingga tahun 2014.

Figur 17. Perkembangan Volume Ekspor Impor Ubi Kayu Indonesia

Sumber: Outlook Ubi Kayu 2015

Jika dilihat pertumbuhan volume ekspor ubi kayu, peningkatan ekspor tertinggi terjadi di tahun 2004 yaitu mencapai 1467,13% atau mencapai volume ekspor 448,6 ribu ton. Peningkatan volume ekspor tersebut memicu peningkatan nilai ekspor komoditas tersebut pada tahun yang sama yaitu sebesar 1609,22% (57,35 juta US$ yang terdiri dari ekspor dalam bentuk segar 20,4 juta US$ dan dalam bentuk olahan 36,9 juta US$). Ekspor ubi kayu Indonesia dalam bentuk segar dan olahan yaitu dalam bentuk pati ubi kayu (cassava flour), ubi kayu keping kering (cassava shredded) dan ubi kayu pelet (cassava pellets) terutama ke Taiwan, Philipina, Australia, Malaysia, Inggris dan Brunei Darusalam.

Figur 18. Perkembangan Volume Ekspor Impor Ubi Kayu Indonesia

Sumber: Outlook Ubi Kayu 2015

Perkembangan volume impor ubi kayu pada periode 2000-2014 sebesar 61,22% per tahun, lebih rendah dari pertumbuhan nilai impor ubi kayu yakni sebesar 69,32% per tahun. Total peningkatan pertumbuhan nilai impor ubi kayu Indonesia tertinggi di tahun 2003 yaitu mencapai 571,25% atau sebesar US$ 33,56 juta dari sebesar US$ 4,79 juta di tahun 2002. Impor ubi kayu Indonesia umumnya dalam bentuk pati ubi kayu (cassava flour), ubi kayu kepingan kering (cassava shredded) dan ubi kayu pelet (cassava pellets) terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Myanmar.

3.1.3.4. Prospek Ubi kayu dan Produk Turunannya

Peluang pengembangan usaha budi daya singkong sangat terbuka, hal ini tidak lain karena kebutuhan produk dan beragamnya produk olahan dari bahan dasar singkong seperti Gaplek, Chips, Pellet, tepung, dengan pangsa pasar untuk dalam negeri seperti industri makanan dan minuman (kerupuk, Sirup), industri textile, industri bahan bangunan (Gips dan Keramik), industri kertas, industri pakan ternak, sedangkan untuk pangsa pasar luar negeri dengan tujuan ekspor adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat, Jerman, dengan pemanfaatan untuk bahan baku farmasi, bahan baku industri lem, bahan baku industri kertas, dan bahan baku industri pakan ternak.

Sorbitol

Pada Pertengahan 1950, pembuatan sorbitol skala besar mulai dilakukan, seperti humektan yang digunakan dalam tata rias dan pengganti gula dalam permen non kariogenik. Sorbitol diproduksi secara komersial dari pati (ubi kayu) dengan hidrolisis enzimatik dan hidrogenasi katalitik. Starch dan Starch Sweetener termasuk Sorbitol Syrup dan Sorbitol Powder, Maltitol, Dextrose Monohydrate, Maltose Syrup, dan Maltodextrine. Berbagai produk tersebut merupakan bahan baku dalam produksi berbagai industri barang konsumsi mulai dari makanan dan minuman hingga kepada kosmetik dan farmasi.

Sorbitol Syrup

Sorbitol Syrup adalah pemanis biang yang melepas kalori rendah pada saat asupan dan disempurnakan malalui proses hidrogenasi katalitik bertekanan tinggi. Dengan rasa manis ringan dan menyegarkan, Sorbitol sering digunakan sebagai pemanis alternatif untuk gula dan sebagai agen pengontrol kelembaban. Syrup ini juga merangsang sintesis vitamin dan penyerapan asam aminio dan mineral dalam tubuh manusia. Sorbitol Syrup adalah bahan utama pasta gigi, vitamin C, permen karet, peralatan mandi, dan produk makanan diatetic dan diabetik.

Sorbitol Powder

Sorbitol Powder secara ilmiah disebut alcohol monosakarida polihidrat, yaitu sejenis hexitol. Bubuk ini memeliki kasiat pendinginan yang efektif sambil tetap menjaga tingkat kemurnian yang tinggi dan karenanya dapat dipergunakan dalam berbagai aplikasi seperti perawatan mulut, farmasi, vitamin, produsen permen, dan perikanan komersial.

Sirup Glukosa

Sirup Glukosa adalah produk manis yang diperoleh melalui proses hidrolisis starch secara parsial. Cairan kental yang berwarna putih kekuningkuningan ini mengandung Dextrose, Dextrin, Maltosa, oligosakarida lain, dan air. Produk ini banyak digunakan pada gula-gula seperti permen dan agar-agar, dan pada berbagai produk lain seperti minuman ringan, saus tomat dan sereal.

Maltodextrine

Maltodextrine adalah sirup starch hasil hidrolis dengan penyemprotan kering yang berasal dari hidrolisis starch secara parsial dengan menggunakan enzim. Matlodextrine biasa digunakan sebagai biang atau untuk menjaga stabilitas emulsi, yang menjadikannya cocok untuk industri makanan olahan. Sirup ini juga digunakan dalam produk-produk seperti susu bubuk, susu creamer, es krim, kuah salad, dan makanan ringan

Dextrose Monohydrate

Dextrose Monohydrate secara ilmiah disebut sakarida D–glukosa dalam bentuk kristal murni. Bahan ini berupa bubuk putih yang tidah hanya mudah larut dalam air, tetapi juga bermetabolisme dengan cepat dalam tubuh. Setelah melewati berbagai tahap fermentasi ragi dalam siklus produksinya, Dextrose Monohydrate digunakan dalam produk-produk seperti biskuit, marshmallow, selai, agar-agar, dan makanan penutup beku.

Maltitol

Maltitol adalah bentuk maltose yang telah dihidronasi, dan umumnya digunakan dalam produk makanan yang dikonsumsi penderita diabetes. Bahan ini juga digunakan dalam memproduksi produk bebas gula yang aman untuk gigi dan dikonsumsi oleh konsumen yang sadar akan kesehatan.

Starch

Starch dihasilkan dari proses modern melalui pemisahan dan pengeringan singkong. Bahan ini memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan kandungan lemak dan protein yang rendah. Starch digunakan oleh berbagai industri termasuk industri makanan, kertas, pemanis, dan tekstil.

Dokumen terkait