• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN

6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Agam merupakan salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera Barat. Secara geografis Kabupaten Agam terletak antara 00o01'34''-00o28'43'' Lintang Selatan dan 99o46'39''-100o32'50'' Bujur Timur. Ketinggian dari permukaan laut yaitu antara 0-2 891 m. Luas daerah Kabupaten Agam mencapai 2232.30 Km2, yaitu sekitar 5.29 persen dari luas Propinsi Sumatera Barat yang mencapai 42 229.04 Km2. Kabupaten Agam memiliki 16 (enam belas) Kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Tanjung Mutiara, Kecamatan Lubuk Basung, Kecamatan Ampek Nagari, Kecamatan Tanjung Raya, Kecamatan Matur, Kecamatan IV Koto, Kecamatan Malalak, Kecamatan Banuhampu, Kecamatan Sungai Pua, Kecamatan Ampek Angkek, Kecamatan Canduang, Kecamatan Baso, Kecamatan Tilatang Kamang, Kecamatan Kamang Magek, Kecamatan Palembayan dan Kecamatan Palupuh (BPS Kabupaten Agam, 2008). Kecamatan Sungai Puar merupakan salah satu kecamatan yang berada di kaki gunung Merapi, sementara Kecamatan Tilatang Kamang bertetangga dengan kecamatan Ampek Angkek dan Baso tetapi tidak terletak di kaki gunung Merapi.

Kabupaten Agam sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat, sebelah selatan dengan Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan sebelah Timur dengan Kabupaten Lima Puluh Kota. Topografi wilayah kabupaten cukup bervariasi dan terdiri dari daerah datar dengan kemiringan 0-8 persen seluas 815.16 Km2, wilayah bergelombang dengan kemiringan 8-15 persen seluas 801.08

km2 dan wilayah berbukit dengan kemiringan lebih dari 15 persen seluas 616.02 km2, yakni dengan ketinggian 2 sampai 1 031 meter di atas permukaan laut.

Secara fisiografi, sebagian besar wilayah Kabupaten Agam berupa pegunungan, dimana memiliki dua buah gunung berapi yaitu Merapi dan Singgalang serta satu danau yakni Maninjau seluas 9 950 Ha. Wilayah Kabupaten Agam memiliki empat kelas curah hujan, yaitu : daerah dengan curah hujan > 4 500 mm/tahun berada di sekitar lereng gunung Merapi dan Singgalang meliputi sebagian wilayah Kecamatan IV Koto dan Banuhampu Sungai Puar, daerah dengan curah hujan 3500-4500 mm/tahun mencakup sebagian wilayah Tilatang Kamang, Baso dan IV Angkat Candung, daerah dengan curah hujan 3500-4000 mm/tahun meliputi Kecamatan Palembayan, Palupuh dan IV Koto, dan daerah dengan curah hujan 2 500-3500 mm/tahun meliputi sebagian wilayah Kecamatan Lubuk Basung dan Tanjung Raya. Curah hujan terbanyak pada umumnya terjadi pada bulan Februari hingga April yakni sebesar 2000 mm/tahun, sedangkan di daerah pegunungan > 3000 mm/tahun.

Berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi dan pertimbangan keadaan fisik dan iklim, maka dari luas lahan sebesar 223 230 Ha yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan untuk pengembangan perekonomian masyarakat di Kabupaten Agam adalah seluas 148 542 Ha atau setara dengan 66.54 persen dari keseluruhan lahan yang ada. Lahan dengan luasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, perikanan, dan peternakan. Sesuai dengan potensi sumberdaya alamnya dimana didukung oleh fisiografi wilayah yang memiliki dua buah gunung dengan suhu udara yang sejuk dan kultur budaya masyarakat Minangkabau yang agraris, maka sebagian besar usaha perekonomian masyarakat

bergerak di sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan.

Jumlah penduduk Kabupaten Agam pada tahun 2008 berjumlah 445 387 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 199.52 jiwa/km2. Penduduk dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu penduduk yang masuk kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja sebanyak 203 799 jiwa. Penduduk angkatan kerja yang bekerja adalah 192 364 jiwa dan penduduk angkatan kerja yang tidak bekerja sebanyak 11 435 jiwa ( 29 381 jiwa yang sedang bersekolah dan 69 769 jiwa mengurus rumah tangga, cacat, pensiunan dan lainnya.)

Usaha perekonomian masyarakat, untuk sektor pertanian komoditi yang dapat dikembangkan adalah tanaman pangan, hortikultura dan sayur-sayuran. Sedangkan pada sektor peternakan pengembangan yang lebih dominan adalah pada ternak sapi. Sapi potong merupakan salah satu komoditi yang dikembangkan dalam rangka pemberdayaan usaha ekonomi rakyat yang berbasis komoditi unggulan. Usaha penggemukan sapi potong yang telah dilakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan sapi potong baik di Kabupaten Agam sendiri mapun kabupaten lainnya seperti : Bukittinggi, Padang Panjang, Pasaman, dan Padang. Hal ini mengingat daging merupakan salah satu sumber kebutuhan pangan yang banyak digemari masyarakat Sumatera Barat. Faktor penting yang menentukan adalah sumberdaya alam dan kondisi wilayah yang juga mendukung untuk pengembangan usaha ternak sapi, sehingga sudah diusahakan secara turun- temurun.

Tabel 10. Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Agam Tahun 2005- 2009

Tahun Sapi Jantan Sapi Betina Total

2005 12 216 15 267 27 843

2006 12 750 16 013 28 763

2007 12 847 15 542 28 389

2008 15 160 16 857 32 017

2009 14 292 18 431 32 723

Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Agam, 2009

Tabel 10 menunjukkan bahwa populasi sapi potong di Kabupaten Agam mengalami peningkatan tiap tahunnya, akan tetapi populasi sapi jantan pada tahun 2009 mengalami penurunan. Hal ini karena adanya kecenderungan masyarakat untuk mengusahakan usaha pembibitan ternak sapi potong. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Agam saat ini mengusahakan agar peternakan sapi potong, dalam hal ini usaha pembibitan dan penggemukan dapat berjalan secara bersama- sama.

6.2. Keadaan Usaha Penggemukan Sapi Potong 6.2.1. Status Usaha Penggemukan Sapi Potong

Status usaha dikategorikan menjadi dua yaitu usaha ternak sapi sebagai pekerjaan utama dan sebagai usaha sampingan. Klasifikasi ini berdasarkan curahan waktu yang dilakukan peternak dalam melakukan pekerjaannya, dimana curahan waktu yang lebih banyak dikategorikan sebagai pekerjaan utama. Status usaha ternak sapi potong di wilayah penelitian dapat dilihat di Tabel 11.

Tabel 11. Status Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Status Usaha

Ternak Jumlah (%) Jumlah (%)

Utama 6 20.00 16 53.33

Sampingan 24 80.00 14 46.67

Tabel 11 menunjukkan bahwa di Kedua Kecamatan wilayah penelitian ini, usaha penggemukan sapi potong secara umum masih sebagai usaha sampingan, yaitu rata-rata 63.33 persen dari keseluruhan peternak responden. Dibandingkan antara Kedua Kecamatan tersebut, maka peternak di Kecamatan Tilatang Kamang lebih banyak yang menjadikan usaha ini sebagai usaha utama yaitu 53.33 persen, sedangkan di Kecamatan Sungai Puar hanya sebanyak 20 persen.

Dilihat dari kondisi status usaha penggemukan sapi potong di daerah penelitian, terlihat bahwa peternak memiliki pekerjaan utama diluar usaha ternak sapi, dimana sebagian besar peternak menjadikan usahatani khususnya tanaman sayuran dan hortikultura sebagai usaha utama. Usahatani yang banyak diusahakan peternak di Kecamatan Tilatang Kamang adalah padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan cabe. Sedangkan di Kecamatan Sungai Puar diantara tanaman hortikultura dan sayuran yang banyak diusahakan peternak adalah tanaman kentang, kubis, sawi, wortel, cabe, tomat, dan sayuran lainnya. Hal ini didukung oleh kondisi wilayah dimana memiliki tanah yang subur, udara sejuk karena berada di wilayah pegunungan.

Kondisi ini dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha penggemukan sapi potong, dimana hasil limbah pertanian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk ternak sapi potong. Hal ini juga dapat dijadikan kesempatan untuk pengembangan usahatani ternak.

6.2.2. Pemilikan Ternak Sapi Potong

Usaha penggemukan sapi potong yang masih diusahakan sebagai usaha sampingan dapat juga dilihat dari jumlah kepemilikan sapi yang masih rendah yaitu secara keseluruhan rata-rata 2.4 ekor. Rata-rata kepemilikan sapi di Tilatang

Kamang lebih tinggi yaitu 3.3 ekor, sedangkan Kecamatan Sungai Puar rata-rata 1.5 ekor. Karakteristik peternak sapi berdasarkan jumlah kepemilikan sapi dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi oleh Peternak Responden di Kabupaten Agam

Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Jumlah Kepemilikan Sapi Jumlah (%) Jumlah (%) 1 – 3 30 100.00 20 66.67 4 – 6 0 0.00 7 23.33 > 6 0 0.00 3 10.00 Jumlah 30 100.00 30 100.00

Tabel 12 menunjukkan bahwa kepemilikan sapi di Kecamatan Tilatang Kamang sebagian besar adalah 1-3 ekor (66.67 persen), diikuti oleh kepemilikan 4-6 ekor (23.33 persen), dan kepemilikan > 6 ekor hanya 10 persen. Sedangkan kepemilikan ternak sapi oleh peternak di Kecamatan Sungai Puar lebih sedikit yaitu hanya berada pada kisaran 1-3 ekor (100 persen).

Kepemilikan ternak sapi yang masih dalam skala kecil ini pada masing- masing peternak juga disebabkan karena ternak sapi sebagian besar hanya dijadikan sebagai tabungan keluarga. Disamping itu juga karena keterbatasan modal yang dimiliki peternak, yang terlihat dari pola penguasaan ternak masih banyak dengan sistem bagi hasil (sistem gaduh).

6.2.3. Pola Penguasaan Ternak Sapi Potong

Karakteristik usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam juga dicirikan oleh pola penguasaan ternak, dimana secara keseluruhan terdiri dari milik sendiri (51.67 persen) dan sistem bagi hasil atau gaduh (48.33 persen). Peternak di Kecamatan Sungai Puar lebih banyak yang mengelola usaha

ternaknya dengan sistem bagi hasil (66.67 persen), dan yang milik sendiri lebih sedikit (33.33 persen). Sedangkan peternak di Kecamatan Tilatang kamang lebih dominan dengan pengelolaan milik sendiri (70 persen), dan sisanya (30 persen) adalah sistem bagi hasil atau gaduh. Sistem bagi hasil disamping mengandung unsur kerjasama bagi hasil, juga merupakan salah satu upaya dalam mengatasi kekurangan modal bagi peternak.

Tabel 13. Pola Penguasaan Ternak sapi Potong oleh Peternak responden di Kabupaten Agam

Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Pola Penguasaan Ternak Sapi

Potong Jumlah (%) Jumlah (%)

Milik Sendiri 10 33.33 21 70.00

Sistem Bagi Hasil (gaduh) 20 66.67 9 30.00

Jumlah 30 100.00 30 100.00

Sistem bagi hasil ini ada dua variasi yaitu sistem bagi hasil berdasarkan hasil penjualan sapi dengan pembagian 50-50 persen, dan sistem bagi hasil dengan 60-40 persen, dimana 60 persen hasil untuk peternak, dan 40 persen untuk pemilik modal, dalam hal ini yang menyediakan sapi bakalan. Simatupang et al. (1994) menyatakan bahwa faktor pendorong timbulnya sistim gaduhan adalah : (1) belum berkembangnya lembaga keuangan desa, (2) bentuk usaha ternak masih bersifat usaha keluarga, (3) masih banyaknya keluarga yang berpenghasilan rendah, dan (4) wilayah bersangkutan punya potensi produksi.

6.2.4. Pemeliharaan Ternak Sapi Potong

Sistem pemeliharaan pada usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian dilakukan dengan cara kereman, dimana sapi dikandangkan secara terus-menerus. Pemberian pakan diberikan oleh peternak langsung di dalam kandang. Semua aktivitas sapi dilakukan di dalam kandang, mulai dari pemberian

makan, minum, istirahat, pembersihan kandang dan pengendalian penyakit. Periode pemeliharaan sapi bervariasi diantara peternak. Perbedaan periode pemeliharaan diantara peternak disebabkan oleh perbedaan umur bakalan yang digunakan serta terkait dengan tujuan utama peternak memelihara sapi potong yaitu sebagai sumber pendapatan utama atau hanya sebagai tabungan, dimana peternak yang orientasi pemeliharaan sebagai tabungan melakukan pemeliharaan relatif lebih lama.

Tabel 14. Sebaran Periode Pemeliharaan Sapi Potong oleh Peternak Responden di Kabupaten Agam

Kec. S. Puar Kec.

T. Kamang Periode

Pemeliharaan

(bulan) Jumlah (%) Jumlah (%)

< 6 1 3.33 4 13.33

6 – 12 9 30.00 16 53.33

13 – 18 12 40.00 6 20.00

19 – 24 8 26.67 4 13.33

Tabel 14 menunjukkan bahwa periode pemeliharaan oleh peternak di Kecamatan Sungai Puar relatif lebih lama dibanding peternak di Tilatang kamang. Sebagian besar peternak (66.67 persen) di Kecamatan Sungai Puar menggemukkan sapi diatas 12 bulan, sementara di Kecamatan Tilatang Kamang sebanyak 66.67 persen peternak menggemukkan sapi hanya selama ≤ 12 bulan. Menurut Sugeng (2006), berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8-9 bulan, (2) untuk sapi bakalan umur 1-2 tahun, lama penggemukan 6-7 bulan, dan (3) untuk sapi bakalan umur 2-2.5 tahun, lama penggemukan 4-6 bulan.

Keberhasilan usaha penggemukan sapi potong tergantung dari beberapa faktor yaitu bibit (breeding), pakan (feeding), dan pengelolaan (management).

Menurut Siregar (2008), sistem penggemukan ada tiga, yakni sistem kereman, sistem pasture fattening, dan sistem dry lot fattening. Penggemukan sistem kereman dilakukan dengan cara menempatkan sapi-sapi dalam kandang secara terus-menerus selama beberapa bulan. Sistem ini masih sangat sederhana, dimana pakan yang diberikan terdiri dari hijauan dan konsentrat dengan perbandingan tergantung ketersediaan pakan hijauan dan konsentrat, dan bahkan ada juga yang hanya memberikan pakan berupa hijauan saja. Penggemukan memerlukan waktu berkisar antara 3-6 bulan. Sapi bakalan yang digunakan dalam kereman umumnya sapi – sapi jantan yang berumur sekitar 1-2 tahun dalam kondisi kurus dan sehat. Sistem pasture fattening merupakan sistem penggemukan sapi yang dilakukan dengan cara menggembalakan sapi di padang penggembalaan, dimana memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 8-10 bulan. Sapi bakalan yang digunakan pada pasture fattening adalah sapi jantan atau betina dengan umur minimal sekitar 2.5 tahun. Sapi jantan mempunyai pertumbuhan relatif cepat dibandingkan sapi betina sehingga waktu penggemukannya relatif lebih singkat. Sistem dry lot fattening adalah sistem penggemukan dimana sapi berada terus- menerus dalam kandang dengan pemberian ransum atau pakan yang mengutamakan biji-bijian, dan bahkan sudah diformulasi dari berbagai jenis bahan pakan konsentrat. Sedangkan pemberian hijauan dengan proporsi yang lebih sedikit. Sapi bakalan yang dipergunakan pada dry lot fattening umumnya sapi – sapi jantan yang telah berumur lebih dari 1 tahun dengan lama penggemukan sekitar 2-6 bulan.

Usaha ternak sapi potong di daerah penelitian, dalam hal ini adalah usaha penggemukan sapi, bakalan yang digunakan diperoleh dari bakalan yang dibeli,

bukan bakalan hasil pembibitan sendiri. Pada umumnya sapi bakalan yang digemukkan berasal hasil perkawinan alam dan sistem Inseminasi Buatan (IB). Jenis ternak sapi yang dipelihara adalah sapi peranakan Simental. Jenis sapi sudah menjadi perhatian bagi peternak, dimana peternak cenderung menggunakan sapi hasil persilangan dibanding sapi lokal. Hal ini karena sapi hasil persilangan menunjukkan produksi yang lebih baik, terlihat dari pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibanding sapi lokal. Ditinjau dari umur sapi bakalan yang digunakan, maka dapat dibagi menjadi dua, yaitu sapi bakalan yang berumur 1.0- 2.5 tahun, dan sapi bakalan yang masih berumur < 1 tahun.

Tabel 15. Umur Sapi Bakalan pada Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Umur Sapi Balakan

Jumlah (%) Jumlah (%)

< 1 tahun (belum cukup umur) 21 70.00 11 36.67

1 – 2.5 tahun (cukup umur) 9 30.00 19 63.33

Jumlah 30 100.00 30 100.00

Tabel 15 menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Sungai Puar sebagian besar (70 persen) menggunakan sapi bakalan yang masih berumur di bawah satu tahun, sementara peternak di Kecamatan Tilatang kamang lebih banyak (63.33 persen) menggunakan sapi bakalan yang berumur 1-2.5 tahun. Pertimbangan peternak dalam memilih umur sapi bakalan yang akan dipelihara didasarkan pada berbagai pertimbangan. Pada umumnya peternak yang membeli bakalan dengan umur dibawah 1 tahun adalah karena faktor terbatasnya modal yang dimiliki, dimana sapi dengan umur yang lebih kecil lebih murah. Disamping itu juga dengan alasan bahwa usaha ternak sapi yang dilakukan bertujuan sebagai tabungan. Konsekuensi dari ternak dengan umur bakalan yang masih muda adalah

pemeliharaan umumnya lebih lama hingga sapi tersebut layak dijual yaitu berkisar antara 1.5-2.5 tahun pemeliharaan.

Kecenderungan berbeda pada usaha penggemukan sapi yang menggunakan bakalan umur 1.0-2.5 tahun, umumnya melakukan pemeliharaan dengan jangka waktu yang lebih pendek yaitu berkisar 4-12 bulan. Hal ini selain karena pertumbuhan ternak mencapai tingkat optimum, efisiensi penggunaan pakannya pun cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sugeng (2006) bahwa penggemukan sebaiknya dilakukan pada ternak sapi usia 12-18 bulan atau paling tua umur 2.5 tahun. Pembatasan usia ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak tengah mengalami fase pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging, sehingga bila pakan yang diberikan itu jumlah kandungan protein, mineral dan vitaminnya mencukupi, sapi dapat cepat menjadi gemuk.

6.2.5. Pertambahan Bobot Badan Sapi

Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging dengan peningkatan bobot badan yang tinggi melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Sebaran pertambahan bobot badan sapi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Sebaran Pertambahan Bobot Badan Sapi pada Usaha Penggemukan

Sapi Potong si Kabupaten Agam

Kec. S. Puar Kec. T. Kamang Pertambahan Bobot

Badan Sapi (kg/hari) Jumlah (%) Jumlah (%)

< 0.50 9 30.00 2 6.67

0.50 – 0.75 16 53.33 12 40.00

> 0.75 5 16.67 16 53.33

Tabel 16 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan sapi di Kecamatan Sungai Puar sebagian besar (53.33 persen) berada pada selang 0.50- 0.75 kg per hari. Sedangkan untuk Kecamatan Tilatang Kamang, ternak sapi lebih banyak (53.33 persen) berada pada selang pertambahan bobot badan yang lebih tinggi yaitu di atas 0.75 kg per hari. Empiris lapangan juga menunjukkan jika dibandingkan antara Kedua Kecamatan, rata-rata pertambahan bobot badan sapi di Kecamatan Tilatang Kamang lebih tinggi yaitu 0.75 kg per hari, sementara di Kecamatang Sungai Puar hanya 0.56 kg per hari.

6.2.6. Pakan Ternak Sapi Potong

Keberhasilan usaha penggemukan sapi selain tergantung pada bibit, juga ditentukan oleh pakan. Secara garis besar pakan ternak sapi terbagi atas pakan utama yaitu hijauan dan pakan penguat (konsentrat) dan pakan tambahan (Feed Suplement). Pakan yang diberikan pada ternak sapi di daerah penelitian umumnya berupa pakan hijauan. Hijauan yang diberikan pada ternak sapi umumnya berasal dari rumput lapangan dan rumput unggul (rumput gajah) yang ditanam diareal kebun rumput milik peternak dan dilahan marginal seperti pematang sawah. Sekali-kali peternak juga memberikan sisa hasil pertanian berupa jerami padi dan batang jagung (pada musim panen).

Pemberian pakan untuk ternak sapi bila ternak dikandangkan adalah berupa hijauan (70 persen) dan konsentrat (30 persen). Kenyataan pada wilayah penelitian peternak sebagian besar hanya memberikan hijauan, dan sebagian kecil saja yang sudah memberikan pakan penguat dengan variasi yang berbeda-beda

seperti dedak, kulit ubi, ampas tahu. Campuran dari berbagai jenis pakan penguat tersebut disebut konsentrat.

Peternak Kecamatan Tilatang Kamang sudah lebih bervariasi dalam memberikan pakan ternak. Jumlah peternak yang hanya memberikan pakan berupa hijauan sebesar 26.67 persen, sedangkan sisanya sudah mengkombinasikan dengan dedak, kombinasi dengan dedak dan kulit ubi, dan ada juga yang menambahkan mineral. Sedangkan peternak di Kecamatan Sungai Puar sebesar 66.67 persen hanya memberikan pakan berupa hijauan. Hal ini menyebabkan rata- rata pertambahan bobot badan sapi di Tilatang Kamang lebih besar yaitu 22.04 kg per bulan atau 0.75 kg per hari. Sedangkan di Sungai Puar pertambahan bobot badan sapi hanya sebesar 16.68 kg per bulan atau 0.56 kg per hari. Pertambahan bobot badan yang dicapai untuk kedua lokasi sebenarnya masih belum optimal, dimana menurut Subiharta et al. (2000) bahwa sapi peranakan simental dapat mencapai ADG (Average Daily Gain) jauh lebih besar yaitu berkisar antara 0.80- 1.6 kg.

Pemberian pakan berupa hijauan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB dan sore hari sekitar pukul 17.00 WIB. Untuk peternak yang juga menyertakan konsentrat sebagai pakan ternak biasanya memberikan konsentrat sebelum pemberian hijauan. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2008) yaitu pemberian konsentrat yang dilakukan 2 jam sebelum pemberian hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik karena konsentrat yang relatif banyak mengandung pati sebagian besar sudah dicerna oleh mikroorganisme rumen pada saat hijauan mulai masuk ke dalam rumen.

Jenis hijauan yang diberikan berupa rumput gajah, batang jagung, dan atau rumput liar. Rumput untuk pakan ternak biasanya diperoleh dari rumput hasil budidaya sendiri, maupun dicari disekitar hutan. Sedangkan untuk dedak dibeli di daerah sekitar dengan harga rata-rata Rp. 1002.77 per kilogram, ampas tahu Rp. 320.14 per kilogram, kulit ubi Rp. 121.69 per kilogram, dan mineral Rp. 6 555.56 per kilogram. Pemberian pakan rata-rata di Kecamatan Tilatang Kamang untuk satu ekor sapi per hari adalah hijauan sebanyak 65.83 kg, dedak 1.55 kg, kulit ubi 4.98 kg, dan mineral 42.03 g. Sedangkan di Kecamatan Sungai Puar pemberian hijauan rata-rata 66.33 kg, dedak 0.4 kg dan mineral 23.14 g. Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994), sebagai perkiraan kebutuhan pakan sapi adalah 15-20 persen bobot tubuhnya. Pakan yang diberikan setiap hari dalam penggemukan sapi berupa hijauan sebanyak 10 persen dari bobot badan dan konsentrat sebanyak 2 persen dari bobot badan atau rata-rata 5 kg/ekor/hari.

6.2.7. Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang digunakan peternak di Kedua Kecamatan terdiri dari tenaga kerja keluarga, tenaga kerja sewa atau tenaga kerja luar keluarga. Input tenaga kerja keluarga yang dimaksud adalah curahan tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga sendiri dalam usaha penggemukan sapi potong. Tenaga kerja sewa atau luar keluarga adalah penggunaan tenaga kerja diluar anggota keluarga yang digunakan dalam usaha penggemukan sapi potong. Tenaga kerja luar keluarga pada usaha penggemukan sapi di Sungai Puar biasanya digunakan dalam pengolahan tanah untuk menanam hijauan, sedangkan untuk pemeliharaan ternak sapi hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Begitupula untuk usaha penggemukan sapi di Tilatang Kamang sebagian besar menggunakan tenaga

kerja keluarga dalam pemeliharaan ternak, sedangkan tenaga kerja luar keluarga digunakan untuk pengolahan dalam proses penanaman hijauan.

Proporsi penggunaan Tenaga kerja dalam keluarga di Kecamatan Tilatang Kamang dan Sungai Puar berturut-turut adalah adalah 96.88 persen dan 98.9 persen dari keseluruhan jam kerja. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang lebih besar disebabkan karena usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian masih sebagai usaha sampingan dengan skala usaha yang masih kecil. Proporsi penggunaan tenaga kerja dalam usaha penggemukan sapi potong di Kedua Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usaha Penggemukan Sapi potong di Kabupaten Agam

Kec. Sungai Puar (Jam Kerja Pria /periode)

Kec. Tilatang Kamang (Jam Kerja Pria /periode) Penggunaan Tenaga Kerja

Total (%) Total (%)

Tenaga Kerja Keluarga 1 365.00 98.90 1 545.13 96.88 Tenaga Kerja Luar / sewa 14.57 1.10 49.60 3.12

Jumlah 1 379.57 100.00 1 594.73 100.00

Tabel 17 menggambarkan bahwa proporsi tenaga kerja yang lebih banyak digunakan pada pengelolaan usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian adalah berasal dari tenaga kerja keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga di Tilatang Kamang lebih besar dibanding Sungai Puar. Curahan kerja yang dilakukan dalam pengelolaan usaha penggemukan sapi potong adalah mencari hijauan, memberi makan dan membersihkan kandang, pemupukan hijauan dan penyiangan. Sedangkan untuk pengolahan lahan hijauan sebagian