• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Fungsi Motorik Akibat Stroke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Gangguan Fungsi Motorik Akibat Stroke

Gangguan fungsi motorik ialah ketidak mampuan fungsi motorik untuk menjalankan tugasnya. Pada penderita stroke gangguan fungsi motorik ialah hal yang pasti terjadi, hal ini disebabkan rusaknya sel – sel otak dan jaringan syaraf yang mengatur fungsi motorik dan pergerakanya. Salah satu jenis gangguang fungsi motorik ialah kekakuan pada salah satu atau sebagian anggota gerak penderita sehingga anggota gerak tersebut

tidak dapat digerakkan sebagai mana mestinya. Contoh kekakuan yang terjadi ialah kekakuan pada pada tangan, hal ini mengakibatkan tangan penderit stroke akan selalu menekan dada atau telapak tangan cenderung untuk selalu menggenggam dan sulit untuk digerakkan. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.4 dimana tangan dari penderita stroke mengalami kekakuan.

Gambar 2.4 Kekakuan pada tangan pasien stroke

(http://2.bp.blogspot.com/-ATmcVyYs_NI/VUV1-FZ2f4I/AAAAAAAAAg/oMF2b_93RrE/s1600/terapi%2Bpemulihan%2Bstroke.jpg) 2.3. Rehabilitasi Pasca Stroke

Rehabilitasi stroke merupakan pengelolaan medis dan rehabilitasi yang komprehensif terhadap disabilitas yang diakibatkan oleh stroke untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kemampuan fungsional sehingga penderita stroke mampu beradaptasi dan mencapai kemandirian serta kualitas hidup yang lebih baik. (firda dkk, 2016). Salah satu jenis rehabilitasi yang diberikan pada pasien pasca stroke ialah rehabilitasi fungsi motorik.

Dalam rehabilitasi ini diharapkan pasien mampu mencapai kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari – hari (daily Activity). Salah satu metode yang digunakan dalam rehabilitasi medik ini ialah motor relearning program.

Motor relearning program dilakukan dengan menganalisa fungsi – fungsi utama dari gerak motorik. Setiap fungsi motorik dianalisa dan ditentukan komponen – komponen yang tidak dapat berfungsi dengan baik. Kemudian ditentukan batasan – batasan

dari fungsi motorik tersebut dan dilakukan terapi berdasarkan batasan – batasan tersebut. Terapi yang diberikan merupakan terapi dalam bentuk aktifitas fungsional hal ini dikarenakan tujuan dari terapi tidak hanya mengembalikan pergerakan dari suatu bagian tubuh akan tetapi mengembalikan fungsional dari bagian tubuh tersebut.

Latihan fungsional dan tugas – tugas motorik yang dianalisa seperti duduk, berdiri atau berjalan. Setiap tugas motorik dianalisa dan ditentukan komponen – komponen mana yang tidak dapat dilakukan. Kemudian menyesuaikan terapi yang diberikan dengan hasil analisa dan memastikan bahwa terapi yang diberikan dapat dilakukan pada aktifitas sehari – hari. Proses latihan ini harus meningkatkan kemampuan mobilisasi pasien pasca stroke, kemampuan rawat diri, dan aktifitas sehari-hari yang lain.

Konsep motor learning pada pasien stroke memiliki tujuan (Suhartini, 2010) :

a. Membantu pasien stroke bergerak dalam aktifitas fungsional dengan pola

b. Membantu pasien stroke mencapai suatu pergerakan aktif secara otomatis

c. Memberikan repetisi sehingga pola normal tingkah laku dapat dipelajari

d. Melatih pasien stroke dalam sejumlah kondisi yang bervariasi sehinggaketerampilan dapat ditransfer pada situasi dan lingkungan yang berbedabeda.

2.4. Penelitian Terdahulu

2.4.1 Sepeda Roda Tiga Yang Dikembangkan Di Lab.

Perancangan Dan Pengembangan Produk

Pada tahun 2014, Rodika dan Rivai merancang sepeda roda tiga menggunakan konsep tadpole. Konsep tadpole sendiri ialah sepeda roda tiga yang memiliki dua roda pada bagian depan dan satu roda pada bagian belakang. Sepeda tersebut memiliki mekanisme kayuhan kaki dan kayuhan tangan, sehingga bisa

digunakan untuk melakukan terapi kaki maupun terapi tangan oleh pasien pasca stroke.

Selanjutnya pada tahun 2015 saudara Syifa, mengembangkan sepeda dengan konsep yang sama, yaitu menggunakan konsep tadpole. Pada sepeda yang dikembangkan oleh Syifa mekanisme kayuhan tangan dikembangkan lebih lanjut dan dipisahkan dari system steering sepeda, fitur yang ditambahkan pada sepeda roda rancangan Syifa ialah kemampuan lipat. hal ini membuat sepeda roda tiga rancangan syifa lebih mudah dibawa kemana-mana. Akan tetapi sepeda tersebut masih memiliki kendala pada kekakuan (rigiditas). Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh saudara Dani 2015, sepeda hasil rancangan Syifa 2015 bermanfaat.

Berdasarkan uji kayuh yang telah dilakukan oleh Dani 2015, diketahui bahwa meningkatnya kecepatan kayuh akan meningkatkan kebutuhan energi. Dengan meningkatnya kebutuhan energi maka jantung akan bekerja lebih keras untuk memompa darah sehingga kebutuhan oksigen tubuh terpenuhi. Hal tersebut dapat dinyatakan pada gambar 2.5 dan 2.6 sebagai berikut.

Gambar 2.5 Grafik Perbandingan Antara Kecepatan Kayuh Dengan Detak Jantung Pada Responden A (Dani 2015)

Gambar 2.6 Grafik Perbandingan Antara Kecepatan Kayuh Dan Konsumsi Energi Pada 3 Responden (Dani 2015)

Meningkatnya kecepatan kayuh responden juga mengindikasikan bahwa putaran kayuhan kaki responden pasca stroke mengalami peningkatan. Hal ini berarti pasien pasca stroke telah mengalami perkembangan pada pergerakan otot-otot kaki yang semula kaku menjadi lebih mudah untuk digerakkan.

Kemudian pada tahun 2016, Sandy mengembangkan lagi sepeda pasca stroke dan lebih berfokus pada kekakuan (rigiditas) rangka sepeda pasca stroke. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Heri pada tahun 2016 tentang Pengujian Sepeda Pasca Stroke Untuk Pasien Stroke Di Rumah Sakit Haji Surabaya, dengan menggunakan prosedur yang disusun oleh dwi 2016, didapatkan hasil bahwa sepeda pasca stroke yang dirancang oleh Sandy 2016 bermanfaat.

Berdasarkan hasil uji kayuh yang telah dilakukan pada 6 responden dengan pembagian, 3 responden yaitu responden A, B, dan C melakukan 10 kali terapi dalam satu bulan dan 3 sisanya yaitu responden D, E, dan F melakukan terapi sebanyak 3 kali dalam satu bulan. Dari hasil uji kayuh dapat diketahui bahwa kebutuhan akan energi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan kayuh responden. Untuk memenuhi kebutuhan energi maka jantung akan bekerja lebih keras untuk memompa darah sehingga suplai oksigen dapat terjaga. Hubungan antara kecepatan kayuh dengan dengan detak jantung dari ke-6

responden dapat dilihat pada gambar 2.7. dan perkembangan energi kayuh responden pada setiap terapi dapat dilihat pada gambar 2.8.

dibawah ini.

( a ) ( b )

( c ) ( d )

( e ) ( f )

Gambar 2.7 Grafik Perbandingan Antara Kecepatan Kayuh Dengan Detak Jantung, (a) Responden A , (b) Responden B , (c) Responden C , (d) Responden D , (e) Responden E , (f)

Responden F (Heri 2016)

( a ) ( b )

( c ) ( d )

( e ) ( f )

Gambar 2.8 Grafik Perkembangan Energi Kayuh Pada Setiap Sesi Terapi, (a) Responden A , (b) Responden B , (c)

Responden C , (d) Responden D , (e) Responden E , (f) Responden F (Heri 2016)

Dari gambar 2.7. dapat diketahui bahwa detak jantung responden meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan kayuh responden. Hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya detak jantung responden sebelum melakukan terapi dan sesudah melakukan terapi. Pada respondep A, B, dan C yang melakukan

terapi dengan frekuensi 3 kali dalam satu minggu mengalami perkembangan yang lebih pesat dibandingkan dengan responden D, E dan F yang melakuakan terapi 3 kali dalam satu bulan.

Peningkatan kecepatan kayuh juga mengakibatkan, kebutuhan energy untuk uji kayuh juga meningkat pada setiap terapi hal ini dibuktikan oleh grafik 2.8. tentang perkembangan energi kayuh pada setiap pelaksanaan terapi. Berdasarkan hasil perhitungan data hasil pengujian menunjukan bahwa semua responden menunjukan peningkatan dalam hal energi kayuh, kecuali untuk responden D.

Responden D mengalami penurunan energi kayuh meskipun kecepatan kayuhnya tetap, hal ini dikarenakan responden D telah memasuki tahap melatih ketahanan (endurance). Meningkatnya kecepatan kayuh juga memiliki arti bahwa kemampuan pergerakan kaki responden telah mengalami perkembangan begitu juga dengan kekuatan otot responden. Selain dari pada itu, menurunnya energi kayuh pada kecepatan yang sama juga mengindikasikan bahwa pasien sudah berada pada tahap melatih ketahanan (endurance).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sepeda yang dirancang Sandy 2016 bermanfaat bagi penderita stroke.

2.4.2 Terapi Sepeda Untuk Pasien Pasca Stroke

Gerakan terapi menggunakan sepeda lebih mudah dilakukan jika dibandingkan dengan gerakan pada terapi secara konvensional.

Selain itu terapi menggunakan sepeda termasuk rehabilitasi yang terjangkau dalam program rehabilitasi diklinik. Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Kaohsiung Medical University dengan responden sebanyak 31 orang yang dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok pertama dengan jumlah 16 responden melakukan terapi secara konvensional disertai dengan terapi menggunakan sepeda dengan ketentuan durasi terapi selama 30 menit,dengan frekuensi 5 kali dalam seminggu dan dilaksanakan dalam waktu 4 minggu, kelompok kedua dengan jumlah 15 responden melakukan terapi secara konvensional dengan parameter waktu yang sama dengan kelompok pertama.Hasil pengukuran dengan menggunakan lower extremity subscale of

Fugel Meyer Assessment (LE-FMA), the 6-minutes walk test (6MWT), the 10-meter walk test (10MWT), dan modified asworth scale (MAS) menunjukkan bahwa rehabilitasi fisik menggunakan sepeda sebagai alat bantu, memberikan perkembangan yang signifikan pada pasien pasca stroke dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan sepeda sebagai alat bantu. Perkembangan yang terjadi berupa meningkatnya pemulihan fungsi LE (lower Extremity), Ketahanan (endurance) dalam berjalan, dan kecepatan.

(H.C. Yang et all, 2013). Gerakan mengayuh sepeda dapat dilihat pada gambar 2.9 dibawah ini.

Gambar 2.9 Terapi Sepeda untuk pasien Pasca Stroke

(http://www.cyclinguk.org/sites/default/files/imagecache/990x500/media_library/users/Ni gel%20Williams/david_watts_300x150.jpg)

Dari gambar 2.9 dapat diketahui bahwa saat menggunakan sepeda bagian kaki pasien pasca stroke melakukan pergerakan yang berkesinambungan mulai dari pergelangan kaki hingga pangkal paha, selain itu konsep pedal sepeda pada sepeda juga memungkinkan kaki pasien yang tidak terkena stroke untuk membantu pegerakan kaki yang megalami gangguan gerak motorik akibat stroke. Pada bagian tangan juga mengalami pergerakan yang berkesinambungan mulai dari telapak tangan hingga bahu pasien pasca stroke. Dalam bersepeda kedua gerakan tersebut, yaitu gerakan kaki dan tangan yang bergerak secara bersamaan sehingga meningkatkan kemampuan koordinasi antara kaki dan tangan.

Dalam melaksanakan terapi menggunakan sepeda, khususnya sepeda pasca stroke terdapat beberapa pertimbangan yang pelu dipehatikan. Diantaranya adalah kemampuan pasien

untuk duduk secara mandiri, tekanan darah pasien, detak jantung pasien dan beberapa hal lainya. Dalam pelaksanaannya jumlah kayuhan yang dilakukan oleh pasien pasca stroke ditetapkan pada range tertentu. Hal ini bertujuan supaya data hasil terapi pasien pasca stroke dapat dibandingkan antara responden satu dengan responden yang lainnya.

2.5. Variabel Waktu Pada Rehabilitasi Medik

Dalam pelaksanaan rehabilitasi untuk pasien pasca stroke, terdapat beberapa variabel waktu yang perlu diperhatikan seperti, durasi rehabilitasi, intensitas rehabilitasi, dan frekuensi rehabilitasi.

2.5.1 Durasi Rehabilitasi Stroke

Durasi merupakam lama dari rehabilitasi tersebut diberikan kepada pasien pasca stroke. Dalam rehabilitasi keseluruhan sesi (durasi) rehabilitasi mulai dari pemanasan hingga pendinginan.

Dalam pelaksanaan rehabilitasi, olahraga tidak harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Pasien pasca stroke dapat melakukan olahraga dengan pembagian waktu antara olahraga dan istirahat kemudian olahraga kembali sesuai dengan kemampuan dari tiap pasien pasca stroke. Dalam melakukan rehabilitasi penambahan durasi dapat dilakukan secara bertahap, hal ini untuk menyesuaikan kembali tekanan darah dan detak jantung pasien pasca stroke. Sehinga kemungkinan terjadinya stroke kembali bisa diperkecil.

2.5.2 Intensitas Rehabilitasi Stroke

Intensitas dalam rehabilitasi stroke sebaiknya bertaraf sedang hingga ringan. Tingkat ini dipilih berdasarkan kondisi dari kesehatan pasien pasca stroke tersebut dari sesi ke sesi. Penentuan intensitas dalamrehabilitasi ini sangat penting karena akan berpengaruh pada seberapa berat beban yang akan ditanggung oleh motorik pasien. Manfaat rehabilitasi akan semakin terasa jika dilakukan dengan intensitas ringan hingga sedang dalam periode waktu yang lama, jika dibandingkan dengan melakukan

rehabilitasi dalam intensitas tinggi (berat) namun hanya dilakukan dalam periode yang lama. (Catherine et al, 2010).

2.5.3 Frekuensi Rehabilitasi Stroke

Seberapa sering rehabilitasi yang dijalani pasien pasca stroke akan menentukan pekembangan yang akan didapat oleh pasien pasca stroke. Akan tetapi frekuensi rehabilitasi yang terlalu sering akan memberikan beban yang berlebih pada fungsi motorik pasien. Frekuensi rehabilitasi pasien pasca stroke sebaiknya dilakukan 3x dalam satu minggu. (Catherine et al, 2010).

2.6. Vital Sign

Vital sign adalah tanda atau indikator yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan kondisi kesehatan manusia (menandakan bahwa semua sistem yang ada didalam tubuh manusia berjalan dengan baik, baik sistem sirkulasi, sistem respirasi, sistem syaraf, dll).

2.6.1 Tekanan Darah

Tekanan darah merupakan kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong oleh tekanan dari jantung. (potter

& perry, 2005). Aliran darah mengalir dalam sistem sirkulasi didalam tubuh manusia dikarenakan adanya perbedaan tekanan.

Dua jenis tekanan darah yaitu (Harioputro D.R. dkk, 2016) : a. Tekanan Sistolik : Tekanan maksimum

dinding arteri pada saat ventrikel kiri jantung berkontraksi.

b. Tekanan Diastolik : Tekanan minimum dinding arteri pada saat ventrikel kiri jantung relaksasi.

Pengukuran tekanan darah merupakan gambaran dari resistensi pembuluh darah, cardiac output, status sirkulasi, dan keseimbangan cairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah aktifitas fisik, status emosional, nyeri,

demam, atau pengaruh kopi dan tembakau. Ketidaknormalan pada tekanan darah dapat digolongkan dalam beberapa bentuk yaitu :

a. Hipertensi : yaitu kondisi dimana tekanan sistolik berada diatas 130 mmHg, dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg

b. Hipotensi : yaitu kondisi dimana tekanan sistolik berada pada kisaran 90 mmHg

c. Hipotensi orthostatik postural : yaitu penurunan tekanan darah pada saat bergerak dari posisi duduk ke berdiri, hal ini disertai dengan rasa pusing dan berkunang-kunang hingga menyebabkan pingsan.

Tekanan darah normal pada manusia dibedakan menurut usia, sebagai contoh untuk usia 14 – 17 tahun tekanan darah normalnya ialah 120/70 mmHg. Tekanan darah normal untuk golongan usia yang lain dapat dilihat dilampiran pada tabel B.1

2.6.2 Pernafasan

Pernafasan adalah mekanisme tubuh dimana terjadi pertukaran udara antara atmosfir dengan darah serta darah dengan sel (Fundamental Keperawatan Edisi 4, Volume 1). Pernafasan dapat dibedakan berdasarkan proses yang sedang terjadi.

a. Ventilasi : yaitu masuknya udara dari atmosfir kedalam paru-paru

b. Difusi : yaitu pertukaran O2 dengan CO2 antara alveoli dengan sel darah merah

c. Perfusi : yaitu distribusi O2 oleh sel darah merah ke kapiler darah.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pernafasan ialah : a. Peningkatan aktifitas tubuh (ex : Olahraga) b. Nyeri akut dan rasa cemas

c. Anemia

d. Posisi tubuh, posisi tubuh yang tegak akan memberikan paru-paru ruang yang lebih untuk berekspansi sehingga udara dapat masuk secara maksimal kedalam paru-paru.

Bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pengukuran maupun analisa pernafasan ialah:

a. Frekuensi pernafasan b. Kedalaman pernafasan c. Irama pernafasan d. Proses difusi dan perfusi

Frekuensi pernafasan secara normal pada dewasa adalah 12 – 20 frekuensi per menit. Untuk frekuensi pernafasan pada golongan usia lain dapat dilihat dilampiran pada tabel B.2

2.6.3 Detak Jantung

Detak jantung merupakan aktivitas jantung dalam memompa darah menuju sistem sirkulasi tubuh. Detak jantung dapat diukur dengan cara mengukur denyut nadi, hal ini karena pada saat jantung berdetak untuk memompa darah menuju sistem sirkulasi melalui arteri, timbul gelombang tekanan yang biasa disebut dengan denyut nadi. (Harioputro D.R., dkk 2016). Detak jantung akan bertambah seiring dengan meningkatnya aktivitas tubuh hal ini dikarenakan pada saat tubuh beraktifitas maka sel-sel tubuh akan membutuhkan oksigen lebih banyak, untuk memenuhi kebutuhan oksigen maka jantung bekerja lebih cepat untuk memompa darah. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui detak jantung adalah :

a. Merasakan denyut nadi pada arteri, denyut nadi paling kuat terdapat pada arteri karotis.

b. Mendengarkan detak jantung dengan menggunakan stethoscope

c. Menggunakan ECG (electro Cardiogram), yaitu mengukur detak jantung dengan memanfaatkan sinyal elektrik yang diukur dari otot jantung pada permukaan kulit dada.

Detak jantung dapat dibedakan atau didefinisikan menjadi beberapa jenis, definisi detak jantung dapat dilihat sebagai berikut (Muller, 1962):

a. Denyut jantung selama istirahat (resting pulse) adalah rata-rata denyut jantung sebelum suatu pekerjaan dimulai b. Denyut jantung selama bekerja (working pulse) adalah

rata-rata denyut jantung selama seseorang bekerja c. Denyut jantung untuk kerja (work pulse) adalah selisih

antara denyut jantung selama bekerja dan selama istirahat d. Denyut jantung selama istirahat total (total recovery

heart rate or recovery heart rate) adalah jumlah denyut jantung saat suatu pekerjaan selesai dikerjakan sampai dengan denyut berada pada kondisi istirahatnya.

e. Denyut total (total work pulse or cardiac cost) adalah jumlah denyut jantung dari mulainya suatu pekerjaan sampai denyut berada pada kondisi istirahatnya (resting level)

Intensitas detak jantung merupakan faktor yang patut untuk diperhatikan dalam hal rehabilitasi pasien pasca stroke. Hal ini dikarenakan jika intensitas detak jantung melebihi intensitas maksimum maka dikhawatirkan akan terjadi kram jantung atau serangan jantung. Sedangkan jika intensitas detak jantung pasien rehabilitasi pasca stroke berada dibawah intensitas yang dibutuhkan maka bisa dikatakan pasien tidak melakukan aktivitas yang berarti untuk menunjang perkembangan kesehatan. Detak jantung maksimum dapat diperoleh melalui persamaan berikut : Detak jantung maksimum = 220 – Usia ... (2.1)

Menurut American Heart Association (AHA), intensitas yang dibutuhkan untuk orang stroke adalah sekitar 50 – 80 % dari detak jantung maksimum. Pada pasien pasca stroke dengan usia 50 tahun maka detak jantung maksimumnya adalah 170 denyut per menit, dan detak jantung yang dibutuhkan sehingga pasien pasca stroke tersebut dapat dikatakan melakukanolahraga adalah 85 – 136 denyut per menit. Detak jantung maksimum dan intesitas detak jantung yang dibutuhkan dapat dilihat dilampiran pada tabel B.3 2.7. Hubungan Antara Detak Jantung Dengan Energi

Expenditure

Jumlah energi yang dikeluarkan selama manusia beraktifitas dapat diketahui melalui denyut total. Untuk menyetarakan denyut total dengan energi expenditure yang dikeluarkan, menggunakan pendekatan kuantitatif dan hubungan antara detak jantung dengan jumlah energi expenditure. Kemudian digunakan analisa regresi untuk mencari persamaan antara denyut total dan energi expenditure. Persamaan regresi kuadratis antara denyut total dengan energi expenditure adalah sebagai berikut :

𝑌 = 1.8044 − 0.22𝑥 + (4.71 × 10−4)𝑥2... (2.2) (Martyaningsih, 2003)

Dimana :

Y = Energi (kilokalori/menit) X = Detak Jantung (denyut/menit)

Konsumsi energi ditentukan dengan menggunakan persamaan matematis sebagai berikut:

KE = Et – Ei ... (2.3) (Martyaningsih, 2003)

Dimana :

KE = Konsumsi energi untuk kegiatan tertentu (Kkal/menit) Et = Pengeluaran energi pada waktu kerja tertentu (Kkal/menit)

Ei = Pengeluaran enegi pada waktu istirahat (Kkal/menit) Selain dengan cara diatas, energi expenditure juga dapat diketahui dengan menggunakan metode interpolasi yang berdasarkan pada tabel klasifikasi beban kerja. Pada beban kerja moderate energi expenditure yang dibutuhkan oleh tubuh berkisar pada 5,0 – 7,5 Kkal per menit, detak jantung berkisar pada 100 – 125 denyut per menit dan kebutuhan akan oksigen sebesar 1,5 – 1,5 Liter per menit. Klasifikasi beban kerja yang lain dapat dilihat dilampiran pada tabel B. 4.

2.8. Kekuatan Otot Kaki

Kekuatan otot adalah kemampuan otot untuk berkontraksi dan menghasilkan gaya. Kekuatan otot dipengaruhi oleh beberapa hal salah satunya ialah stroke. Untuk mengetahui kekuatan otot terdapat beberapa metode salah satu metode yang sering digunakan ialah Manual Muscle Testing (MMT). Dalam penerapannya terapis akan mendorong tubuh pasien ke arah tertentu dan pasien diminta untuk menahan dorongan tersebut. Pada metode ini kekuatan otot diukur menggunakan skala 0 sampai dengan lima sesuai dengan kemampuan pasien. Definisi penilaian metode MMT dapat dilihat pada tabel 2.5 sebagai berikut :

Tabel 2.1 Nilai kekuatan otot berdasarkan Manual Muscle Test (Wahyu, 2014)

Nilai Keterangan 0/5

Otot tidak dapat melakukan kontraksi yang bisa terlihat. Hal ini terjadi ketika otot yang lumpuh, dan kadang-kadang nyeri dapat menghalangi otot untuk berkontraksi.

1/5

Terjadi kontraksi otot namun tidak ada gerakan. Otot tidak cukup kuat untuk mengangkat bagian tubuh tertentu.

2/5

Otot dapat berkontraksi tetapi tidak bisa menggerakan tubuh melawan gravitasi namun ketika gaya gravitasi dihilangkan dengan perubahan posisi tubuh, otot dapat menggerakkan bagian tubuh secara penuh.

3/5

Otot dapat berkontraksi dan menggerakkan bagian tubuh secara penuh melawan gaya gravitasi. Tetapi ketika fisioterapis memberikan dorongan melawan gerakan tubuh pasien (memberikan resistensi) otot tidak mampu melawan.

4/5

Otot mampu berkontraksi dan menggerakkan tubuh melawan tahanan minimal pasien dapat melawan dorongan yang diberikan fisioterapis namun tidak maksimal.

5/5

Otot berfungsi normal dan mampu melawan tahanan maksimal pasien, mampu mempertahankan kontraksi ketika dorongan maksimal diterapkan fisioterapis pada bagian tubuh pasien.

2.9. Kebugaran Pasien Pasca Stroke

Kebugaran ialah kemampuan fisik yang dimiliki responden untuk melakukan kegiatan, pekerjaan atau aktifitas sehari-hari.

Dalam menentukan nilai kebugaran seseorang digunakan nilai dari VO2 Maks yang merupakan fungsi dari work heart rate dengan nilai recovery heart rate.

2.9.1 Volume O2 Maksimal (VO2 Maks)

Volume O2 Maksimal adalah volume maksimal O2 yang dapat diproses oleh tubuh manusia pada saat melakukan kegiatan secara intensif. Jumlah volume O2 menunjukan kemampuan dari sistem respirasi tubuh yang dinyatakan dalam satuan liter/jam.

Untuk mengetahui besar Volume O2 yang dapat diproses oleh

tubuh dapat menggunakan metode Uth-Sørensen-Overgaard-Pedersen. Dari metode tersebut didapatkan persamaan sebagai berikut :

VO2 Maks = 15,3 ×𝐻𝑅𝑀𝑎𝑥

𝐻𝑅𝑅𝑒𝑠𝑡… … … . … … … (2.4) Dimana :

𝐻𝑅𝑀𝑎𝑥 = Detak jantung sesaat setelah melakukan terapi 𝐻𝑅𝑅𝑒𝑠𝑡 = Detak jantung pada saat 2 menit setelah terapi (recovery heart rate).

Menurut Firstbeat Technologies Ltd, Kapasitas VO2 Maks manusia dapat dibedakan berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Pada laki – laki dengan usia 50 – 54 tahun kapasitas standar VO2Maksyang dimiliki ialah 33 – 36 liter per jam. Sedangkan kapasitas standarVO2 Makspada perempuan dengan rentang usia yang sama ialah 26 – 29 liter per jam. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa, jika VO2 Maks pasien pasca stroke berada pada klasifikasi standar ataupun diatasnya maka dapat dikatakan bahwa pasien tersebut sudah sehat. Kapasitas VO2 Maks untuk kelompok usia lainnya dapat dilihat dilampiran pada Tabel B.5 dan tabel B.6.

2.10. Energi Kayuh

Energi kayuh adalah energi yang dikeluarkan oleh seseorang saat mengayuh sepeda. Kecepatan kayuh yang tinggi menunjukan bahwa otot kaki bekerja dengan keras sehingga ikut menaikkan detak jantung. Melalui detak jantung energi yang dikeluarkan dalam suatu aktivitas dapat diketahui. Menurut Bjorn Ekblom, Karolinska Institute, Stockholm, Sweden. Rata-rata energi yang mampu dikeluarkan ketika melakukan aktivitas latihan pada orang normal adalah sebesar 3,58 – 7,16 kkal/menit. Sehingga apabila energi kayuh yang dikeluarkan oleh pasien pasca stroke pada saat menjalani terapi kayuh melebihi dari rata-rata energi yang mampu

dikeluarkan orang normal (3,58 – 7,16 kkal/menit) maka pasien tersebut dapat dikatakan sudah sehat.

dikeluarkan orang normal (3,58 – 7,16 kkal/menit) maka pasien tersebut dapat dikatakan sudah sehat.

Dokumen terkait