• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem

3. Garap Iringan

Pada pakeliran bentuk semalam iringan yang digunakan berupa gendhing, tembang, sulukan, dhodhogan/keprakan, dan sindenan. Fungsi dari iringan untuk mendukung suasana dan/atau membuat suasana tertentu. Iringan dalam pakeliran bentuk semalam kurang menyatu dengan unsur yang lain. Hal ini membari kesan bahwa iringan merupakan medium bantu dalam pakeliran bentuk semalam (Sudarko 2003: 119).

Di dalam pemilihan vokabuler iringan, seniman dalang memiliki kebebasan untuk mamanfaatkan unsur-unsur iringan dari gaya-gaya pakeliran lain. Pakeliran gaya Surakarta tidak ditabukan memanfaatkan iringan gaya Mataram, Banyumas, Jawa Timuran, dan sebagainya. Pemanfaatan iringan gaya lain ini di populerkan oleh Ki Nartasabda. Pemanfaatan iringan ini lebih cenderung sebagai variasi untuk menunjukkan bahwa beliau menguasai unsur iringan gaya lain (Sudarko 2003: 120).

Pada tanggal 1 April 1969 Ki Nartasabda mendirikan perkumpulan karawitan dengan diberi nama “Condong Raos”, dan beliau menjadi pemimpinnya. Condong Raos merupakan perkumpulan karawitan professional dan semua anggotanya sudah terlatih menggarap gendhing-gendhing klenengan, iringan tari dan pedalangan. Kemampuan Ki Nartasabda dengan dukungan karawitan Condong Raos dengan pengrawitnya yang berbobot menyebabkan popularitasnya sebagai dalang semakin menanjak (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 263).

Di dalam pakeliran gaya Surakarta yang termasuk dalam unsur garap iringan pakeliran adalah sebagai berikut:

a. Karawitan Pakeliran (gendhing dan tembang)

Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa sekarang ini pada umumnya diiringi dengan gamelan yang berlaras slendro dan pelog bahkan sering juga ditambah dengan beberapa instrumen non gamelan seperti keyboard, symbal, bass, drum. Pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820) di lingkungan keraton gamelan laras slendro instrumennya terdiri atas : rebab, gender, saron dua rancak, kendhang, gambang, suling, kecer, kethuk, kenong laras lima dan laras nem, kempul laras lima dan laras nem, dan gong suwukan. Memasuki zaman kekuasaan Paku Buwana X (1893-1939) instrumen gamelan mengalami penambahan antara lain adanya

commit to user

penambahan rincikan sehingga jumlah rincikan untuk gamelan wayangan terdiri atas : gender barung, gender penerus, rebab, kendhang wayangan, slenthem, saron barung dua buah, saron penerus, gambang, suling, kecer, kethuk dan kempyeng, kenong lima, kenong nem, kempul nem, kempul barang serta gong suwukan (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 48-49).

Terjadi perubahan pada penggunaan laras gamelan antara dalang keraton dengan dalang kerakyatan. Dalam lingkungan keraton gamelan yang digunakan kebanyakan berlaras slendro sedangkan yang berkembang di luar keraton gamelan yang digunakan tidak hanya berlaras slendro tetapi para dalang kerakyatan juga memakai gamelan berlaras pelog. Hal ini terjadi karena penggunaan gamelan berlaras slendro dan pelog digunakan untuk keperluan peristiwa hidup (rites de

passage). Perubahan perangkat gamelan yang digunakan untuk mengiringi

pertunjukan wayang kulit purwa disebabkan fungsi dari kerawitan wayang sangat penting dan dapat mendukung suasana adegan (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 49).

Karawitan wayang atau gendhing-gendhing wayangan dalam tradisi

wayang gaya keraton Surakarta telah disusun oleh Warsodiningrat bersama-sama dengan Nojowirongko dan telah dibukukan seperti yang tertulis dalam buku Serat Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi (1954). Sebagai contoh gendhing-gendhing untuk jejer, misalnya (1) jejer Khayangan (Bathara Guru) dan Negara Amarta menggunakan Ketawang Gendhing Kawit berbentuk kethuk loro kerep minggah ladrang, laras slendro pathet menyura, (2) jejer Negara Astina dengan raja Duryudana menggunakan Ketawang Gendhing Kabor berbentuk kethuk loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, larasa slendro pathet nem. (3) jejer negara selain yang telah disebutkan tadi menggunakan Gendhing Karawitan berbentuk kethuk papat kerep minggah ladrang, laras slendro pathet nem (Atmotjendono, 1958: (I) 68-84).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi babak unjal (tamu dalam adegan pertama) misalnya (1) Ladrang Mangu, laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh Puntadewa, (2) Ladrang Kembang Pepe, laras slendro pathet menyura untuk mengiringi tokoh Nakula dan Sadewa, (3) Ladrang Srikaton, laras slendro pathet

commit to user

menyura untuk mengiringi tokoh Janaka. (4) Ladrang Remeng, Sobrang, dan Daradimeta laras slendra pathet nem untuk mengiringi tokoh Baladewa (Nojowirongko, 1958: 35-36; Sudarko, 2003: 19).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi kedhatonan misalnya (1) Gendhing Damarkeli berbentuk kethuk papat kerep minggah kethuk wolu laras slendro pathet menyura untuk mengiringi Dewi Banuwati, (2) Gendhing Titipati berbentuk kethuk loro kerep minggah kehuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi Dewi Jembawati (Nojowirongko, 1958: 37; Sudarko 2003: 19).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi paseban jawi misalnya (1) Gendhing Kedhatonbentar berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh Samba dan Setyaki, (2) Gendhing Semukirang berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh Dursasana. Gendhing-gendhing untuk mengiringi kapalan misalnya (1) Lancaran Kebogiro laras slendro pathet sanga; (2) Lancaran Manyarsewu laras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 38-39;Sudarko 2003: 19-20).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan sabrangan misalnya (1) Gendhing Majemuk berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi raja raksasa muda, (2) Ladrang Babatkenceng laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan binatang di hutan. Gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan pendeta misalnya (1) Gendhing Kalunta berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga, (2) Gendhing Bondhet berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga (Nojowirongko, 1958: 39-42; Sudarko 2003: 20).

Gendhing untuk mengiringi raksasa menjelang perang kembang misalnya (1) Lancaran Jangkrik Genggong laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan danawa prepatan (raksasa). Gendhing-gendhing sesudah perang kembang misalnya (1) Gendhing Kencengbarong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Astina (Raja Duryudana), (2) Gendhing Rondhon berbentuk kethuk papat arang minggah kethuk wolu laras

commit to user

slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Dwarawati (Nojoworongko, 1958: 42-43; Sudarko 2003: 20).

Gendhing-gendhing untuk adegan pathet menyura untuk mengiringi adegan Dwarawati dan Amarta misalnya Gendhing Kutut Manggung berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet menyura. Gendhing Montro berbentuk kethuk papat laras slendro pathet menyura untuk mengiringi adegan putri. Gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan tancep kayon (penghabisan) misalnya (1) Gendhing Lobong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet menyura, (2) Gendhing Boyong berbentuk Kethuk loro kerep minggah ladrang ikaras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 43; Sudarko, 2003: 21)

Meskipun pembakuan ini tidak selalu tepat untuk membeberkan seluruh lakon yang ada dalam pakeliran, pada umumnya semua dalang berusaha mengikuti secara ketat. Akibat dari keketatan mengikuti pembakuan (pakem) ini, perhatian dalang tidak lagi kepada isi lakon, tetapi bagaimana menyesuaikan lakonnya dengan urutan adegan yang telah dibakukan itu. Dipandang dari kesan rasa gendhing kaitannya dengan suasana adegan, aturan penggunaan gendhing ini sering tidak sesuai, misalnya untuk adegan Negara Astina baik negara itu dilanda konflik, dalam suasana menderita, dalam suasana perang, atau dalam suasana damai, dalam pakeliran gaya Surakarta selalu digunakan iringan Ketawang Gendhing Kabor berbentuk kethuk loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, laras slendro pathet nem. Demikian juga penggunaan gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan-adegan yang lain (Sudarko 2003: 22).

Pada perkembangannya di luar tembok keraton, dalang kerakyatan kurang mentaati gendhing-gendhing yang telah disusun oleh Nayawirangka. Dalang kerakyatan menyesuaikan pemakaian gendhing dengan repertoar gendhing yang di kuasai. Misalnya untuk adegan kedhatonan Dwarawati diiringi dengan ladrang Asmarandana, adegan paseban jawi digunakan ladrang Moncer, adegan sabrang digunakan ladrang Remeng. Untuk penggunaan gendhing-gendhing laras pelog pengunaannya terbatas pada adegan tertentu seperti adegan budhalan dan jaranan dengan menggunakan gendhing Tropongbang. Pada adegan ksatria (Arjuna) ditengah

commit to user

hutan digunakan gendhing Onang-onang, adegan perang kembang digunakan srepeg Kemuda, dan adegan menyura digunakan gendhing Bandilori. Dengan demikian gendhing-gendhing laras pelog yang dipergunakan untuk mengiringi adegan sangat terbatas atau pada adegan tertentu saja (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 49-50).

Kehadiran Nartasabda di jagad pedalangan sekitar tahun 1960 mambawa perubahan yang sangat hebat terhadap wujud penyajian karawitan pedalangan gaya Surakarta. Dalam sajiannnya, beliau menyusun gendhing-gendhing khusus untuk keperluan adegan tertentu. Sebagai contoh gendhing untuk budhalan bambangan atau ksatria dari pertapan, beliau menyusun gendhing khusus yaitu Ketawang Ibu Pertiwi laras pelog pathet nem. Untuk mengiringi gugurnya Kumbakarna pada waktu membela kerajaan Alengka beliau menyusun Ketawang Layu-layu slendra sanga, sedangkan untuk adegan gara-gara, beliau menyusun gendhing-gendhing dolanan seperti: Gambang Suling, Praon, Saputangan, Sarung Jagung, mBokyo Mesem, Ayo Guyu, Mimpi, Tukang Cukur dan sebagainya. Selain itu Ki Nartasabda juga mencoba memasukkan idom-idiom gendhing bedhayan, musik keroncong, langgam Jawa, bahkan musik pop dangdut ke dalam garap karawitannya (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 50-51; 262).

Perubahan gendhing-gendhing adegan juga diikuti oleh Anom Suroto. Hal ini dapat dilihat pada gendhing adegan kedhatonan, gendhing adegan gara-gara dan gendhing bedholan. Untuk adegan bedholan, Anom Suroto menggunakan Ketawang

Tumedhak Slendro Manyura. Adegan kedhatonan dihilangkan dan hanya

menampilkan Limbuk dan Cangik. Hal ini dilakukan oleh Anom Suroto karena beliau ingin menonjolkan segi hiburan. Untuk gendhing-gendhing yang disajikan dalam adegan tersebut di antaranya: Mijil Kethoprak. Dandhanggula Temanten Anyar, lagu

Mubeng Jawa Tengah, dan Sinom Parijatha. Pada adegan gara-gara, Anom Suroto

menyajikan gendhing-gendhing dolanan dan gendhing non gamelan antara lain: Lagu Ela-elo, Es Lilin, Suruling Njot-njotan, Sinom Grandhel, dan Dhendang Semarang (dokumentasi video pertunjukan wayang Anom Suroto dalam lakon Harjunasasra Lahir di Alun-alun utara Surakarta, tanggal 15 Juli 1995 milik pribadi sanggar wayang Gogon).

commit to user

b. Sulukan

Sulukan adalah vokal yang dibawakan oleh dalang untuk mendukung suasana tertentu di dalam pakeliran. Sulukan menurut Poniran Sumarno (2001: 20) adalah nyanyian dalang yang terdiri dari tiga jenis suluk, yaitu patetan, sendon, dan ada-ada. Pada setiap jenis suluk mewakili suasana yang terjadi pada adegan dalam pertunjukan wayang. Untuk pathetan memberikan kesan suasana wibawa (regu), tenang, mantap, dan lega. Pathetan ini diiringi oleh instrumen: rebab, gender, barung gambang, suling, dan pada bagian-bagian tertentu disertai dengan kempul dan gong, serta kendang. Pada sendhon mempunyai kesan suasana sendu, haru, susah, tangis, cemas, dan ada satu sendhon yang bersuasana romantik yaitu sendhon Kloloran. Suluk jenis ini sekilas hampir sama dengan pathetan, akan tetapi sangat berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari tempo penyuaraan, tekanan, dan instrumen yang mengiringi. Sendhon menggunakan tempo penyuaraan pendek-pendek, tekanan ringan, iringan seperti pathetan namun tanpa rebab. Sedangkan ada-ada adalah jenis suluk yang memiliki suasana tegang, greget, dan tergesa-gesa. Instrumen yang mengiringi adalah grimingan gender barung yang disertai dengan kempul, gong, kendang, dan pada bagian-bagian tertentu dimantapkan dengan rangkaian dhodhogan dan keprakan (Poniran Sumarno 2001: 20; Suyanto 2003: 64).

Seperti halnya dalam gendhing, pembakuan aturan dalam pakeliran juga berlaku dalam sulukan. Sebagai misal Sulukan Pathet Nem Ageng khusus digunakan untuk adegan pertama (jejer); Sulukan Pathet Menyura Ageng digunakan untuk adegan Kedhatonan Astina; Sendhon Kloloran digunakan untuk mengiringi bedholan kedhatonan; Sendhon Penanggalan digunakan untuk mengiringi menjelang tamu datang dalam adegan pertama. Pathet Sanga Ngelik digunakan untuk emngiringi sesudah gendhing dalam adegan pendeta; Pathet Sendhon Bimanyu digunakan untuk mengiringi bedholan sesudah perang kembang; Sendhon Rencasih digunakan untuk mengiringi setelah pathet sanga dalam adegan Amarta. Ada-ada Palaran digunakan untuk mengiringi prajuritraksasa dalam keadaan payah karena perang dengan ksatria; Ada-ada Wrekudara Mlumpat digunakan untuk mengiringi Wrekudara melompat; Ada-ada Astakuswala Sanga dilanjut Jineman Srimartana serta srepegan laras slendro pathet sanga digunakan untuk mengiring ksatria memanah di dalam perang

commit to user

kembang; Sendhon Sastradatan digunakan untuk mengiringi adegan Amarta sesudah gendhing selesai di dalam pathet menyura; Sendhon Kagok Ketanon untuk nyanyan semar di dalam adegan gara-gara (Nojowirongko, 1958: 13-27; Sudarko, 2003: 21).

Mengambil contoh gaya sulukan dari Anom Suroto pada dokumentasi pertunjukan wayang kulit di alun-alun utara Surakarta pada tanggal 15 Juli 1995 dalam lakon Harjunosasra Lahir. Sulukan yang digunakan Anom Suroto sebagian besar masih menggunakan sulukan tradisi pakeliran gaya keraton Surakarta. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa adegan seperti pada jejer, suluk yang digunakan adalah pathet Nem Ageng, menjelang budhalan dengan Ada-ada Hastakuswala, sebelum adegan sabrang dengan pathet Kedhu, pathet Sanga Wantah, dan pathet Menyura Wantah. Sedangkan sulukan yang tidak digunakan dalam lakon adalah pathetan Menyura Ageng, Lindur, Jingking, Sendhon, Sastradatan, Rancasih, Kagog Ketanon, Ada-ada Manggalan, Bima Mlumpat, dan ada-ada Tlutur Sanga (koleksi video milik pribadi sanggar wayang Gogon).

Untuk sumber syair atau cakepan sulukan kebanyakan diambil dari tembang (Kakawin), baik sekar ageng, sekar tengahan, maupun sekar macapat (Suyanto 2003: 63).

1) Macam Sekar Ageng : Sekar Ageng Salisir, Sekar Ageng Saliran, Sekar Ageng Raketan, dan Sekar Ageng Denda

2) Macam Sekar Tengahan : Sekar Tengahan Kuswarini, Sekar Tengahan Kulante, Sekar Tengahan Palugon, Sekar Tengahan Kuswaraga, Sekar Tengahan Sumekar, Sekar Tengahan Palugongso, Sekar Tengahan Kenyokediri, Sekar Tengahan Pranasmara, Sekar Tengahan Pangajabsih, Sekar Tengahan Srimartana, Sekar Tengahan Jurudemung, Sekar Tengahan Wirangrong, Sekar Tengahan Balabak, Sekar Tengahan Girisa, Sekar Tengahan Gambuh, dan Sekar Tengahan Megatruh.

3) Macam Sekar Macapat : mijil, maskumambang, kimanti, sinom, asmarandana, durma, gambuh, dandanggula, pangkur, megatruh, dan pocung.

commit to user

c. Kombangan

Kombangan adalah vokal dalang yang dibawakan pada saat gendhing berbunyi dalam suasana tertentu dengan nada dan lagu yang menyesuaikan jalannya gendhing (Suyanto, 2003: 66).

Syair atau cakepan kombangan biasanya diambil dari syair suluk atau Kakawin. Contoh kombangan dalam inggah Ladrang Sekar Lesah:

- 3 - 5 - 6 - 5

Leng-leng ramyaningkang

- 3 - 6 - 5 - 3

O--- sasangka kumenyar

- 5 - 2 - 3 - 2

O--- mangrengga rum ing pun

- 3 - 5 - 3 - (2)

O--- halep nikang umah…(Suyanto, 2003: 66)

d. Dhodhogan/Keprakan

Dhodhogan adalah bunyi atau suara dua instrumen antara kotak dan cempala. Sedangkan keprakan adalah bunyi atau suara dua instrumen kothak dan keprak (kepingan logam perunggu yang digantung pada kothak). Fungsi dari keprakan dan dhodhogan adalah untuk memberi isyarat kepada niyaga terutama untuk mempercepat, melambatkan atau menghentikan gendhing. Yang membedakan antara keprakan dan dhodhogan adalah cara memainkannya. Untuk keprakan dimainkan dengan kaki sedangkan dhodhogan menggunakan tangan (Pandam Guritno 1988: 72-73, Suyanto 2003: 67).

Untuk bentuk dari dhodhogan/keprakan menurut Suyanto (2003: 67) ada 8 bentuk, yaitu:

1) Lamba adalah suara dhodhogan-keprakan tunggal yang berbunyi dog atau creg. Dhodhogan atau keprakan ini digunakan untuk isyarat dalang saat akan melagukan suluk pathetan ataupun sendhon, tanda akan ulat-ulatan sirepan gendhing, dan isyarat janturan selesai atau sirepan gendhing udhar.

commit to user

2) Geter/ganter adalah dhodhogan-keprakan dengan suara mengalir

dogdogdog…… atau cegcegceg…… dan seterusnya. Dhodhogan ini biasanya digunakan untuk sesegan gendhing menjelang sirep dan mengiringi suluk ada-ada.

3) Minjal adalah dhodhogan-keprakan dengan suara ganda de-dog atau ceg-ceg. Dhodhogan-keprakan ini digunakan untuk sasmita srepeg pinjalan (tempo lambat) dan sasmita srepeg nem, sanga, menyura (tempo cepat).

4) Rangkep adalah dhodhogan-keprakan dengan bunyi rangkep derodog atau crecegceg. Dhodhogan-keprakan ini digunakan untuk tanda jeda antara wacana tokoh satu dengan lainnya dalam dialog, tanda akhir sasmita gendhing, tanda sirep gendhing, dan isyarat akhir dari sulukan.

5) Banyutumetes adalah dhodhogan yang berupa suara ganda dengan tempo stabil (ajeg), bunyinya dog-dog-dog dan sebagainya. Dhodhogan ini digunakan untuk mengiringi pocapan dalam suasana sereng, dan isyarat kepada pengrawit untuk bersiap-siap menabuh gendhing srepegan atau sampak.

6) Manyar ngloloh adalah bunyi keprak yang lagunya seperti anak burung manyar yang sedang disuapi oleh induknya. Suaranya kurang lebih: cer-crecegcegcegceg-cer…… dan seterusnya. Keprakan ini biasanya digunakan untuk mengiringi gerak-gerak penampilan wayang (solah) dan entas-entasan. 7) Nyisir adalah suara keprakan ganda dengan tempo stabil (ajeg). Bunyinya

cer-cer-cer-cer dan seterusnya. Keprakan ini biasanya digunakan untuk mengisi kekosongan di sela-sela gerak wayang dalam iringan gendhing srepeg atau sampak.

8) Gejogan adalah suara keprakan tunggal yang sangat keras. Keprakan ini biasanya digunakan untuk mengiringi adegan perang atau jatuhnya gerakan-gerakan tertentu dalam penampilan adegan perang.

Dalam aturan dodogan/keprakan pakeliran bentuk semalam dikenal adanya vokabuler-vokabuler dhodhogan seperti dhodhogan singget yang antara lain digunakan sebagai sekat pembicaraan antara tokoh satu dengan yang lain; dhodhogan sirep dan suwuk untuk bentuk-bentuk gendhing kethuk loro arang, gendhing kethuk loro kerep, ketawang gendhing, ladrang, ketawang, ayak-ayakan,

commit to user

srepeg, dan sampak. Selain itu untuk vokabuler dhodhogan suwuk sedikitnya ada dua jenis yakni suwuk gropak (cepat) dan suwuk alus (Sudarko, 2003: 21-22).

e. Sindenan

Pemakaian sinden pada sejarah kemunculannya merupakan sebuah unsur tambahan dalam partunjukan wayang kulit purwa. Adanya pesinden difungsikan untuk menciptakan suasana indah yang diperlukan melalui nyanyiannya, baik dalam bentuk solo maupun dalam koor. Akan tetapi pada perkembangannya pesinden mulai dipakai dan seakan tidak lengkap jika suatu pertunjukan wayang kulit tidak memakai pesinden. Sebagai contoh pada era Nartasabda, jumlah pesinden yang digunakan dalam setiap pertunjukan wayang kulit purwa sebanyak 5 pesinden dengan harapan suasana dalam pertunjukan wayang sajian Ki Nartasabda terasa lebih hidup. Gebrakan inilah yang menjadi panutan dalang-dalang lain (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 51). Selain itu Ki Nartasabda juga merubah konvensi posisi penataan gamelan serta tempat duduk pesinden. Sebelum era Ki Nartasabda, para pesinden jumlahnya maksimal tiga orang dan biasanya duduk di sebelah pengrebab atau pengendang menghadap ke arah dalang, setelah itu jumlah pesinden lebih dari tiga orang serta duduk di samping kanan dalang dan tetap menghadap ke arah dalang (Bambang Murtiyoso, dkk, 1998: 29-32).

Untuk isi dari sindenan sendiri biasanya diambil dari syair-syair karya sastra Jawa baru, bukan berasal dari Kakawin. Dalam perkembangannya musik yang digunakan lebih disesuaikan dengan perkembangan yang ada.

Pada pakeliran bentuk semalam, banyak terjadi pengulangan pada tiap adegan. Pengulangan ini sering ditemukan dalam catur, sabet, dan iringan. Pengulangan yang terjadi saling silang yaitu: sudah dikemukakan melalui catur diulangi melalui sabet ataupun sebaliknya; telah dikemukakan melalui sabet diulangi melalui iringan atau sebaliknya; serta telah dikemukakan melaui catur diulangi melalui iringan dan sebaliknya. Pengulangan-pengulangan dalam pakeliaran bentuk semalam tidak menjadi masalah, karena hal ini justru memberi kesempatan penonton yang datang kemudian dapat mengetahui secara utuh keseluruhan lakon. Misalnya orang yang ingin melihat pakeliran bentuk semalam datang tepat pada adegan paseban jawi, berarti ia tidak mengetahui penyajian adegan-adegan sebelumnya. Ia

commit to user

tetap akan mengetahui lakon ini secara lengkap karena isi penbicaraan pada adegan sebelumnya biasanya diulangi lagi pada adegan paseban jawi (Sudarko 2003: 108-109).

Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pemilihan-pemilihan lakon dalam pementasan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk bukan berasal dari cerita pakem akan tetapi berasal dari cerita carangan. Pakem merupakan sebuah cerita wayang atau lakon yang bersumber dari epos Ramayana dan Baratayuda. Tetapi yang berkembang di Surakarta adalah sebuah lakon pewayangan yang berpedoman dari Kitab Pustaka Raja, baik itu Pustaka Raja Purwa maupun Pustaka Raja Puwara. Walaupun begitu beberapa dalang menyebutkan Kitab Pustaka Raja merupakan cerita lakon pakem.

Pemilihan cerita dalam pertunjukan wayang semalam suntuk kebanyakan bersumber dari kitab Mahabarata karena masyarakat pada umumnya tinggal di desa dan membenci keangkaramurkaan. Untuk pemilihan cerita dalam lakon sendiri masyarakat lebih menyukai cerita wahyu, lahir, dan krama. Dikarenakan cerita-cerita ini lebih cocok untuk masyarakat. Untuk cerita wahyu kebanyakan dimainkan dalam acara khitanan. Hal ini dikarenakan dalam cerita wahyu menceritakan tentang pembelokan wahyu yang dilakukan oleh Pandhawa kepada keluarganya. Untuk cerita lahir dan krama kebanyakan dimainkan dalam acara pernikahan (wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010)

Dokumen terkait