Disertasi ini, terdiri atas lima bab pembahasan, dan masing-masing bab memiliki sub bab. Sebagian sub bab, memiliki lagi sub-sub bab. Masing-masing bab dan sub-subbabnya, serta sub-sub-sub-subbab tentu memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan intisari pembahasannya sebagai garis besar isi disertasi.
Bab I, bab pendahuluan atau proposal penelitian yang isinya sebagai pengantar (draft) dan kerangka teoretis untuk pembahasan selanjutnya. Pada bab ini, terdiri dari tujuh sub bab dengan sistematika; (1) latar belakang masalah sebagai paradigma dasar yang melahirkan obyek pembahasan; (2) rumusan dan batasan masalah, merupakan sasaran pembahasan yang terdiri atas pokok masalah dan beberapa submasalah; (3) pengertian judul yang merupakan batasan operasionalisasi dan ruang lingkup pembahasan; (4) kajian pustaka yang memperkenalkan berbagai literatur terkait dengan penelitian; (5) kerangka teoretis sebagai rumusan dalam
proses menganalisa masalah birr al-wālidain; (6) metode
penelitian, atau kerangka kerja pembahasan disertasi ini; (7) tujuan dan kegunaan. Tujuan pembahasan mencakup sasaran yang akan dicapai, sedangkan kegunaannya adalah mencakup manfaat yang ingin disumbangkan dalam pembahasan disertasi ini; (8) garis-besar isi disertasi, adalah intisari pembahasan yang menjadi obyek kajian disertasi.
Bab II, menguraikan tinjauan umum huruf-huruf al-‘at af dan waw ‘at af baik dari segi pengertian dan penggunaannya dalam kalimat bahasa Arab. Untuk itu, Bab ini terdiri atas tiga sub, yang pada subbab (1) diuraikan pengertian etimologis dan terminologis tentang al-‘at af dan pembagiannya, yang dalam hal ini ada ‘at f al-bayān dan ‘at f al-nasaq. (2) Dijelaskan macam-macam dan atau jenis huruf ‘at af seperti, aw (وأ), am (مأ), fā (ءﺎﻓ),
la (ﻻ), bal (ﻞ ﺑ), śumma (ﻢ ﺛ), h atta (ﻰ ﺘﺣ), dan lākin (ﻦ ﻜﻟ). Dalam sub bab ini, diuraikan pula sistematika penggunaan huruf-huruf ‘at af dalam struktur bahasa Arab. (3) berfokus masalah waw ‘at af baik dari segi penggunaannya dalam fiil maupun ism, kemudian dijelaskan fungsinya dalam susunan kalimat.
Bab III, menjelaskan secara akurat tentang konsep birr al-wālidain dari segi ontologisnya, disertai pengungkapan ayat-ayat tentang birr al-wālidain secara utuh dan menyeluruh di mana pembahasannya terdiri atas tiga sub bab, yakni; (1) batasan pengertian birr al-wālidain baik secara etimologi dan terminologi; (2) urgensi birr al-wālidain dalam kehidupan dan manfaat, serta pengaruh dari birr al-wālidain; (3) mengungkap bagaimana cara mengimplementasikan birr al-wālidain dalam kehidupan, misalnya bagaimana cara taat kepada kedua orang tua, cara melayani dan merawatnya, serta mendoakannya.
Bab IV, merupakan bab inti pembahasan disertasi ini, yakni menguraikan analisis terhadap waw ‘at af yang terdapat pada ayat-ayat birr al-wālidain dalam Alquran. Untuk sistematikanya, bab ini terdiri atas tiga sub bab pembahasan dengan kerangka acuan pada metodologi tafsir tematik dengan mengedepankan teknik interpretasi linguistik. Untuk itu, subbabnya terdiri atas tiga tema sentral, yakni (1) mengungkap ayat birr al-wālidain yang di
dalamnya terdapat waw ‘at af, kemudian ayat-ayat tersebut
Madinah, kemudian diuraikan secara lengkap kandungannya secara global yang disertai sabab nuzul jika ada, dan munasabah ayat-ayatnya. (2) menafsirkan waw ‘at af dalam ayat birr al-wālidain dengan mengkaitkan beberapa term yang terdapat dalam ayat
tersebut, seperti term ihsan, term ma’ruf dan term taqwa, dan (3)
menganalisis lebih lanjut berdasarkan tinjauan tafsir mengenai implikasi dari ayat-ayat birr al-wālidain yang menggunakan waw ‘at af. Untuk bagian ini, dipaparkan bagaimana implikasinya terhadap ibadah dan masalah sosial.
Bab V, adalah bab terakhir atau bab penutup pembahasan disertasi ini. Di dalamnya. terdiri atas dua sub bahasan, yakni; (1) kesimpulan, yang merumuskan jawaban atas atas pokok masalah dan tiga sub masalah yang dijadikan acuan pembahasan; (2) implikasi, yakni informasi penting tentang birr al-wālidain yang dapat dijadikan rekomendasi, dan saran kepada semua pihak dengan selesaianya pembahasan disertasi ini.
Secara bahasa, ‘at af (ﻒﻄﻋ ) yang berakar dari huruf ف ، ط ، ع memiliki beberapa arti, yaitu: “condong”, “cenderung”, “miring”,
“bengkok”, “simpati”, “iba”, dan “ketiak”.1 Arti-arti itu sangat bergantung pada huruf jar, idiom yang mengikut kepada kata ‘at af.
Huruf jar ”ﻦﻋ“ misalnya, akan membawa kata ‘at af bermakna
“berpaling” dan atau “menghindar”. Sementara huruf jar “ﻰﻠﻋ” akan
mengantarkannya bermakna: “menaruh simpati”, dan “iba”, serta
“cenderung”. Sedangkan huruf jar “ب” menjadikannya bermakna
“penyayang”2
Derivasi kata ‘at af tidak ditemukan di dalam Alquran kecuali pada Q.S. Al-Hajj/22: 9. saja.
َِﱐﺎَﺛ
ِﻪِﻔْﻄِﻋ
ﱠﻞِﻀُﻴِﻟ
ْﻦَﻋ
ِﻞﻴِﺒَﺳ
ِﻪﱠﻠﻟا
ُﻪَﻟ
ِﰲ
ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا
ٌيْﺰِﺧ
ُﻪُﻘﻳِﺬُﻧَو
َمْﻮَـﻳ
ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟا
َباَﺬَﻋ
ِﻖﻳِﺮَْﳊا
) 9 ( Terjemahannya:dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan dihari kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar.3
1 Ibrahim Anis., et al., Al-Mu’jam Wasīt , Tahqīq Majma‘ Lugah al-‘Arabiyah Jilid II (Cairo: Maktabah al-Syurūq al-Dawliyah, 1425 H/2004 M), h. 123.
2Musa bin Muhammad bin al-Milyānīy al-Aḥmadīy,Mu’jam al-Af‘āl al-Muta‘ddiyah bi
Harf (Beirut: ‘Ilm li al-Malāyīn, 1986), h. 241.
3 Departeman Agama, Alquran wa Tafsīruhu, Alquran dan Tafsirnya, Jilid 6 (Jakarta:
Sedangkan secara istilah gramatikal, ‘at af adalah penggabungan antara ma‘t ūf (yang diikutkan) dan ma‘t ūf ‘alaih (yang diikuti) sehingga antara keduanya tunduk dalam satu hukum i’rāb yang sama.4
Pada istilah ini, idiom yang mengikutinya adalah
“ﻰﻠﻋ” sehingga berbunyi “ﮫﯿﻠﻋ ﻒﻄﻋ”.
Penggabungan antara ma‘t ūf dan ma‘t ūf ‘alaih dilakukan dengan dua cara. Penggabungan langsung dan penggabungan dengan alat perantara. Penggabungan langsung disebut ‘at af al-bayan sedangkan penggabungan dengan perantara disebut‘at af al-nasaq.
1. ‘at af al-Bayān
Al-Syekh Mustafā Al-Galāyainī mendefinisikan ‘at af
al-bayān sebagai berikut:
ﻦﻋ ﻒﺸﻜﻳ ﻪﻧﻮﻛ ﰱ ﺖﻌﻨﻟا ﻪﺒﺸﻳ ﺪﻣﺎﺟ ﻊﺑﺎﺗ ﻮﻫ : نﺎﻴﺒﻟا ﻒﻄﻋ
ﺖﻌﻨﻟا ﻒﺸﻜﻳ ﺎﻤﻛ داﺮﳌا
.5
‘Aţf al-bayān adalah sesuatu yang mengikut yang berbentuk
‘jamid6dan menyerupaina’at7
dalam hal memperjelas maksud. Dalam muatanalfiah ibnu Mālik, disebutkan:
وﺬﻓ
ﺔﻔﺼﻟا ﻪﺒﺷ ، ﻊﺑﺎﺗ : نﺎﻴﺒﻟا
ﻪﻔﺸﻜﻨﻣ ﻪﺑ ﺪﺼﻘﻟا ﺔﻘﻴﻘﺣ
8
4 Al-Syaikh Musţafā al-Galāyainīy, Jāmi’ Durūs ‘Arabiyah, Jili I (Beirut:
al-‘Aṣriyah, t.th), 242.
5Ibid., h. 243.
6
(Isim) Jamid adalah isim yang tidak terambil dari isim lainnya, dan tidak menunjukkan arti sifat. Lebih lanjut lihat Fuād Ni’mah, Mulakhkaṣ Qawā’I al-Lugah al-‘Arabiyah,. Juz II
(Beirūt: Dār al-Śaqāfah al-Islāmiyah, t.th), h. 31.
7 Na’at adalah satu dari empat tawābi’ yang bertujuan memperjelas maksud sifat
(‘at af) bayan: sesuatu yang mengikut serupa dengan ṣifah
dengan maksud memberikan penjelasan.
Oleh Ibnu ‘Aqīl (697-769 H), muatan ini dikupas dengan
definisi sebagai berikut:
’Aţf al-bayān adalah sesuatu yang mengikut (dalam strukutur kalimat bahasa Arab) yang bukan terambil dari kata sifat, tetapi menyerupaiṣifah dalam hal memperjelas
maksud “yang diikuti”; dan tidak bisa dipisahkan antara “yang mengikut” dan “yang diikuti”.9
Frase “bukan kata sifat” pada definisi di atas bertujuan untuk
menghindari kesamaan dengan na‘t atau ṣifah. Sebab, na‘t juga
bertujuan untuk memperjelas maksud “yang diikutinya”, namun ia
terbentuk dari kata ṣifah, yang merupakan perubahan dari kata dasarnya.
Frase “tidak bisa dipisahkan antara “yang mengikut” dan “yang diikuti”, bertujuan untuk menghindarkan badl10. Dalam perakteknya,
badl dapat berdiri sendiri tanpa mengikut kematbū’nya.
Penggabungan dengan ‘at f al-bayān dimaksudkan untuk
menjelaskan kata sebelumnya yang masih samar apabila matbū‘nya
ma‘rifah; dan bersifat pengkhusus apabila ma‘t ufnya nakirah. Karena itu, mirip dengan al-na‘at.
Oleh karena serupa dengan na‘t dalam hal memperjelas maksud
“yang diikutinya”, maka ‘aţf al-bayān mengikuti syarat na’t, yaitu:
8Qāḍīy al-Quḍāh Bahāuddīn ‘Abd Allāh bin ‘Uqayl al-‘Uqayliīy, Syarh ibn ‘Aqīl,. Jilid
II (Beirut: Dār al-Fikr, 1414 H/1994 M), h.191. 9Ibid.
10
samai‘rāb, ma‘rifah, nakirah, mużakkar, muannaś, mufrad, muśannā, dan jama‘nya antara “yang mengikut” dan “yang diikuti”. Contoh ‘aţf
al-bayān dalam kalimat sempurna adalah: “ﺪﻤﺤﻣ ﻚﺒﺣﺎﺻ ءﺎﺟ” . Kalimat pokok pada contoh ini adalah “ﻚﺒﺣﺎﺻ ءﺎﺟ”. Namun, maksud dari kata
“ﻚﺒﺣﺎﺻ” belum jelas sehingga untuk memperjelasnya dipandang perlu
mengikutkankan kata “ﺪﻤﺤﻣ “. Kata “ﺪﻤﺤﻣ” pada kalimat ini adalah ‘aţf
al-bayān”. Karena “yang diikuti” adalah ma‘rifah, maka “yang
mengikut” berfungsi sebagai penjelas.
Dari segi hukum i’rāb, kata “ﺪﻤﺤﻣ” mengikuti hukum i’rāb lafadz “ﻚﺒﺣﺎﺻ”, yaitu marfu’ karena fa‘il (pelaku/subyek). Kata
“ﻚﺒﺣﺎﺻ” adalah ma‘rifah, mużakkar dan mufrad, maka kata “ﺪﻤﺤﻣ” juga demikan.
Susunan seperti ini banyak ditemukan dalam Alquran, di antaranya pada Q.S. al-Nūr/24: 35.
…
ُﺪَﻗﻮُﻳ
ْﻦِﻣ
ٍةَﺮَﺠَﺷ
ٍﺔَﻛَرﺎَﺒُﻣ
ﺔَﻧﻮُﺘْـﻳَز
(35)… Terjemahannya:… yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi,
(yaitu) pohon zaitun.11
Kalimat intinya adalah ﺔﻛرﺎﺒﻣ ةﺮﺠﺷ ﻦﻣ ”dinyalakan api dari kayu
yang diberkahi”, namun belum jelas maksud “kayu yang diberkahi”
sebelum disebutkan kata “ﺔﻧﻮﺘﯾز“ yang berkedudukan sebagai ‘at f
al-bayan. Karena, “yang diikuti” adalah nakirah, maka “yang mengikut”
berfungsi untuk pengkuhususan. Kata “ﺔﻛرﺎﺒﻣ ةﺮﺠﺷ” adalah nakirah, muannaś, dan mufrad, maka kata “ﺔﻧﻮﺘﯾز” juga demikan.
11
Dari segi hukum i‘rāb kata ﺔﻧﻮﺘﯾز mengikuti hukum i‘rāb lafadz
ةﺮﺠﺷ
ﺔﻛرﺎﺒﻣ , yaitu majrūr karena di jar oleh harf jar ﻦﻣ.
ﻊﻤﺟ ﻰﻨﺜﻣ دﺮﻔﻣ ﺚﻧﺆﻣ/ﺮﻛﺬﻣ ءﺎﺟ أ ﺻ ﺤ ﻚﺑﺎ و ﺪﻤﺤﻣ و ﺪﻤﺤﻣ ﻰﻠﻋ كﺎﺒﺣﺎﺻ ءﺎﺟ ﻰﻠﻋ و ﺪﻤﺤﻣ ﺪﻤﺤﻣ ﻚﺒﺣﺎﺻ ءﺎﺟ ﺮﻛﺬﻣ 1 ﺎﺟ ء ت ﻚﺗﺎﺒﺣﺎﺻ ﺐﻨﯾز و ﺔﻤطﺎﻓ ﺪﻨھ و ﺎﺟ ء ت كﺎﺘﺒﺣﺎﺻ ﺐﻨﯾز و ﺔﻤطﺎﻓ ﺎﺟ ء ﻚﺘﺒﺣﺎﺻ ت ﺔﻤطﺎﻓ ﺚﻧﺆﻣ 2
Tujuan lain dari ‘aţf al-bayān adalah untuk “حﺪﻤﻟا/pujian” dan “ﺪﯿﻛﺄﺘﻟا/penguat”. Untuk tujuan ketiga, contohnya pada Q.S.
al-Māidah/5:97., yakni:
...
َﻞَﻌَﺟ
ُﻪﱠﻠﻟا
َﺔَﺒْﻌَﻜْﻟا
َﺖْﻴَـﺒْﻟا
ماَﺮَْﳊا
… ) 97 ( Terjemahnya:Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu …12
Kata
ماَﺮَْﳊا
merupakan ‘at f al-bayan terhadapَﺖْﻴَـﺒْﻟا,
yang bertujuan menunjukkan pujian.Contoh ‘at f al-bayān sebagai penguat sebagaimana dalam gubahan syair berikut ini:
اﺮﺼﻧ اﺮﺼﻧ ﺮﺼﻧ ﺎﯾ ﻞﺋﺎﻘﻟ 12
seseorang berkata: ”duhai pertolongan, pertolongan dan
pertolongan (datanglah)!”13.
Kata “ﺮﺼﻧ” kedua merupakan penguat sekaligus‘at f al-bayān terhadap kata pertama.
Khusus tujuan keempat dari ‘at f al-bayān, itu lebih tepat dikatakanta’kīd, penguat saja.
2. ‘At f Al-Nasaq
Al-Syekh Must āfā al-Galāyainī mendefinisikan ‘at f
al-nasaq sebagai berikut:
ﻒﻄﻌﻟا فﺮﺣأ ﻦﻣ فﺮﺣ ﻪﻋﻮﺒﺘﻣ ﲔﺑ و ﻪﻨﻴﺑ ﻂﺳﻮﺘﻳ ﻊﺑﺎﺗ ﻮﻫ
ﺎﻀﻳأ ﻖﺴﻨﻟا ﻒﻄﻋ فﺮﳊﺎﺑ ﻒﻄﻌﻟا ﻰﻤﺴﻳو
.
14
‘At f al-nasaq adalah sesuatu yang mengikut kepada
matbū’nya dengan diperantarai oleh salah satu harf ‘at af. ‘At af nasaq juga disebut ‘at af dengan huruf
Sejalan dengan itu, ‘Imād Hātim memberikan definisi tentang ‘at f al-nasaq sebagai berikut :
و ، ﺔﻔﻃﺎﻌﻟا فوﺮﳊا ﻦﻣ فﺮﺣ ﻪﻋﻮﺒﺘﻣ ﲔﺑ و ﻪﻨﻴﺑ ﻂﺳﻮﺘﻳ ﻊﺑﺎﺗﻮﻫ
ﻰﻤﺴﻳ و ﺎﻓﻮﻄﻌﻣ ﻒﻄﻌﻟا فﺮﺣ ﺪﻌﺑ ﻊﻘﻳ ىﺬﻟا ﻊﺑﺎﺘﻟا ﻰﻤﺴﻳ
عﻮﺒﺘﳌا
باﺮﻋﻹا ﰱ ﻪﻴﻠﻋ فﻮﻄﻌﳌا ﻊﺒﺘﻳ فﻮﻄﻌﳌا و . ﻪﻴﻠﻋ ﺎﻓﻮﻄﻌﻣ
مﺰﳉا وأ ﺮﳉا وأ ﺐﺼﻨﻟا وأ ﻊﻓﺮﻟا ﰱ :
. 15‘At f al-nasaq adalah sesuatu yang mengikut dan antara yang mengikut dan yang diikuti diantarai oleh salah satu huruf
13Ibnu ‘Aqīl, loc.cit,.
14Al-Gulāyainiīy, op.cit,. h. 245.
15Imād Hātim, al-Lugah al-‘Arabiyah; Qawā’id al-Nuṣūṣ (Cairo: Mansyā al-Sya’biyah li
‘at af. Yang mengikut yang terletak setelah huruf ‘at af disebut ma’t ūf, sedangkan yang diikuti disebut ma’t ūf ‘alaih. Al-ma’t ūf mengikut kepada ma’t ūf ‘alaih dalam i’rāb, yaitu: rafa’, nasab, jar ataupun jazam.
Hidayat dkk. mendefinisikan‘at f al-nasaq sebagai berikut:
ﻪﻨﻴﺑ ﻂﺳﻮﺘﻳ ﻊﺑﺎﺗ
فﻮﻄﻌﳌاو .ﻒﻄﻌﻟا فﺮﺣأ ﺪﺣأ ﻪﻋﻮﺒﺘﻣ ﲔﺑ و
. ﺎﻣﺰﺟ و اﺮﺟ و ﺎﺒﺼﻧ و ﺎﻌﻓر ﻪﺑاﺮﻋإ ﰱ ﻪﻴﻠﻋ فﻮﻄﻌﳌا ﻊﺒﺘﻳ
ﻞﻌﻔﻟا ﻰﻠﻋ ﻞﻌﻔﻟا ﻒﻄﻌﻳ و ﻢﺳﻻا ﻰﻠﻋ ﻢﺳﻻا ﻒﻄﻌﻳ
. 16‘At f al-nasaq adalah sesuatu yang mengikut, dan antara yang mengikut dan yang diikuti terdapat salah satu huruf ‘at af.
Ma‘t ūf mengikuti ma’t ūf ‘alaih dalam hal hukum i‘rāb,
rafa‘, nas ab, jar ataupun jazam. Ism di’at afkan kepada ism; danfi’l di‘at afkan kepada fi‘l.”
Ibnu Mālik (600-672 H) dalam alfiyahnya mendefinisikan
‘at f al-nasaq dalam bentuk bait syair, sebagai berikut:
ﻖﺴﻨﻟا ﻒﻄﻋ ﻊﺒﺘﻣ فﺮﲝ لﺎﺗ
قﺪﺻ ﻦﻣ ءﺎﻨﺛ و دﻮﺑ ﺺﺼﺧﺎﻛ
17
‘Aţf al-nasaq adalah sesuatu yang mengikut dan terletak setelah salah satu huruf (‘aţf).”
Kata “bi harf” pada definisi Ibnu Malik tersebut membedakan ‘at f al-bayān dengan tawābi‘18
lainnya.
Berangkat dari beberapa definisi tersebut, diketahui bahwa ‘at f nasaq merupakan bentuk penggabungan dalam tata bahasa Arab
16
Hidayat, Pelajaran Bahasa Arab (Jakarta: C.V. Biru, 1989), h. 58. 17Ibnu ‘Aqīl, op.cit,. Jilid II, h. 197.
18Tawābi’ adalah isim (kata benda) yang mengikut kepada kata benda sebelumnya dalam hal hokum I’rab, baikrafa’, naṣab, dan jar. Tawābi’ ini ada empat, yaitu: ‘aţaf, na’at, badl dan tawkīd, lihat Fuad Nikmah, op.cit., Juz, h.51
yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) ma‘t ūf, (2) ma‘t ūf ‘alaih, dan (3) harf ‘at af. Penggabungan yang dimaksudkan tertuju pada ma’t ūf dan ma‘t ūf ‘alaih dengan diantarai oleh salah satu huruf ‘at af. Dengan cara seperti itu, ma‘t ūf secara otomatis mengikuti
ma‘t ūf ‘alaih dalam hukum i‘rāb: rafa‘, nasab, jar ataupun jazam, dan ataupun isi kalimat.
‘At f al-nasaq juga sering disebut ‘at f bi al-harf. Hal itu
dikarenakan ‘at af ini menggunakan huruf sebagai alat
penggabungnya.
Adapun tujuan dari ‘aţf al-nasaq ada dua. Penggabungan mutlak dan penggabungan dalam hal lafaẓ saja. Penggabungan mutlak, artinya penggabungan dalam hal hukum i’rāb dan nisbah
al-hukm. Contoh pada kalimat biasa, yaitu: “ﺪﯾز و ﺪﯿﻌﺳ ءﺎﺟ”/jāa Sa‘īd wa
Zaid, “telah datang Sa‘īd dan Zaid. Kata Sa‘īd digabungkan dengan
kata Zaid dengan menggunakan huruf waw, sehingga dengan itu hukum i‘rāb kata Zaid mengikuti hukum i‘rāb kata Sa‘īd, yaitu rafa‘ karena fā‘il (pelaku/subyek). Sa‘īd adalah ma‘t ūf ‘alaih; sedangkan Zaid adalah ma‘t ūf, sementara huruf ‘at afnya adalah waw.
Contoh pada firman Allah adalah Q.S. al-Sajadah/32: 4:
ُﻪﱠﻠﻟا
يِﺬﱠﻟا
َﻖَﻠَﺧ
ِتاَوﺎَﻤﱠﺴﻟا
َضْرَْﻷاَو
ﺎَﻣَو
ﺎَﻤُﻬَـﻨْـﻴَـﺑ
ِﰲ
ِﺔﱠﺘِﺳ
ٍمﺎﱠﻳَأ
ﱠُﰒ
ىَﻮَـﺘْﺳا
ﻰَﻠَﻋ
ِشْﺮَﻌْﻟا
ﺎَﻣ
ْﻢُﻜَﻟ
ْﻦِﻣ
ِﻪِﻧوُد
ْﻦِﻣ
ﱟِﱄَو
َﻻَو
ٍﻊﻴِﻔَﺷ
َﻼَﻓَأ
َنوُﺮﱠﻛَﺬَﺘَـﺗ
) 4 ( Terjemahannya:Allah lah yang menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?19 Kata ضرﻷا pada ayat tersebut di atas digabungkan dengan kata
تاﻮﻤﺴﻟا dengan menggunakan huruf waw, sehingga hukum i‘rāb kata
ضرﻷا mengikuti hukum i‘rāb kata تاﻮﻤﺴﻟا . Dengan demikian, hukum i‘rāb kedua kata itu sama, yaitu: nas ab karena maf‘ūl bih (obyek langsung).
Penggabungan, baik pada contoh kalimat biasa maupun ayat 4 Q.S. al-Sajadah/32. tersebut, menujukkan penggabungan dalam hal
lafaẓ dan hukum (isi kalimat). Artinya, antara “yang mengikut” dan “yang diikuti” bergabung/sama dalam hukum i‘rāb dan nisbah
al-hukm (isi kalimat).
Nisbah al-hukm pada contoh pertama adalah dinisbahkannya
kata “ءﺎﺟ” kepada “ﺪﯿﻌﺳ” sebagai ma‘t ūf ‘alaih dan “ﺪﯾز” sebagai ma
‘t ūf. Begitu juga pada contoh kedua tersebut, تاﻮﻤﺴﻟا sebagai ma’t ūf ‘alaih dan ضرﻷا sebagai ma‘t ūfnya keduanya dinisbahkan kepada satu sandaran, yaitu: ﻖﻠﺧ يﺬﻟا ﷲ. Dengan demikian, ma‘t ūf ‘alaih dan ma‘t ūf sama nisbah hukumnya.
Adapun bentuk penggabungan lafaẓ saja, seperti: ﻞﺑ ﺪﯾز مﺎﻗ ﺎﻣ
"ﺪﻤﺤﻣ”. Lafaẓ “ﺪﻤﺤﻣ” mengikuti i‘rāb lafaẓ “ﺪﯾز” karena diperantarai oleh huruf ‘aţf “ﻞﺑ”. Namun, penggabungannya tidak sampai pada
nisbah al-hukm, isi kalimat. Nisbah al-hukm Zaid adalah “tidak
berdiri”, sementara nisbah al-hukm Muhammad adalah “berdiri”. 19