• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna 1 Gaya Bahasa Retoris

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori 1 Stilistika

2.2.2 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna 1 Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata – mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2006 : 129). Gaya bahasa ini memiliki fungsi antara lain : menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas :

1. Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam prosa, untuk hiasan atau penekanan. Misalnya : Takut titik lalu tumpah.

2. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya :

Kura – kura dalam perahu, pura – pura tidak tahu. 3. Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya :

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. 4. Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura – pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Misalnya :

Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.

5. Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, si orator secara tiba - tiba mengarahkan pembicaraan langsung kepada sesuatu yang tidak hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek

khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin. Misalnya :

Hai kamu dewa – dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.

6. Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Misalnya

Materi pengalaman diaduk – aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji – imaji, metode, prosedur, dijungkir balik, masih itu – itu juga.

7. Polisindeton

Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata – kata sambung. Misalnya :

Dan ke manakah burung – burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu – bulunya? 8. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri atas dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya :

Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.

9. Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya :

Masihkah kau tidak peraya bahwa dari segi fisik engkau tak apa – apa, badanmu sehat, tetapi psikis ....

10. Eufemismus

Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan – ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya :

Ayahnya sudah tak ada di tengah – tengah mereka (= mati). 11. Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suau pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya :

Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun – tahun lamanya.

12. Histeron Proteron

Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya bahasa ini disebut juga hiperbaton. Misalnya :

Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.

13. Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata – kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya :

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya :

Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. 14. Perifrasis

Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata – kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya :

15. Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau Antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata – kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya :

Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru. 16. Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato batau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya :

Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan menipulasi di negara ini ?

17. Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalm silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Misalnya :

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.

Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk sala satu daripadanya (baik secara logis maupun gramatikal). Misalnya :

18. Koreksio atau Epanortosis

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula – mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya :

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. 19. Hiperbola

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar – besarkan sesuatu hal. Misalnya :

Kemarahanku sudah menjadi – jadi hingga hampir – hampir meledak aku. 20. Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta – fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Misalnya :

Musuh sering merupakan kawan yang akrab. 21. Oksimoron

Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu acuan berusaha untuk menggabungkan kata – kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata – kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam daripada paradoks. Misalnya :

2.2.2.2 Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan ini pertama – tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Memb andingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri – ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam bahasa kiasan. Kelompok pertama termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.

(1) Dia sama pintar dengan kakaknya. Kerbau itu sama kuat dengan sapi. (2) Matanya seperti bintang timur.

Bibirnya seperti delima merekah.

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan (Keraf, 2006 : 136).

Gaya bahasa kiasan terdiri atas : 1. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata – kata : seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya :

Kadang – kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau dibandingkan, seperti : Bagai duri dalam daging.

2. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata : seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya sama dengan simile tetapi secara berangsur – angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya :

Pemuda adalah seperti bunga bangsa. Pemuda adalah bunga bangsa, Pemuda Bunga bangsa.

3. Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kisahan. Dalam alegori, nama – nama pelakunya adalah sifat – sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Misalnya :

Cerita tentang putri salju.

Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh – tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama. Misalnya :

Cerita tentang anak durhaka kepada orang tuanya.

Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Misalnya :

4. Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda – benda mati atau barang – barang yang tidak bernyawa seolah – olah memiliki sifat – sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda – benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Misalnya :

Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba disana. 5. Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya :

Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. 6. Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya :

Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules. 7. Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Misalnya :

8. Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagiann dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro toto). Misalnya :

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000 (pars pro toto). Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulu tangkis dunia (totem pro parte).

9. Metonimia

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil pertemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Misalnya :

Ia membeli sebuah chevrolet. 10. Antonomasia

Antonomasia merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya :

Yang Mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini. 11. Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada

sebuah kata yang lain. Dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Misalnya :

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya).

12. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal lain yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara halus. Misalnya :

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!

Sinisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan. Misalnya :

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!

Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Misalnya :

Kelakuanmu memuakkan saya. 13. Satire

Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Misalnya :

Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan.

14. Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya :

Ia menjadi kaya raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya.

15. Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri. Misalnya :

Lihatlah sang raksasa telah datang (maksudnya si cebol). 16. Pun atau Paronamasia

Pun atau Paronamasia adalah kiasan yang menggunakan kemiripan bunyi yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Misalnya : “Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”.

Uraian di atas berisi tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang akan digunakan sebagai landasan teori penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda – beda di setiap kalimat. Fungsi gaya bahasa tersebut dapat sebagai menjelaskan dan memperkuat makna, menambah nilai keindahan atau estetik, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa (hiburan), atau sekedar hiasan. Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan diterapkan penggunaannya dalam penelitian ini.

2.2.3 Semantik

Chaer (1995 : 2) mengungkapkan bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata semantik sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.

Menurut pandangan Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri atas dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari suatu tanda bunyi dan (2) yang mengartikan (signifiant, signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual).

Makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, yaitu :

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Makna leksikal adalah makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat dikatakan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan

timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing.

Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangakat juga oleh adik melahirkan makna ‘dapat’.

2. Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Jika kata-kata tidak mempunyai referen , maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut meja dan kursi. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi

faktual objektif. Seperti contoh kata perempuan dan wanita kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’.

Makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti cerewet, tetapi sekarang konotasinya positif.

4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atatu asosiasi apapun. Makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang brada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

5. Makna Kata dan Makna Istilah

Makna kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, pasti, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan makna kata dan istilah, yaitu 1) Tangannya luka kena pecahan kaca, 2) Lengannya luka kena pecahan kaca. Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat tersebut bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata tersebut memiliki yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai jari

tangan, sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

6. Makna Kias

Semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti “bulan‟ dan raja siang dalam arti ”matahari” semuanya mempunyai arti kiasan.

Dokumen terkait