• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Kepemimpinan

Dalam dokumen BAB II URAIAN TEORITIS (Halaman 23-36)

Keberhasilan pemimpin dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam satu organisasi tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang digunakannya. Gaya kepemimpinan merupakan karakteristik atau tipe tertentu dalam melaksanakan kepemimpinan. Pendapat para ahli mengenai gaya kepemimpinan membuat konsep kepemimpinan semakin kaya karena banyaknya pendapat yang membahas gaya yang sama dengan penjelasan yang saling melengkapi antara satu dengan lain. Setiap pemimpin memiliki gayanya masing-masing dalam menjalankan fungsinya. Pengalaman, pengetahuan, pandangan, latar belakang sosial, usia, lingkungan, keinginan mempengaruhi gaya seorang pemimpin.

“....Karena para manajer selalu mencari dan membuat perubahan kebudayaan atas organisasi. Apa yang mereka kehendaki itulah yang mendorong mereka untuk mencoba melakukan sesuatu untuk mempengaruhi perilaku orang lain, perasaan orang lain, menyumbang, interaksi, dari dan dengan karyawan dalam organisasi (dalam Liliweri, 2004 : 327).

Menurut Djatmiko, para pemimpin pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi lima tipe yaitu sebagai berikut.

a. Tipe otokratik

Dengan onse-ciri antara lain : mengambil keputusan sendiri, memusatkan kekuasaan dan pengambilan keputusan pada dirinya, bawahan melakukan apa yang diperintahkan, menggunakan wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya, dan biasanya berorientasi pada kekuasaan.

b. Tipe paternalistik

Ciri-cirinya antara lain : mengambil keputusan cenderung menggunakan cara tersendiri tanpa melibatkan bawahan, hubungan dengan bawahan bersifat bapak-bapak, berusaha memenuhi kebuthan fisik anak buah untuk mencuri perhatian dan tanggung jawab mereka, orientasinya adalah menjaga hubungan yang baik dengan anak buah. c. Tipe karismatis

Dengan onse-ciri yang menonjol di antaranya : memelihara hubungan dengan bawahan agar pelaksanaan tugas dapat terselenggara dengan baik sekaligus memberi kesan bahwa hubungan tersebut berbasis pada relasionalitas bukan kekuasaan.

d. Tipe Laisses Faire (Free Reign)

Dengan onse-ciri : menghindari penumpukan kekuasaan dengan jalan mendelegasikan kepada bawahan, tergantung pada kelompok dalam menentukan tujuan dan penyelesaian masalah, efektif bila di lingkungan onsensual yang bermotivasi tinggi.

e. Tipe Demokratis (Partisipatif)

Yang onse-cirinya antara lain : membagi tanggung jawab pengambilan keputusan dengan kelompok, mengembangkan tanggung jawab kelompok untuk menyelesaikan tugas memakai pujian dan kritik, meski pengambilan keputusan dilimpahkan, namun tanggung jawab tetap pada pimpinan (dalam Ardana, dkk. , 2008 : 97).

Menurut Rivai dan Mulyadi, gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu : gaya kepemimpinan yang berpola pada kepentingan pelaksanaan tugas, pelaksanaan hubungan kerja sama, dan kepentingan hasil yang dicapai. Berdasarkan ketiga pola dasar tersebut terbentuk perilaku kepemimpinan yang berwujud pada kategori kepemimpinan yang terdiri dari tiga tipe pokok kepemimpinan, yaitu :

a. Tipe Kepemimpinan Otoriter

Tipe kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buah semata-mata hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah, dan bahkan kehendak pimpinan. Pimpinan memandang dirinya lebih dalam segala hal, dibandingkan dengan bawahannya. Kemampuan bawahan selalu dipandang rendah sehingga dianggap tidak mampu berbuat sesuatu tanpa diperintah.

b. Tipe Kepemimpinan Kendali Bebas

Tipe kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari tipe kepemimpinan otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinan dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kegiatan menurut kehendak dan kepentingan masing-masing, baik secara

perorangan maupun kelompok-kelompok kecil. Pemimpin hanya memfungsikan dirinya sebagai penasihat.

c. Tipe Kepemimpinan Demokratis

Tipe kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Pemimpin memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subjek yang memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, kreativitas, inisiatif yang berbeda-beda, dan dihargai disalurkan secara wajar. Tipe pemimpin ini selalu berusaha untuk memanfaatkan setiap orang yang dipimpin. Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah. Kepemimpinan tipe ini mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing (Rivai dan Mulyadi, 2012 : 36).

Menurut Dwight D. Eisenhower, tipe kepemimpinan leadership mewakili kombinasi dari beberapa tipe, antara lain :

a. The Strongman

Ciri-cirinya adalah memimpin dengan memerintah orang lain, menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain yang sebagian besar takut, memberikan hukuman untuk yang bersalah. Sebagian besar perilaku umum tipe pemimpin ini adalah instruksi, perintah, menetapkan tujuan, ancaman, intimidasi, dan teguran. Kepemimpinan strongman dapat menciptakan respons dalam jangka pendek, sedangkan akibat jangka panjangnya dapat menghancurkan, khususnya ketika kreatifitas sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan.

b. The Transactor

Ciri-cirinya adalah pertukaran hubungan dengan orang lain. Pemimpin tipe ini memengaruhi melalui kemudahan penghargaan dalam pertukaran pemenuhan kebutuhan para pengikutnya. Para pengikut Transactor menanamkan pandangan pada kerja mereka bahwa: “Saya akan mengerjakan apa yang ia inginkan sepanjang ada penghargaan.” c. The Visionary Hero

Ciri-cirinya adalah kemampuan untuk menciptakan motivasi tinggi dan menyerap visi masa depan. Pemimpin ini mempunyai kapasitas untuk memberi energi kepada orang lain agar mengejar visi. Kepemimpinan ini merupakan proses memengaruhi dari atas ke bawah. Pemimpin adalah sumber utama kebijakan dan perintah, dan cenderung menguasai sorot utama sementara pengikutnya menghilang menuju bayangan. Kekuatan pemimpin berdasar pada kemampuan menimbulkan komitmen pada pengikutnya terhadap visi pemimpin. Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan pemimpin ini adalah transformasional dan karismatik.

d. The Superleadership (Pemimpin Empowering)

Ciri-cirinya adalah seseorang yang memimpin orang lain untuk memimpin diri mereka sendiri. Pemimpin ini berfokus pada pengikutnya. Pemimpin menjadi “super” mempunyai kekuatan dan kebijakan dari orang-orang dengan membantu mendorong kemampuan pengikut yang mengelilingi mereka. Superleader mendorong pengikutnya untuk berinisiatif, bertanggung jawab sendiri, percaya diri, merencanakan tujuan sendiri, berpikir secara positif, dan mampu mengatasi permasalahan. Superleader memberi semangat pada orang lain untuk bertanggung jawab daripada memberi perintah. Satu bagian penting dari superleadership dalam menghadapi tantangan abad ke-21 adalah mengharuskan para pengikutnya untuk berpengetahuan dan perlu informasi untuk melatih kepemimpinan mereka sendiri (Rivai dan Mulyadi, 2012 : 65).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Tobroni (2010) dalam organisasi Noble industri1

a. Kejujuran sejati

, kepemimpinan yang diperlukan adalah kepemimpinan spiritual. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Pemimpin spiritual adalah pemimpin yang mempengaruhi orang yang dipimpin dengan cara mengilhamkan, mencerahkan, menyadarkan, membangkitkan, memampukan, dan memberdayakan, lewat pendekatan spiritualitas atau nilai-nilai etis religius.

Pokok-pokok karakteristik kepemimpinan spiritual yang berbasis pada etika religius, antara lain: kejujuran sejati, fairness, pengenalan diri sendiri, fokus pada amal soleh, spiritualisme yang tidak dogmatis, bekerja lebih efisien, membangkitkan yang terbaik dalam diri sendiri dan orang lain, keterbukaan menerima perubahan, visioner tapi tetap fokus pada persoalan di depan mata, doing the right thing, disiplin tetapi tetap fleksibel, santai dan cerdas, dan kerendahan hati.

Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban misinya adalah memegang teguh kejujuran. Bahkan dalam berperang pun kejujuran tetap ditegakkan walaupun harus dilakukan taktis-diplomatis. Orang yang jujur adalah orang yang memiliki integritas dan kepribadian yang utuh sehingga

1

Noble industry(industri mulia) adalah lembaga-lembaga yang mengemban misi ganda: profit dan

sosial sekaligus. Misi sosial dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga atau organisasi tersebut memiliki capital human dan social capital yang memadai, dan memiliki tingkat keefektifan yang tinggi. Itulah sebabnya, mengelola dan memimpin noble industry tidak hanya melakukan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga misi(niat) suci dan mental berlimpah. Lembaga yang dapat dikategorikan sebagai noble industry antara lain meliputi: lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, yayasan-yayasan sosial, lembaga-lembaga riset/kajian dan lembaga swadaya

dapat mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam situasi apapun. Integritas adalah sebuah kejujuran, tidak pernah berbohong dan kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.

b. Fairness

Pemimpin spiritual mengemban misi sosial menegakkan keadilan di muka bumi, baik adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Bagi para pemimpin spiritual, menegakkan keadilan bukan sekedar kewajiban moral religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan sosial yang adil, melainkan sekaligus dalam proses dan prosedurnya (strategi) keberhasilan kepemimpinannya.

c. Fokus pada amal soleh

Pemimpin spiritual bekerja untuk memberikan kontribusi, dharma atau amal saleh bagi lembaga dan orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang berjiwa altruistik, yaitu kemauan membantu orang lain, kemauan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain tanpa mengharapkan imbalan/atau ketulus-ikhlasan membantu orang lain, tanpa preferensi apa-apa.

d. Spiritualisme yang tidak dogmatis (Membenci Formalitas dan Organized Religion)

Pemimpin spiritual lebih mengedepankan tindakan yang genuine dan substantif (esoteric). Kepuasan dan kemenangan bukan ketika mendapatkan pujian, piala, dan sejenisnya, melainkan ketika memberdayakan, memampukan, mencerahkan, dan membebaskan orang dan lembaga yang dipimpinnya. Ia puas ketika dapat memberikan sesuatu bukan ketika menerima sesuatu.

e. Bekerja lebih efisien

Pemimpin spiritual adalah pemimpin yang sedikit bicara banyak kerja, dapat bekerja secara efisien dan efektif, menghargai waktu dan berbagai sumbernya. Pemimpin spiritual tetap bisa mementingkan urusan yang penting dan tidak merasa paling penting ketika saat-saat genting karena memiliki kesadaran pribadi dan jati diri yag kokoh dan kepercayaan yang mendalam bahwa Tuhan selalu membimbingnya.

f. Membangkitkan yang terbaik dalam diri sendiri dan orang lain

Pemimpin spiritual berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Upaya mengenali jati diri itu juga dilakukan terhadap orang lain terutama para kolegial, relasi dan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan mengenali jati diri ia dapat berperilaku, menghormati, dan memperlakukan diri sendiri dan orang lain “apa adanya”.

g. Keterbukaan menerima perubahan

Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa senang dengan perubahan yang menyentuh diri mereka yang paling dalam sekalipun. Lembaga yang dipimpin merupakan wahana beraktualisasi diri dan berdedikasi kehadirat Tuhan.

h. Pemimpin yang dicintai

Cinta kasih adalah sikap menginginkan yang lebih untuk orang-orang lain dibandingkan untuk dirinya. Cinta kasih bagi pemimpin spiritual bukanlah cinta kasih dalam arti sempit yang dapat mempegaruhi obyektifitas dalam pengambilan keputusan dan memperdayakan kinerja lembaga, tetapi cinta

kasih yang memberdayakan, cinta kasih yang tidak semata-mata bersifat perorangan, tetapi cita kasih struktural yaitu cinta terhadap ribuan orang yang dipimpinnya.

i. Visioner tapi tetap fokus pada persoalan di depan mata

Pemimpin spiritual memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian kekinian dan kedisinian. Ia memiliki kelebihan untuk menggambarkan idealita masa depan secara mendetail dan bagaimana mencapainya kepada orang lain seakan-akan gambaran masa depan itu sebuah realitas yang ada di depan mata. Ia mampu membangkitkan dan mengarahkan imajinasi seseorang kepada visinya.

j. Doing the right thing

Pemimpin spiritual memengaruhi dan menggerakkan serta untuk mencapai tujuan-tujuan yang etis (benar). Keberadaan seseorang pemimpin bukan sebagai alat bagi pemilik modal, melainkan mengemban visi dan misi kebenaran dan keanusiaan: kasih, memenangkan jiwa, mencerahkan, melayani, memberi, dan membersihkan hati. Ia tidak akan menhalalkan segala cara untuk mencapai tujuan walaupun hal itu sangat mungkin dilakukan.

k. Disiplin tetapi tetap fleksibel

Pemimpin spiritual adalah orang yang berhasil mendisiplinkan diri sendiri dari keinginan, godaan, dan tindakan destruktif atau sekedar kurang bermanfaat atau kurang patut. Kebiasaan mendisiplinkan diri menjadikan pemimpin spiritual sebagai orang yang teguh memegang prinsip, memiliki disiplim yang tinggi tetapi tetap fleksibel, cerdas, bergairah, dan mampu melahirkan energi yang seakan tiada habisnya.

l. Kerendahan hati

Pemimpin spiritual menyadari bahwa pemujaan terhadap diri sendiri sangat melelahkan jiwa, sikap bodoh dan awal dari kebangkrutan. Dirinya hanyalah sekedar saluran, media. Allahlah sesungguhnya yang memberi kekuatan, petunjuk, pertolongan. Ia bersyukur bahwa dirinyalah yang dipilih untuk menyalurkan karunia kepemimpinannya kepada umat manusia (Tobroni, 2010: 20).

Pemimpin dan kepemimpinan mahasiswa memainkan peranan penting dalam gerakan pembaruan negara, di tengah gerakan pembangunan, bahkan juga pada masa-masa pemberontakan dan revolusi. Karena para mahasiswa aktivis dan pemimpin-pemimpin mereka itu pada kenyataannya merupakan kekuatan sosial, kekuatan moral, dan kekuatan politik, baik di negara-negara maju maupun yang sedang berkembang. Kelompok mahasiswa sebagai satu unit dengan pemimpinnya selalu terdapat kaitan yang erat. Jenis kelompok akan memilih tipe pemimpinnya sendiri yang cocok dengan ambisi-ambisi kelompok. Sebaliknya pribadi pemimpin akan menentukan semangat kelompok yang dipimpinnya.

Menurut Kartono, tipe pemimpin mahasiswa dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu sebagai berikut:

a. Pembagian menurut sifat kepemimpinannya, ialah otoriter atau otoritatif, yang demokratis, dan laissez faire.

b. Pembagian menurut”status” atau kedudukan: solider atau berdasarkan prinsip pilihan dan solidaritas kelompok, yang resmi, dan pemimpin konsultan.

c. Pembagian menurut bidang interest-nya: murni ilmiah, sosial-politik, dan rekreatif.

Karakteristik tipe pemimpin mahasiswa berdasarkan penggolongan, antara lain :

1. Pemimpin mahasiswa yang otoriter, sifatnya keras tidak boleh disanggah, dan mengharuskan. Kekuasaannya berlangsung lewat kekuatan dan, penekanan/pressi kepada anggotanya. Komunikasi berlangsung satu arah, yaitu dengan perintah dan komando. Pemimpin tidak menghendaki kritik dan usul-usul. Kekuatan pemimpin itu terletak pada kemauan yang keras, ide-ide dan rencana sendiri yang dianggap cukup berhasil, kerahasiaan, dan disiplin kerja yang keras.

2. Pemimpin mahasiswa yang demokratis mendasarkan interaksinya pada kerja sama, kebebasan yang teratur, pemberian kesempatan kepada semua anggota organisasi untuk berpartisipasi secara aktif, dan menyumbangkan ide-ide yang konstruktif. Semua keputusan direncanakan dan ditentukan bersama. Ada sesuatu yang cukup terbuka, dan komunikasi dua arah. Yang diutamakan ialah pencapaian tujuan kelompok (sasaran kolektif) dan kepuasan kerja bagi setiap anggota karena itu setiap individu diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan potensinya.

3. Pemimpin mahasiswa yang laissez faire, membiarkan semua orang bertingkah laku semau sendiri, sedangkan pemimpin tidak memberikan perintah, pengarahan atau bimbingan organisatoris. Dia tidak pernah berani mengambil keputusan dan organisasinya mirip”ular tanpa kepala”. Masing-masing individu ingin bebas, dan tidak mau dipimpin. Tim kerja, praktis tidak ada. Kegiatannya tidak teratur, motivasi berjuang tipis sekali. Persaingan dan konflik sering dibiarkan berlarut-larut. Dan semua orang dibiarkan berbuat menurut selera masing-masing,”semau gue”.

4. Pemimpin solidaritas bersikap solider (kompak, setia kawan) dan mencoba mengidentifikasinya diri dengan semangat dan harapan anggota-anggota kelompoknya. Dia dipilih dan diangkat oleh anggota-anggota kelompoknya melalui aturan-main yang telah disetujui bersama. Yang diutamakan dalam organisasi ini ialah loyalitas/kesetiaan dan kekompakan.

5. Pemimpin resmi, tidak langsung diplih oleh anggota-anggota kelompok, tetapi ditunjuk secara resmi oleh pimpinan jurusan, fakultas atau universitas. Mereka direstui oleh atasan”misi-misi” khusus. Tujuan pokok ialah tidak terjadi gejolak-gejolak istimewa yang bisa menimbulkan keresahan sosial; dan hanya melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan pesan-pesan pimpinan lembaga.

6. Pemimpin konsultan itu berfungsi sebagai penasihat dan pengarah, baik untuk organisasi sendiri, maupun organisasi dan lembaga-lembaga di luarnya. Tugsanya ialah mendidik, mendorong, memberikan motivasi dan nasihat, mengembangkan sikap-sikap mental, menanamkan ide-ide/ideologi dan pengetahuan baru. Contohnya ialah di kala para mahasiswa melakukan Kuliah Kerja Nyata/KKN, yang biasanya memberikan dampak-dampak langsung

7. Pemimpin murni ilmiah lebih mengkonsentrasikan diri pada prestasi ilmiah, kegiatan kurikuler, studi kelompok, eksperimen-eksperimen, dan penelitian ilmiah. Juga mengadakan studytour, karyawisata, diskusi-diskusi, menghadiri seminar dan konferensi ilmiah. Motivasi untuk maju dan mengejar ketinggalan di bidang science dan teknologi sangat diprioritaskan. Maka kegiatan-kegiatan politik dan aktivitas sosial di tengah masyarakat luas, tidak atau kurang diminati.

8. Pemimpin yang berorientasi kemasyarakatan (pada masalah sosial); di samping itu juga meminati masalah-masalah politik yang muncul di tengah masyarakat. Gejolak-gejolak politik yang aktual, penindasan terhadap rakyat, dan perilaku yang tidak adil, juga kelemahan lembaga-lembaga politik serta pemerintah dijadikan objek minat atau topik pembahasan mereka kemudian melakukan aksi-aksi tertentu.

9. Tipe pemimpin yang berorientasi pada rekreasi dan pola bersantai-santai. Anggota kelompoknya sebagian besar terdiri dari anak-anak kaum elit, orang-orang kaya, dan putera-putera pejabat yang tengah”naik daun” menduduki posisi yang basah. Karena di rumah mereka biasa dimanja, dibiarkan “berkembang” bebas, kurang dituntun ayah mereka (yang sangat sibuk karena menduduki posisi kepemimpinan resmi yang tinggi), dan mendapatkan segala fasilitas berupa uang, mobil, dan kemudahan lainnya. Maka pola hidupnya sifatnya juga relaks,”alon-alon”, istirahat, rekreatif, bersenang-senang;menikmati kehidupan dan kebebasan, serta bersantai-santai. Cara belajarnya tidak bersungguh-sungguh, motivasi dan minat belajarnya rendah, dan pola kebiasaannya berlamban-lamban. Sikap hidupnya apatis, tidak bergairah dan masa bodoh; sebab semuanya sudah disediakan/dipenuhi oleh orang tua. Studinya dibuat berlambat-lambat, sebab mereka tidak diburu-buru oleh apapun juga; sedang pekerjaan nantinya juga akan diberi atau dicarikan oleh orang tua mereka (Kartono, 2010 : 276-280).

Namun, pada sisi lain, gaya kepemimpinan seseorang sangat bersifat situasional. Dalam praktek pandangan ini berarti bahwa tidak ada seorang pimpinan yang sangat konsisten menggunakan satu gaya kepemimpinan tertentu terlepas dari situasi yang dihadapinya. Artinya, efektivitas kepemimpinan seseorang sangat tergantung pada kemampuannya “membaca” situasi yang dihadapinya dan menyesuaikan gayanya dengan situasi tersebut sedemikian rupa sehingga ia efektif menjalankan tugas-tugas maupun fungsi kepemimpinannya. Menurut teori situasional, seorang pimpinan yang paling otokratik sekalipun akan

mengubah gaya kepemimpinannya yang otokratik itu dengan gaya lain, misalnya gaya yang agak demokratik, apabila situasi tersebut menuntutnya, terutama apabila konsistensi menggunakan gaya yang otokratik dapat membahayakan kedudukannya sebagai pimpinan. Sebaliknya, demikian teori situasional mengatakan, seseorang yang biasanya menggunakan gaya kepemimpinan demokratik mungkin saja bertindak otoriter apabila situasi menghendakinya, seperti dalam hal mengenakan sanksi terhadap para pelanggar disiplin organisasi, mengoreksi penyelewengan atau sangat didesak oleh situasi krisis (Siagian, 2010 : 16).

Seseorang yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk “membaca” situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya, meski pun penyesuaian itu mungkin hanya bersifat sementara. Karena penyesuaian-penyesuaian tertentu memang merupakan kenyataan kehidupan manajerial seseorang yang menduduki jabatan pimpinan, maka perlu untuk membahas mengenai tipe-tipe kepemimpinan yang biasa digunakan sebagai penyesuaian dalam situasi yang terjadi.

Prof. Sondang Siagian menganalisis karakteristik tipe-tipe kepemimpinan dengan pendekatan kategorisasi berdasarkan : 1. persepsi seorang pimpinan tentang peranannya selaku pimpinan, 2. nilai-nilai yang dianut, 3. sikap dalam mengemudikan jalannya organisasi, 4. perilaku dalam memimpin, 5. gaya kepemimpinan yang dominan. Tipe-tipe kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tipe yang Otokratik

Segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikannya sebagai kenyataan. Misalnya, dalam menginterpretasikan kedisplinan yang tinggi sebagai kesetiaan para bawahannya, padahal kenyataannya adalah ketakutan. Egonya yang sangat besar menumbuhkan dan mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadinya dan oleh karena itu, organisasi diperlakukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi tersebut. Selain itu, pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan

total para anggota organisasi mengenai nasib masing-masing dan lain sebagainya.

Berdasarkan persepsi tersebut, seorang pemimpin yang otokratik cenderung menganut nilai organisasional yang berkisar pada pembenaran segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuannya. Semua tindakan akan dinilainya benar apabila tindakan itu mempermudah tercapainya tujuan dan semua tindakan yang menjadi penghalang akan dipandangya sebagai sesuatu yang tidak baik dan dengan demikian akan disingkirkannya, apabila perlu dengan tindakan kekerasan.

Pemimpin otoriter akan menunjukkan sikap yang menonjolkan “ke-akuan-nya” antara lain :

• kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, sehingga kurang menghargai harkat dan martabat mereka,

• pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengkaitkan pelaksanaan tugas dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahan,

• pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara memberitahukan kepada para bawahan tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan itu diharapkan dan bahkan dituntut untuk melaksanakannya saja.

Perilaku pemimpin yang otoriter seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pemimpin menganggap tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadinya, sehingga akan memberikan kesan bahwa pemimpin tersebut memandang organisasi sebagai milik pribadi yang dapat diperlakukannya dengan sekehendak hatinya, tidak mau mendengarkan saran, pandangan dan kritik dari bawahannya karena diartikan sebagai usaha merongrong kekuasaan yang dimilikinya.

Dalam prakteknya, pemimpin otokratik akan menggunakan gaya kepemimpinan sebagai berikut.

• menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya,

Dalam dokumen BAB II URAIAN TEORITIS (Halaman 23-36)

Dokumen terkait