• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kepemimpinan

2.2.2. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah cara bekerja dan bertingkah laku pemimpin dalam membimbing para bawahannya untuk berbuat sesuatu (Kartono, 2005: 62). Di dalam suatu organisasi, gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor lingkungan intern yang sangat jelas mempunyai pengaruh terhadap perumusan kebijaksanaan dan penentuan strategi organisasi yang

dalam menjalankan tugasnya memperhatikan beberapa bentuk sikap yang berbeda.

Menurut House dan Mitchell (1974) sebagaimana dikutip Yukl (1994: 242) terdapat tiga gaya kepemimpinan, yaitu:

1. Supportive leadership (kepemimpinan yang mendukung), yaitu memberi perhatian kepada kebutuhan para bawahan, memperlihatkan perhatian terhadap kesejahteraan mereka dan menciptakan suasana yang bersahabat dalam unit kerja mereka.

2. Directive leadership (kepemimpinan yang instruktif), yaitu memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberi pedoman yang spesifik, meminta para bawahan untuk mengikuti peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur, mengatur waktu dan mengkoordinasikan pekerjaan mereka.

3. Partisipatif leadership (kepemimpinan yang partisipatif), yaitu

berkomunikasi dengan para bawahan dan memperhitungkan opini dan saran mereka.

Menurut Robbins (2002:173), pemimpin yang berkarakter direktive

leader membiarkan bawahannya mengetahui apa yang diinginkan dari mereka,

jadwal kerja yang harus diselesaikan, dan memberikan panduan khusus tentang bagaimana menyelesaikan tugas-tugas.

Supportive leader bersikap ramah dan memperlihatkan kepedulian

terhadap kebutuhan bawahan. Pada pemimpin yang berkarakter partisipatif

leader berkonsultasi dengan bawahannya dan menerima saran-saran mereka

sebelum membuat suatu keputusan.

Studi oleh Lewin, Leppitt dan White dalam Gillies (1989: 436),

menunjukkan bahwa kelompok menghasilkan kuantitas kerja yang lebih besar dibawah kepemimpinan otokratis, namun kualitas kerja yang lebih baik di bawah kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan partisipatif memiliki pengaruh yang paling positif pada pegawai dengan kebutuhan tinggi untuk mandiri. Gaya kepemimpinan partisipatif dipilih ketika keterlibatan pegawai dalam perencanaan dibutuhkan untuk mengatasi penolakan dan meningkatkan motivasi, namun pegawai tidak cukup ahli dalam dinamisasi kelompok.

Menurut Luthans (2006: 682), suatu hal yang pasti, gaya kepemimpinan dapat membuat perbedaan, baik positif maupun negatif. Sebagai contoh sebuah survey menemukan bahwa eksekutif senior melihat gaya kepemimpinan

perusahaan mereka lebih ke pragmatik daripada konseptual, dan konservatif daripada berisiko. Para eksekutif tersebut merasa bahwa untuk memenuhi tantangan sekarang dan masa depan, gaya kepemimpinan seharusnya mendapat perhatian. Berlawanan dengan para pemimpin di birokrasi klasikal, para

pemimpin organisasi masa kini, harus bersifat lebih usahawan, fokus ke pelanggan, proses, dan hasil; lebih condong kepada tindakan; lebih memberi wewenang; komunikatif; berteknologi canggih; mendukung inovasi dan perbaikan terus menerus; kuat dalam menggunakan bimbingan, saran dan pengaruh; dan berhemat dalam penggunaan otoritas murni.

Gaya kepemimpinan tersebut menurut Tannebaum dan Schimdt (dalam Luthans, 2006: 682), bergerak sesuai dengan rentang perilaku sebagaimana digambarkan sebagai berikut:

Kepemimpinan berpusat Kepemimpinan berpusat

pada bos pada karyawan

Manajer membuat keputusan dan mengumu m-kannya Manajer menawark an keputusan Manajer mempresen -tasikan ide dan mengunda ng pertanyaan Manajer memprese n-tasikan subjek keputusan sementara untuk diubah Manajer memprese n-tasikan masalah, menerima saran, membuat keputusan Manajer mementuk an batasan, meminta kelompok mengambil keputusan Manajer mengizinkan bawahan melaksanak an fungsi dalam batasan yang ditentukan Rentang Perilaku

Gambar 2.1. Kontinum Perilaku Kepemimpinan menurut Tannebaum dan Schimdt

Salah satu teori gaya kepemimpinan yang paling banyak didiskusikan adalah yang dikemukakan oleh Blake dan Mouton (1964) dalam Pace dan

Penggunaan otoritas oleh manajer

Paules (2005: 280), yang semula disebut kisi manajerial (managerial grid), tapi saat ini disebut kisi kepemimpinan. Kisi ini berasal dari hal-hal yang mendasari perhatian manajer, yaitu perhatiannya pada tugas atau pada hal-hal yang direncanakan untuk diselesaikan organisasi, dan perhatian kepada orang-orang dan unsur-unsur organisasi yang mempengaruhi mereka. Kisi ini

menggambarkan bagaimana perhatian pemimpin pada tugas dan pada manusia sehingga menciptakan gaya pengelolaan dan kepemimpinan. Gambar 2.2. menunjukkan bagaimana perhatian-perhatian tersebut berhubungan satu sama lainnya. Tinggi 9 8 7 6 5 4 3 Kepedulian terhadap Orang 2 Rendah 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rendah Kepedulian terhadap Tugas Tinggi Gambar 2.2. Gambaran Kisi Kepemimpinan Blake dan Mouton

(1,9) Manajemen Santai Perhatian terhadap kebutuhan manusia untuk memuaskan hubungan yang mengarah kepada atmosfer organisasi yang nyaman dan ramah serta tempo kerja

(9,9) Manajemen Tim

Pencapaian kerja dari orang-orang yang berkomitmen, kesalingtergan-tungan melalui “common stake” pada tujuan organisasi yang mengarah kpd hubungan kepercayaan dan respek.

(1,1) Manajemen Pengalah Penggunaan usaha minimum untuk menyelesaikan pekerjaan yang diperlukan sangat tepat untuk mendukung keanggotaan organisasi

(9,1) Ketundukan – Otoritas Efisiensi dalam mengoperasikan berbagai hasil dari pembentukan kondisi kerja dalam cara tertentu dimana campur tangan manusia pada tingkat yang minimum (5,5) Manajemen Pertengahan

Kinerja organisasi yang memadai adalah mungkin dengan menyeimbangkan kebutuhan untuk melaksanakan pekerjaan dengan menjaga moral manusia pada tingkat yang memuaskan

Fiedler sebagaimana dikutip Robbins (2005: 170), mengasumsikan bahwa gaya kepemimpinan seorang individu tetap, yaitu relationship-oriented atau task-oriented. Asumsi ini penting, karena bila suatu keadaan memerlukan seorang pemimpin berorientasi kerja (task-oriented) dan yang dalam jabatan kepemimpinan tersebut merupakan orang yang berorientasi hubungan (relationship-oreinted), jika ingin mencapai efektivitas yang optimum, maka keadaan harus diperbaiki atau pemimpin yang harus diganti. Fiedler menyatakan bahwa gaya kepemimpinan itu sudah bawaan lahir seseorang. Seseorang tidak bisa mengubah gayanya agar cocok dengan keadaan yang berubah.

Setelah gaya kepemimpinan seseorang dinilai, perlu untuk menyesuaikan pimpinan dengan situasi. Tiga faktor kondisi atau dimensi kontijensi yang dikenalkan oleh Fiedler ditetapkan sebagai berikut (Robbins, 2005: 170):

1. Hubungan pemimpin-anggota: Tingkat keyakinan, kepercayaan, dan penghargaan bawahan terhadap pemimpin mereka.

2. Struktur tugas: Tingkatan pada tugas-tugas kerja bawahan terstruktur atau tidak terstruktur.

3. Wewenang jabatan: Tingkat pengaruh seorang pemimpin terletak pada variasi wewenang seperti mempekerjakan, memecat, mendisiplinkan, mempromosikan, dan menaikkan gaji.

Menurut Gillies (1989: 437), menurut teori situasi, kepemimpinan sebaiknya berganti dari satu orang ke orang lain, dan pemimpin yang ditunjuk tersebut sebaiknya berganti dari satu gaya ke lain gaya seiring dengan

terjadinya perubahan dalam situasi kerja. Walaupun tidak ada seorangpun memasang ciri dan tidak ada gaya seorang pemimpin yang efektif dalam semua

situasi, namun ada panduan untuk menyesuaikan kegiatan kepemimpinan terhadap karakteristik situasional.

Dokumen terkait