• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

B. Manajemen Konflik

4. Gaya manajemen konflik

Orang akan berperilaku tertentu untuk menghadapi lawannya ketika menghadapi situasi konflik. Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola perilaku orang dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai gaya manajemen konflik. Ting dan Toomey dalam Wirawan (2009:134), menggunakan istilah “Gaya komunikasi konflik bukan gaya manajemen konflik”. Seorang pemimpin yang autokratis cenderung menggunakan gaya manajemen konflik represif, supresif, kompetitif, serta agresif dan berupaya mengalahkan lawan konfliknya. Sebaliknya, seorang pemimpin yang demokratis jika menghadapi konflik akan menggunakan musyawarah, mendengarkan pendapat lawan konfliknya, dan mencari win & win solution.

Gaya manajemen konflik yang digunakan pihak-pihak yang terlibat dipengaruhi oleh sejumlah faktor (Wirawan, 2009:135). Faktor – faktor tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Asumsi mengenai konflik

Asumsi seseorang mengenai konflik akan memengaruhi pola perilakunya dalam menghadapi situasi konflik. Birokrat yang berpendapat konflik merupakan sesuatu yang buruk akan berusaha untuk menekan lawan konfliknya dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi. Ia menganggap konflik merupakan pelanggaran norma, peraturan, atau tatanan birokrasi. Sebaliknya, seorang birokrat menganggap konflik adalah baik dan toleran terhadap konflik akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi atau kolaborasi dalam memanajemeni konflik.

b. Persepsi mengenai penyebab konflik

Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam menghadapi konflik.

c. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya

Seseorang yang menyadari bahwa ia menghadapi konflik akan menyusun strategi dan taktik untuk menghadapi konfliknya. Jika ia memprediksi bahwa lawan konfliknya akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi dan agresi – objek konfliknya sangat esensial bagi kariernya, ia akan menghadapinya dengan gaya

manajemen konflik berkompetisi dan melawan agresi lawan konfliknya.

d. Pola komunikasi dalam interaksi konflik

Konflik merupakan proses interaksi komunikasi diantara pihak- pihak yang terlibat konflik. Jika proses komunikasinya berjalan dengan baik, pesan kedua belah pihak akan saling dimengerti dan diterima secara persuasif, tanpa gangguan (noise) dan menggunakan humor segar. Hal ini menunjukkan kemungkinan besar bahwa kedua belah pihak akan menggunakan manajemen konflik kolaborasi dan kompromi tinggi. Sebaliknya, jika komunikasi kedua belah pihak tidak baik, maka akan menggunakan kata-kata keras dan kotor, serta agresif, ada kemungkinan kedua belah pihak akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi.

e. Kekuasaan yang dimiliki

Konflik merupakan permainan kekuasaan diantara kedua belah pihak yang terlibat konflik. Jika pihak yang terlibat konflik merasa mempunyai kekuasaan lebih besar dari lawan konfliknya, kemungkinan besar, ia tidak mau mengalah dalam interaksi konflik. Terlebih lagi, jika masalah konfliknya sangat esensial bagi kehidupannya. Sebaliknya, jika ia mempunyai kekuasaan lebih rendah dan memprediksi bahwa dirinya tidak bisa menang dalam konflik, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi, akomodasi, atau menghindar.

f. Pengalaman menghadapi situasi konflik

Seorang panasehat hukum (advokat) selalu menghadapi konflik dalam membela kliennya. Pengalaman yang panjang memberikan kemampuan bagi advokat untuk menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi dalam membela kliennya, walaupun mungkin kliennya posisinya salah. Hal ini yang menyebabkan ada yang mengatakan bahwa advokat itu : “Maju tak gentar membela yang yang bayar”.

g. Kecerdasan emosional

Lee Fen Ming dalam Wirawan (2009:136) pada disertasinya mengemukakan telaah literatur yang menjelaskan bahwa manajemen konflik memerlukan keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional. Dari telaah ini ia mengemukakan beberapa dimensi kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri mengenai kecerdasan emosional, memanajemeni emosi, empati, dan membangun hubungan berdasarkan kecerdasan emosional.

h. Kepribadian

Kepribadian seseorang memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Seseorang yang punya kepribadian pemberani, garang, tidak sabar dan berambisi untuk menang cenderung memilih gaya kepemimpinan berkompetisi. Sedangkan, orang yang penakut dan pasif cenderung untuk menghindari konflik.

i. Situasi konflik dan posisi dalam konflik

Seseorang dengan kecenderungan gaya nanagemen konflik berkompetisi akan mengubah gaya manajemen konfliknya jika nenghadapi situasi konflik yang tidak mungkin ia menangkan. Gaya manajemennya bisa berubah menjadi gaya manajemen konflik kompromi dan kolaborasi. Demikian juga, apabila konflik terjadi dengan atasannya, maka ia mungkin akan menggunakan gaya manajemen konflik menghindari atau akomodasi.

j. Budaya organisasi sistem sosial

Budaya organisasi sistem sosial (organisasi militer, tim olah raga, pondok pesantren, dan biara) dengan norma perilaku yang berbeda menyebabkan para anggotanya memiliki kecenderungan untuk memilih gaya manajemen konflik yang berbeda. Dalam masyarakat barat, anak semenjak kecil diajarkan untuk berkompetisi. Disisi lain, di masyarakat indonesia, anak diajarkan untuk kompromi atau menghindari konflik.

k. Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik Organisasi birokratis atau organisasi yang sudah mapan umumnya mempunyai prosedur untuk menyelesaikan konflik. Dalam prosedur tersebut, gaya manajemen konflik pimpinan dan anggota organisasi akan tarcermin.

l. Pengalaman menggunakan salah satu gaya manajemen konflik

Jika a terlibat konflik dengan b, c, dan d serta dapat memenangkan konflik dengan menggunakan gaya manajamen koanflik kompetisi, ia

memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya tersebut bila terlibat konflik dengan orang yang sama atau orang lain.

m. Keterampilan berkomunikasi

Keterampilan berkomunikasi seseorang akan memengaruhinya dalam memilih gaya manajemen konflik. Seseorang yang berkemampuan komunikasinya rendah akan mengalami kesulitan jika menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, kolaborasi, atau kompromi. Ketiga gaya manajemen konflik tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yang tinggi untuk berdebat dan berinisiasi dengan lawan konflik. Disisi lain, gaya manajemen konflik menghindar dan akomodasi tidak memerlukan banyak debat dan argumentasi.

Menurut Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2009:140) manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu :

a. Kerja sama (cooperativeness) pada sumbu horizontal b. Keasertifan (assertiveness) pada sumbu vertikal

Berdasarkan dua dimensi ini, Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2009:140-142) mengemukakan lima jenis manajemen konflik. 1. Kompetisi (competing)

Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik terhadap lawannya. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi adalah :

a. Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memaksakan sesuatu kepada lawan konfliknya.

b. Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam keadaan darurat. Keterlambatan mengambil keputusan akan memberikan akibat yang tidak baik.

c. Dalam tindakan yang tidak popular, terdapat hal yang harus dilakukan, seperti mengurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai.

d. Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat merusak citra perusahaan.

2. Kolaborasi (collaborating)

Gaya ini melakukan upaya bernegoisasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Menurut Derr dalam Wirawan (2009:140) kolaborasi merupakan gaya manajemen konflik yang paling disukai karena mendorong hubungan interpersonal, kekuatan kreatif untuk inovatif dan perbaikan, meningkatkan balikan dan aliran informasi, serta mengembangkan iklim organisasi yang lebih terbuka, percaya, pengambilan risiko dan perasaan baik terhadap integritas. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi adalah :

a. Menciptakan solusi integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu penting untuk dikompromikan.

b. Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari lebih jauh pandangan dari lawan konflik.

c. Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumber- sumber untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya. 3. Kompromi (compromising)

Gaya manajemen konflik ini berada ditengah antara gaya kolaborasi dan kompromi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan diantara dua posisi dan memberikan konsesi untuk mencari titik tengah. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompromi adalah :

a. pentingnya tujuan konflik hanya sedang dan tidak cukup bernilai untuk dipertahankan dengan kompetisi atau kolaborasi, tetapi konflik juga terlalu penting untuk dihindari.

b. Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama, serta mempunyai tujuan yang hampir sama.

c. Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks. 4. Menghindar (Avoiding)

Menurut Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2009:141) bentuk menghindar tersebut bisa berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik menghindar adalah :

a. kepentingan objek konflik rendah atau ada konflik lain yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian

b. potensi biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan konflik lebih besar daripada nilai solusinya.

c. Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan, serta menciptakan suasana kerja yang kondusif dan tenang sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan.

5. Mengakomodasi (accommodating)

Gaya ini mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya. Gaya akomodasi memberi kesan seakan-akan mudah menyetujui ide seorang dan ingin bekerja sama dan kesan demikian hanya bersifat diperlukan bukan kenyataan. Gaya ini bermanfaat apabila sebuah persoalan konflik bersifat lebih penting bagi orang lainnya.

K e a Kompetisi Kolaborasi s e r Kompromi t i f Menghindar Mengakomodasi a n Kerja sama

Gambar. 2.1 Kerangka Gaya Manajemen Konflik Thomas dan Kilmann Sumber : Wirawan (2009)

5. Dampak Konflik terhadap Kinerja Organisasi

Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat

yang diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi. Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah.

Berkaitan dengan hal ini Robbins (2003:162) mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit. Tingkat konflik dapat terlalu tinggi atau terlalu rendah. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan.

Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi, dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari organisasi itu.

Gambar 2.2 Konflik Dan Kinerja Unit

Sumber : Stephen P. Robins dalam Wirawan (2009:116)

Tabel 2.1

Hubungan tingkat konflik dan kinerja Situasi Tingkat

Konflik

Tipe Konflik Karakteristik Unit

Hasil Kerja Unit

A Rendah atau

Tidak Ada Tidak Berfungsi

Apatis Stagnasi Tidak ada tanggapan pada perubahan Kurang pada ide baru Rendah B Optimal Berfungsi Bersemangat terhadap inovasi yang mengarah pada diri sendiri

Tinggi

C Tinggi Tidak Berfungsi

Mengacau Kacau balau Tidak dapat bekerja sama

Rendah Sumber : Stephen P. Robins dalam Wirawan (2009:116)

A B C Rendah Tinggi K ine rja U ni t Tingkat Konflik Rendah Tinggi

C. Kinerja Karyawan

Dokumen terkait