• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Culture Shock

3. Gejala – gejala Culture Shock

Untuk dapat menangani gejala culture shock yang dialami

individu, maka perlu dikenali beberapa gejalanya. Gejala yang ditunjukkan

oleh individu antara lain, individu akan merasa terasingkan dan sendirian,

sehingga ini menimbulkan perasaan sedih dalam diri individu tersebut

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut ditunjukkan dengan menghindari

kontak dengan orang-orang yang berasal dari lingkungannya yang baru

dan enggan untuk berbicara dengan orang lain (Pujiriyani & Rianty, 2010).

Hal ini terjadi karena individu tersebut merasa tidak nyaman untuk

berinteraksi dengan orang lain. Individu tersebut merasa kehilangan

petunjuk untuk bisa digunakan dalam lingkungan pergaulannya (Hooves,

dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Selain itu, dirinya juga harus hidup

terpisah dari orang-orang terdekatnya dan mulai merasa kehilangan

dukungan (Sandhu & Asrabadi, dalam Furnham, 2004).

Gejala lain yang akan dialami oleh individu ialah masalah terkait

dengan perubahan tempramen. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku individu

yang mudah tersinggung, mudah kesal dan marah. Selain itu, individu

tersebut juga akan menunjukan perasaan depresi, merasa lemah dan

menderita (Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut terjadi karena dalam

diri individu tersebut diliputi oleh respon-respon negatif akibat

keberadaannya di lingkungan yang baru (Oberg dalam Bochner, 1994;

Smith & Bond, 1993). Keadaan ini membuat individu tersebut menjadi

mudah marah menghadapi hal-hal yang dialaminya (Church dalam Heine,

2008). Keadaan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan bahwa

orang yang mengalami culture shock rentan mengalami kecemasan,

depresi dan stress (Thomson, Rosenthal & Russell, 2006).

Gejala berikutnya yang mungkin muncul adalah mulai muncul

16 

menyelesaikan masalah-masalah yang sederhana (Pujiriyani & Rianty,

2010). Dengan demikian, akan muncul keinginan untuk terus bergantung

pada orang yang berasal dari tempat yang sama (Hooves dalam Mulyana

& Rakhmat, 2009). Pertemuan antara dua budaya yang berbeda, dapat

memunculkan persoalan dan terkadang persoalan tersebut belum pernah

dialami sebelumnya. Dalam setiap pemecahan masalah, setiap individu

akan bernegosiaasi dengan caranya masing-masing (Ward, Bochner &

Furnham, 2001). Oleh karena itu, ketika individu menghadapi masalah di

lingkungan budayanya yang baru dan masih menggunakan model

pemecahan masalah dari budayanya yang lama, maka masalah tersebut

dirasa berat dan tidak dapat diselesaikannya. Keadaan seperti ini yang

kemudian membuat individu tersebut ingin tetap dekat dan bergantung

dengan orang yang berasal dari budaya yang sama dan dapat diajak

berkomunikasi dengan lebih dekat (Oberg dalam Irwin, 2008; Guanipa,

2008). Individu tersebut juga lebih suka bersahabat dengan individu yang

berasal dari budaya yang sama (Bochner & Furnham, 2001).

Kesulitan untuk berkonsentrasi atau tidak dapat bekerja secara

efektif juga menjadi gejala culture shock (Pujiriyani & Rianty, 2010).

Seorang individu yang mengalami gejala culture shock biasanya akan

mengalami gangguan pada kemampuannya dalam melakukan suatu hal.

Individu tersebut tidak dapat bekerja seefektif dan sebaik mungkin.

Keadaan tersebut muncul dikarenakan dalam diri individu tersebut telah

muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu melakukan sesuatu

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Dengan demikian, pekerjaan yang sedang

atau telah dilakukan oleh individu tersebut akan selalu terasa kurang

memuaskan.

Individu yang mengalami culture shock juga akan menunjukkan

rasa kehilangan identitas dan kurangnya percaya diri (Pujiriyani & Rianty,

2010). Perubahan dalam konteks budaya tersebut mampu mengubah

identitas individu. Keadaan ini disebabkan karena indentitas dibentuk dan

dipertahankan berdasarkan konteks budaya, sehingga pengalaman dalam

konteks budaya yang baru seringkali memunculkan pertanyaan tentang

identitas (Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004).

Perubahan identitas diri karena adanya perubahan pengalaman

inilah yang kemudian dapat mempengaruhi rasa percaya diri individu

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal ini terjadi karena ketika individu masuk

ke dalam lingkungan budaya yang baru, individu tersebut akan

berinteraksi dengan keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang

didapatkannya, mampu membuat dirinya merasa bahwa identitas dirinya

yang selama ini tidak sesuai dengan keadaannya saat ini. Dengan

demikian, kedaan tersebut pada akhirnya mempengaruhi rasa percaya diri

individu tersebut, sehingga ia akan mengalami rasa kurang percaya diri

(Pujiriyani & Rianty, 2010).

Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan merasakan

kerinduan yang sangat kuat terhadap orang-orang terdekat, seperti teman,

18 

2008). Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak nyaman dengan

lingkungan baru dan membuatnya merindukan lingkungan lamanya

(Church dalam Heine, 2008).

Gejala culture shock yang selanjutnya adalah individu mulai

mengalami gangguan makan, minum dan istirahat yang berlebihan

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Individu yang mengalami culture shock

mungkin akan mengalami gangguan makan dan minum. Hal tersebut

terjadi karena kebiasaan makan juga diatur dalam budaya (Porter &

Samovar dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).

Ketika seseorang memasuki budaya yang baru, orang tersebut juga

akan dihadapkan pada kebiasaan makan yang berbeda. Selain itu, budaya

juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup. Hal ini berkaitan dengan

pekerjan yang dimiliki, kondisi kehidupan, aktivitas sosial yang diikuti

dan perubahan tempat tinggal (Furnham & Bochner, 2001). Perubahan

yang dialami oleh individu tersebut, akhirnya mengganggu gaya hidup

yang sudah dimiliki dalam budaya yang sebelumnya.

Individu yang mengalami gangguan makan, minum dan pola tidur

ini pada akhirnya juga akan bermasalah dengan kesehatan dan berlebihan

dalam menghadapi penyakit-penyakit yang dialami. Meskipun penyakit

yang dialaminya termasuk penyakit yang sepele (Pujiriyani & Rianty,

2010; Hooves dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Individu tersebut juga

mulai mengalami sakit kepala dan sakit perut (Gudykunst & Kim dalam

Samovar, Porter & McDaniel, 2010).

Pada saat individu berada di lingkungan budaya yang berbeda,

orang tersebut akan lebih banyak mengalami distress dan membutuhkan

konsultasi medis (Babiker, Cox & Miller dalam Heine, 2008). Hal ini

dilakukan karena individu tersebut merasa butuh bantuan seseorang yang

memahami tentang penyakit yang dialami. Oleh karena itu, pada saat

mengalami suatu penyakit yang ringan, orang tersebut akan langsung

melakukan pemeriksaan medis. Keadaan tersebut juga mendukung

munculnya gejala lain, yaitu obsesi terhadap kebersihan diri dan

lingkungannya yang menjadi berlebihan (Pujiriyani & Rianty, 2010).

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan beberapa gejala-

gejala culture shock antara lain:

a. Merasa sedih, sendirian dan terasingkan

b. Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh

orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal

c. Takut melakukan kontak fisik

d. Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama

e. Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu,

dirampok, takut terluka

f. Perubahan tempramen, depresi, merasa menderita, dan lemah

g. Mudah tersinggung, kesal dan marah

h. Sulit berkonsentrasi dan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah

yang sederhana

20 

j. Merindukan keluarga dan rumah

k. Memiliki hasrat makan, minum dan tidur yang berlebihan atau bahkan

sangat kurang/sedikit (insomnia)

l. Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi)

m. Mengembangkan obsesi seperti over-cleanliness (kebersihan yang

berlebihan) terkait dengan masalah makan, minum, piring ataupun

tempat tidur

.

Dokumen terkait