• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Hasil Penelitian Tahap Satu

4.1.1. Penentuan Pengaruh Suhu terhadap Infeksi KHV 1.Prosentase Kematian Ikan

4.1.1.2. Gejala Klinis dan Pola Kematian Ikan

Pengamatan harian yang dilakukan setelah infeksi virus menunjukkan bahwa awal terjadinya gejala klinis pada ikan yang diinfeksi adalah berbeda. Penginfeksian virus pada suhu 25±2 oC menyebabkan awal gejala klinis khas KHV yang lebih cepat, pada hari ke-4, 5 beberapa ekor ikan mulai menunjukkan adanya bintik berwarna putih kekuningan pada lamella insang (Gambar 2.a). Pada hari ke-5 mulai telihat adanya pendarahan (haemorage) pada operkulum (tutup insang), mata cekung (Gambar 2. b.1-2), insang mulai berwarna buram dan gripis pada ujung lamella insang (Gambar 2.c). Pada hari ke-6, 7, tanda-tanda ikan terinfeksi semakin jelas terlihat, pendarahan semakin meluas meliputi daerah seputar mulut, operkulum, mata (Gambar 2.d) bagian perut (Gambar 2.e), nafsu makan ikan sudah sangat menurun. Beberapa ikan terlihat mulai menunjukkan perubahan warna (discolouration), warna ikan terlihat tidak beraturan (Gambar 2.f). Pada beberapa ikan, kulit terasa agak kasar karena berkurangnya lendir mukus. Pada hari ke-8, 9, hampir 30% ikan megap di sekitar aerasi, beberapa ikan yang lebih parah mulai menggantung dengan posisi kepala mengarah ke permukaan air dan ekor ke arah bawah. Ikan parah yang lain menunjukkan gerakan yang tidak beraturan, hilangnya keseimbangan, secara tiba-tiba dapat menghentak bergerak cepat ke permukaan air, kemudian secara perlahan terkulai lemah jatuh dan diam di dasar air.

Kematian ikan pada perlakuan suhu 25±2oC mulai terjadi pada hari ke-7 dan berakhir pada hari ke-15, pola kematian ikan karena infeksi virus terlihat pada Gambar 2. Ikan yang mati atau terinfeksi parah, menunjukkan infeksi yang berat

Gambar 2. Gambaran gejala klinis KHV pada perlakuan Ti dan Tii (suhu 20 dan 25±2 oC) : a Noktah-noktah putih inisiasi nodulasi infeksi KHV pada insang; (b.1&2) operkulum, dan bagian badan mengalami pendarahan (hemorhage), mata cekung ; (c ) infeksi KHV mulai menimbulkan geripis pada insang ; (d) pendarahan di seputar mulut dan mata; (e) pendarahan mulai menjalar pada bagian perut ; (f) warna tubuh tidak beraturan (discolouration) ; (g) pendarahan parah di seputar mulut dan operkulum ; (h) pendarahan di sirip; (i) sisik dan kulit tubuh melepuh (j) sekresi mukus secara berlebih menutup lesio yang parah pada operkulum; (k) nodulasi yang parah pada insang.

Gambar 3. Gambaran gejala klinis KHV pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) : (a.) sejumlah ikan dari populasi perlakuan Tiii, terlihat masih tampak sehat hingga akhir penelitian tahap satu; (b) pendarahan pada sirip dada; (c ) pendarahan pada operkulum insang; (d) bagian perut ikan pada perlakuan Tiii, tidak mengalami pendarahan; (e) secara umum insang tidak mengalami nodulasi yang parah; (f) ikan yang mati pada perlakuan Tiii, menunjukan gejala khas infeksi KHV, ikan mengalami inisiasi nekrosa pada insang (terbentuknya nodul-nodul putih), terdapat pula pendarahan di bagian mata dan mulut.

terutama pada insang berupa lamella insang terlihat sangat pucat memutih, geripis dengan beberapa fokus nodul yang sangat jelas (Gambar 2. k). Pendarahan yang sangat parah, sangat umum terjadi di mulut, perut hingga ke arah bagian anal, sirip ekor dan beberapa di bagian otot badan.

0 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Hari pengamatan, setelah infeksi

N ila i r a ta a n k e m a ti a n ik a n ( % )

Ti: Suhu 20±2 ºC Tii Suhu 25±2 ºC Tiii : Suhu 30±2 ºC

Gambar 4. Pola kematian ikan pada berbagai perlakuan suhu, setelah penginfeksian virus pada penelitian tahap satu

Gejala klinis ikan yang terinfeksi pada perlakuan suhu 20±2 oC tercatat lebih lambat, dibanding pada suhu 25±2 oC maupun 30±2 oC. Pada perlakuan suhu 20±2 oC, ikan mulai terlihat jelas menunjukkan gejala terinfeksi pada hari ke-7, 8 (adanya bintik berwarna putih kekuningan pada lamella insang), dan pada hari ke-8 beberapa ikan mulai mengalami pendarahan pada bagian tutup insang (operkulum). Infeksi yang lebih parah sama halnya dengan infeksi pada suhu 25±2 oC, ditandai oleh adanya pendarahan yang lebih parah pada bagian mulut, perut hingga ke bagian anal dan bagian sirip ekor, terjadi pada hari ke-9, 10 dan 11. Pada hari ke-11, 12, 13 hampir 30% ikan telah bergerombol megap mendekati aerasi di permukaan air, dan pada kondisi ini fokus nodul putih kekuningan pada insang sudah sangat nyata.

Pola kematian pada perlakuan suhu 20±2 oC terjadi mulai hari ke-11 dan berakhir pada hari ke-17 (8 hari) (Gambar 4). Awal kematian yang lebih lambat (dibanding suhu 25±2 oC) ini, sesuai dengan awal gejala klinis infeksi yang juga teramati lebih lambat (hari ke-7, 8).

Pada perlakuan suhu 30±2 oC gejala klinis khas infeksi KHV, berupa insang yang terinfeksi berat (lamella insang geripis disertai fokus nodul putih), serta pendarahan pada bagian badan, mulut, perut tidak jelas terlihat. Pengamatan visual pada hari ke-8, menunjukkan insang terlihat memucat dan mengalami pembengkakan, namun hingga akhir penelitian 1 (hari ke-21) secara umum fokus nodul putih khas gejala klinis KHV tidak terbentuk secara nyata (Gambar 3.e). Pada sebagian kecil ikan mengalami pendarahan pada sirip (Gambar 3. b), namun bagian perut nampak normal (Gambar 3.d). Gejala klinis yang terdapat pada satu ekor ikan yang mati pada suhu 30±2 oC terlihat pada gambar 3.f, berupa insang yang memucat dan terdapat beberapa fokus nodul putih khas KHV , terjadi pendarahan pada mulut dan mata, namun bagian badan masih terlihat normal. 4.1.1.3. Pengamatan pada Preparat Histologi

Pengamatan pada preparat histologi merupakan salah satu cara untuk mendiagnosa penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Keberadaan badan inklusi virus dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan terjadinya infeksi virus. Demikian pula pada penelitian ini upaya pembuatan preparat histologi dilakukan sebagai diagnosa lebih lanjut untuk mengetahui keberadaan virus dalam jaringan ikan yang terinfeksi.

Pengamatan pada preparat histologi menunjukkan bahwa infeksi virus pada berbagai perlakuan suhu menyebabkan infeksi yang produktif, ditandai dengan terbentuknya badan inklusi virus pada semua perlakuan (Gambar 5.b, 6. b. dan 7.b). Hasil pewarnaan hematoksilin dan eosin pada jaringan insang yang terinfeksi menunjukan perubahan jaringan berupa pembentukan badan inklusi yang bersifat eosinofilik dengan inti hipertropi dan kromatin yang sedikit bersifat basofilik. Walaupun dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis lebih jauh secara kuantitatif terhadap intensitas badan inklusi, namun demikian tingkat keparahan infeksi pada masing-masing perlakuan terlihat berbeda.

(a)

(b)

Gambar 5. Gambaran histopatologi insang dari ikan yang terinfeksi virus pada perlakuan Ti (suhu 20±2 oC); infeksi virus pada lamella insang memicu hyperplasia dan fusi lamella sekunder dari lamella-lamella yang berdekatan, namun struktur lamella insang masih terlihat jelas, ditunjukkan anak panah, bar = 14.9 µm (a); badan inklusi virus terlihat jelas diantara lamella sekunder, ditunjukkan anak panah, bar = 5.6 µm (b)

(a)

(b)

Gambar 6. Gambaran histopatologi insang dari ikan yang terinfeksi virus pada perlakuan Tii (suhu 25±2 oC); infeksi virus pada lamella insang memicu hyperplasia dan fusi lamella sekunder dari lamella-lamella yang berdekatan pada hampir semua bagian insang sehingga hampir menghilangkan struktur lamella insang, bar = 14.9 µm (a); badan inklusi virus terlihat jelas menyebar hampir merata diantara lamella sekunder, anak panah, bar = 5.6 µm (b)

(a)

(b)

Gambar 7. Gambaran histopatologi insang dari ikan yang terinfeksi virus pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC); infeksi virus pada lamella insang relatif tidak menyebabkan hyperplasia dan fusi lamella sekunder yang parah, arsitektur lamella insang masih terlihat jelas, bar = 43 µm (a); badan inklusi virus terlihat diantara beberapa lamella sekunder dengan intensitas yang lebih jarang, anak panah, bar = 5.6 µm (b)

Infeksi yang paling parah terjadi pada perlakuan suhu 25±2 oC dan diikuti oleh perlakuan suhu 20±2 oC. Hasil pengamatan preparat histologi yang berasal dari organ insang menunjukkan kondisi patologi berupa hyperplasia dan fusi lamella sekunder yang merata pada hampir semua bagian insang (Club-shaped lamella) (Gambar 5.a dan 6.a ). Pada perlakuan Tii (suhu 25±2 oC) fusi lamella insang yang parah dan merata menyebabkan hilangnya arsitektur insang (Gambar 5.a). Hasil pengamatan pada perlakuan Ti (suhu 20±2 oC), kerusakan arsitektur insang tidak separah perlakuan Tii (suhu 25±2 oC), lembar-lembar lamella sekunder masih terlihat jelas (Gambar 6.a). Infeksi yang lebih ringan terlihat pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC), fusi lamella sekunder sebarannya hanya terjadi pada sebagian kecil lamella, sehingga arsitektur lamella insang masih sangat jelas terlihat (Gambar 7.a).

4.1.2. Status Kesehatan Ikan pada Berbagai Perlakuan Suhu