• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2. Hasil Penelitian Tahap Dua

4.2.3. Kualitas Air pada Penelitian Tahap Dua

Hasil pengukuran parameter kualitas air pada penelitian tahap dua tertera pada tabel berikut:

Tabel 20. Kisaran parameter kualitas air pada penelitian tahap dua. Parameter kualitas air

No Perlakuan Suhu oC pH DO (mg/l) NH3- N(mg/l) 1 K0.Ti 20,5-21,5 6,97-7,82 5,07-5,72 0,056-0,081 2 K0.Tii 24,5-25,5 6,72-7,91 4,94-5,81 0,048-0,079 3 K1.Ti 19,5-20,5 6,87-7,98 5,12-5,42 0,041-0,085 4 K1Tii 24,5-25,5 6,76-7,79 4,98-5,95 0,056-0,081 5 K2Ti 21,0-21,5 6,65-7,54 5,14-5,81 0,048-0,079 6 K2.Tii 24,0-25,5 6,71-7,73 4,75-5,52 0,041-0,085 7 K3.Ti 19,5-21,5 6,63-7,62 4,98-5,81 0,056-0,081 8 K3.Tii 24,0-25,5 6,90-7,85 5,10-5,77 0,048-0,079 Keterangan:

K0 : pemberian pakan kontrol, konsentrasi 0 ppm; K1: pemberian pakan berkromium, konsentrasi 1.5 ppm; K2: Pemberian pakan berkromium, konsentrasi 2.0 ppm: K3: Pemberian pakan berkromium, konsentrasi 2.5 ppm ; Ti

4.3. Pembahasan Penelitian Tahap Satu 4.3.1. Pengaruh Suhu terhadap Infeksi KHV 4.3.1.1. Prosentase Kematian Ikan

Prosentase ikan terinfeksi yang mengalami kematian pada masing-masing perlakuan suhu menunjukkan adanya perbedaan nyata. Berdasarkan Uji Duncan terhadap nilai prosentase kematian membuktikan bahwa infeksi pada suhu 25±2 o

C (Tii) dengan rataan 64.66% merupakan infeksi yang paling kuat, dibandingkan dengan suhu 20±2 oC (Ti) maupun suhu 30±2 oC(Tiii). Namun demikian infeksi pada suhu 20±2 oC berdasarkan nilai rataan prosentase kematiannya masih cukup tinggi yaitu 48.9%. Sebaliknya pada suhu 30±2 oC nilai rataan prosentase kematiannya sangat rendah yaitu 2.23%.

Kasus kematian ikan karena serangan KHV merupakan akibat dari infeksi akut yang menginduksi penyakit secara menyeluruh (sistemik) pada tubuh ikan (Hedrick et al. 2000). Infeksi virus KHV dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh; DNA virus telah terdeteksi di ginjal dan darah, satu hari setelah penginfeksian secara perendaman (30 PFU KHV/ml selama 50 menit) (Pikarsky

et al. 2004); dengan menggunakan uji real-time Taqman PCR tercatat bahwa DNA virus terdeteksi di mukus, usus, ginjal, insang, hati, limpa dan otak ikan, satu hari setelah penginfeksian virus secara perendaman (12 TCID50 /ml selama 1 jam) (Gilad et al. 2004). Tersebarnya virus pada berbagai organ disertai oleh kerusakan banyak sel pada berbagai organ tersebut, organ tidak berfungsi baik sehingga menimbulkan penyakit (Malole 1988) dan akhirnya mematikan ikan.

Nilai prosentase kematian yang tinggi merupakan salah satu gambaran ganasnya/kuatnya infeksi virus, sedangkan keganasan infeksi virus menurut Fenner et al. (1993) tergantung kepada perimbangan antara virulensi virus dan ketahanan dari inang. Dalam kasus infeksi akut (seperti serangan KHV) merupakan perlombaan antara kemampuan virus bereplikasi, menyebar dalam tubuh dan menyebabkan penyakit dengan kemampuan inang untuk menangkis dan mengendalikan infeksi kejadian tersebut.

Hasil uji infeksi pada penelitian tahap satu, menunjukkan bahwa pada suhu 25±2 oC mengakibatkan nilai prosentase infeksi mematikan yang paling tinggi. Nilai prosentase kematian yang tinggi menggambarkan bahwa pada suhu

25±2 oC merupakan suhu yang optimal untuk replikasi virus, hasil ini menguatkan hasil pengujian Gilad et al.(2003) bahwa pada infeksi KHV secara in vitro kisaran toleransi suhu untuk replikasi adalah 15-25 °C dan tidak ada atau minim replikasinya pada suhu 4, 10, 30 dan 37°C; sedangkan hasil pengujian Gilad et al. (2003) secara in vivo menunjukkan bahwa infeksi KHV secara perendaman (1.2 dan 12 TCID50 /ml) mengakibatkan kematian sebesar 95.2% pada suhu 23 C; 85.0 % pada suhu 18 C; 89.4-95.2% pada suhu 28 oC.

Proses replikasi virus dalam sel inang/ikan yang terinfeksi pada perlakuan Tii (suhu 25±2 oC) diduga berjalan paling baik; menghasilkan sejumlah partikel virus virulen yang memadai untuk dilepas dan disebar ke seluruh tubuh, sehingga menghasilkan infeksi yang lebih parah dan mematikan. Demikian pula Infeksi yang dilakukan pada suhu 20±2 oC meskipun nilai prosentase kematian lebih rendah dibandingkan dengan suhu 25±2 oC, kematiannya masih cukup tinggi (48.9%). Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 20±2 oC masih bersifat toleran untuk mendukung replikasi KHV secara in vivo. Pada sisi lain, sistem imunitas ikan pada perlakuan Ti dan Tii (suhu 20 dan 25±2 oC) tidak mampu untuk menghadapi kuatnya virulensi KHV, sehingga sistem imun ikan tidak mampu membatasi/mengedalikan kejadian infeksi, dan akhirnya menyebabkan kematian. Seperti telah dijelaskan oleh Rijkers et al. (1980); Manning & Nakanishi (1996); Einarsdottir et al. (2000); Bowden et al. (2006) bahwa aktivasi respon imunitas ikan pada suhu rendah (dalam kisaran toleransi suhu bagi kehidupan ikan) bersifat terhambat.

Hasil penelitian tahap satu menunjukkan pula bahwa penginfeksian secara

in vivo pada perlakuan suhu 30±2 oC kurang optimum untuk replikasi virus, sehingga secara umum tidak menghasilkan infeksi yang mematikan. Namun infeksi yang terjadi masih dapat dikategorikan infeksi yang produktif (Murphy et al. 1999), terbukti dari terdapatnya infeksi mematikan (2.23%) dengan gejala khas KHV; terdapatnya badan inklusi virus pada pengamatan preparat histologi (penjelasan lebih jauh pada butir 4.3.1.3). Fakta ini mendukung hasil pengujian Perelberg et al. (2005) bahwa pada suhu 30 oC masih terdapat infeksi produktif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa infeksi secara intra-peritoneal (103 PFU KHV/ml) mengakibatkan kematian 5-8%. Infeksi produktif pada penelitian tahap

satu merefleksikan bawa pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) diduga virulensi virus sudah berkurang; replikasi virus sudah mengalami hambatan sehingga jumlah virus yang dihasilkan dan disebar ke seluruh tubuh relatif sedikit (tidak memadai) untuk mematikan populasi ikan secara masal. Pada sisi lain aktivasi respon imunitas ikan pada perlakuan Tiii berlangsung lebih cepat dan memadai untuk mengatasi infeksi virus yang terjadi.

Beberapa hasil penelitian penginfeksian secara in vivo menunjukkan bahwa suhu yang rentan untuk infeksi KHV adalah 18-23 oC (Hedrick et al. 2000); (Gilad et al. 2003); Perelberg et al. (2003) sedangkan pada kasus kematian di kolam infeksi umumnya terjadi pada suhu 18-27 oC (OATA 2001); 23-27 oC (Sunarto et al. 2005); 17-28 oC (Ilouze et al. 2006). Hasil penelitian tahap satu menguatkan hasil penelitian sebelumnya; bahwa perlakuan Ti dan Tii (suhu 20 dan 25±2 oC) merupakan suhu rentan untuk infeksi KHV, sedangkan pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC), masih menghasilkan infeksi yang produktif, namun secara umum sistem imunitas ikan mampu mengatasi virulensi virus, sehingga infeksi cenderung tidak bersifat mematikan.

4.3.1.2. Gejala Klinis dan Pola Kematian Ikan

Gejala klinis dan perubahan-perubahan jaringan tubuh yang teramati pada penyakit viral merupakan hasil interaksi langsung ataupun tak langsung antara virus dan sel inang (Malole 1988). Pengamatan gejala klinis pada berbagai perlakuan suhu yang diaplikasikan pada penelitian tahap satu merupakan salah satu cara untuk memahami patogenesa virus pada masing-masing perlakuan suhu.

Pengamatan gejala klinis terhadap ikan yang diinfeksi menggambarkan lebih jelas gejala klinis dari infeksi KHV, secara umum sesuai dengan deskripsi hasil-hasil penelitian sebelumnya (Hedrick et al. 2000; Taukhid et al. 2004; Amrullah 2004; Pikarsky et al. 2004; Ilouze et al. 2006). Gejala yang sangat khas sesuai pustaka dapat terlihat pada gambar 2 adalah berupa : (a) pendarahan (haemorage) di sekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya , (b) Adanya kulit melepuh (c) produksi lendir (mukus) berlebih sebagai respon fisiologis, selanjutnya produksi lendir menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasat (d ) insang berwarna pucat dan terdapat bercak putih atau coklat (sebenarnya

adalah kematian sel-sel insang atau nekrosa insang), selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tapis insang dan akhirnya membusuk.

Hasil pengamatan terhadap ikan yang moribund (sekarat) dan atau yang mati menunjukkan bahwa kondisi lesio patologis atau gejala klinisnya dapat bervariasi, seperti gejala yang dideskripsikan pada Gambar 2. Namun gejala yang paling khas adalah bercak/nodul putih pada insang dan pendarahan seputar mulut dan operculum. Berdasarkan pengamatan pada masing-masing perlakuan suhu terlihat bahwa infeksi perlakuan Ti dan Tii (suhu 20 dan 25±2 oC) menghasilkan tingkat keparahan infeksi dengan deskripsi gejala klinis yang relatif sama (Gambar 2), sedangkan tingkat keparahan infeksi pada perlakuan Ti dan Tii terlihat berbeda dibandingkan dengan perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) yang menunjukkan gejala klinis ringan (Gambar 3). Fenomena yang jelas selama pengamatan bahwa inisiasi timbulnya gejala klinis khas KHV (berupa bintik putih kekuningan pada insang) pada suhu 25±2 oC (hari ke-4, 5) terjadi lebih awal dibandingkan suhu 20±2 oC (hari ke-7, 8), dan inisiasi timbulnya gejala klinis yang paling lambat terjadi pada suhu 30±2 oC (hari ke-8, 9).

Hasil infeksi virus pada sel inang/ikan dapat bervariasi, namun pada dasarnya dikelompokkan dalam infeksi ringan (1), bersifat toleran (tolerance) (2) hingga bersifat mematikan (lethal) (Murphy et al. 1999). Murphy et al. (1999) menjelaskan pula bahwa beberapa faktor dari virus dan faktor selular dari inang akan mempengaruhi hasil infeksi, dalam suatu kesetimbangan yang peka (mudah berubah). Kesetimbangan tersebut dipengaruhi oleh fisiologis, respon imun atau imflamasi dari inang dan ekspresi virulensi dari virus. Sedangkan berdasarkan interaksi antra virus dan sel inang tipe infeksi dapat dibagi dalam infeksi cytocidal

(cytolitic/cytophatic) dan noncytocidal. Infeksi cytocidal bersifat produktif, yaitu menghasilkan dan melepas virion, sedangkan noncytocidal infeksinya bersifat tidak produktif/gagal (tidak melepas virion).

Iniasiasi gejala klinis yang lebih cepat pada suhu 25±2 oC, menggambarkan tingkat replikasi virus yang lebih cepat pada suhu optimum ini, sehingga lebih cepat menghasilkan infeksi yang produktif. Infeksi produktif tersebut ditandai oleh timbulnya berbagai gejala klinis (khas infeksi KHV), bukti ini menggambarkan replikasi virus berjalan efektif, sehingga menghasilkan

sejumlah virion yang memadai untuk disebar ke berbagai bagian tubuh. Hasil pengamatan gejala klinis KHV menunjukkan bahwa infeksi pada suhu 25±2 oC lebih produktif dibandingkan dengan suhu 20±2 oC, sedangkan infeksi pada suhu 30±2 oC menghasilkan produktivitas infeksi yang paling rendah. Hal tersebut tergambar dari inisiasi gejala klinis khas KHV pada insang, yang terjadi lebih cepat pada suhu 25±2 oC dibandingkan dengan pada suhu 20±2 oC, demikian pula munculnya manifestasi gejala klinis lainnya berupa pendarahan di operkulum; discolouration warna ; kondisi mukus dan geripis; dan pendarahan pada permukaan badan.

Pada penelitian ini, infeksi virus dilakukan secara intramuscular (pada otot). Menurut Malole (1988) virus yang diinfeksikan dengan jarum suntik akan menyebar melalui darah dan sampai ke organ-organ dalam tubuh seperti ginjal, hati, limpa, insang dan lain-lain dan akan meginfeksi sel-sel yang peka terhadap infeksi KHV. Diuraikan pula oleh Malole (1988) dan Fenner et al. (1993) bahwa siklus pertumbuhan (replikasi) virus hewan dari mulai inisiasi infeksi, secara ringkas adalah meliputi tahapan sebagai berikut: (1) Pelekatan virus pada sel inang yang peka; (2) Panetrasi virus ke dalam sel inang diikuti oleh pelepasan selubung/amplop virus (uncoating); (3) sintesis komponen virus-virus yang baru ; (4) Penggabungan/perakitan (assembly) komponen-komponen virus yang baru terbentuk; (5) Pelepasan viru-virus baru ke luar sel.

Pengamatan gejala klinis selama penelitian tahap satu menunjukkan bahwa terjadi penyebaran virus melalui darah mencapai organ dan menginfeksi sel-sel yang peka pada organ. Inisiasi gejala klinis khas KHV (munculnya bintik-bintik/nodul kecil putih kekuningan di insang), menggambarkan bahwa sel-sel insang sangat peka terhadap infeksi KHV. Infeksi pada sel-sel insang menghasilkan infeksi yang produktif ditandai oleh manifestasi gejala klinis berupa nekrosa pada lamella insang. Hasil pengamatan histopatologi pada lamella insang (butir 4.3.1.3) menggambarkan terjadinya kerusakan pada tingkat sel. Replikasi virus yang produktif menghasilkan sejumlah virion aktif yang dilepas ke luar sel dan menyebabkan lisisnya sel. Hasil penelitian tahap satu, menguatkan pendapat Pikarsky et al. (2004) bahwa insang merupakan target organ utama dan berdasarkan pengamatan preparat histologi manifestasi lebih awal (2 hari setelah

infeksi). Namun penelitian yang lebih detail dengan menggunakan uji real-time Taqman PCR DNA KHV telah terdeteksi di mukus, usus, ginjal, insang, hati, limpa dan otak, satu hari setelah penginfeksian ikan secara perendaman (12 TCID50/ml KHV selama 1 jam) (Gilad et al. 2004), dan bertahan hingga hari ke 62 setelah infeksi.

Hasil pengamatan gejala klinis pada penelitian tahap satu memperlihatkan pula bahwa virus hasil replikasi dari infeksi yang produktif kembali disebarkan kembali melalui darah ke organ-organ lain dalam tubuh sehingga terjadi viremia sekunder (Malole 1988; Murphy et al. 1999) ditandai dengan berbagai lesio patologis berupa pendarahan yang semakin parah pada permukaan tubuh, operkulum, mulut, mata. Hasil penelitian lain mengungkapkan terjadi lesio pada berbagai organ dalam yang penting meliputi: ginjal, hati , limfa, usus, jantung dan otak dan jaringan saraf (Hedrick et al. 2000; Pikarsky et al. 2004; Taukhid et al. 2004; Gilad et al. 2004; Ilouze et al. 2006).

Seperti telah dijelaskan sebelumnya infeksi virus produktif teramati pula pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) dengan manifestasi gejala klinis infeksi yang secara umum tidak mencolok. Namun berdasarkan pengamatan pada gambar 3, terutama pada individu yang mengalami kematian dengan manifestasi gejala klinis khas KHV. Fakta ini menunjukkan bahwa perlakuan Tiii, kurang mendukung untuk replikasi virus, sehingga secara umum tingkat replikasi virus yang ada mampu diatasi oleh sistem imunitas ikan yang dikembangkan untuk menghadapi infeksi virus.

Tingkat virulensi yang kuat pada perlakuan Tii (suhu 25±2 oC ) tergambar pula pada pola kematian harian dari ikan yang diinfeksi virus (Gambar 4.). Terbukti bahwa suhu 25±2 oC merupakan suhu yang optimum untuk replikasi virus, sehingga menghasilkan infeksi produktif yang lebih cepat dan mematikan. Awal kematian pada suhu 25±2 oC pada hari ke-7, 8, lebih cepat dibanding suhu 20±2 oC (hari ke-11). Kematian pada perlakuan Tiii (suhu 30±2 oC) terjadi pada hari ke-12, namun kematian hanya terjadi pada satu individu.

4.3.1.3. Pengamatan Histopatologi untuk Validasi Kejadian Infeksi KHV Hasil pengamatan pada Gambar 5, 6 dan 7, menunjukkan dengan jelas bahwa pada perlakuan Ti, Tii dan Tiii (suhu 20, 25 dan 30±2 oC), menghasilkan

infeksi virus yang produktif. Pengamatan pada preparat histologi dari masing-masing perlakuan pada gambar tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa penginfeksian virus yang dilakukan menyebabkan terjadinya lesio pada tingkat sel berupa terbentuknya badan inklusi virus (Gambar 5.b, 6.b dan 7.b).

Bentukan badan inklusi merupakan pengaruh infeksi virus yang menggumpalkan kromatin dari sel inang (Murphy et al. 1999). Gambar 5.b; 6.b dan 7.b, memperlihatkan bentukan badan inklusi berwarna merah/pink yang bergerombol menyerupai buah anggur, sedangkan sel insang terlihat berwarna ungu/biru. Sel insang yang terinfeksi virus mengalami pembengkakan dan mengembang, terlihat pula adanya marginasi kromatin (menepi). Pengamatan lebih detail terhadap badan inklusi menunjukkan bahwa badan inklusi tergolong tipe intra nuclear. Hasil ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya (Hedrick

et al. 2000; Perelberg et al. 2003; Taukhid et al. 2004) yang menjelaskan bahwa, pengamatan preparat histologi (pewarnaan hematoksilin dan eosin) pada jaringan tubuh/organ yang terinfeksi menunjukan lesio pada tingkat sel, berupa pembentukan badan inklusi yang bersifat eosinofilik dengan inti hipertropi dan kromatin yang sedikit bersifat basofilik.

4.3.2. Status Kesehatan Ikan pada Berbagai Perlakuan Suhu