2.3 Varises Vena Tungkai Bawah .1 Prevalensi .1 Prevalensi
2.3.7 Gejala Klinis
Manifestasi klinis yang sering terjadi pada VVTB adalah gangguan kosmetik. Gejala klinis dari varises vena tungkai bawah yang dapat dirasakan pada penderita antara lain:
1. Nyeri di kaki setelah berdiri dalam waktu yang lama dan akan membaik ketika kaki diangkat lebih tinggi dari posisi jantung, atau dengan duduk berselonjor.
2. Kaki akan terasa berat, dan terkadang terdapat bengkak pada telapak kaki.
3. Munculnya guratan seperti cacing berwarna coklat kebiruan 4. Adanya perasaan kaku dan kram pada betis
Varises vena tungkai bawah primer dapat menyebabkan nyeri tumpul ringan pada tungkai, terutama ketika menjelang malam. Rasa tidak nyaman biasanya akan berkurang jika mengangkat kaki dan menggunakan kaus kaki penahan elastis. Rasa tidak nyaman dikarenakan oleh varises vena tungkai bawah sekunder cenderung lebih berat. Diagnosis terhadap varises vena tungkai bawah mudah dilakukan dan didasarkan pada observasi dan palpasi pada vena yang dilatasi (Price, 2006).
Secara gejala klinis, varises vena tungkai bawah dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Varises trunkal
Varises trunkal adalah varises vena tungkai bawah yang menyerang v. saphena magna dan v. saphena parva, dengan diameter lebih dari 8 mm, warna yang biru-biru kehijauan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
2. Varises retikular
Varises retikular adalah varises vena tungkai bawah yang menyerang cabang dari v. saphena magna atau v. saphena parva yang biasanya kecil dan berkelok hebat, dengan diameter 2-8 mm, warna yang biru kehijau-hijauan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
3. Varises kapilar
Varises kapilar adalah varises kapiler vena subkutan yang terlihat sebagai kelompok serabut halus pembuluh darah, dengan diameter 0,1-1 mm, warna merah, atau sianotik (jarang) (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
2.3.8 Anamnesis
Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain adalah (Suhartono, 2010):
a. Riwayat insufisiensi vena (seperti kapan awalnya terlihat abnormalitas pada vena, kapan terjadinya onset dari gejala, apakah diagnosis sebelumnya, dan riwayat kehamilan yang berhubungan dengan kondisi varises sebelumnya).
b. Keluhan penderita yang terdiri atas keluhan rasa lelah, rasa berat, rasa nyeri, rasa panas atau adanya sensasi terbakar pada tungkai, kejang pada otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik.
c. Gejala dan perkembangan dari lesi merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan untuk mengetahui separah apakah penyakit tersebut dan bagaimana perencanaan pengelolaannya.
d. Faktor predisposisi
e. Riwayat penyakit sistemik pengobatan dan tindakan medis atau pembedahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
f. Ada atau tidak riwayat keluarga dengan penyakit vaskular lainnya.
2.3.9 Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi
Inspeksi pada tungkai dilakukan di bawah pencahayaan yang cukup dengan posisi eksorotasi tungkai dan pemeriksaan tungkai yang abduksi dari arah belakang akan membantu visualisasi dari VVTB. Perlu diperhatikan apakah ada tanda kronisitas dan kelainan kulit, misalnya dermatitis statis, talengiektasis, perdarahan, edem, dan ulkus. Vena yang mengalami VVTB perlu untuk diperhatikan v. superfisial utama (VSM dan VSP) atau cabangnya. Umumnya vena tersebut tampak jelas melebar, berwarna kebiruan, dan berkelok-kelok. VVTB yang terdapat pada cabang v.
superfisial umumnya lebih berkelok-kelok dibandingkan dengan v.
superfisial utama (Suhartono, 2010; Reina, 1997).
b. Palpasi
Daerah pada vena yang berkelok-kelok diraba untuk menilai ketegangan dari VVTB dan seberapa besar pelebaran vena yang terjadi.
Pulsasi pada arteri harus teraba, jika tidak teraba, maka harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah terjadi obstruksi arteri.
Distribusi anatomi VVTB perlu digambarkan dengan jelas (Suhartono, 2010; Reina, 1997).
c. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan katup v.
superfisial. Caranya adalah dengan mengetuk vena bagian distal dan
dirasakan apakah ada gelombang yang menjalar sepanjang vena bagian proksimal (Reina, 1997).
d. Manuver perthes
Manuver Perthes merupakan teknik yang digunakan untuk membedakan antara aliran darah retrograde dengan aliran darah antegrade.
Tes ini dilakukan untuk menentukan apakah fungsi dari sistem v. profunda.
Penderita diminta untuk berdiri beberapa saat, lalu dipasangkan ikatan elastis di bawah lutut, ini dimaksudkan untuk membendung v. superfisial.
Kemudian penderita berjingkat beberapa kali supaya otot-otot betis berkontraksi sehingga darah dipompa dari sinusoid vena otot dan vena sekitarnya. Jika vena yang terletak di distal ikatan kempis ataupun kosong, berarti katup-katup v. perforantes dan v. profunda berguna dan tidak ada sumbatan. Maka sebaliknya, jika v. superfisial bertambah lebar berarti katup-katup tersebut mengalami kegagalan atau adanya sumbatan pada v.
profunda (Suhartono, 2010; Reina, 1997).
e. Tes trendelenburg
Tes ini dilakukan untuk menentukan derajat insufisiensi katup pada v. komunikans. Awalnya penderita berbaring dengan tungkai ditinggikan 30° sampai 45° selama beberapa menit untuk mengosongkan vena. Setelah itu akan dipasang ikatan yang terbuat dari bahan elastis di paha, tepat berada di bawah percabangan safeno femoral untuk membendung v. superfisial setinggi mungkin. Ketika penderita berdiri, pengisian vena diperhatikan.
Bila vena lambat untuk terisi ke proksimal, maka katup komunikans baik.
Vena akan terisi darah dari peredaran darah kulit dan subkutis. Bila vena cepat untuk terisi, misalnya dalam waktu 30 detik sudah terisi, maka terdapat insufisiensi katup komunikans. Uji Trendelenburg dikatakan positif jika terdapat pengisian v. safena yang patologis (Suhartono,2010;
Reina, 1997).
2.3.10 Pemeriksaan Penunjang a. Tes doppler
Tes Trendelenburg dapat memperkirakan berapa derajat dan ketinggian lokasi inkompetensi pada katup vena, namun ultrasonografi doppler dapat menunjukkan dengan tepat lokasi pada katup yang abnormal (Reina, 1997).
b. Duplex ultrasonography
Modalitas pencitraan standar yang digunakan untuk diagnosis sindrom insufisiensi vena dan juga untuk perencanaan pengobatan serta pemetaan sebelum operasi. Duplex ultrasonography merupakan kombinasi dari pencitraan model B dan Doppler. Pencitraan model B menggunakan tranduser gelombang ultra yang ditempelkan pada kulit sebagai detektor dan sumber. Pantulan dari gelombang suara yang terjadi memberikan citra struktur anatomi, dan pergerakan struktur, sehingga dapat dideteksi dalam bentuk bayangan (Reina, 1997).
c. Plebography
Plebography adalah pemeriksaan invasif yang menggunakan medium kontras. Ada 4 teknik pemeriksaan yaitu:
1. Ascending 2. Descending 3. Intra osseus 4. Varicography
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat sumbatan dan vena yang melebar, berkelok-kelok serta adanya katup yang rusak. Plebography juga dapat menunjukkan kekambuhan varises vena tungkai bawah paska operasi yang sering disebabkan oleh adanya kelainan v. perforantes di daerah kanalis hunter di paha (Suhartono, 2010; Reina, 1997).
2.3.11 Tatalaksana
Terapi varises vena tungkai bawah kebanyakan dilakukan atas indikasi kosmetik. Untuk indikasi medis, biasanya berupa keluhan kaki berat atau sakit jika berdiri dalam waktu yang lama. Perdarahan, adanya penambahan kulit hipotrofik, dan tromboflebitis superfisialis adalah indikasi medis lain (Jong W, Sjamsuhidajat R, 2010).
Penanganan VVTB, dapat konservatif (non bedah) dan/atau pembedahan, tergantung dari keadaan penderita serta berat ringannya suatu penyakit. Penanganan tidak hanya untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki fungsi vena, mencegah komplikasi, dan perbaikan kosmetik, tetapi juga dapat memperbaiki kualitas hidup dari penderita. Terapi ini akan menghilangkan nyeri dan rasa tidak nyaman serta mencegah terjadinya komplikasi seperti phlebitis yang kambuhan dan ulserasi (Adriana C, 2012).
1. Terapi Kompresi
Dasar penanganan insufisiensi vena adalah terapi kompresi.
Cara ini berguna untuk katup vena membantu pompa otot betis untuk mencegah kembalinya aliran darah vena, edem kaki, dan bocornya bahan fibrin sehingga pembesaran vena lebih lanjut dapat dicegah, tetapi tidak dapat untuk mengembalikan ukuran vena.
Terapi kompresi yaitu: compression stockings, compression bandages, dan pneumatic compression pumps. Compression Stocking digunakan sepanjang hari kecuali penderita tidur dan pemakaiannya harus tepat dari telapak kaki sampai bawah lutut.
Berdasarkan tekanan terhadap pergelangan kaki dibagi menjadi 4 kategori menurut klasifikasi European Standardization Commission, Compression stockings (CS), yaitu:
1. Compression Stocking dengan tekanan 16-20 mmHg pada thrombosis prophylaxis.
2. Compression Stocking dengan tekanan 21-30 mmHg pada varises vena tungkai bawah simtomatis post-skleroterapi dan kehamilan.
3. Compression Stocking dengan tekanan 31-40 mmHg pada post-trombotic syndrome.
4. Compression Stocking dengan tekanan >40 mmHg pada phlebolymphedema.
2. Skleroterapi
Penyuntikan larutan (sklerosan) ke dalam vena mengakibatkan terjadinya iritasi pada tunika intima dan merusak lapisan endotel, sehingga mengakibatkan trombosis, endosklerosis, dan fibrosis pembuluh darah yang selanjutnya akan diserap oleh jaringan sekitarnya tanpa terjadi rekanalisasi.
Sklerosan digolongkan dalam 3 jenis, yaitu:
1. Larutan osmotik/hipertonik (larutan garam hipertonik atau kombinasi dengan gula hipertonik).
2. Larutan deterjen (polidokanol).
3. Larutan iritan kimia (polyiodide iodide).
Skleroterapi dilakukan untuk telangiektasis, varises retikular, varises persisten atau rekuren paska bedah serta varises pada penderita lanjut usia (Adriana C, 2012).
Kontra indikasi skleroterapi pada varises tungkai bawah adalah obstruksi berat pada tungkai, riwayat trombosis vena profunda, penyakit pembekuan darah. Sedangkan kontra indikasi relatif adalah kehamilan, penderita imobilisasi, diabetes, obesitas, urtikaria, dan dugaan alergi terhadap sklerosa (Adriana C, 2012).
Efek samping yang mungkin timbul adalah urtikaria, hiperpigmentasi, dermatitis kontak, folikulitis, anyaman telangiektasis, lepuh, erosi, memar di sekitar suntikan, dan rasa nyeri. Komplikasi yang lebih serius tetapi jarang adalah nekrosis kulit, ulkus, mikrotrombus, hematom intravaskular, tromboplebitis superfisialis, trombosis vena profunda dengan emboli paru, anafilaksis (Adriana C, 2012).
3. Terapi pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita varises tungkai bawah dengan varises ukuran besar, varises pada tungkai atas sisi medial atau anterior, adanya komplikasi statis (pigmentasi, dermatitis, ulkus), simtomatik, dan insufisiensi perforantes (Adriana C, 2012).
Tujuan metode pembedahan adalah untuk menghilangkan gejala, mengurangi atau mencegah komplikasi, memulihkan fisiologi vena, dan memperbaiki penampilan (kosmetik). Kontraindikasi tindakan pembedahan adalah usia lanjut atau keadaan umum buruk, berat badan berlebihan, tromboflebitis aktif, tukak vena terinfeksi, kehamilan, sumbatan arteri menahun pada tungkai bersangkutan, dan tumor besar intra abdomen (Adriana C, 2012).
Komplikasi tindak bedah pada varises tungkai bawah adalah perdarahan, infeksi, edema tungkai, kerusakan saraf kulit (n. saphena atau n. suralis), limfokel, dan trombosis vena profunda. Infeksi berat dapat terjadi pada bekas saluran “stripper”. Untuk mencegah edema tungkai dianjurkan untuk memakai kaos kaki elastis selama dua bulan pasca bedah. Limfokel terbentuk karena saluran limfe terpotong saat operasi, pengobatannya cukup dengan aspirasi. Trombosis vena dalam dapat berakibat fatal (Adriana C, 2012).
4. Terapi laser / Endovenous Laser Therapy (ELT)
ELT adalah terapi untuk varises tungkai bawah dimana serat optik dimasukkan ke dalam pembuluh darah yang akan diobati dan sinar laser (biasanya di bagian inframerah dari spektrum) diarahkan ke bagian dalam pembuluh darah. Terapi ini lebih tidak menyakitkan dibanding vein ligation and stripping, menggunakan anestesi lokal serta memiliki waktu pemulihan yang lebih pendek. Selain itu, laser adalah pilihan yang baik untuk mengobati pembuluh yang resisten terhadap skleroterapi (Adriana C, 2012).
Kontraindikasi ELT adalah pasien hamil atau menyusui, sistem vena dalam tidak memadai untuk mendukung aliran balik vena setelah terapi, disfungsi hati atau alergi yang mustahil menggunakan anestesi lokal, sindrom hiperkoagulabilitas berat, refluks vena skiatik.
Komplikasi yang dapat timbul adalah perforasi vena, trombosis vena dalam, ekimosis, hiperpigmentasi dan reaksi alergi (Adriana C, 2012).
2.3.12 Pencegahan
Penderita VVTB harus mencegah berlanjutnya varises vena tungkai bawah dengan memperbaiki kualitas hidup seperti:
1. Tidur dengan tungkai dinaikkan (15-20 cm).
2. Menghindari berat badan yang berlebihan. Diet kaya serat dianjurkan.
3. Hindari berdiri terlalu lama. Sedapat mungkin melakukan relaksasi jika dalam aktifitas sehari-hari dituntut untuk berdiri lama.
4. Hindari terlalu lama duduk dengan kaki yang menyilang. Posisi ini dapat menghambat aliran darah dari tungkai ke arah jantung.
5. Berolahraga secara teratur. Olahraga yang dianjurkan yaitu berjalan, berenang, senam. (Adriana, 2012)
2.3.13 Komplikasi
Hipertensi vena persisten akan mempengaruhi fungsi kapiler, tekanan trans mural dan intra mural akan meningkat, mendorong cairan, elektrolit dan eritrosit keluar memasuki jaringan sehingga terjadi edem dan hiperpigmentasi. Kapiler mengalami dilatasi dan penurunan kecepatan aliran darah, hal ini akan mempengaruhi adhesi leukosit (neutrofil) pada mikrosirkulasi dan venula post kapiler, akibatnya leukosit akan terperangkap pada endotel dan teraktivasi sehingga melepaskan radikal
bebas, enzim proteolitik dan sitokin, di samping itu fibrin perikapiler akan menjadi barier terhadap difusi oksigen dan nutrisi lain. Semua keadaan ini menyebabkan kerusakan jaringan berupa hipoksia, iskemik, nekrosis lemak, pigmentasi kulit, dan ulkus (Adriana, 2012)
Varises adalah penyakit yang serius jika tidak ditindaklanjuti maka akan berdampak bagi kesehatan dan berisiko pada bagian tubuh lainnya.
Menurut Suhartono, varises yang masih terbilang ringan dan tidak merasakan gejala penyakit tersebut kadang kala membuat penderita membiarkannya, padahal jika dibiarkan maka akan ada risiko komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit varises yaitu seperti kulit menjadi kering, bersisik, dan memerah, adanya penggumpalan darah dan peradangan pada pembuluh vena pada bagian kaki, dapat juga terjadi penebalan pada kulit kaki akibat ulkus vena yang terluka akibat kenaikan tekanan pada vena, terjadi perdarahan akibat dari meningkatnya tekanan darah dan akan mudah terjadi perdarahan ketika vena tersebut terkena benturan. Jika hal tersebut masih terus dibiarkan maka aliran darah menjadi rusak dan dapat menyebabkan pembekuan di dalam pembuluh darah. Pembekuan tersebut mengakibatkan pembengkakan dan jika pembekuan darah tersebut lepas dan masuk ke paru-paru akan berakibat fatal maka hal yang terburuk adalah mengakibatkan penyumbatan darah pada paru-paru (emboli paru-paru) serta kegagalan pemompaan darah pada jantung (gagal jantung) (Adriana, 2012).
2.4 Menopause