BAB I. PENGANTAR
I. Gelling Agent
dan Propilen Glikol Sebagai Humektan Dalam Sediaan Gel Anti-aging Ekstrak Spirulina platensis Menggunakan Aplikasi Desain Faktorial” belum
pernah dilakukan. Penelitian serupa yang pernah dilakukan yaitu :
a. “Pengaruh Penambahan CMC (Carboxymethyl Cellulose) Sebagai Gelling
Sunscreen Ekstrak Kering Polifenol Teh Hijau (Camellia sinensis L.)”
(Dwiastuti, 2010). Penelitian tersebut berisikan tentang formulasi sediaan gel dengan ekstrak kering polifenol teh hijau dan dilihat faktor yang paling dominan antara CMC-Na dan propilen glikol dalam menentukan respon. Hasil yang diperoleh yaitu CMC mempunyai pengaruh yang dominan dalam menentukan respon viskositas, daya sebar dan pergeseran viskositas.
b. “Optimasi Gelling Agent CMC-Na dan Humektan Propilen Glikol dalam
Sediaan Gel Anti-inflamasi Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe
pinnata L.) dengan Aplikasi Desain Faktorial” (Novalia, 2015). Pada
penelitian tersebut dilakukan optimasi menggunakan CMC-Na dan propilen glikol namun dengan ekstrak daun cocor bebek sebagai anti-inflamasi. Hasil yang diperoleh yaitu CMC-Na merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan sifat fisik sediaan gel anti-inflamasi ekstrak daun cocor bebek.
c. “Optimasi Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) dengan Variasi Kadar Na-CMC dan Propilenglikol terhadap Sifat Fisik Sediaan pada Uji Aktivitas Antibakteri” (Utami, 2014). Penelitian ini menggunakan ekstrak daun tembakau sebagai antibakteri. Hasil yang diperoleh dengan metode Simplex Lattice Design (SLD) yaitu formula optimum gel memiliki komponen Na-CMC sebesar 1,7 gram dan propilen glikol sebesar 23,3 gram.
Pada hasil penelusuran pustaka tersebut, penelitian terkait pembuatan gel menggunakan CMC-Na sebagai gelling agent dan propilen glikol sebagai humektan dengan ekstrak air Spirulina platensis sebagai zat aktif yang berfungsi sebagai anti-aging belum pernah dilakukan.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis. Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan ilmiah mengenai formulasi gel
anti-aging ekstrak Spirulina platensis dengan CMC-Na sebagai gelling
agent dan propilen glikol sebagai humektan.
b. Manfaat metodologis. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai komposisi optimum dari CMC-Na sebagai gelling agent dan propilen glikol sebagai humektan dengan aplikasi desain faktorial pada pembuatan gel anti-aging ekstrak Spirulina platensis.
c. Manfaat praktis. Penelitian ini dapat menghasilkan sediaan gel anti-aging ekstrak Spirulina platensis yang memiliki sifat fisik dan stabilitas yang baik.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Membuat sediaan gel anti-aging ekstrak Spirulina platensis dengan gelling
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui faktor yang dominan antara CMC-Na, propilen glikol atau interaksi keduanya dalam menentukan sifat fisik sediaan gel ekstrak
Spirulina platensis.
b. Mendapatkan formula yang optimum untuk membuat gel anti-aging ekstrak Spirulina platensis dengan gelling agent CMC-Na dan humektan propilen glikol.
c. Mengetahui persen aktivitas antioksidan dalam ekstrak air Spirulina
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Kulit
Menurut Wibowo (2008), kulit merupakan lapisan atau jaringan paling luar dari tubuh yang menutupi tubuh dan melindungi tubuh dari bahaya yang datang dari luar. Kulit juga merupakan bagian dari tubuh yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk memperindah kecantikan dan juga kulit dapat digunakan untuk deteksi penyakit yang diderita pasien.
Kulit berfungsi sebagai penahan dua arah yaitu membantu menyimpan cairan tubuh, mencegah dehidrasi komponen-komponen tubuh bagian dalam dan sekaligus mencegah masuknya organisme-organisme infeksius dan zat-zat beracun kedalam tubuh (Goeser, 2008). Dalam bukunya yang berjudul Dermatologi, Brown dan Burns (2005) menyatakan kulit berfungsi untuk mencegah terjadinya kehilangan cairan tubuh yang esensial, melindungi dari masuknya zat-zat kimia beracun dari lingkungan dan mikroorganisme, mengatur suhu tubuh, serta melindungi kerusakan akibat radiasi sinar UV matahari.
Kulit tumbuh dari dua macam jaringan yaitu jaringan epitel dan jaringan pengikat (penunjang). Jaringan epitel menumbuhkan lapisan epidermis sedangkan jaringan pengikat menumbuhkan lapisan dermis (kulit dalam) (Syaifuddin, 2009).
Kulit terdiri dari beberapa lapisan, yaitu lapisan epidermis (kulit ari), dermis (kulit jangat) dan subcutis. Lapisan kulit epidermis terdiri dari banyak
lapisan keratonosit yang aktif melakukan regenerasi dengan proses selama 28 hari. Pada lapisan dalam akan terbentuk pigmen (melanosit) dan pada lapisan luar terbentuk jaringan tanduk. Lapisan kulit dermis terdiri dari banyak serat kolagen dan elastin yang menunjang kekenyalan kulit, dan terdapat kelenjar keringat, kelenjar lemak, akar rambut, ujung-ujung saraf perasa, dan pembuluh darah kapiler. Lapisan kulit subcutis banyak terbentuk dari lapisan atau jaringan lemak (Dwikarya, 2007).
Gambar 1. Struktur kulit (Particle Sciences, 2009).
B. Penuaan Dini
Secara klinis, penyebab terjadinya penuaan pada kulit dibagi menjadi 2 macam, yaitu penuaan intrinsik (chronological aging) dan penuaan ekstrinsik (photoaging). Penuaan intrinsik adalah proses penuaan yang terjadi karena faktor fisiologis dan perubahan ini terjadi sesuai dengan umur. Penuaan ekstrinsik merupakan penuaan yang disebabkan oleh faktor ekternal (diluar tubuh) seperti sinar matahari, polusi udara, alat elektronik, dan nutrisi yang tidak seimbang (Yaar dan Gilchrest, 2003). Adanya radikal bebas merupakan salah satu faktor
ekstrinsik yang berperan dalam menyebabkan penuaan pada kulit dapat terjadi lebih cepat (premature aging) (Jusuf, 2005).
C. Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya sehingga relatif tidak stabil (Pinnell, 2003). Untuk memperoleh kestabilan, molekul yang bersifat reaktif tersebut akan mencari pasangan elektronnya, sehingga disebut sebagai reactive
oxygen species (ROS). Mekanisme ROS untuk memperoleh kestabilan dapat
dengan donasi, namun umumnya “mencuri” dari sel tubuh lain (Baumann, 2002).
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang secara langsung terpajan oleh sinar matahari (Hakozaki, Date, Yoshii, Toyokuni, Yasui, dan Sakurai, 2008). Sinar UV dari matahari dapat menyebabkan terjadinya penuaan dini pada kulit karena adanya aktivitas dari radikal bebas (Baumann, 2002). Secara in vitro, berdasarkan panjang gelombang dari sinar UV dapat diketahui bahwa radiasi UV merupakan inisiator pembentukan ROS pada kulit. Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar UV dibedakan atas tiga jenis yaitu UVA (320-400 nm), UVB (290-320 nm) dan UVC (200-290 nm) (Wang, Balagula, dan Osterwalder, 2010).
Radiasi sinar UV adalah inisiator poten dari generasi ROS pada kulit. Jenis dari ROS yang dihasilkan bergantung pada panjang gelombang dari sinar UV. Terutama sinar UVB yang menstimulasi produksi dari O2- melalui aktivasi NADPH oksidase dan reaksi respirasi berantai, sedangkan UVA menghasilkan
O2 melalui reaksi photosensitizing dengan kromofor internal seperti riboflavin. UVA juga menghasilkan O2- melalui aktivasi NADPH oksidase (Masaki, 2010).
Sinar UVB mencapai atmosfer bumi dengan kadar yang cukup tinggi dan menyebabkan kulit terbakar (sunburn) atau kecoklatan (sutan) pada lapisan kulit ari. Sedangkan sinar UVA mampu menembus lapisan lemak pada kulit, sehingga menyebabkan kerusakan kolagen dan jaringan elastin, yakni zat yang membuat kulit menjadi kuat dan kenyal (Dwikarya, 2007).
DPPH adalah radikal bebas yang stabil dengan pita serapan pada panjang gelombang 515-517 nm (Widyaningsih, 2010). Hasil pengukuran pada panjang gelombang tersebut akan memberikan hasil absorbansi DPPH yang semakin kecil bila ditambah antioksidan. Metode DPPH ini secara luas digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan atau antiradikal senyawa fenolik serta ekstrak tumbuhan alami (Shalaby dan Shanab, 2013).
D. Spirulina platensis
Antioksidan adalah senyawa yang dapat memberikan pertahanan pada sel-sel tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan secara optimal dapat menjaga kesehatan (Isnindar, 2011). Menurut Wahlqvist (2013), antioksidan mampu menstabilkan atau menghentikan pembentukan radikal bebas dan reaksi berantainya sebelum radikal bebas tersebut menyerang sel-sel dan sistem sistemik tubuh.
Penelitian terbaru menemukan bahwa Spirulina memiliki potensi yang tinggi sebagai antioksidan karena secara nyata dapat memberikan perlindungan
pada kesehatan (Ali dan Saleh, 2012). Spirulina platensis adalah mikroalga hijau-biru yang berbentuk helix, berfilamen, multiseluler, dan berfotosintesis (Sanchez, Castillo, Rozo, dan Rodriguez, 2003).
Gambar 2. Morfologi Spirulina platensis diamati menggunakan mikroskop elektron (Ciferri, 1983).
Berdasarkan klasifikasinya, Spirulina platensis masuk dalam genus Arthrospira dan merupakan kelompok Cyanobacteria dan Prochlorales (Sanchez
et al., 2003). Menurut Kabinawa (2006), Spirulina platensis dikelompokkan
kedalam Thallophyta yaitu tumbuhan yang tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Dalam kelompok Thallophyta, Spirulina masuk dalam dunia alga dengan klas Cyanobacterium karena tidak memiliki inti sel (akaryota). Klasifikasi dari
Spirulina platensis menurut Kabinawa (2006) :
Divisi : Cyanophyta Klas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscillatoriaceae Marga : Spirulina
Komposisi kandungan dari Spirulina platensis yaitu protein (55%-70%), karbohidrat (15%-25%), asam lemak esensial (18%), vitamin, mineral, dan pigmen yang terdiri dari karoten, klorofil dan phycocyanin (Ali dan Saleh, 2012).
Spirulina platensis memiliki berbagai senyawa berwarna (pigmen warna) yang
meliputi klorofil, karotenoid dan phycobiliprotein.
Phycobiliprotein adalah protein pigmen fluorescent yang stabil dan
berwarna cerah yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu
phycocyanin (biru), phycoerythrin (merah tua) dan allophycocyanin (hijau
kebiruan) tergantung pada warna dan absorbansinya (Kamble et al., 2013).
Phycobiliprotein yang terdapat dalam Spirulina platensis terutama phycocyanin
memiliki berbagai fungsi secara biologis dan farmakologis, yaitu sebagai antioksidan, antiviral, anti-kanker, hepatoprotektif, antitumor, penangkap radikal, melindungi dari radiasi, dan anti-inflamasi (Sharma et al., 2014).
Menurut Wolfe (2009), penggunaan Spirulina platensis secara topikal dapat melindungi kulit dari paparan sinar matahari berlebih. Beberapa kandungan dari Spirulina platensis yang berfungsi sebagai antioksidan adalah β-karoten dan karotenoid lainnya, klorofil, zeaxanthin, superoxide dismutase (SOD),
phycocyanin, dan pigmen warna lainnya. Spirulina yang mengandung
phycocyanin merupakan penangkap radikal bebas yang poten dan menghambat
E. Ekstraksi dengan Maserasi
Ekstraksi dengan maserasi adalah proses pengekstrakan atau penyarian zat-zat bermanfaat dengan pelarut dan pengadukan pada temperatur ruang kamar. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam (Harbone, 1987). Proses pengolahan ekstraksi bahan tumbuhan obat dengan pelarut yang sesuai (air, alkohol, dan pelarut organik) menjadi ekstrak cair atau ekstrak kering banyak dilakukan untuk tujuan standarisasi sediaan obat herba sekaligus memberi keuntungan dari segi formulasi sediaannya (Sinambela, 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak antara lain yaitu kualitas bahan baku, jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel bahan, suhu selama proses ekstraksi dan pH ekstrak (Hernani, Marwati, dan Winarti, 2007).
F. Spektrofotometri
Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu molekul pada panjang gelombang tertentu untuk tujuan analisa secara kualitatif dan kuantitatif. Spektrofotometri dibedakan menjadi 2 yaitu UV dan sinar tampak. Spektofotometri UV memiliki panjang gelombang antara 200-400. Spektrofotometri sinar tampak mempunyai panjang gelombang antara 400 hingga 750 tergantung oleh warna yang diamati dan diserap (Gandjar dan Rohman, 2007).
Spektrofotometri dapat digunakan untuk mengukur kadar sampel secara kuantitatif. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku, atau dengan menggunakan persamaan regresi linear yang menyatakan hubungan antara konsentrasi baku dengan absorbansinya. Perasamaan yang diperoleh tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung kadar dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
G. Desain Faktorial
Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yang berupa teknik untuk memberikan hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas (Bolton, 1997). Desain faktorial dapat digunakan untuk melihat dan mengetahui faktor dominan yang berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon. Komponen dalam desain faktorial meliputi faktor, level, respon dan interaksi antar faktor yang mempengaruhi respon (Supriyanto, 2011).
Faktor merupakan variabel bebas yang ditetapkan, misalnya suhu, waktu, konsentrasi dan macam bahan. Faktor tersebut dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, namun keduanya harus dapat ditetapkan harganya dengan angka. Level merupakan nilai atau tetapan dari faktor. Dalam formulasi dengan desain faktorial, perlu ditetapkan level yang meliputi level tinggi dan level rendah. Respon merupakan hasil terukur yang diperoleh dari percobaan yang telah dilakukan. Respon tersebut berubah karena adanya variasi dari level. Interaksi
adalah batas dari penambahan efek-efek faktor, dan dapat bersifat sinergis atau antagonis (Supriyanto, 2011).
H. Gel
Gel adalah suatu sistem semisolid yang tersusun atas dispersi molekul kecil atau besar dalam pembawa berair seperti jeli dengan penambahan bahan pembentuk gel (gelling agent) (Allen, Popovich, dan Ansel, 2010). Gel merupakan sediaan yang memiliki sistem penghantaran obat yang baik untuk berbagai rute pemberian dan cocok dengan berbagai senyawa obat (Allen, 2002).
Selain bahan pembentuk gel dan air, formulasi gel juga terdiri dari bahan obat yaitu : pelarut, seperti alkohol dan/atau propilen glikol ; pengawet antimikroba, seperti metilparaben dan propilparaben atau klorheksidin glukonat ; dan penstabil, seperti dinatrium edetat (Allen, Popovich, dan Ansel, 2005).
I. Gelling Agent
Gelling agent adalah bahan untuk pembentuk gel. Berbagai bahan
pembentuk gel (gelling agent) yang dapat digunakan yaitu berupa molekul sintetik, seperti karbomer 934, derivat selulosa, seperti karboksimetilselulosa, hidroksipropil metilselulosa dan gum alami seperti tragakan (Allen et al., 2010).
CMC-Na (Sodium Carboxymethylcellulose) merupakan polimer anion dengan berbagai tingkatan yang dibedakan berdasarkan berat molekul dan derajat substansi. Karakteristik gel yang dihasilkan seperti konsistensi dan viskositas
tergantung pada konsentrasi polimer dan berat molekulnya (Lieberman, Lachman, dan Schwatz, 1998).
CMC-Na dapat mengendap pada pH dibawah 2. CMC-Na stabil pada pH 2 hingga 10 dengan stabilitas maksimum pada pH 7 hingga 9. CMC-Na tidak dapat bercampur dengan alkohol. CMC-Na sebagai gelling agent akan membentuk gel yang termasuk dalam klasifikasi hidrogel. Hidrogel merupakan bahan yang terdispersi sebagai koloid atau larut dalam air. CMC-Na larut air pada semua temperatur (Allen et al., 2010).
CMC-Na banyak digunakan dalam sediaan oral maupun topikal dengan tujuan utama untuk meningkatkan viskositas. CMC-Na juga dapat meningkatkan daya lekat gel pada kulit. Sebagai agen pembentuk gel, dapat digunakan CMC-Na dengan konsentrasi 3-6% (Rowe, Sheskey, dan Quinn, 2009).
Gambar 3. Struktur CMC-Na (Rowe et al., 2009).