• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Gender

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1. Landasan Teori

Pada sub bab ini peneliti memaparkan teori-teori yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini, baik dalam konteks pembenaran (justifikasi) maupun penolakan (flasifikasi).

Borg dan Gall dalam Irawan (2004: 36) memberi definisi teori sebagai berikut:

“…theory is a system for explaining a set of phenomena by specifying constructs an the law that relate these constructs to each other”. (Teori adalah system yang bertujuan untuk menjelaskan suatu fenomena dengan cara merinci konstruk-konstruk (yang membentuk fenomena itu), beserta hokum atau aturan yang mengatur keterkaitan antara satu konstruk dengan yang lainnya.

Teori sangat dibutuhkan sebagai acuan bagi peneliti untuk menganalisa dan memahami realitas yang diteliti secara ilmiah. Berikut akan peneliti paparkan teori-teori yang peneliti gunakan sesuai dengan masalah penelitian yang telah peneliti identifikasi.

2.1.1. Gender

Deaux dan Kite dalam Partini (2013: 17) menyebutkan bahwa Gender merupakan bangunan sosial dan kultural yang pada akhirnya membedakan antara karakteristik maskulin dan feminin. Dilanjutkan oleh Davis dalam Partini (2013: 17):

“Maskulin dan Feminin bersifat relatif, tergantung pada konteks sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Konsep gender muncul karena para ilmuwan sosial melihat bahwa subordinasi perempuan merupakan hal yang umum dan berjalan bertahun-tahun dengan keuntungan di pihak laki-laki sehingga nyaris menjadi sebuah ideologi.”

Ideologi gender merupakan ideologi yang mengkotak-kotakkan peran dan posisi ideal perempuan di dalam rumah tangga dan masyarakat. Peran adil inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang baku dan stereotip (Sadli dalam Partini, 2013: 17). Ideologi gender seringkali memojokkan perempuan ke dalam sifat feminin, yaitu karakteristik kepantasan yang dianggap sesuai dengan keperempuannya, dampaknya ialah segala sesuatu yang sejalan dengan ideologi gender mendatangkan perasaan aman bagi sebagian terbesar laki-laki dan sebagian kecil perempuan. Karakteristik kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat, dan semakin baku ini, berkaitan erat dengan kebudayaan setiap daerah karena gender yang berlaku di dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat yang bersangkutan.

Gender yang berlangsung di dalam masyarakat karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system) (Deaux dan Kite dalam Partini, 2013: 18). Sistem kepercayaan gender ini didasarkan pada sejumlah kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki yang maskulin, dan perempuan yang feminin. Sistem ini mencangkup sikap terhadap peran dan perilaku yang baku dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan. Pola baku inilah yang akhirnya membentuk suatu stereotip, suatu pengkotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan. Deaux dan Kite (Partini 2013:18)

menyatakan bahwa sistem kepercayaan tentang bagaimana “sebenarnya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana “seharusnya” laki-laki dan perempuan bersikap.

Selanjutnya Deaux dan Kite (Partini, 2013: 18) juga menunjukan bahwa setiap masyarakat memiliki citra yang jelas tentang bagaimana “seharusnya” laki-laki dan perempuan. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Williams dan Best (yang dikutip oleh Deaux dan Kite) di 30 negara menunjukan adanya kesamaan pandangan tentang atribut laki-laki dan perempuan. Penelitian ini membuktikan bahwa meskipun gender tidak bersifat umum (universal), tetapi generalisasi atas pandangan kultural tetap ada. Pada umumnya laki-laki dipandang lebih kuat dan aktif, mempunyai keinginan yang besar untuk mencapai sesuatu, memiliki dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai makluk yang lemah dan pasif. Mereka bersifat mengalah dan afiliatif serta lebih memperhatikan lingkungan.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan asumsi yang kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu masyarakat tidak selalu dapat menunjukan kenyataan yang akurat dan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan mengandung kesalahan interpretasi dan/atau pandangan yang bias (biased preception). Adalah benar bahwa beberapa aspek stereotip gender dan

sistem kepercayaan masyarakat didasarkan pada kenyataan yang dialami atau yang sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Lips (Fakih 1999: 8-9). mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Comte dalam Putra (2000: 27-28) menegaskan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini:

“Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan”.

Etimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu: fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya.

Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respon terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara ceoat dianggap perubahan disfungsional.

Lips dan Shield dalam Parson dan Bales (2000: 37-38) membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke Sosiologi, sedangkan teori Fungsionalis lebih condong ke Psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).

Dokumen terkait