• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Gender

1. Pandangan tentang Gender

Menurut Saptari &Holzner (dalam Shanti, Theresia Indira, 2011: 71), Gender adalah keadaan dimana individu yang lahir secara biologis sebagai laki dan perempuan memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan.

Gender merupakan konsep sosial budaya yang dapat mempengaruhi adanya perbedaan psikologis dan perilaku seseorang. (Shanti, Theresia Indira, 2011: 71).

Konsep gender sangat melekat pada diri individu, dan dibedakan dari jenis kelamin secara biologis. Pola pikir, tindakan, dan sikap dalam

kehidupan berperan sebagai penentu karakteristik laki-laki atau perempuan.

Bila Gender dipandang secara biologis menyatakan bahwa dalam pasangan kromosom yang ke-23 pada manusia (kromosom jenis kelamin) menentukan apakah janin tersebut perempuan (XX) atau laki-laki (XY). Tak seorang pun menyangkal adanya perbedaan genetika, biokimia, dan anatomi antar jenis kelamin. Bahkan para ahli gender yang memiliki orientasi lingkungan yang kuat mengakui bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda karena perbedaan fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam reproduksi (John, 2009: 217).

Caplan (dalam Fakih, 1996: 71 - 72) dalam The Cultural Construction of Sexuality yang menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.

Orangtua secara umum memperlakukan anak mereka sesuai dengan perbedaan gender. Anak laki-laki dibimbing untuk melakukan aktivitas yang berbeda dengan anak perempuan. Aktivitas yang lebih agresif diterapkan untuk anak laki-laki, sedangkan anak perempuan diarahkan untuk melakukan aktivitas yang feminim seperti bermain boneka dan mengasuh anak. Dalam kehidupan sehari-hari seperti hubungan antar teman di sekolah mengarahkan kepada peran sosialisasi

gender. Laki-laki bermain dengan sesamanya dan perempuan bermain dengan sesama perempuan. Sekolah dan guru juga berperan penting dalam pengaruh sosialisasi gender terhadap anak laki-laki dan perempuan (John, 2009: 210).

2. Sterotip Gender

Sterotip gender adalah kategori yang luas yang mencerminkan kesan dan keyakinan suatu perilaku yang sesuai untuk perempuan dan laki-laki (John, 2009: 220). Pertimbangan kategori „maskulin‟ atau „feminine‟ dapat di nilai dari beberapa perilaku, seperti tumbuhnya bulu wajah sebagai „maskulin‟, dan tubuh yang bulat dan berlekuk sebagai „feminin‟.

Menurut Ruble dkk (John, 2009: 221), pemberian sterotip gender berubah sesuai dengan tingkat perkembangannya. Ketika anak-anak memasuki sekolah dasar mereka sudah mengetahui aktivitas aktivitas yang mengarah untuk menjadi laki-laki atau perempuan.

Pada usia 5 tahun baik laki-laki maupun perempuan memberikan streotip pada laki-laki sebagai seorang yang kuat atau dalam konotasi negatif, seperti jahat, dan perempuan dalam istilah yang lebih positif seperti baik hati (Miller & Rubber dalam John, 2009: 221).

Menurut Ginzberg (dalam Nurachman, 2011: 40), anak usia 3 sampai 6 tahun mulai mengidentifikasi diri dengan orangtuanya. Di usia ini, anak mulai mengembangkan pemikiran mengenai dunia pekerjaan

yang bervariasi dengan melihat contoh peran dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Pada usia 6 sampai 11 tahun anak laki-laki akan memilih pekerjaan yang bersifat aktif dan berorientasi fisik, sedangkan anak perempuan memilih pekerjaan yang people-oriented yang bersifat menolong orang lain. Pemilihan pekerjaan ini didasarkan pada kesukaan atau fantasi anak. Di usia 10 sampai 12 tahun pemilihan pekerjaan sudah didasari oleh minat dan kemampuan anak, di usia ini sterotip gender dalam pekerjaan belum dipermasalahkan.

Pada masa remaja awal, pemberian sterotip gender meningkat kembali, laki-laki dan perempuan mulai bingung dan muncul kekawatiran terhadap perubahan tubuh mereka pada masa pubertas. Strategi yang aman bagi laki–laki untuk menjadi laki-laki yang sebaik mungkin adalah adalah menjadi „maskulin‟ dan menjadi “feminim” bagi perempuan (Galambos dalam John, 2009: 221). Pemilihan karir di usia remaja awal sudah berdasarkan pertimbangan kemampuan dan kelemahan yang dimiliki.

Pada usia remaja pertengahan, mulai muncul gejolak emosi yang besar dan merupakan masa sulit bagi siswa laki-laki maupun perempuan dalam hal perencanaan karir yang sesuai dengan status dan prestise. Di akhir masa remaja, saat anak duduk di akhir bangku SMA, yang menjadi pertimbangan utama bukan lagi status dan prestise melainkan peluang karir (Nurachman, 2011: 142). Menurut Miller, Patricia (2006: 370), hasil penelitian pelajar SMU menujukkan, bahwa

siswa laki-laki lebih memilih jurusan sains untuk menunjang karirnya, sedangkan siswa perempuan lebih memilih jurusan yang berorientasi pada masyarakat (people-oriented) untuk karirnya. Alasan beberapa siswa perempuan yang memilih sains dalam pendidikan, dikarenakan sains merupakasn syarat memasuki jenjang karir yang berhubungan dengan masyarakat seperti kedokteran, bukan karena ketertarikan mereka dengan sains (Miller, Patricia, 2011: 373).

3. Persamaan dan Perbedaan Gender

Dalam bidang akademik banyak perbedaan dan persamaan yang terjadi menyangkut berbagai aspek. Menurut Smoll & Schutz (1990) dalam bidang atletis di sekolah dasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak perempuan, seperti: berlari, melempar dan melompat, namun perbedaan tersebut tidak terlalu menonjol dibandingkan di sekolah tingkat menengah, perbedaan tersebut menjadi semakin dramatis. Terjadi demikian dikarenakan pada massa pubertas terjadi penambahan massa otot pada anak laki-laki yang menguntungkan untuk berprestasi di bidang olahraga. Berbeda dengan anak perempuan yang akan mengalami penambahan lemak didalam tubuh ketika pubertas sehingga kemungkinan untuk berprestasi di bidang olahraga atau dalam hal gerakan motorik sangat kecil (Thomas & Thomas dalam John, 2009: 222).

Menurut beberapa ahli kemampuan anak laki-laki dan anak perempun dalam keterampilan dan ilmu pengetahuan alam berbeda. Menurut Eisenberg, Martin & Fabes (dalam John, 2009: 222), menganalisa bahwa anak laki-laki berprestasi lebih baik dalam matematika. Seperti yang dinyatakan (The Nation‟s Report Card, 2005) dalam Assement of Education Progress di AS, anak laki-laki kelas empat dan delapan terus lebih unggul daripada anak perempuan dalam pelajaran matematika selama tahun 2005. Pencapaian prestasi di dasari karena adanya kesukaan terhadap mata pelajaran, seperti yang dikemukakan oleh oleh Miller, Patricia, dkk (2006: 368), hasil penelitian di pelajar SMA menunjukkan bahwa siswa laki-laki lebih menyukai matematika dan ilmu sains daripada perempuan, dan perempuan lebih menyukai mata pelajaran sastra seperti inggris dan spanyol.

Ditinjau dari kemampuan verbal menurut Maccoby & Jacklin (dalam John, 2009: 223) menyimpulkan bahwa perempuan memiliki keterampilan verbal yang lebih baik daripada laki-laki. Namun terdapat analisis yang berbeda yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan atau hanya ada sedikit perbedaan dalam keterampilan verbal perempuan dan laki-laki. Pada bagian verbal tes SAT pria mendapatkan nilai yang sama tinggi dengan wanita (Educational service, 2002). Lain halnya dengan sekolah di tingkat dasar dan menengah pertama, ada bukti kuat yang menyatakan bahwa perempuan lebih unggul daripada lak-laki

dalam membaca dan menulis. Perempuan mempunyai prestasi membaca yang lebih tingggi daripada pria di kelas empat, delapan, dan duabelas dengan perbedaan yang semakin besar ketika siswa-siswa mengalami kemajuan di sekolah (Coley dalam John, 2009: 224 ).

Menurut Dezolt & Hull (dalam John, 2009: 224), Laki-laki mendominasi prestasi menengah ke bawah dari kelas-kelas sekolah tingkat mengengah ke atas. Siswa perempuan lebih terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas, penuh perhatian, dan selalu berupaya dalam akademis daripada siswa laki-laki. Tetapi siswa perempuan cenderung untuk meremehkan prestasi mereka (Ruble dkk dalam John, 2009: 224). Perbedaan emosi antara siswa laki-laki dan perempuan terlihat pada masa remaja awal, anak perempuan lebih banyak mengalami rasa sedih, malu, bersalah, dan lebih sering menunjukkan emosi tersebut daripada laki-laki (Rubel dkk dalam John, 2009: 226).

4. Bias Gender

Perbedaan gender sering kali menimbulkan bias gender terhadap siswa laki-laki dan perempuan. Kekuatiran inilah yang sering dialami oleh sekolah dan guru-guru. Berikut ini adalah fakta bias gender pada siswa laki-laki dan perempuan dalam hal interaksi di sekolah yang dapat dipertimbangkan (Dezolt & Hull dalam John, 2009: 230).

a. Siswa perempuan lebih bersikap patuh, mengikuti peraturan, berpenampilan rapi, dan teratur daripada siswa laki-laki.

b. Guru perempuan menyebabkan siswa lak-laki sulit untuk beradaptasi dalam hal pemikiran dan meniru karakteristik guru daripada siswa perempuan.

c. Siswa laki-laki lebih banyak mendapat masalah dalam belajar daripada perempuan.

d. Siswa laki-laki lebih sering dikritik daripada perempuan.

e. Staf di sekolah sering mengabaikan kenyataan bahwa siswa laki-laki memiliki masalah dalam hal akademis khususnya dalam seni bahasa. f. Staf sekolah sering memberikan sterotip bahwa setiap perilaku siswa

laki-laki itu bermasalah.

Menurut Sadker & Sadker (dalam John, 2009: 231), terdapat fakta bias gender di dalam kelas yang dapat dipertimbangkan sebagai berikut:

a. Di dalam kelas, anak laki-laki cenderung sukar diatur dan meminta lebih diperhatikan, berbeda dengan siswa perempuan yang patuh dan cenderung diam di dalam kelas. Para pendidik mengkhawatirkan sikap diam dan patuh pada siswa perempuan dapat menurunkan aktivitas mereka.

b. Di banyak kelas, para guru lebih sering memperhatikan dan berinteraksi dengan siswa laki-laki dari pada siswa perempuan yang hanya dibiarkan belajar dan bermain sendiri dengan tenang.

c. Anak laki-laki cenderung mendapatkan banyak perintah dan bantuan guru pada saat menemui kesulitan dalam belajar. Peluang untuk

menjawab suatu pertanyaan, mendapatkan petunjuk yang benar, dan peluang untuk terus mencoba apabila memberikan jawaban yang salah. d. Di sekolah menengah atas siswa laki-laki lebih memilih program

berbakat daripada perempuan dalam menunjang karirnya.

Dokumen terkait