• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2: ORIENTALISME DAN PENGAJIAN HUKUM ISLAM

2.3. Pengajian Hukum Islam di Indonesia

2.3.2. Genealogi sebagai alat analisis

Orientalisme bukan semata-mata bidang kajian politis yang dicerminkan secara pasif oleh kebudayaan, kesarjanaan atau intuisi. Bukan pula merepresentasikan dan mengungkapkan rencana keji imperialisme Barat untuk menjatuhkan dunia timur. Lebih jauh, ―orientalisme merupakan kajian yang berusaha menyebarkan kesadaran-kesadaran geopolitis kedalam teks-teks estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah dan filologi‖.106

Bagaimanapun, usaha untuk memahami pengaruh di dalam sebuah kajian atau pemikiran sama seperti menghargai nilai-nilai warisan, ideologi, pengetahuan dan kebenaran tertentu yang terkandung di dalam pemikiran tersebut. Seperti yang terkandung dalam Discipline and Punish dan History of Sexuality107 yang diperkenalkan oleh Michel Foucault, di mana ia menceritakan tentang kaedah genealogi.

Michel Foucault (1926-1984) merupakan seorang pemikir dan ahli cendekiawan Perancis yang terkemuka pada abad ke-20, yang mana beliau mempunyai perhatian yang khusus pada perkembangan sejarah dan kebudayaan. Foucault juga terkenal sebagai salah seorang perintis jalan baru (avantgarde) di dalam pemikiran filsafat, sama

103

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987). Dan Islam Rasional, Gagasan dan pemikiran, (Bandung: Mizan 1995)

104 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, Buku Kompas, 2001). Buku ini adalah kumpulan dari beberapa artikel yang termuat di khabar Kompas.

105

Muntaha Azhari dan Abdul Mun‘im Saleh, Islam Indonesia menatap masa depan, (Jakarta: P3M, 1989).

106 Edward W. Said. Orientalisme. Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai

Subjek. (Jakarta:Pustaka Pelajar, 2011), 17.

107

Lihat, Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of The Prison, terj. Alan Sheridan, New York: Peregrine Books, History of Sexuality: Volume I: Introduction, (London: Penguin Books Ltd, 1977).

seperti Jean Paul Sartre, ahli falsafah eksistensialis-ateistik dari Perancis.108 Tetapi, Foucault tidak mahu beliau dimasukkan ke mana-mana aliran pemikiran. Jalan pemikirannya tidak hanya tertumpu pada satu kategori sahaja malah pada satu model pemikiran yang jelas. Ahli falsafah lain memasukkan beliau di dalam kelompok pascamodernisme atau pos-strukturalisme, disebabkan pemikiran beliau dianggap

nyeleneh, aneh dan mempunyai kelainan dengan pemikiran jajaran para filsuf besar

sebelumnya: kirtis dan menyimpang dari cara berfikir moden. Dalam sebuah paper ―What is Englightment‖, Foucault tidak menyatakan sama ada mahu menyokong (pro) atau menolak (kontra) terhadap ‗modenitas‘. Ini kerana pada pendapat beliau kedua-duanya dianggap sebagai black-mail.109

Dreyfus dan Rabinow menganggap pemikiran Foucault sebagai penganut strukturalisme, iaitu satu mazhab dalam aliran filsafat tahun 60-an, yang kemudiannya beralih kepada Hermeneutik, Dreyfus dan Rabinow merangka tajuk kepada bukunya iaitu: Michel Foucault, from Structuralism to Hermeneutics. Namun penilaian ini hanya dirangka sendiri, kerana ahli falsafah dan Foucault sendiri juga menolak kesimpulan itu. Akhirnya, Dreyfus dan Rabinow menukar semula tajuk bukunya kepada: Michel

Foucault, Beyond Structuralism and Hermeneutic.110 Selain itu, Wuthnow tidak menyebut Foucault sebagai seorang ―neo-strukturalis‖ yang menyumbang kepada pembaharuan pemikiran di dalam bidang kebudayaan.111 Rupanya banyak ahli kebingungan mencandara dan menempatkan Foucault dalam alur sejarah filsafat yang normal.

Seluruh studi dan riset Foucault memperlihatkan cara pikir yang kritis dan orisinal. Hal itu terbukti di dalam cara pemikiran Foucault yang terbahagi kepada pada

108

Konrad Kebung, ―Kembalinya Moral Melalui Seks‖, dalam Majalah Basis, Nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari (2002), 32

109 Bambang Sugiharto, ―Foucault dan Posmodernisme‖ dalam Majalah Basis, Nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari (2002), 52.

110

Hurbet L. Dreyfus & Paul Rabinow, Michel Foucault, Beyond Structuralism and Hermeneutic, (The University of Chicago, 1983), xi.

tiga konsep utama iaitu: pengetahuan, kebenaran dan kuasa, serta etika. Dari ketiga-tiga konsep tersebut, konsep kebenaran dan kuasa memang tidak dominan dalam karya Foucault, kecuali beberapa buku sahaja iaitu Discipline and Punish dan History of

Sexuality.112 Namun, kedua-dua buku ini, yang menjadi kunci kepada pemikiran Foucault yang memasuki analisis kekuasaan serta kedua-dua buku ini pula merupakan tanda berakhirnya era transisi pemikiran Foucault sekaligus bermula pemikiran baru dalam pemikirannya. Seperti yang terkandung di dalam fasa arkeologinya, Foucault berkutat dengan teks, episteme, dan formasi diskursif, seperti yang terkandung di dalam

The Archealogy of Knowledge dan The Order of Things,113 genealogi memfokuskan perhatiannya pada persoalan yang kaitan antara kuasa dan pengetahuan. Di dalam arkeologi, Foucault sama sekali memisahkan formasi-formasi diskursif dari formasi non-diskursif, artinya mutasi atau penyebaran diskursif dipandang sebagai suatu mutasi alamiah dan independen dari segala faktor eksternal, maka pada periode genealoginya, Foucault menyedari bahawa proliferasi gugus-gugus diksursif tersebut ternyata tidak bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol sebagai bagian integral dari cara untuk mengetahui kebenaran (the will to truth) dan keinginan akan kekuasaan (the will to

power).114

Foucoult mengungkapkan bahawa yang menjadi kekuasaan adalah pengetahuan, atau dikatakan ―knowledge/power‖. Dalam genealogi kekuasaan, Foucoult membahas bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan, Diantaranya ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan.115

112 Konrad Kebung, ―Kembalinya Moral Melalui Seks‖, dalam Majalah Basis, Nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari, (2002), 33.

113

Lihat, Michel Foucault, The Archealogy of Knowledge and The Discourse of Language, (New York: Pantheon Books, 1972). The Order of Things, (London: Tavistock Publication, 1976).

114 Kesadaran metodologi Foucault akan pertautan erat antara kekuasaan-pengetahuan diinspirasi oleh Pemikiran Nietzsche dalam Genealogy of Moral. Lihat, Seno Joko Suyono, Tubuh yang Rasis: Telaah

Kritis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002), 193-200.

Pertukaran antara makna akademis dengan makna orientalisme merupakan pertukaran yang hampir dapat berlangsung secara terus menerus. Dengan menjadikan Abad XVIII sebagai titik tolak, orientalisme dapat dilihat dalam kapasitasnya sebagai ―institusi resmi‖ yang mengurusi dunia timur yang membuat pelbagai pernyataan dan deskripsi tentang Timur, serta melegitimasi beragam asumsi tentang Timur. Bahawa orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata ulang dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia timur.116 Kekuasaan disini menurut Foucoult adalah dalam bentuk pengetahuan, disiplin keilmuan yang dengannya kebudayaan Eropa mampu menangani bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, ideologis dan ilmiah. Melalui pengetahuan, Eropa mendefinisikan dirinya unggul dan menciterakan dirinya superior dan sebaliknya orang-orang yang berada dibelahan dunia lain dianggap sebagai inferior.