• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Genesis Tanah Sawah Tadah Hujan

Pembentukan tanah (genesis) TSTH dipengaruhi oleh faktor utama, yaitu iklim, umur, topografi dan aktifitas manusia sebagaimana tertera pada Tabel 22. Faktor organisme tidak dipertimbangkan lagi dengan asumsi bahwa organisme yang ada saat ini telah mengalami suksesi karena pengaruh manusia. Semua tanah yang diteliti berada di sekitar garis katulistiwa (equator) pada posisi 0o LU dan 122o BT, dimana faktor iklim sangat mempengaruhi pelapukan mineral. Kondisi ini terlihat dari suhu yang tinggi (26,67-27,00oC) dengan curah hujan yang relatif rendah (1.021-1.112 mm). Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550o C PNM-LK3 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550o C PNB-3

Tabel 22. Faktor-Faktor Utama Pembentuk Tanah di Daerah Penelitian

Faktor Pembentuk Tanah Lokasi

Sidomukti Molombulahe Bandungrejo Iklim (cl) : Suhu (oC) 27.00 26.67 27.00 Curah Hujan (mm) 1,112 1,021 1,112 Umur (t) Pleistosen-Holosen Epoch Kuarter Pleistosen-Holosen Epoch Kuarter Pleistosen-Holosen Epoch Kuarter Topografi (r) Datar Datar Datar Manusia (h) 1xtanam 1xtanam 2-3xtanam

Sesuai dengan kenampakan solum, maka horison yang terbentuk masih sederhana dan proses genesis belum lanjut. Ada empat faktor yang menyebabkannya, yaitu pertama curah hujan yang relatif rendah, kedua umur yang masih relatif muda, dan ketiga topografi relatif datar sebagai daerah depresi yang penting sebagai lokasi akumulasi hara, sehingga pH umumnya netral yang memungkinkan bertahannya mineral 2 : 1, serta keempat aktifitas manusia (petani) dalam mengelola tanah dengan teknik bertani, intensitas penanaman dan pola tanam yang berbeda akan mempengaruhi proses genesis tanah sawah tersebut.

Pengaruh rendahnya curah hujan menyebabkan pencucian terbatas, sehingga basa-basa meningkat. Di samping itu, muka air tanah yang dangkal (<100 cm) menyebabkan infiltrasi dan perkolasi air sedikit. Padahal, air merupakan salah satu energi pengembang dalam proses pedogenesis (Smeck 1971). Drainase yang buruk dan umur tanah yang masih relatif muda (pleistosen dan holosen epoch kuarter), menyebabkan belum terbentuk horison yang lebih berkembang dari kambik. Kondisi iklim dan drainase tersebut menyebabkan berkembangnya sifat- sifat vertik. Adanya horison yang kadar liatnya memenuhi syarat horison argilik tampaknya lebih disebabkan oleh turunan bahan yang dideposisikan berbeda- beda. Pengaruh aktifitas manusia, terutama akibat pengolahan tanah dalam keadaan tergenang yang menyebabkan perubahan sifat fisik berupa hancurnya agregat tanah, berkurangnya pori-pori kasar dan meningkatnya pori-pori halus. Selain itu, penggenangan tanah dalam keadaan berlumpur menyebabkan partikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi (Moormann dan van Breemen 1978; Kanno 1978). Hal ini yang memungkinkan terjadinya pengangkutan bahan dari horison atas ke bagian horison bawahnya. Sedangkan perubahan sifat kimia tanah lebih diakibatkan oleh aktiftas penggenangan sawah yang berulang-ulang dan penambahan pupuk ke dalam tanah.

Hasil proses pedogenesis yang telah berlangsung sampai saat ini berupa sifat morfologi, mineral dan sifat fisikokimia sebagaimana uraian sebelumnya. Sifat dan karakteristik ini selanjutnya digunakan untuk menjelaskan proses yang telah terjadi. Blume (1988) menggunakan fenomena sifat tersebut untuk melakukan rekonstruksi terhadap proses pedogenesis.

Berdasarkan warna tanah, maka pelapukan secara kimia mempengaruhi proses genesis tanah. Kondisi aerob dan anaerob terjadi akibat kegiatan penyawahan pada saat musim hujan dan bera pada musim kemarau. Pada kondisi anaerob, pelapukan kimia yang utama adalah reduksi, dimana unsur mendapat pasokan elektron sehingga muatannya berubah. Kondisi ini terjadi pada lingkungan jenuh air, pasokan O2 rendah dan konsumsi biologik terhadap O2 tinggi. Reaksi reduksi menyebabkan terjadinya perubahan valensi unsur akibat pasokan elektron sehingga muatannya berubah. Perubahan besi bentuk feri (Fe3+) menjadi besi bentuk fero (Fe2+) yang mobilitasnya tinggi adalah reaksi reduksi yang utama pada pedon TSTH ini. Besi bentuk fero memberikan warna kelabu kehijauan atau hijau kebiruan. Bersamaan dengan itu, proses gleisasi berlangsung sangat intensif.

Proses gleisasi merupakan reduksi besi di bawah kondisi tergenang anaerobik yang menghasilkan warna matrik kelabu hingga kelabu kehijauan dengan atau tanpa karat coklat kekuningan, coklat, atau hitam dan konkresi ferik dan manganiferrous (Rachim 2007). Tampilan warna horison akibat reaksi reduksi dan proses gleisasi yang kuat nyata terlihat pada pedon TSTH dengan hue 7.5YR dan 10YR, dan value 4-7 serta kroma dominan ≤ 2. Fenomena warna matrik yang tergleisasi kuat ini tampak pada PNS dan PNM dengan warna karatan coklat, coklat kekuningan sampai hitam, walaupun cukup variatif.

Pada kondisi aerob, proses pelapukan kimia yang utama adalah hidrolisis (Van Schuylenborgh 1971; Segalen 1971; Goenadi dan Tan 1989). Bersamaan dengan itu, proses oksidasi yang terjadi menghasilkan tampilan warna coklat kekuningan sampai merah. Kondisi ini merupakan ciri dari oksida besi dan Al yang terbentuk selama proses pedogenesis (Schwertmann dan Taylor 1989). Besi oksida berkaitan dengan warna merah dan Al oksida dengan warna kuning (Karim dan Adam 1984). Proses hidrolisis bersamaan dengan reaksi oksidasi dominan

terjadi pada pedon TLK yang memberikan warna coklat, serta pedon TSI yang memberikan warna merah. Berdasarkan warna tersebut, maka tingkat pelapukan pedon TSI lebih tinggi dibanding pedon TSTH dan pedon TLK. Pola warna pedon PNB yang lebih dominan kearah merah dari pada coklat menunjukkan proses rubifikasi, dimana warna kemerahan lebih menonjol dan bersifat rubifikatif (Buol

et al. 1980; Blume 1988).

Proses basah dan kering yang berulang-ulang dapat juga menyumbang terhadap pelapukan fisik. Pada proses ini dengan waktu akan terjadi pelemahan daya ikat antar mineral atau butiran dalam batuan, sehingga lama kelamaan bagian batuan tersebut dapat terpisah dan umumnya bagian terluar yang relatif tipis atau sering disebut proses ekspoliasi. Hasil dari pelapukan fisik ini umumnya ada yang diendapkan secara in situ, tetapi pada pedon TSTH ini umumnya merupakan hasil pengendapan bahan dari daerah di atasnya (ex situ). Hal ini cukup beralasan karena bahan induk TSTH merupakan golongan endapan permukaan (surface deposite) dan batuan sedimen (sedimentary rocks) pada formasi geologi endapan danau (Bachri et al. 1993).

Tingkat pelapukan yang ada saat ini merupakan hasil interaksi kerja faktor- faktor pembentuk tanah yang ditunjukkan oleh susunan dan jenis mineral primernya. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah mineral fraksi pasir pada pedon TSI lebih didominasi MSL (resisten) dari pada pedon TSTH dan pedon TLK yang lebih didominasi MML. Sedangkan pada pedon TSTH sendiri, tanah yang berasal dari Sidomukti telah mengalami pelapukan lebih intensif dibandingkan dari Molombulahe dengan petunjuk susunan dan jenis mineral primernya. Faktor bahan induk dan umur (waktu) nampaknya telah tertutupi oleh pengaruh faktor iklim.

Proses genesis yang terjadi mencakup proses disintergrasi dan sintesis yang cukup intensif. Hal ini terlihat dari terbentuknya fraksi tanah halus dengan solum yang dalam. Di samping itu, semua tanah sudah mempunyai horison B. Proses disintegrasi dan sintesis ini didukung oleh data penciri genesis tanah, sebagaimana tertera pada Tabel 23 dan 24. Translokasi dan akumulasi liat merupakan bagian penting dari proses ini, dimana pembentukan solum tanah tidak terlepas dari penyebaran partikel berukuran liat.

Proses translokasi dan akumulasi liat pada semua pedon adalah proses eluviasi dan iluviasi. Proses eluviasi merupakan pergerakan bahan ke dalam bagian profil tanah. Proses ini diakibatkan oleh pencucian bahan yang bergerak ke bawah melalui air perkolasi, lalu mengendap dalam horison B-iluviasi. Fenomena ini ditunjukkan oleh kadar liat yang tinggi pada horison B (Tabel 13 dan 14).

Pada pedon PNS1 memiliki peningkatan liat secara nyata dimulai pada kedalaman 31 cm dari permukaan sampai 200 cm. Kadar liat total (LT) tertinggi terjadi horison peralihan (BCg2) pada kedalaman 200 cm sebesar 68%. Nisbah LT/D sebesar 2.11 atau lebih kecil dari horison di atasnya (3.24). Hal ini menunjukkan bahwa LT pada horison peralihan ini merupakan hasil pengendapan dari lapisan di atasnya. Pembentukan liat secara in situ pada horison ini belum terlihat jelas jika dibandingkan dengan lapisan di atasnya yang dicirikan oleh tingginya nisbah LT/D sebesar 3.24. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan dengan horison pertama kenaikan liat hanya menunjukkan perbedaan kecil, sehingga sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit.

Berbeda dengan pedon PNS1, pada pedon PNS2 memiliki peningkatan liat secara nyata dimulai pada kedalaman 64 cm dari permukaan sampai 150 cm. Kadar liat total (LT) tertinggi terjadi pada horison peralihan (Bwg3) pada kedalaman 150 cm sebesar 62%. Nisbah LT/D sebesar 2.82 atau lebih besar dari horison di atasnya (1.76). Hal ini menunjukkan bahwa LT pada horison ini merupakan hasil pembentukan liat secara in situ. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan (0.81) dengan horison pertama kenaikan liat (0.84) hanya menunjukkan perbedaan kecil antara keduanya, sehingga sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit. Kecenderungan fenomena kenaikan liat pada pedon ini sama dengan fenomena pada pedon PNM2, hanya bervariasi pada persentase dan kedalamannya.

Untuk pedon PNS3, pembentukan liat secara in situ pada horison ini sudah terlihat jelas jika dibandingkan dengan lapisan di atasnya karena nisbah LT/D sudah mencapai 7.25 pada horison kenaikan LT tertinggi dibanding horison di atasnya yang hanya sebesar 0.49 dan 2.55. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan (0.71) dengan horison pertama kenaikan liat (0.82) menunjukkan perbedaan yang cukup besar, sehingga proses pergerakan liat ke

lapisan bawah diikuti oleh proses pembentukan liat secara in situ melalui sintesis debu. Fenomena pedon PNS3 ini relatif sama dengan pedon PNM3, kecuali pada pedon PNM3 sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit karena nisbah LH/LT antara horison permukaan (0.69) dengan horison pertama kenaikan liat (0.68) hanya menunjukkan perbedaan kecil antara keduanya.

Tabel

23. Beberapa Sifat Penciri Genesis TSTH

Horison Kedalaman LT/D LH/LT KTK-Liat KTK-E Liat KB C-Organik

cm --- me 100 g-1 --- --- % --- PNS1 Apg1 0-12 1.03 0.74 85.56 59.47 69.50 0.93 Apg2 12-31 0.83 0.74 91.16 64.42 70.66 0.45 Bwg1 31-53 1.35 0.80 74.36 63.03 84.76 0.26 Bwg2 53-71/92 1.84 0.82 90.33 67.75 75.01 0.33 Bwssg 71/92-119 2.00 0.90 105.74 94.62 89.48 0.27 BCg1 119-150 3.24 0.74 94.22 79.66 84.55 0.27 BCg2 150-200 2.11 0.65 40.86 77.42 >100 0.26 PNS2 Apg1 0-10 0.73 0.81 135.66 49.11 36.20 0.71 Apg2 10-31 0.70 0.77 91.95 57.44 62.47 0.38 Bwg1 31-64 0.43 0.22 164.52 103.90 62.44 0.26 Bwg2 64-84/103 1.76 0.84 121.01 48.36 37.36 0.13 Bwg3 84/103-150 2.82 0.84 76.87 78.77 >100 0.13 BCssg1 150-200 1.41 0.62 103.05 96.75 93.89 0.19 BCssg2 >200 1.17 0.51 83.91 100.17 >100 0.13 PNS3 Apg 0-10 1.21 0.71 101.18 59.49 58.79 0.77 Bw 10-34 0.97 0.65 111.31 72.72 65.34 0.51 Bwg1 34-61 1.95 0.77 82.73 66.14 79.83 0.32 Bwg2 61-86 0.49 0.14 180.46 141.96 75.63 0.26 Bwssg 86-120 2.55 0.82 81.24 67.55 81.94 0.19 Bwss 120-150 7.25 0.84 69.10 64.69 90.82 0.19 PNM1 Apg1 0-21 1.41 0.46 66.56 65.86 98.95 1.29 Apg2 21-37 1.45 0.49 97.99 68.39 69.79 0.62 Bwg1 37-60 1.05 0.57 105.79 76.48 72.29 0.31 Bwg2 60-80 1.28 0.33 95.00 70.87 74.60 0.25 Bwg3 80-103 0.93 0.62 120.37 84.20 69.95 0.18 BCg 103-200 1.13 0.43 84.53 68.42 80.93 0.18 PNM2 Apg 0-14 1.13 0.79 101.51 72.26 71.19 1.38 Bwg 14-30 1.24 0.68 130.67 114.53 87.65 0.60 Bssg1 30-56 2.44 0.74 106.30 99.37 93.48 0.33 Bssg2 56-87 2.96 0.82 92.15 60.51 65.66 0.25 Bssg3 87-120 2.37 0.80 100.42 64.46 64.19 0.25 BCssg 120-200 1.82 0.63 105.76 66.80 63.16 0.26 PNM3 Apg1 0-10 0.87 0.69 83.73 63.69 76.06 0.77 Apg2 10-28 0.63 0.73 90.76 63.48 69.94 0.44 Bwg 28-54 0.72 0.68 85.50 59.53 69.62 0.25 Bw2 54-81 0.77 0.59 70.46 60.47 85.82 0.19 BC1 81-100 0.82 0.57 93.02 71.46 76.81 0.19 BC2 100-150 1.27 0.67 98.05 74.55 76.03 0.13

Untuk pedon PNM1, ternyata tidak mempunyai peningkatan kadar LT seperti pedon TSTH lainnya. Kadar LT menurun dan meningkat secara tidak beraturan dengan bertambahnya kedalaman tanah. Kadar LH tertinggi bergerak sampai kedalaman 37 sampai 60 cm dan nisbah LH/LT pada kedalaman tersebut cukup tinggi sebesar 0.57. Sedangkan pada horison permukaan hanya 0.46. Namun, hal ini bukan merupakan akibat pembentukan liat in situ karena nisbah tersebut terjadi juga pada lapisan di bawahnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan horison permukaan (0.62). Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh limpasan air (run off) dan hasil erosi di atasnya yang membawa dan mengendapkan bahan tanah halus yang beragam dari waktu ke waktu.

Pada TSI menunjukkan fenomena yang berbeda dengan pedon TSTH, kecuali dengan pedon PNS3 dan PNM3 yang memperlihatkan fenomena yang sama. Peningkatan liat secara nyata pada pedon PNB dimulai pada kedalaman 119 cm dari permukaan sampai kedalaman 200 cm. Kadar LT tertinggi terjadi pada horison peralihan (BCssg2) pada kedalaman 200 cm sebesar 67%. Nisbah LT/D sebesar 2.79 atau lebih besar dari horison di atasnya (1.57). Hal ini menunjukkan bahwa LT pada horison peralihan ini merupakan hasil pembentukan liat secara in situ yang dicirikan oleh tingginya nisbah LT/D sebesar 2.79. selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan dengan horison pertama kenaikan liat menunjukkan perbedaan yang besar antara keduanya, sehingga sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT cukup banyak.

Pedon TLK relatif sama dengan pedon PNM1 karena tidak mempunyai peningkatan kadar LT. Kadar LT menurun dan meningkat secara tidak beraturan dengan bertambahnya kedalaman tanah. Kadar LH tertinggi untuk PNS-LK bergerak sampai kedalaman 11 sampai 29 yang sama dengan horison Bw2 (25%) dan nisbah LH/LT pada kedalaman tersebut cukup tinggi sebesar 0.56. Sedangkan pada horison permukaan hanya 0.54. Namun, hal ini bukan merupakan akibat pembentukan liat in situ karena nisbah tersebut terjadi juga pada lapisan di bawahnya yang juga lebih tinggi dibandingkan horison permukaan (0.56). Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh limpasan air (run off) sungai dan hasil erosi tanah di atasnya. Di samping itu, letak pedon yang relatif dekat dengan sungai turut mendukung proses transportasi bahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Pada

pedon PNM-LK, kadar LH tertinggi bergerak sampai kedalaman 73 sampai 100 cm dengan nisbah LH/LT tertinggi sebesar 0.61. Sedangkan pada horison permukaan hanya 0.58. Hal ini merupakan akibat pembentukan liat in situ karena nisbah tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan horison lainnya dan sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT cukup banyak.

Tabel 24. Beberapa Sifat Penciri Genesis Tanah TLK dan TSI di Daerah Penelitian

Horison Kedalaman LT/D LH/LT KTK Liat KTK- E Liat KB C- Organik cm ---me 100 g-1 ---- --- % --- PNS-LK Ap1 0-11 0.55 0.54 58.17 61.41 105.57 0.98 Ap2 11-29 0.50 0.56 76.58 74.88 97.78 0.73 Bw1 29-61 0.21 0.33 173.89 170.28 97.93 0.30 Bw2 61-91 0.62 0.56 123.54 119.23 95.90 0.18 Bw3 91-130 0.42 0.32 104.44 97.24 92.71 0.24 BC1 130-200 0.44 0.24 125.46 125.30 99.58 0.12 BC2 >200 0.65 0.25 89.38 86.09 95.97 0.13 PNM-LK Apg 0-11 0.84 0.58 75.91 74.88 98.65 1.70 Ap2 11-29 1.33 0.42 64.11 65.15 101.61 0.87 Bw1 29-51 2.00 0.40 95.26 71.99 75.57 0.30 Bw2 51-73 3.55 0.56 102.09 73.11 71.61 0.18 BC 73-100 3.17 0.61 80.79 37.79 46.78 0.19 PNB Apg1 0-20 0.67 0.57 60.64 57.00 94.00 1.11 Apg2 20-40 0.69 0.33 54.24 65.51 120.77 0.61 Bwg1 40-47 0.67 0.68 56.83 53.71 94.50 0.24 Bw2 47-59 1.16 0.75 38.85 38.65 99.48 0.24 Bw3 59-107 1.31 0.65 53.34 47.07 88.09 0.24 BCg 107-119 1.02 0.65 61.61 55.13 89.27 0.24 BCssg1 119-150 1.57 0.76 83.63 51.72 61.84 0.37 BCssg2 150-200 2.79 0.82 62.32 49.80 79.92 0.37

LT=liat total; LH=liat halus; D=debu; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; KB=kejenuhan basa

Ketebalan kenaikan liat mencerminkan intensifnya pelapukan. Ruhe (1956) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pelapukan dengan kadar liat dan ketebalan solum. Selain itu, tebalnya kenaikan liat menunjukkan perpindahan fraksi liat dari lapisan atas ke bawah. Di samping itu, menunjukkan adanya lapisan penghambat perpindahan liat tersebut. Dengan demikian, maka semua pedon yang diteliti diduga telah mengalami proses liksiviasi, yaitu perpindahan secara mekanik dari partikel-partikel mineral halus dari horison A ke horison B yang relatif diperkaya oleh liat. Hal ini ditunjukkan oleh kadar liat pada horison B lebih tinggi dibanding horison A di atasnya (Tabel 24). Proses yang berlangsung ini masih pada tingkat dan atau menghasilkan horison kambik pada semua pedon.

Proses pedoturbasi juga berlangsung cukup intensif pada pedon TSTH, dimana terjadi pengadukan fisik (siklus basah-kering) dan pendaur-ulangan bahan tanah yang menyebabkan solum menjadi homogen dengan tingkat yang bervariasi (Rachim 2007). Fenomena ini didukung oleh proses pembasahan dan pengeringan secara periodik berlangsung karena pergantian musim hujan dan kemarau yang cukup jelas. Secara umum, dua tipe pelapukan (weathering) yaitu pelapukan fisik dan kimia memegang peranan penting dalam proses pedogenesis TSTH ini. Pelapukan fisik merupakan perubahan batuan dan mineral menjadi bentuk-bentuk lebih kecil tanpa mengubah susunan kimia atau mineraloginya. Sedangkan pelapukan kimia adalah perubahan benda atau bahan menjadi bahan yang komposisi kimia dan atau mineraloginya berbeda dari bahan asalnya (Rachim 2007). Pengaruh kedua tipe pelapukan ini sulit dipisahkan karena keduanya terjadi secara bersamaan pada pedogenesis TSTH ini. Proses pelapukan fisik yang terjadi pada pedon ini antara lain pembasahan dan pengeringan karena TSTH, pengembangan atau pengerutan mineral smektit karena pengaruh iklim.

Pelapukan kimia melalui proses hidrolisis juga dapat menghasilkan mineral baru (sintesis). Hidrolisis juga sangat penting dalam pelapukan kimia mineral silikat dan alumino silikat. Air dapat melarutkan bermacam-macam ion dan berekasi dengan mineral tersebut. Pada semua pedon yang mengadung albit dan orthoklas (Lampiran 2), dengan proses hidrolisis dapat melapuk menjadi mineral liat baru dan ditunjukkan oleh akibat dari reaksi ini dengan pH dominan netral dan agak alkali (basa), sebagaimana reaksi sebagai berikut (Birkelad 1974; Tan 1998): 2NaAlSi3O8 + 6H+ + 28H2O 3Na0.66Al2.66Si3.33O10(OH)2 + 14H4SiO4 + 6Na+

Albit Montmorilonit (Smektit)

2NaAlSi3O8 + 2H+ + 9H2O H4Al2Si2O9 + 4H4SiO4 + 2Na+

Albit Kaolinit

2KAlSi3O8 + 2H+ + 9H2O H4Al2Si2O9 + 4H4SiO4 + 2K+

Orthoklas Kaolinit

3KAlSi3O8 + 2H+ + 12H2O KAl3Si2O10(OH)2 + 6H4SiO4 + 2K+

Orthoklas Illit

Di daerah tropika lembab, proses hidrolisis bersama dengan oksidasi berperan dalam proses rubifikasi atau braunifikasi (Blume 1988). Reaksi tersebut mengakibatkan mineral primer dapat melapuk dan menghasilkan unsur pembentuk mineral liat seperti asam silikat, OH-, kation basa dan Al (Birkeland

1974). Dengan demikian, berdasarkan sifat dan karakteristik tanah yang diteliti, maka proses hidrolisis sudah berlangsung tetapi belum kuat (Lampiran 2). Dampak dari proses ini terlihat pada sintesis liat, warna, dan pencucian basa-basa yang belum intensif. Curah hujan yang relatif rendah menyebabkan sedikit saja basa-basa yang hilang karena pencucian. Kurangnya pencucian basa-basa menyebabkan pH tanah agak masam sampai agak alkali dan KTK efektif relatif tinggi (>12 me 100 g-1), sebagaimana tertera pada Tabel 13, 14, 15, 23, dan 24.

Proses pelapukan yang telah terjadi dapat juga dilihat dari nilai KTK liat. Tanah yang telah mengalami hancuran sangat lanjut cenderung menghasilkan komponen liat dengan KTK rendah. Kondisi demikian umum dijumpai di daerah tropika dan subtropika (Moorman 1986; Juo dan Adam 1986). Tabel 22 dan 23 memperlihatkan bahwa sebagian besar tanah yang diteliti mempunyai KTK liat (NH4OAc pH 7.0) > 40 me per 100 g dan KTK efektif liat > 30 me per 100 g pada semua horison. Dengan demikian, maka semua pedon yang diteliti belum mengalami pelapukan lanjut.

Dokumen terkait