• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPIAN POLITIK KAUM

B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda

1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik . 73

Ada pernyataan menarik, pemimpin masa depan ditentukan kualitas pendidikan saat ini, dan pemimpin saat ini ditentukan kualitas pendidikan masa kemarin. Begitupula dalam munculnya tokoh-tokoh politik, mereka tidak tumbuh secara instan tanpa ada persiapan dan sejarah yang memotifasi mereka untuk muncul. Karena saat ini berbicara tentang pemuda sebagai pendobrak gerakan politik, maka akan kita diskusikan awal mula gerakan-gerakan kepemudaan yang menjadi investasi gerakan politik kaum muda di masa berikutnya.

Gerakan kepemudaan sangat banyak di Indonesia, tapi yang tercatat sebagai gerakan pembaharu dan berdirinya mampu menunjang semangat nasionalisme

37

Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998 (Jakarta: Institude for Policy Study, 2004), 14. 38

IMF tergiur menikmati keberhasilan era Soeharto, Indonesia dulu dalam sektor energi anggota OPEC, dalam pangan Indonesia raja beras se-Asia. Tapi pasca Reformasi ekonomi kita hancur, Indonesia didepak dari keanggotaannya OPEC, Indonesia tidak berdaulat dalam pangan, segala sesuatu harus ekspor dari luar, sampai saat ini bawang, garam, dan sapi didatangkan dari asing. Wawancara dengan Fadli Zon.

74

pemuda adalah berdirinya gerakan Budi Utomo 1908,39 gerakan tersebut berdiri sebagai akomodasi para pemuda dalam politik untuk menentukan sikap terhadap para penjajah. Sehingga gerakan Budi Utomo dilambangkan sebagai gerakan kebangkitan nasional.40 Gerakan kebangsaan berafiliasi pemuda kemudian dipertegas dengan gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, di situ terdapat kesepakatan dari para pemuda dengan pengakuan: bertumpah darah satu Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan berbahasa satu Indonesia.41 Dalam sekala mikro gerakan kepemudaan pasca kemerdekaan cenderung dilakukan oleh para mahasiswa, terhitung lebih dari dua kali gerakan mahasiswa menjadi peristiwa terbesar sepanjang sejarah gerakan kemahasiswaan, dimulai dari tahun 1966 sampai terakhir peristiwa 1998, saat penurunan rezim pemerintahan Soeharto dengan berbagai kejahatan yang telah dibahas pada bab sebelumnya.42

Gerakan tersebut di atas adalah rangkaian yang secara terus menerus muncul dengan adanya ketidak beresan situasi bernegara di Indonesia, dipelopori oleh mereka yang muda dan dari situ pula adalah investasi pemuda dalam politik. Keberadaan pemuda dalam mengawal proses berdemokrasi berbangsa dan berkehidupan tidak sebatas keikutsertaannya turun ke jalan dan melakukan

39

Henny Warsilah dkk., Kesiapan Generasi Muda Indonesia Menyongsong Perubahan Kepemimpinan di Tahun 2015 Mendatang, Henny Warsilah, ed., (Jakarta: LIPI, 2010), 1.

40

Abdul Syukur, Perekat Bangsa: Pengakuan Sejarah Kepemudaan Indonesia, Zusiyansah Samosir, ed., (Tangerang: PT. Nusantaralestari Ceriapratama, 2008), 3.

41

Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 9.

42

Gerakan Mahasiswa dengan agenda penurunan Soeharto telah dilakukan dari berbagai periode, 1974, 1978, 1989, dan puncaknya tahun 1998, lihat pada M. Fadjroel Rachman, “Gerakan Mahasiswa Gerakan Politik Nilai”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 218.

75

demonstrasi, melainkan tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya lolos dari seleksi dan muncul sebagai tokoh-tokoh politik baru di Indonesia, dengan semangat kepemudaan.

Berbicara kepemudaan dalam konteks biologis dibatasi oleh umur, dari 13 sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah antara umur 20 sampai 40 tahun.43 Menurut Yuddy Latif, pemuda lebih dari sekedar kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap kejiwaan, suatu kebaruan cara pandang yang memutus hubungan dengan tradisi, dengan keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Pendapat lain dari sosiolog terkemuka Talcott Parsons, bahwa pemuda tidak bisa ditafsirkan sebagai kategori biologis dengan memeberikan batasan umur, melainkan suatu konstruksi sosial yang muncul dalam kurun periode tertentu.44

Dalam politik apakah konsep pemuda juga akan disamakan dan dibatasi dalam konteks usia?,45 atau dalam politik konteks pemuda akan disamakan dengan sekema sosiologis bahwa tidak ada batas umur dalam kepemudaan?46 Berbicara

43

Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008), 8.

44

Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, tanpa penerjemah (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 334.

45

Menurut Anies Baswedan pemimpin muda dalam konteks politik berdasarkan umur sangat rasional, cita-cita bangsa Indonesia adalah memperjuangkan demokrasi, demokrasi adalah proyek jangka panjang, memerlukan stamina lintas generasi untuk membuat cita-cita demokrasi berbangsa dan bernegara. Meskipun harus diakui tidak ada rumusan tentang umur dalam sosio-politik, tapi upaya tersebut sangat rasional. Warsilah dkk., Kesiapan Generasi Muda Indonesia Menyongsong Perubahan Kepemimpinan di Tahun 2015 Mendatang, 2.

46

Apabila dipandang secara umur, Indonesia telah banyak melahirkan para pemimpin politik dari kaum muda, kita bisa baca masa awal kemerdekaan berderet pemuda yang secara umur dibawah 45 tahun menjadi tokoh-tokoh politik, jangkauannyapun tidak sekedar tingkat nasional, bahkan sampai Internasional seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lain sebagainya. Pasca Reformasi kita juga menjumpai para pemimpin dalam politik berusia muda, meskipun hanya dalam regional daerah, tapi perjuangan dan persaingan mereka dengan pemimpin berumur tua

76

kepemudaan dalam sosio-politik tidak berbicara klasifikasi umur, pemuda merupakan keperkasaan, kekuasaan, vitalitas, enerjik, progresif, dan pendobrak.47

Indra J. Piliang memaparkan empat tipe kaum muda pasca Reformasi:

Pertama, pemuda yang bergabung dalam partai politik, banyak pemuda yang menempati posisi struktural partai dan tergolong posisi setrategis.

Kedua, mereka yang masih konsisten dalam agenda Reformasi lalu memilih bergabung dalam lapisan masyarakat sipil, mereka berpolitik tanpa partai namun tetap mengakomodasi pemikiran rakyat. Tidak jarang dari mereka justru memperoleh pendidikan tinggi dari luar negeri.

Ketiga, mereka para pemuda yang lebih memilih memperjuangkan Reformasi melalui jalur profesional, namun kedudukannya berbeda dengan kaum profesional biasa yang cenderung tunduk dalam peraturan pemerintah, profesional dalam katetgori ini satu tingkat di atas level kaum profesional biasa, mereka tidak sekedar tunduk dalam peraturan pemerintah, melainkan ikut mengkritisi sertiap kebijkan pemerintah. Orang-orang semacam ini nantinya disebut sebagai kelompok menengah kritis yang bisa mengimbangi kepentingan negara dan pasar.

tidak mudah, karena masyarakat opininya terbentuk bahwa orang tua dianggap lebih bisa mengayomi. Di antara pemimpin daerah berusia dibawah 35 tahun adalah Airin Rachmy Diany (walikota Tangerang Selatan), Mardani H. Maming (Bupati Tanah Bambu), Yopi Arianto (Bupati Indragiri Hulu), Neneng (Bupati Bekasi). Dalam tingkat Provinsi M. Zainul Majdi (Gubernur Nusa Tenggara Barat) dan Joko Widodo (sebagai Gubernur DKI Jakarta) yang keduanya masih berumur 40-an tahun.

47

77

Keempat, adalah golongan pemuda pragmatis, mereka pernah hidup dan berjuang di masa Reformasi, tetapi karena kekurangan ide dan tidak tau apa tindakan selanjutnya, mereka hanya singgah dari kelompok satu ke kelompok lain dengan memanfaatkan identitasnya sebagai alumni penggerak Reformasi untuk membangun pengaruh di masyarakat, tipe ini jelas bertujuan uang.

Dari sekian yang telah dibahas tentang teori kepemudaan baik secara biologis dan sosio-politik, empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) memiliki pandangan berbeda-beda.

Fadli Zon sepakat pada teori sosio-politik, berbicara politik tidak berbicara umur, tidak berbicara tua ataupun muda. Ada pepatah mengatakan, “bukan berapa lama umur kita, melainkan apa yang sudah kita perbuat dalam umur kita”. Dalam kehidupan kita temui orang berumur seratus tahun tanpa hasil dan tanpa peninggalan sejarah, tapi ada yang umurnya dua puluh tahun sudah berbuat banyak dan tertulis dalam sejarah. Berbicara politik berbicara kualitas, bukan kuantitas. Masyarakat kita cenderung membalik hal itu, politik berbicara sistem, bukan berbicara pelaku. Pemimpin politik katakan dipimpin oleh orang muda secara umur, tetapi sistem yang dipergunakan adalah sistem lama, dalam konteks ini tidak akan ada perubahan, akan berbeda apabila muda secara sistem, silahkan Indonesia dipimpin oleh mereka yang tergolong tua, akan tetapi sistem bernegaranya muda – original dan pembaharu – maka akan terdapat perubahan.

78

Meskipun harus diakui bahwa pemuda lebih bersemangat, lebih dinamis, dan mudah mengambil keputusan, karena pemuda tidak takut dengan resiko.48

M. Fadjroel Rachman pernah membuat tulisan berjudul, “Republik Muda: Republik Harapan”, di dalamnya Fadjroel menyebutkan bahwa Megawati Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun), Jusuf Kalla (70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan Hamengku Buwono X (66 tahun), kampanye kepemimpinan tersebut terdapat penekanan dan menyoroti “usia” bagi mereka yang sekarang masih agresif mencalonkan diri sebagai bagian dari kepemimpinan politik di Indonesia.49 Bagi Fadjroel menyatakan dan menggaris bawahi tentang masalah usia hanyalah manufer politik, ia sepakat seperti pernyataan Fadli Zon, bahwa berbicara sosio-politik tidak berbicara usia, melainkan kualitas kepemimpinan.50

Kampanye kepemimpinan politik pemuda saat itu sebenarnya dilaksanakan hanya merujuk pada regenerasi dan normalisasi kepemimpinan politik seperti negara berkembang di Eropa,51 sederhananya contoh di Eropa ada Tony Blair, ia berada di parlemen pada usia 43 tahun, selama sepuluh tahun di parlemen dan menjadi Perdana Menteri Inggris, kemudian berhenti pada usia 53 tahun, setelah

48

Wawancara dengan Fadli Zon. 49

M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.

50

Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. Jakarta 10 Mei 2013. 51

Kita tidak boleh lupa dengan mereka yang mati diusia muda karena perjuangan Reformasi, para pemuda menjadi garda depan perjuangan bangsa, jadi sangat layak apabila pemuda lebih diberikan ruang dalam meneruskan perjuangan Reformasi. Lihat pada M. Fadjroel Rachman, “Empat Tahun Reformasi: Kepemimpinan Politik Kaum Muda”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 185.

79

itu ia menjadi negarawan karena dianggap sudah tua. Obama juga demikian, ia menjadi Presiden Amerika usia 47 tahun, menjabat kepemimpinan politik selama delapan tahun, hitungannya 47 tahun ditambah delapan tahun memimpin, berarti berhenti diusia 55 tahun, setelah itu ia akan menjadi negarawan karena dianggap sudah tua. Bagi Fadjroel secara normatif kepemimpinan politik dimulai umur 40-an d40-an berhenti diusia 55 tahun, ini sebenarnya keideal40-an menjadi pemimpin nasional.52

Karena normalisasi kepemimpinan terlalu sulit dicerna oleh masyarakat, makanya Fadjroel melakukan manufer opini politik tentang kepemimpinan berdasarkan usia melalui media, antara pemimpin tua dan pemimpin muda. Metro TV sempat termakan oleh manufer opini Fadjroel, di dalam forum diskusi yang diselenggarakan Metro TV tahun 2009 dikumpulkan mereka dari golongan tua seperti Jusuf Kalla dan orang segenerasi dengannya, dalam diskusi tersebut Fadjroel dikritik habis-habisan karena kampanye politik antara pemimpin tua dan pemimpin muda ditafsirkan dari segi usia.53

Kampanye regenerasi politik dan normalisasi kepemimpinan ternyata tidak berhasil, sampai pada akhirnya Fadjroel memilih alternatif lain melalui konstitusional dengan deklarasi kepemimpinan independen, dan ini berhasil, bahkan sudah banyak Pemilukada dengan tokoh-tokoh independen. Keberhasilan calon independen diteruskan pada tingkat nasional dengan mengangkat capres independen, tetapi gagasan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dan gagal

52

Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. 53

80

hingga sekarang. Tujuan terbesar memilih jalur secara konstitusi untuk memberikan pembelajaran dan pemahaman kepada semua masyarakat bahwa semua orang bisa menjadi Presiden tanpa melalui partai politik. Diakui ataupun tidak partai politik selama ini cenderung oligarki, siapa yang ditunjuk sebagai calon Presiden pasti adalah orang-orang yang memiliki hubungan kuat dengan pemilik dan figur dalam partai.54

Yuddy Chrisnandi memiliki pandangan lain atas kepemimpinan politik kaum muda, Yuddy sepakat bahwa kepemimpinan politik harus dilihat secara biologis/usia, apabila kita disodorkan contoh Soekarno dan Hatta menjadi pemimpin politik dibawah umur 45 tahun, di luar negeri ada Bill Clinton dan Obama yang menempati posisi sebagai pemimpin politik kurang dari 45 tahun. Indikasinya adalah; kepemudaan secara usia akan lebih berani memberi trobosan-trobosan ide segar dan tanpa ada kompromi, seperti tipikal pemuda yang tidak terlalu berfikir panjang dalam membuat keputusan. Munculnya kaum muda pasti akan memunculkan sistem baru dan pendobrak, karena isu kebangsaan yang timbul sekarang adalah permasalahan politik kontemporer, yang membutuhkan rekonstruksi sesuai pelaku dan tantangan zaman.55

Sejarah Indonesia membuktikan, bahwa prestasi mereka yang muda secara umur dalam kepemimpinan politik lebih unggul daripada mereka yang sudah tua,

54

Sampai saat ini Fadjroel belum menyadari dan tidak menyangka, bahwa apa yang diperjuangkan tentang pemimpin politik dari jalur independen benar-benar telah berhasil dan ada orang yang mampu menang melalui jalur independen, meskipun tingkatannya baru di daerah. Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman.

55

Yuddy Chrisnandi, “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 108.

81

bandingkan saja masa kepemimpinan Orde Lama, Orde Baru dan mereka pemimpin tua pasca Reformasi. Harus diakui masa Orde Lama dan Orde Baru memiliki sisi negatif, tapi di lain sektor dia memiliki keunggulan luar biasa, sedangkan pasca Reformasi apa yang diunggulkan?. Jumlah korupsi justru lebih besar saat ini dibanding rezim Soeharto dan rezim Soekarno, pelanggaran HAM saat ini bukan lagi kejahatan kelompok, melainkan problem setiap individu.56 Jadi kepemimpinan kaum tua dianggap gagal dan tidak sukses mengelola berbagai sumber daya politik, bahkan mereka yang tua pura-pura tuli dengan agenda Reformasi seperti: pemberantasan korupsi, penindasan, diskriminasi, kemiskinan, dan pengangguran.57

Perbedaan terbesar antara kaum muda dan kaum tua sangat fundamental, kaum muda selalu melawan, dan kaum tua cenderung berkompromi,58 penempatan kepemimpinan kaum muda tidak selalu pada sektor pemimpin negara, tetapi lebih ada ruang untuk pemuda memimpin dalam bidang politik, tempat setrategis selama ini disinggasanahi mereka yang tua harus mulai direlakan ditempati yang muda, termasuk pos setrategis dalam partai politik yang cenderung oligarki.59

56

Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 102.

57

Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, 101. 58

Seperti peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia, masa itu Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia setelah situasi politik di Jepang setabil – pasca bom Hirosima dan Nagasaki –, tapi para pemuda menolak, kemudian memaksa Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Chrisnandi, “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, 106.

59

Yuddy Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 36.

82

Siapakah sebenarnya anak muda bangsa Indonesia? Pertanyaan tersebut diungkapkan oleh Budiman Sudjatmiko. Mereka adalah “anda” sendiri –semangat kepemudaan meskipun tergolong usia tua–, sedangkan dalam kepemimpinan politik siapakah anak muda bangsa Indonesia? Mereka adalah pemuda secara usia dan pemilik masadepan yang menolak dijadikan sandera oleh masa lalu, baik itu asumsi-asumsi kadaluwarsa maupun labirin konflik masa lalu yang menciutkan cakrawala dan semangat untuk membuat perubahan. Tapi bukan berarti anak-anak muda semacam ini meninggalkan sejarah dan keberakarannya yang menggagas realita hari ini, justru mereka adalah anak-anak muda yang sadar akan jalannya sejarah dari realita yang mereka jadikan zaman untuk hidup sekarang.60

Dari pernyataan Budiman di atas dapat ditarik kesimpulan, pertama mengangkat isu kepemimpinan politik pemuda memang sudah saatnya terdapat regenerasi kepemimpinan politik dan pasti berbicara usia, kedua secara sistem harus ada dan mampu memunculkan kebijakan-kebijakan alternatif dan inofatif. Kedua hal tersebut harus berjalan bersamaan, tidak bisa hanya kebijakan yang inofatif dan kreatif tetapi pelakunya generasi tua, karena tujuannya adalah regenerasi, dan tidak bisa pula dilakukan dan dipimpin golongan muda tetapi secara sistem Orde Baru, karena sangat tidak pro kerakyatan dan tidak sesui dengan cita-cita awal, bahwa munculnya figur pemuda diharapkan melahirkan kebijakan alternatif dan inofatif.61

60

Budiman Sudjatmiko, “Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi -New Frontier-”[website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/90; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.

61

83

Dalam masa regenerasi kepemimpinan politik Indonesia akan dihadapkan dua hal, pertama Indonesia harus mengambil pola kepemimpinan lain yang kuat untuk menyingkirkan warisan dari pemimpin lama, inilah yang terjadi pada kepemimpinan Presiden Soeharto sejak 1966-1998, secara berdarah-darah membersihkan warisan politik Orde Lama. Kedua, melahirkan transisi berlarut-larut ketika sistem terbuka, seperti saat sekarang banyaknya transisi kepemimpinan tetapi isinya hanya orang-orang Orde Baru. Permasalahan dan konsekuensi atas masalah tersebut adalah generasi kepemimpinan kaum muda saat ini harus menanggung beban kesalahan pemimpin tua masa kini, mereka pemimpin tua sekarang dieranya tidak berani menggugat secara serius kekuasaan otoriter Soeharto yang berlangsung lama, sehingga hak-hak pemuda saat ini direbut golongan tua.62

2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda

Bagi Fadli Zon, tujuan hidup itu sama dengan tujuan berpolitik, konteks bahagia dalam politik sama dengan konteks bahagia dalam hidup. Falsafah demokrasi bangsa Indonesia tidak sekedar dalam politik, tetapi juga dalam berkehidupan. Tujuan berpolitik bagi Fadli Zon sama seperti tujuan politik Hatta dalam sektor ekonomi, dalam demokrasi ekonomi terdapat kekuatan rakyat, ini membedakan dengan ekonomi liberal, pasca Reformasi ekonomi Indonesia sedikit demi sedikit digiring ke arah ekonomi neo liberalisme dengan ikut campurnya IMF – seperti dibahas di muka “negara kaya, tapi rakyat miskin” –

62

Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. Bisa dibaca pada Budiman Sudjatmiko, “Mengusir Macan Tua” [berita online]; tersedi di http://www.rumahpemilu.org/read /1508/Mengusir-Macan-Tua-oleh-Budiman-Sudjatmiko; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.

84

dalam aturan ekonomi di Indonesia. Pertanyaannya, negara Indonesia mencita-citakan demokrasi di segala bidang, apakah mungkin berpolitik secara demokrasi tetapi secara ekonomi neo liberalisme?. Praktik dalam pemikiran Hatta jelas dengan ekonomi koprasinya, terdapat semangat dan cita-cita gotong royong sesuai jati diri bangsa Indonesia. Hasil dalam demokrasi ekonomi adalah kesejahteraan dan kebahagiaan, bahagia karena sektor primer; sandang, pangan, papan dan sektor kesehatan terpenuhi, dari situ akan timbul kesejahteraan.63 Ekonomi menjadi faktor terpenting dibenahi bukan tanpa alasan, bangsa Indonesia hanya berdaulat secara konstitusi, tetapi secara kebutuhan hidup terlebih pangan, Indonesia belum berdaulat, contoh: beras, daging sapi,64 dan terakhir bawang semua harus impor dari luar negeri.65

Sependapat dengan Fadli Zon, program kepemimpinan ideal menurut Fadjroel sama seperti gagasan Hatta tentang negara ekonomi demokrasi, tapi Fadjroel menambahkan tentang negara sosialis demokrasi atau negara kesejahteraan seperti gagasan Sutan Sjahrir66 – Pendiri Partai Sosialis Indonesia – yang telah direalisasikan di negara Skandinavia, karena rasa sosial dan rasa

63

Wawancara dengan Fadli Zon. 64

Sastra Wijaya “Menteri Australia ke Jakarta Bicarakan Impor Daging Sapi” [berita online]; tersedia di http://internasional.kompas.com/read/2013/05/12/11422657/Menteri.Australia .ke.Jakarta.Bicarakan.Impor.Sapi; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.

65

Wawancara dengan Fadli Zon. 66

Partai Sosialis Indonesia dilarang oleh Presiden Soekarno, karena saat itu Soekarno sedang berbulan madu dengan Komunis. Lihat pada M. Fadjroel Rachman, “The Thrid Way “Giddens” dan Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 254.

85

kebersamaan sangat cocok dengan kepribadian bangsa yang saat ini benih-benih keindividuan mulai muncul, dan sindrom ketidak percayaan terhadap orang lain.67

Sosisalisme tanpa demokrasi adalah kediktatoran, demokrasi tanpa sosialisme adalah ketidakadilan. Keadilan, kebebasan, kemanusiaan, kerakyatan, kesetaraan, kesejahteraan, dan solidaritas adalah nilai fundamental kaum sosialis. Kaum sosialis meyakini bahwa sosialisme hanya bisa diwujudkan melalui jalan demokrasi, dan demokrasi hanya bisa disempurnakan melalui sosialisme, jadi Fadjroel sangat sependapat dengan hal ini.68

Yuddy Chrisnandi memiliki pandangan keterlibatan konflik antar elit politik di Indonesia dengan dampak dan problem di Indonesia saat ini. Konflik antara elit politik di sektor eksekutif maupun yudikatif menyeret kehidupan bangsa dalam kekalutan, ketegangan, dan krisis berkepanjangan, hasilnya dari semua itu bagi Yuddy ada tiga hal, pertama modal berpolitik hancur akibat konflik, kedua modal ekonomi berantakan dari sedikitnya waktu untuk berfirkir jernih akibat kecenderungan berlama-lama dalam konflik, ketiga modal sosial habis akibat krisis kepercayaan dari kepemimpinan politik yang ada.69

Konsekuensi atas tiga hal di atas adalah terjadinya lima “K” dalam berbangsa di Indoensia, yaitu; kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketidak adilan, dan ketergantungan pada asing, lima “K” tersebut harus diprioritaskan sebagai

67

Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. 68

M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 257.

69

86

gerakan kebangkitan nasional oleh para pemimpin, dengan tujuan Indonesia lebih baik.70 Bagaimana lima “K” itu bisa direalisasikan?, pemimpin harus mulai percaya dengan hasil bumi Indonesia, sesuai amanah demokrasi tentang ekonomi kerakyatan, membanggakan barang dalam negeri pada pasar-pasar internasional, bukan malah sebaliknya masyarakat Indonesia membanggakan produk luar negeri.71 Bangsa Indonesia kaya dari segi apapun, tambang, pangan, hasil laut, dan energi, pemimpin Indonesia harus berani bersaing dengan masyarakat Internasional, karena dengan menciptakan iklim keunggulan produksi bangsa Indonesia atas masyarakat Internasional, maka kepercayaan masyarakat

Dokumen terkait