• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPIAN POLITIK KAUM

A. Problem Demokrasi

1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi

Politisi muda era Reformasi, mereka sebagian adalah para mahasiswa yang ikut andil dalam gerakan Mahasiswa 98, kemunculannya adalah reaksi kesewenang-wenangan pemerintah saat itu, kelahiran mereka bukan sebuah sepontanitas, melainkan kesinambungan dan kesengajaan pemikiran matang dari gerakan-gerakan protes jauh sebelum era Reformasi.1 Posisi mereka tidak memperbarui, melainkan meneruskan perjuangan dari mereka yang diculik dan diintimidasi karena mempermasalahkan otoritas dan kebijakan penguasa, baik kebijakan kesewenang-wenangan ataupun praktik-praktik penodaan atas asas demokrasi.2

Orde Baru tidak hanya pelanggaran asas demokrasi, HAM, praktik korupsi, dan semangat gotong royong “hanya” sesama saudara dan orang-orang terdekat (nepotisme),3 Orde Baru adalah era Fasisme di Indonesia, Daniel

1

Budiman Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, dalam Tim Penerbit Buku Kompas Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Keindonesiaan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001), 149.

2

Konsep pembaharuan politik mengandung dua hal: pertama adanya sistem politik yang ideal dan ingin dicapai, kedua penilaian bahwa sistem politik yang telah ada masih banyak memiliki kekurangan meskipun formatnya sudah pas sesuai identitas bangsa. Lihat pada Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1978), 234.

3

Terlihat seperti anak kecil yang takut dengan gelap, itulah gambaran terhadap aparat pemerintah menghadapi tuntutan hukum Soeharto dan kroninya. Kejahatan korupsi Soeharto sangat besar, permasalahan Super Semar tercium indikasi korupsi Rp, 3,7 treliun tidak sampai pada tahap persidangan, alasannya sama seperti Pinocet yang sakit permanen, sehingga ada ruang maaf untuk itu. Padahal korupsi Super Semar tergolong kecil, jika dibandingkan harta bermasalah

59

Dhakide mengemukakan Orde Baru adalah rezim Neo-Fasisme Militer, GOLKAR adalah ABRI dalam wajah sipil, dan ABRI adalah GOLKAR dalam wajah militer, argumentasi Daniel di-iya-kan oleh M. Fadjroel Rachman, meskipun Fadjroel juga mengatakan Orde Baru adalah periode fasis, tetapi fasis Orde Baru adalah totaliterisme dan korporatis.4

Fasisme adalah faham yang menolak demokrasi, rasionalisme, dan parlementarisme. M. Fadjroel Rachman sependapat dengan Carl Friedrich, bahwa totaliterisme korporatisme Fasisme Orde Baru ditandai oleh enam hal:

Pertama, sebuah ideologi dominan, menyeluruh, dan tertutup. Tidak

disangsikan lagi Pancasila versi Soeharto, pada 1980-an dijadikan asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan. Kedua, satu partai yang menganut ideologi totaliter tersebut GOLKAR (sekarang Partai Golongan Karya) sebagai the ruling party dan kedua partai marginal PDI dan PPP adalah penganut ideologi Pancasila versi Soeharto yang tertutup dan totaliter tersebut. Ketiga, sistem intelijen militer maupun sipil yang mengawasi dan menteror kehidupan masyarakat. Rezim Orde Baru memiliki lembaga ekstra konstitusional dan ekstra yudisial seperti KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), lalu berganti nama menjadi BAKORSTANAS (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional). Di perguruan tinggi, melalui resimen mahasiswa (MENWA) memiliki seksi intelijennya sendiri. Keempat, kontrol tunggal semua aktivitas masyarakat sipil, seperti media massa dengan lembaga SIUPP, dan semua organisasi sosial politik dibawah UU Partai Politik dan GOLKAR, Ormas, dan Referendum. Kelima, watak teknokratis dalam menjalankan pembangunan dan sistem kapitalisme monopoli yang menghantam kebebasan buruh untuk berserikat, melakukan depolitisasi massa (floating mass) dan bekerja sama dengan kapitalisme internasional (modal, portofolio, dan TNC/MNC).

Keenam, bersifat korporatis, rezim memecah masyarakat menjadi golongan fungsional, sehingga tidak perlu berhubungan dengan masyarakat secara Soeharto mencapai 35-60 miliar dolar AS yang menempatkan Soeharto sebagai pemimpin negara paling korup di dunia. Selain maslah korupsi, Soeharto juga dinanti hukuman atas kejahatan HAM, tapi justru kejahatan HAM Soeharto tidak disentuh sedikitpun. Selengkapnya tentang kaburnya proses hukum Soeharto bisa dibaca pada M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 119.

4

M. Fadjroel Rachman, “Indonesia Ke Arah Demokrasi dan Emansipasi Sosial”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 15.

60

langsung, hanya berhubungan dengan perwakilan dari golongan/kelompok korporatis itu. Adapun perwakilannya harus direstui atau sesuai dengan keinginan rezim Orde Baru.5

Ada beberapa kesamaan antara yang dikemukakan oleh Fadjroel dan dijelaskan oleh Yuddy Chrisnandi, Yuddy mengapresiasi Soeharto, ia mampu membangun ekonomi dengan Trilogi ekonomi, tetapi disaat itupula Soeharto membunuh demokrasi.6 Menggaris bawahi pemikiran Yuddy, setidaknya selain kasus KKN, otoriter, dan pemaksaan ideologi,7 Orde Baru juga mengajarkan semacam doktrinasi terhadap masyarakat antara pemimpin Jawa dan bukan Jawa,8 serta meluasnya konflik komunal,9 dan kedua problem tersebut terakhir bahkan

5

M. Fadjroel Rachman, “Fasisme dan Korporatisme Orde Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 47-48.

6

Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 27.

7

Politik otoriter Soeharto memaksa Pancasila yang seharusnya menjadi ideologi negara berubah haluan menjadi ideologi politik, sehingga yang berhak menafsirkan Pancasila hanyalah pemerintah. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 9.

8

Problem Jawa dan bukan Jawa dibangun atas dominasi Jawa dalam segala bidang, selain pemimpin negara diidentikkan memiliki watak raja-raja Jawa, fakta lain mengatakan elit politik di Indonesia juga didominasi oleh orang Jawa, sebab populasi masyarakat Jawa memang di atas suku-suku lain, selain faktor geografis bahwa pusat pemerintahan berada di Jawa. Hasilnya apa?, ternyata dengan identiknya Jawa membuat suku-suku lain selalu menyesuaikan diri dengan masyarakat Jawa, nilai-nilai ke-jawen dipelajari sebagai basis persepsi politik suku lain. Di antara watak masyarakat Jawa dalam aplikasi politik adalah konsep “halus”, masyarakat Jawa cenderung untuk menghindari konflik, tapi di sisi lain juga mudah tersinggung. Kedua “ketenangan bersikap”, orang Jawa memiliki kecenderungan – kewibawaan – orang yang berwibawa dan dihormati bukan orang yang aktif dan selalu berbicara, selalu ada dan menyelesaikan masalah di setiap keputusan, melainkan orang berwibawa bagi masyarakat Jawa adalah yang memiliki ketenangan bersikap. Ketiga adalah konsep “kebersamaan”, kebersamaan bagi masyarakat Jawa tidak hanya pada sektor fisik, melainkan juga pada sektor non fisik, seperti kebersamaan secara moral dan kekeluargaan. Lihat pada Yuddy Chrisnandi, “Problem Jawa-Non Jawa dalam Demokrasi di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 39.

9

Kegagalan penerapan demokrasi akan berakibat fatal dalam bernegara, tidak hanya praktik KKN sebagai penyakit utama, tapi akan melahirkan konflik yang berkelanjutan. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 16.

61

sampai pada Reformasi tetap menjadi isu hangat berdemokrasi di Indonesia selain isu banyaknya reformis gadungan.10

Budiman Sudjatmiko lebih sepakat bahwa Orde Baru pemicu gerakan politik kaum muda dimulai dari otoritarian kekuasaan di segala bidang kemasyarakatan serta kapitalisme militeristik tuntutan penguasa, karena ini pemicu adanya KKN di tubuh-tubuh birokrasi baik negara atau swasta. Sistem pengekangan yang mempersempit gerakan kebebasan tidak akan bisa dirubah jika perubahan itu hanya dimulai dari sektor lebih kecil, seperti tuntutan terhadap regional kampus dan institusi daerah. Oleh karena itu perubahan harus dari inti permasalahan, yaitu me-Reformasi kepemimpinan negara yang otoriter, karena kebobrokan dimulai dari penguasa sekaligus induk dari semua otoritarianisme Orde Baru.11

Fadli Zon menyoroti problem demokrasi Orde Baru cenderung dari sistem yang dipergunakan dan bukan kesalahan individu Soeharto, karena tidak mungkin Soeharto berjalan sendiri tanpa ditopang orang-orang yang menginginkan kursi strategis di pemerintahan.

Negara Indonesia memiliki komitmen bahwa demokrasi tidak hanya dalam sektor politik, melainkan juga dalam tatanan berkehidupan bermasyarakat kesehariannya. Demokrasi era Orde Baru adalah demokrasi Pancasila, ini merupakan hal baik karena Pancasila merupakan asas yang mampu menyikapi

10

Wawancara dengan Yuddy Chrisnandi. Jakarta, 6 Mei 2013. 11

Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 155.

62

toleransi terhadap masyarakat Indonesia, tetapi praktiknya tidak demikian, karena bagi Fadli Pancasila itu hanya nama bagi sebuah peralihan kekuasaan, sedangkan praktiknya masih terdapat nilai-nilai otoriter dan kediktatoran yang tentunya diiyakan pula oleh penjilat kekuasaan masa Orde Baru. Karena jajaran konstitusi era Soeharto tidak bisa dikatakan takut terhadap Soeharto, melainkan karena mereka yang duduk di pemerintahanlah menciptakan sistem dan pencitraan Soeharto sebagai poros utama dan harus ditakuti, karena dengan itu kapanpun sistem bernegara dirubah untuk kepentingan tertentu bisa saja terjadi dengan mengatasnamakan Soeharto.12

Munculnya kediktatoran saat Orde Baru tidak terlepas dari Soeharto adalah panglima tentara, sehingga watak kediktatoran terbawa sampai pada praktik dan karakter berpolitik. Bukan sebuah kesalahan memiliki gaya berpolitik diktator asalkan pada sektor lain berimbang, dan itu pernah ditunjukkan pada periode Soeharto.13

Orde Baru tidak bisa dilihat dari praktik korupsinya saja, perbandingannya bahwa korupsi Orde Baru dan Reformasi hingga sekarang, justru praktiknya lebih besar korupsi saat ini. Di sisi lain disepakati terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran dalam masa itu, tetapi dalam sisi pembangunan ekonomi periode Orde Baru dikatakan berhasil dengan semboyan trilogi

12

Wawancara dengan Fadli Zon. Jakarta, 7 Mei 2013. 13

63

pembangunan, sampai negara kita tergabung dalam OPEC dan pengimpor beras terbesar se-Asia.14

Masa Reformasi adalah awal dari harapan baru tentang tegaknya demokrasi, tapi seperti peristiwa-peristiwa transisi politik di Indonesia sebelum-sebelumnya, semangat dan cita-cita kembali menguap, meskipun Reformasi sudah dari sepuluh tahun berlalu, problem demokrasi tidak berkurang, melainkan justru semakin kompleks. Pendapat empat tokoh politisi muda menyikapi problem demokrasi masa Reformasi sama seperti diungkapkan Adrianof A. Chaniago, permasalahan demokrasi pasca Reformasi digolongkan dalam tiga hal: Pertama anarkisme sosial, baik dilakukan individu, kelomok komunal, etnis, dan agama. Kedua re-sentralisasi dan elitisme dalam sistem politik. Ketiga tokoh-tokoh sipil yang terjebak dan dipenjara layaknya tahanan kota.15

Peristiwa kekerasan dan radikalisme di Indonesia akhir-akhir ini meningkat dan dilakukan oleh multi kelompok. Seperti mengatasnamakan agama, atas nama suku, dan atas nama primordial.16 Praktik terbesar radikalisme agama tidak sekedar berbentuk riel perusakan atas tempat peribadatan agama tertentu, bahkan pemeluk agama yang sama sering terjadi gesekan fisik, belum lagi jika kita lihat peristiwa terorisme di Indonesia, semuanya peristiwa terorisme

14

Wawancara dengan Fadli Zon. 15

Adrianof A. Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, dalam Maruto MD., dan Anwari WMK., ed., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2002), 27.

16

Untuk permasalahan konflik bisa dibaca pada Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 12.

64

terungkap sebagai tafsir atas gerakan dakwah dalam agama.17 Agama dan suku hanya merupakan latar belakang identitas individu, kemudian mengelompok, dan itu bersifat sangat sensitiv, melebarnya konflik dan fanatisme berlebihan banyak dimanfaatkan gerakan partai politik, akhirnya tidak heran apabila banyak partai politik berakar dan menjual simbol-simbol agama, keberadaan partai-partai agama (atau berdasar suku) bisa memunculkan fanatisme yang menolak aturan main demokrasi apabila partai atau suku yang dianggap wakil Tuhan kalah dalam peta pemilu.18

Jika radikalisme dan praktik separatis terus terjadi sampai sekarang, apa sebenarnya penyebabnya dan apa konsekuensinya?19 Penyebab terbesar adalah tidak meratanya asas demokrasi sampai ke pelosok daerah-daerah, sehingga asas demokrasi berbangsa dan berkehidupan hanya dinikmati oleh orang-orang di Senayan. Bagi Imam Prasojo kekhawatiran bangsa Indonesia akibat konflik tersebut adalah disintegrasi sosial, bila ini terjadi akan menimbulkan iklim tidak saling mempercayai di antara kelompok-kelompok masyarakat, konsekuensinya

17

Munculnya gerakan radikal dalam agama bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “Islam dan Gerakan Radikalisme di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 290. Contoh radikalisme dalam agama bisa dilihat seperti peristiwa bom bali A. Wisnubrata, “Air Mata Tumpah di Monumen Bom Bali” [berita online]; tersedia di http://regional.kompas.com /read/2012/10/12/10243665/ Air.Mata.Tumpah.di.Monumen.Bom.Bali; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.

18

Budiman Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”, [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/83; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.

19

Yuddy Chrisnandi, “Menangkal Separatisme Papua”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 75. Baca juga pada M. Fadjroel Rachman, “Luka Papua, Luka Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 185.

65

adalah antara kelompok masyarakat satu dan lainnya saling curiga, saling bermusuhan, dan akibat paling fatal adalah saling meniadakan.20

Konflik-konflik di daerah pertanda tumbuh suburnya re-sentralisasi politik dan perekonomian. Secara konstituen semua induk pemikiran dan gerakan politik menempatkan wakil-wakilnya hingga pelosok daerah, tujuannya secara hukum terjadinya dan tertampungnya banyak aspirasi dari masyarakat, tetapi tujuan secara pribadi dan kepentingan organisasi politik itu hanya salah satu cara menggurita-kan atas kekuasaan. Wakil di daerah selalu menyalahkan pemerintahan pusat karena tidak tanggap terhadap peristiwa di daerah, sedangkan mereka yang di pusat hanya memberikan janji –seolah-olah telah menyalurkan aspirasi rakyat–, padahal secara diam-diam baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah bermesraan, karena konflik pasti akan diselesaikan, hanya saja menunggu momentum yang tepat untuk mengangkat nama baik dan popularitas organisasi politik (pencitraan).21

Sedangkan terjadinya penjara kota bagi tokoh sipil bisa kita telusuri di Ibu Kota, banyak masyarakat berfikir nikmatnya menjalankan perekonomian di Ibu Kota, sehingga banyak mengundang masyarakat dari daerah berbondong-bondong ke Ibu Kota. Perpindahan yang tergolong terburu-buru merupakan satu masalah besar, tanpa dukungan SDM yang brilian, banyak membuat mereka yang susah payah datang ke Ibu Kota harus terlantar dengan ketat dan kerasnya persaingan,

20

Diantara peristiwa-peristiwa radikalisme yang ada, nampaknya gerakan-gerakan separatis adalah gerakan radikalisme yang paling perlu menjadi perhatian. Sebab gerakan tersebut secara jelas dan terang-terangan ingin memiskahkan diri dari negara kesatuan Indonesia. Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 14.

21

66

sehingga cita-cita awal mereka agar menjadi orang kaya tidak terealisasikan, wujudnyapun bisa kita lihat, mereka adalah tahanan kota, yaitu orang-orang miskin yang hidup di kota besar. Siapa yang diuntungkan?, tidak lain adalah mereka elite politik yang oportunis dan pragmatis, karena kecerdikannya memanfaatkan keluguan meraka –tahanan kota– sebagai alat politik, mereka dipelihara dan diperjuangkan aspirasinya, yang tidak lain hanya batu loncatan untuk bisa duduk di kursi parlemen.22

Dokumen terkait