• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH

GERAKAN PEMURNIAN AQIDAH IBNU TAIMIYAH A. Biografi Ibnu Taimiyah

1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Taqiyuddin Ibnu as-Syaikh Syihabuddin Abi al-Mahasin Abdul al-Halim Ibnu as-Syaikh Majdi ad-Din Abi al-Barakat Abdu as-Salam Ibnu Abi Muhammad Abdillah Abi al-Qosim al-Khadhri.20 Ia lahir pada tanggal 10 R. Awal 661 H./ 22 Januari 1263 M. di Harran, daerah Palestina dekat Damaskus, dari keluarga ulama Syiria yang setia dengan ajaran puritan dan amat terikat dengan mazhab Hambali.21 Kakeknya adalah Abdu as-Salam adalah seoarang ulama pemuka agama tersohor di Bagdad. Tradisi ini turun-temurun sampai Abdul al-Halim ayahnya Ibnu Taimiyah yang menjabat kepala sekolah terkemuka di Damaskus.22

Julukan Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas, namanya adalah Ahmad dan gelarnya adalah Taqiyuddin. Lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyuddin.

Sedangkan sebab munculnya laqab “Ibnu Taimiyah” menurut suatu riwayat,

Kakek Syaikhul Islam, Muhammad bin Khadir pergi menunaikan haji dan dia memiliki seorang istri yang tengah hamil (yang ditinggalkannya) melewati daerah

Taima‟. Disana kakenya melihat seorang anak perempuan masih kecil keluar dari

tempat persembunyiannya (karena sedang bermain). Ketika sang kakek kembali

20

Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 203

21

Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal. 20

22

Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo: Pustaka Mantiq, 1995) hal. 47

22

ke Harran, dia mendapatkan istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan (yang kemudian akan menjadi Ibunya Ibnu Taimiyah), maka ketika ia melihatnya

(ia teringat anak perempuan di daerah Taima‟ mengatakan, “Ya Taimiyah, ya Taimiyah”, sehingga kemudian Syikhul Islam digelari dengan Ibnu Taimiyah(anak Taimiyah).23

Menurut pendapat lain, dari Ibnu an-Najjar berkata: “bahwa ibu dari kakek Ibnu Taimiyah yang bernama Muhammad ini adalah Taimiyah, seorang da‟i

perempuan (seorang pemberi nasihat(ustazah), maka Ibnu Taimiyah dinisbahkan kepadanya dan kemudian dikenal dengan laqab tersebut.

Ibnu Taimiyah berasal dari Harran. Ibnu Jubair berkata, “cukup bagi

kampung ini sebagai kemuliaan dan kebanggaan, bahwa kampung inilah tempat bapak kita Nabi Ibrahim Alaihissalam.” Cuaca di Harran sangat berpengaruh pada

sikap Ibnu Taimiyah, yakni menjadikan seorang yang berprilaku bersih, bagus tingkah laku dan istiqamah, di samping cuaca panasnya mampu mengobarkan semangat bela agama.24

Sekitar tahun 667 H./ 1268 M. keluarganya (Ibnu Taimiyah) berimigrasi ke Damaskus untuk menghindari kekejaman bangsa Mongol atau tentara tartar. Beliau (Ibnu Taimiyah) datang bersama orang tuanya dan keluarganya ke Damaskus ketika beliau masih sangat kecil. Mereka eksodus dan melarikan diri dari kota Harran demi menghindari kezhaliman dan kesewenang-wenangan bangsa tartar kala itu. Mereka berjalan di malam hari, dengan membawa kitab-kitab yang mereka angkut dengan gerobak yang ditarik sapi ternak karena tidak ada hewan tunggangan, sehingga hampir saja mereka berhasil disusul oleh musuh. Dan karena beratnya muatan gerobak tersebut mogok, maka mereka bermunajat kepada Allah untuk memohon pertolongan kepada-Nya, hingga mereka pun terhindar dari musuh dan selamat. Mereka tiba di Damaskus pada pertengahan tahun 57 H, dan disanalah untuk pertama kalinya Syekhul Islam kecil menghadiri

23

Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 18

24

Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi, terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 17

majelis ilmu guru beliau yang pertama, asy-Syekh Zainuddin Ahmad bin

ad-Da‟im al-Maqdisi.25

Ketika pindah ke Damaskus tersebut, Ibnu Taimiyah baru berusia 6 tahun. Orang tuanya mempunyai pandangan jauh kedepan dan mengerti pentingnya pendidikan. Oleh sebab itu ia diasuh dan di didik dengan baik. Dengan pendidikan yang begitu terarah, sehingga dalam usia yang relatif muda sudah hafal al-Qur‟an.

Di samping potensi kecerdasannya, lingkungan keluarga, ia sangat mencintai ilmu dan giat mencarinya pada siapa, dimana dan kapan saja. Tiada hari baginya tanpa membaca, mendengar dan berdiskusi.

Di Damaskus Ibnu Taimiyah berhasil menyelesaikan studinya, di bawa bimbingan sang ayah. Dirasah dan studi yang ditekuninya didasarkan paradigma dan kaedah-kaedah mazhab Hambali. Ia jg banyak belajar kepada syekh-syekh yang lain, oleh sebab itu tidak mengherankan jika kemudian ia sangat menguasai berbagai disiplin ilmu seperti, alQur‟qn, hadist, tafsir, fiqh, ushul fiqh, bahasa,

berhitung, logika dan filsafat,26 dan juga belajar kaligrafi, ilmu olah raga.

Ilmu tafsir adalah disipil ilmu yang paling disukai oleh Ibnu Taimiyah. Minatnya terhadap ilmu yang satu ini kelihatannya sangat begitu tinggi, hal ini dapat dipahami dari pernyataannya bahwa dia telah mempelajari lebih dari seratus kitab tafsir al-Qur‟an.27

Agaknya minat dan kecerdasannya dalam lapangan ilmu tafsir inilah; yang membuat ia begitu independen dalam pemahamannya dalam berbagai persoalan keagamaan, disamping penguasaan ilmu lainnya.

Disebutkan bahwa, pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan mengaji kepada ayah dan pamannya. Ia juga belajar kepada beberapa ulama terkemuka terutama di Damaskus dan sekitarnya. Jumlah ulama dan guru besar Ibnu

25

Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 19

26

Persoalan filsafat banyak dibicarakannya,ketika melancarkan kritik terhadap kesesatan dan kekeliruan dalam alur logika, terutama filsafat Yunani. Masalah tersebut banyak dimuatnya dalam sebuah kitab; Naqd al-Mantiq, lihat Nurholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 39-40

27

Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo: Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45

24

Taimiyah mencapai lebih dari dua ratus syikh.28 Di antara sekian banyak guru yang telah mentransformasi ilmunya dapat disebutkan antara lain:

1. Syam ad-Din Abd Rahman Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) adalah seorang ahli hukum Islam (fiqih) dan Hakim Agung pertama dari kalangan mazhab Hambali di Siria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan.29

2. Al-Munaja‟ Ibnu „Utsman al-Tanukhi (611-695 H.). Ia seorang guru Ibnu Taimiyah di bindang fiqih, tokoh tersohor bidang fiqih pada zamannya di Syam (Suriah). Ia juga seorang Mufassir dan ahli nahwu, pemberi fatwa dan pengarang. Karangannya antara lain; Syarh al-Mughni sebanyak empat jilid, Tafsir al-Qur‟an, ikhtisar al-Mashul, dan lain sebagainya. 3. Ibnu Abd al-Qawiyy (603-699 H.) adalah seorang ahli hadist, fiqh, nahwu

dan pengarang, karyanya antara lain; Kitab al-Furuq.

4. Ibnu Abd al-Da‟im (557-678 H.) seorang guru Ibnu Taimiyah di bidang hadist. Di antara ulama yang meriwayatkan hadist darinya adalah al-Syaikh al-Muhy al-Din al-Nawawi dan Ibnu Daqiq al-„id. Ibnu Taimiyah

belajar dengannya Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam (Kutub al-Sittah).30

Melihat jumlah dan kualitas guru-guru Ibnu Taimiyah, di samping keberadaan sosok Ibnu Taimiyah sendiri, maka dapat dimengerti mengapa ia menjadi seorang yang berilmu luas, kritis dan berpandang orisinil. Dan pada gilirannya ia mampu melahirkan muri-murid yang memiliki kualitas ilmu

keagamaan yang handal; al-Hafiz Ibnu Qoyyim,31 al-Hafiz Ibnu Katsir,32 al-Hafiz IbnuAbdil Hadi,33 al-Hafiz Ibnu Rajab34 dan lain-lain.

28 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc, dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006) cet I hal. 16

29

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008) hal. 85

30

Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo: Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45

31

Ia adalah murid yang paling pintar, yakni seorang yang ahli fiqh mazhab Hambali, ahli ilmu ushul, hadist, nahwu, sastra dan orator dan karyanya tidak kurang dari 40 jilid (w. 751 H.) lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 18

Seorang sejarawan besar, al-Dzahabi pernah memberi komentar tentang Ibnu Taimiyah; sesungguhnya Ibnu Taimiyah figur pembaca yang berhasil. Ia mahir di bidang ilmu hadist dan fiqih dalam usia yang relatif muda, selain itu ia juga menguasai ilmu tafsir, ushul fiqih dan hampir semua ilmu keislaman, baik ushul

maupun furu‟ nya secara global, kecuali ilmu qira‟at.

Apabila menyebut tafsir, maka dialah pembawa panjinya, apabila menghitung nama-nama fuqaha, maka dialah seorang mujtahid mutlak pada zamannya. Jika menghadiri majelis huffaz (hafalan), Ibnu Taimiyah berbicara dengan lantang, semua hadirin diam, ia menghafal tidak seorangpun mampu mengikutinya, bahkan ketika hafalannya yang lain masih banyak, yang lain sudah kehabisan hafalan. Ketika menyebut ahli ilmu kalam, dialah orangnya dan kepadanyalah orang-orang merujuk.35 Demikianlah beberapa komentar tentang ketokohan Ibnu Taimiyah dalam sejarahnya.

Kehebatan Ibnu Taimiyah, tidak hanya diakui dari kalangan yang mengaguminya, sebutlah kelompok yang setuju dengan pemikirannya, tetapi lebih dari itu, ternyata lawan polemiknyapun memberi komentar yang sama. Kamal al-Din Ibnu al-Zamlakani, seorang penganut mazhab syafi‟i, sengaja menulis

beberapa jilid buku untuk menentang pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah. Dalam sebuah tulisannya tetap mengakui kehebatan Ibnu Taimiyah, ia berkomentar; jika dia (Ibnu Taimiyah) berbicara tetang sesuatu ilmu, dia selalu lebih dari pada yang dibutuhkan, dalam hal tulis-menulis dia begitu indah memilih kata-kata,

32

Ia adalah ahli tafsir, hadist dan fiqh. Ia adalah seorang yang bermazhab Syafi‟i namun berguru kepada Ibnu Taimiyah dan merasa takjub kepadanya dan karangnya yang paling populer tafsir al-Qur‟an al-Azhim (tafsir Ibnu Katsir) dan buku yang lain, al-bidayah wa an-Nihayah, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 19-20

33

Seorang faqih, mempuni, ahli dalam ilmu tajwid, ahli hadist, hafizh, ahli nahwu, cerdas dan mempunyai wawasan yang luas, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 19

34

Seorang imam yang hafiz yang menjadi rujukan bagi faqih, seorang ulama, guru para ahli hadist serta penasehat kaum muslimin, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 20

35Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah; Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama), 1960) hal. 16

26

paparannya tepat pada sasaran, pandai menyusun kerangka dan kata-kata.36 Agaknya menjadi pertanyaan, apa motiv tokoh ini secara sadar memberi komentar demikian. Barangkali komentar tersebut, tidak lebih dari kesadaran yang muncul dari kondisi, dimana seseorang secara jujur mengakui, bahwa setiap manusia dalam beberapa segi pasti memiliki kelebihan dan dalam segi-segi tertentu mesti terdapat pula kekurangan-kekurangan. Asumsi ini paling tidak ingin melihat secara husnu zhon dari sikap tokoh tersebut diatas terhadap Ibnu Taimiyah.

Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif. Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji.37 Padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah melarang seseorang untuk naik haji dan beliau sendiri ketika pergi ke Mekkah pada tahun 1292 melakukan ibadah haji.38 Bahkan pada tingakat yang

paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”.

Ibnu Taimiyah adalah penentang keras terhadap setiap bentuk khurafat dan

bid‟ah atau inovasi terhadap agama. Dengan sikapnya yang demikian itu dia

dimusuhi oleh banyak kelompok Islam, dan kerap kali berlawanan pendapat dengan kebanyakan ulama ahli hukum. Dia sering pula menentang arus, karenanya berkali-kali masuk penjarah, bahkan akhirnya meninggal di dalam penjara.

Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Masyarakat, khususnya tempat Ibnu Taimiyah lahir, dan umumnya di seluruh wilayah kekuasaan Mamalik,39 atau bahkan di banyak kawasan lain, sangat heterogen, baik dalam hal

36

Ahmadie Thaha, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) hal. 20-21

37

Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996) hal. 278

38

M. Atiqul Haque, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia, 2007) hal. 82

39

Mamalik adalah nama dinasti yang berkuasa di Mesir (1250-1517) setelah Dinasti al-Ayyubiyah runtuh. Dinasti Mamalik ni dibagi menjadi dua periode. Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M.

kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadi perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilaya banyak macam bangsa; Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki, Tartar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia, dan sebagainya, sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, prilaku, dan alam pikiran. Hal itu jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan kehidupan bernegara. Dalam suasana demikian sukar diciptakan stabilitas politik, keserasian sosial dan pemupukan moral serta akhlak. Yang lebih parah lagi, pada waktu itu masalahnya tidak hanya banyak agama yang berbeda satu sama lain, tetapi juga banyak mazhab, termasuk juga mazhab-mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan

Hambali.40

Disamping kondisi sosial politik yang begitu semerawut, ternyata pada tataran selanjutnya, bermplikasi pada dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, dimana kondisi keilmuan pada abad ini boleh dikatakan kurang mendapat perhatian, sehingga tidak diperluas dan diperdalam. Kecendrungan yang ada

hanya mengkopi dan mengambil “begitu saja” pada pemikiran dan pengkajian dalam disiplin ilmu tertentu. Tiap-tiap penganut mazhab fiqih bersikap kaku, tidak memiliki kelembutan dan kelonggaran, meskipun ada semboyan; bahwa kebenaran itu berkisar pada mazhab empat, kenyataannya, para pengikut masing-masing mazhab telah membatasi kebenaran dalam mazhabnya. Kelapangan

mereka tidak lebih dari mengatakan “ Imam kami melihat kebenaran yang boleh

jadi salah, sedangkan selain kami melihat kesalahan yang boleh jadi benar.41 Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang terjadinya pertentangan-pertentangan sengit, karena timbulnya sentimen politik dan ambisi perorangan demi kepentingan mazhab dan kelompok tertentu. Sehingga pada puncaknya mereka sepakat untuk mengklaim, bahwa pintu ijtihad perlu ditutup.

Kalau Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara, bukan berarti dia memusuhi penguasa, namun tidak lebih dari pengaduan atau tuntutan dari

40

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 2003) hal. 80-81

41

Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo: Pustaka Mantiq, 1995) hal. 37

28

sekelompok mazhab tertentu, terutama karena ketajaman kritiknya terhadap kebiasaan memuja para Nabi, para Wali dan panatisme mazhab.42

Sehingga dalam tataran selanjutnya, muncul pula ahli tarikat yang membimbing masyarakat, melalui suluk, yang di gariskan ulama tasawwuf yang terkadang jauh dari nilai-nilai agama. Ahli tarikat menempuh cara pendidikan

individual, melalui proses “baiat” antara syikh dan murid. Para yang ditempuh penganut tarikat membawa akibat sampingan, yaitu sikap kultus individu dan pada gilirannya seorang syikh dianggap suci dengan menjadikan ziarah kepadanya suatu yang wajib, dan jika telah wafat dianggap mempunyai keramat dan lain sebagainya.43 Menurut Ibnu Taimiyah, ziarah kubur serta mengkramatkan

kuburan para wali bahkan para nabi merupakan perbuatan ahli bid‟ah dan

perbuatan tersebut tidak diridhai oleh Allah, sesuai dengan firman Allah dalam surat as-Syura ayat 21: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah.”

44

Kondisi tersebut semakin memburuk dan bertambah parah dengan munculnya kelompok-kelompok yang berkolusi dengan musuh-musuh Islam, seperti Nashairiyah, Kisriwiyah, Syi‟ah (sesat), Yahudi dan Nasrani. Kelompok -kelompok sporadis ini sengaja melakukan perlawanan berdarah terhadap umat Islam. Mereka itu pada hakikatnya, sebagaimana digambarkan Ibnu Taimiyah, adalah fanatisme pemuja filsafat, pengikut Hindu dan Yunani, pewari Majusi,

musyrikin dan penerus kesesatan Yunani, Nasrani dan Syabi‟in (penyembah

batu)45

Kesimpulannya, bahwa kondisi umat Islam pada masa Ibnu Taimiyah, pada umumnya sudah menyimpang dari ajaran yang murni. Aqidah mereka bercampur

42

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 2003) hal. 81

43

Juhaya S. Praja, Epistemologi Hukum Islam, (Jakata: 1988) hal. 36

44 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc, dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006) cet I hal. 70

45Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah; Etika Politik Islam, terj. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama), 1960) hal. 17

syirik, ibadah yang dikerjakan dicampur dengan unsur-unsur bid‟ah, semangat

ijtihad sudah menurun, ruh taklid merajalela dan faham tasawwuf beserta tarikat-tarikat telah berbaur dengan tradisi pemikiran di luar Islam. Begitulah kondisi keagamaan yang terjadi pada masa Ibnu Taimiyah, yang kemudian mendorongnya untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan pemurnian ajaran Islam.

Ibnu Taimiyah adalah pedang Allah yang terhunus bagi para ahli filsafat, para

atheis dan para ahli bid‟ah yang berlebih-lebihan. Dan pada akhirnya, pada masa pemerintahan al-Malik al-Nasir, Ibnu Taimiyah dimasukan penjara, sekali lagi karena keritikannya yang tajam terhadap kebiasaan ziarah kubur atau makam para nabi dan para wali. Mula-mula meskipun dalam penjarah Ibnu Taimiyah masih dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya dengan menulis buku atau makalah, tetapi kemudaian jiwanya sangat terpukul ketika di penjara Damaskus dia tidak diberi keras dan tinta lagi. Dan tidak tahan menerima penghinaan itu, dan akhirnya tutup usia pada tahun 728 H atau 1329 M, pada usai lebih kurang 66 tahun.46

Kepergian Syikhul al-Islam menghadap Allah merupakan peristiwa terbesar yang menjadikan manusia bersedih dan meneteskan air mata. Mereka berkata,

“Manusia berdesak-desakan untuk melayat jenazahnya, suara tangis mereka terdengar keras, demikian pula pujian, doa untuknya. Sehingga jenazahnya sampai ke pemakaman sebelum ashar, sementara mereka telah menunggu sejak pagi, mereka datang dari penjuru desa, ladang serta sawah-sawah sekitar tempat tersebut.

Berikut ini ungkapan Ibnu Katsir ketika menceritakan jenazah Syikhul Islam

Ibnu Taimiyah dan meludaknya para pelayat, “Pada saat itu tidak ada seorang pun

yang tidak hadir melayat kecuali yang ada halangan, para wanita yang berjumlah kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini belum termasuk suara isakan tangis dan doa yang terdengar di atas rumah-rumah disepanjang jalan menuju makam, sementara lelaki yang hadir diperkirakan mencapai 60.000 sampai

46

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 2003) hal. 81-82

30

100.000 orang pelayat bahkan lebih.47 Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan keridhaan-Nya kepadanya, Amin.

2. Perkembangan Spritual dan Intelektual Ibnu Taimiyah

Sejak masih kecil Ibnu Taimiyah sudah mulai menghafal al-Qur‟an, yang ia

lanjutkan dengan menghafal hadist serta riwayatnya, ia juga telah belajar kitab dari syikh ternama dan dari buku-buku induk dalam hadits seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih al-Bukhari dan Muslim, Jami‟ at-Tirmidzi, Sunnah Abi Dawud dan an-Nasa‟i, Ibnu Majah serta Darul Quthni.

Para ulama berkata; “Buku pertama yang ia hafal adalah “al-Jam‟u baina

as-Shahihaini” karya Imam al-Humaidi”, mereka juga berkata, “Sesungguhnya ia telah mendengar hafalan Musnad Imam Ahmad beberapa kali.”

Selain memperdalam ilmu hadits ia juga belajar ilmu lain seperti matematika, sangat perhatian terhadap ilmu-ilmu bahasa Arab, menghafal beberapa matan dalam berbagai disiplin ilmu dan sejarah bangsa Arab klasik, ia mempunyai pandangan dan perhatian khusus terhadap buku Sibawaih sehingga buku ini didalami dengan sangat teliti.48

Oleh karena kesungguhan dan kecerdasan otaknya, maka sebelum berusia genap 20 tahun, ia telah menjadi seorang yang alim yang disegani. Dalam usianya yang masih sangat muda itu, Ibnu Taimiyah telah menjadi seorang ahli Agama dan ahli hukum. Bahkan menurut Prof. Gibb, ia berhasil menjadi professor dari Mazhab Hambali dalam ilmu hukum.49 Ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap fiqih Hambali, dengan cara mengikuti dan meneliti mazhab ini dari masa ke masa,

namun ia tidak meninggalkan mazhab lain terutama Mazhab Syafi‟i.

Pada usianya yang belum genap 20 tahun itu juga ia harus kehilangan ayahnya. Dan pada usia 22 tahun kemudian Ibnu Taimiyah menggantikan posisi ayahnya sebagai guru besar hukum mazhab Hambali serta menggantikannya

47

Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 225-226

Dokumen terkait