• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Ibnu Taimiyah dalam pemurnian Aqidah Islamiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Ibnu Taimiyah dalam pemurnian Aqidah Islamiyah"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh

Frengki Swito

NIM: 107011000943

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN

AQIDAH ISLAMIYAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh

Frengki Swito

NIM: 107011000943

Pembimbing,

Dr. Khalimi, M. Ag

NIP: 196505151994031006

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Nama : Frengki Swito NIM : 107011000943

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Alamat : Jl. Pelataran Air Ketekok Atas No. B29 RT 05/02 Tanjung Pandan Belitung Prov: Bangka Belitung Kode Pos 33414

Judul Skripsi :“Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian Aqidah Islamiyah”

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 08 Desember 2011

(4)

ABSTRAK

Studi ini merupakan kajian sejarah, dengan tujuan untuk mendeskripsikan secara analisis berbagai pandangan dan kiprah Ibu Taimiyah dalam pemurnian “ajaran Islam”. Ibnu Taimiyah dilahirkan sekitar abad ke 13

M., dimana dunia Islam mengalami “kemunduran”. Prilaku dan kehidupan masyarakat Islam sangat menyimpang dari ajaran Islam (al-Qur‟an dan sunnah rasul), aliran dan sekte-sekte yang mengatasnamakan Islam bertambah

subur, taklid buta, fanatisme mazhab, khurafat an bid‟ah mengeruhkan

cakrawala pemikiran umat Islam, ditambah dengan berkembangnya pengaruh

logika dan filsafat Yunani yang posisinya nyaris “menggusur” al-Qur‟an dan as-Sunnah.

Kondisi tersebut semakin memburuk manakala dunia Isalam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi moral yang diakibatkan oleh berbagai intervensi bangsa jajahan, bangsa tartar dan kaum salib, disamping gejolak intern yang terjadi dalam pemerintahan Islam.

Melihat kondisi seperti ini Ibnu Taimiyah tampil dengan ide “pemurnian”

terhadap seluruh tradisi pemikiran Islam. Ia dikenal sebagai tokoh salaf yang

pertama kali mengulirkan gagasan pemurnian terhadap “ajaran Islam” yang

mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam “orisinil” yaitu al

-Qur‟an dan as-Sunnah serta paradigma pemikiran salaf. Aktifitas Ibnu Taimiyah dalam melancarkan misinya masih bersifat teoritis dan akademis. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang kurang mendukung.

Meskipun demikian, khazanah pemikiran intelektula yang digagas Ibnu Taimiyah tetap menggelinding dan mengelaborasi dalam sejarah pemikiran dalam Islam. Pemikiran Ibnu Taimiyah kendatipun cukup tertunda, ternyata mempengaruhi gerakan pemurnian di Indonesia yang dikenal dengan gerakan tiga serangaki yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yang muncul pada abad ke 20 M. Keterpengaruhan gerakan ini terhadap wancan pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali kepada ajaran Islam murni yaitu al-Qur‟an dan sunnah rasul plus paradigma pemikiran kaum salaf dan sikap anti terhadap segala bentuk kesyirikan,

khurafat dan bid‟ah.

(5)

I

sahabatnya yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam terang benerang.

Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah SWT penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Jakarta.

Berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, perkenankanlah penulis menghanturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu baik dari segi spiritual maupun material terhadap penyelesaian skripsi ini, yaitu antara lain:

1. Dra. Nurlena Rifai, MA., Ph.D Pgs. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan.

2. Bahrissalim, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)/Peningkatan Tenaga Teknis dan Masyarakat (PTTM) yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan pengetahuannya sebagai masukan yang sangat berharga.

3. Dr. Khalimi, M.Ag, pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang ditengah-tengah kesibukannya beliau menyediakan waktu untuk memberikan motivasi, pengarahan, bimbingan dan petunjuk dengan kesabaran dan keikhlasan.

4. Bapak Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan serta arahan.

(6)

II

6. Ayahanda Sahori dan Ibunda Darmia selaku orang tua penulis yang telah memberikan doa restu, dorongan dan bantuan baik moril maupun materil spiritual kepada penulis dengan penuh kesabaran dan hrapan sehingga penulis dapt menyelesaikan skripsi ini.

7. Kakanda Ashadi dan Ratna Juwita serta adik penulis yang bernama Ivan Syah, yang selalu memberikan dorongan kesemangatan sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

8. Tema penulis terutama seluru anggota kelas VIII B 2007 Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan dorongan dan masukan kepada saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis hanya dapat memohon doa kepada Allah SWT semoga keikhlasan semua pihak dalam membantu kelancaran penulisan skripsi ini mendapatkan balasan dari-Nya. Jazaakumullahu khairan katsiran.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis membuka diri untuk menerima segala masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada u dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 12 Desember 2011 Penulis

(7)

III

DAFTAR ISI ... III BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian ... 6

F. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian ... 7

2. Metode Penulisan... 7

3. Fokus Penelitian ... 7

4. Sumber Penelitian ... 8

5. Prosuder Penelitian ... 8

6. Teknik Penelitian ... 8

BAB II KONSEP KEMURNIAN AQIDAH ISLAM A. Pengertian Kemurnian... ………..9

B. Ciri-Ciri Aqidah Islam yang Murni 1. Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid ... 11

2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam ... 14

3. Kejelasan Sumber Aqidah Islam ... 15

4. Aqidah Sebagai hal Pokok Dalam Islam ... 17

C. Upaya-Upaya Pemurnian Aqidah Islam ... 18

BAB III GERAKAN PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH A. Biografi Ibnu Taimiyah 1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah ... 21

(8)

IV

3. Karya-karya Ibnu Taimiyah ... 35 B. Karakteristik Pemurnian Ibnu Taimiyah ... 37 C. Jihad yang Benar Dalam Membela dan Mempersatukan

Aqida dalam Pandangan Ibnu Taimiyah... 44 BAB IV PENGARUH PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH DI INDONESIA

A. Gerakan Muhammadiyah ... 52 B. Gerakan al-Irsyad ... 55 C. Gerakan Persatuan Islam (PERSIS) ... 57 BAB V KESIMPULAN

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah

Pembaharuan(Pemurnian) merupakan terjemahan bahasa Barat

“modernisasi,” atau dalam bahasa Arab al-tajdid, mempunyai pengertian “pikiran, gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi modern.” Dengan jalan itu pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran kepada kemajuan.1

Tajdid (pembaharuan) dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama

ini dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang

Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah (perilaku akhlak).2

Ada sejumlah ayat yang dapat dikemukakan yang sering menjadi dasar bagi kaum muslim dalam mencari kemurnian Islam yaitu ayat al-Quran yang paling sering dikutip adalah :













1

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,1982)hal. 1

(10)

2

Artinya : “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah ialah Islam” (QS. Ali Imran: 19); dan dalam surat al-Maaidah ayat 3 Allah berfirman :

                    

Artinya: “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu,

dan Aku sempurkan nikmat-Ku bagimu, Aku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS.

5: 3). Juga sebuah hadits yang sering dikemukakan adalah yang artinya: “Aku tinggalkan untukmu dua perkara yang tidak akan sesat bila kamu sekalian

memegangi keduanya (yakni) Al-Quran dan Sunnah Rasulullah”.

Gerakan kemurnian (pembaharuan) dilakukan karena terjadinya krisis akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam pemikiran. Dapat diartikan juga bahwa kondisi tersebut terjadi karena adanya sikap yang melampaui batas dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan

syari‟at Islam.

Sesunguhnya sikap melampaui batas itu tidak hanya terdiri dari satu macam, melainkan terdiri dari beberapa macam tergantung dengan jenis perbuatan yang dilakukan para hambah. Akan tetapi secara umum terbagi menjadi dua macam, yaitu: i‟tiqadi atau yang berhubungan dengan akidah dan amali atau yang berhubungan dengan muamalah.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok melenceng dari jalan yang lurus dan jauh dari manhaj yang benar yang telah

dibawa Rasulallah SAW dan manhaj para sahabat dan tabi‟in setelah mereka. Di

(11)

Sedangkan faktor internal terbagi menjadi dua bagian, yaitu faktor-faktor yang bersifat umum dan faktor-faktor yang bersifat khusus. Yang terpenting di antara faktor-faktor umum adalah: berbuat bid‟ah, kebodohan, mengikuti hawa nafsu, mengutamakan akal dari pada nash, fanatik (mengikuti dengan membabi buta mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang telah ada) dan melemparkan tuduhan buruk kepada orang-orang dari golongan Ahli Sunnah wal Jama‟ah. Faktor khusus ringkasnya adalah menentang atau bertetangan dengan manhaj Ahla Sunnah wal

Jamaa‟ah dalam pandangan dan dalam pembuktian.3

Akibat faktor-faktor tersebut salah satunya adalah kolonialisme Barat (Yahudi, Majusi, dan lain-lain) terhadap dunia Islam yang berkepanjangan menyebabkan kehidupan kaum Muslim di permukaan bumi tercabik-cabik. Kehidupan mereka terhiasi formalisme keberagamaan, kehidupan mistik yang tidak sehat, tahayul menggantikan sikap orisinal Islam yang kreatif, lenyapnya daya kritis dan keimanan terdesak menjadi ortodoksi yang sempit.

Situasi demikian meniscayakan umat Islam untuk mencari “sesuatu” sebagai

tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan rasa aman. Sebagian besar umat memilih untuk mengingat kembali masa lalu Islam yang gemilang. Masa kesempuranaan Islam yang telah menyejarah, yakni pada masa Rasulullah dan para sahabat, zaman di mana Islam masih berada dalam wilayah yang masih terbatas. Islam dalam ruang dan waktu demikian didefinisikan sebagai ideal, murni atau autentik. Islam autentik (al-ashalah) telah lama hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan kelalaian maupun oleh karena

“sengaja dicuri” orang lain.4

Oleh karena itu, umat Islam memandang perlu mencari autentisitas Islam supaya umat Islam mendapatkan kembali keemasannya. Salah satu toko pembaharu pada abat ke-14 adalah Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad ibnu Abd al-Halim ibnu Taimiyah, atau yang lebih dikenal dengan syikh al-Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan masyarakat hanbali.

3

Rusli, Rizal. Berlebih-lebihan dalam agama, (jakarta: Pustaka Azzam 2002)hl 86-89 4

(12)

4

Dalam tulisannya (Ibnu Taimiyah) yang berjudul "Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam", Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan. Dalam kondisi yang demikian itulah, muncul gerakan untuk memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) untuk memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.

Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila al-Quran wa As-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah). Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.

(13)

Taimiyah.5 Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan

menyerukan “kembali kepada tauhid”.6

Dari permasalahan ini, dan atas dasar pentingnya mengetahui bagaimana Islam yang sebenarnya dengan berlandaskan pada al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka penulis mengangkat sebuah judul: “Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian

Aqidah Islam”. Dengan harapan dapat mengigatkan dan menumbuhkan rasa

kesadaran seluruh umat Islam terhadap pentingnya kemurnian akidah (keyakinan) sebagai modal dasar yang paling utama.

Adapun alasan memilih judul tersebut, yakni:

1. Ibnu Taimiyah adalah sosok monumental sepanjang sejarah yang telah dilahirkan oleh sejarah. Umat ini sangat membutuhkan pribadi multi dimensi seperti beliau; berwawasan luas, visioner, dan tak kenal menyerah. Beliau adalah prototipe ulama pembaharu yang memiliki pemahaman Islam yang orisinil dan mendalam. Ilmu dan amalnya senantiasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat.

2. Memberi pemahaman yang jelas tentang kemurnian ajaran Islam. Salah satu indikasinya adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam kehidup umat islam. Supaya sesuai dengan hakikat ajaran islam yang sebenarnya yaitu kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah.

3. Kewajiban penulis sebagai mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam untuk membina dan menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan, dengan titik penekanannya pada akidah tauhid sehingga memperoleh keutamaan dalam taqarub (ibadah) kepada Allah, dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi.

4. Sebelumnya sudah ada mahasiswa program pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang dalam sebuah Tesisnya yang membahas tentang pemurnian ajaran agama Islam dalam pandangan Ibnu

5

Ibnu, Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal.23-24

6

(14)

6

Taimiyah. Akan tetapi ia lebih cenderung membahas masalah keterkaitannya atau pengaruhnya terhadapa gerakan Wahabi tanpa menjelaskan dampak kemurnian Ibnu Taimiyah di Indonesia. Maka disini penulis merasa perlu untuk membahas dampak kemurniannya juga di Indonesia.

Demikian lebih dan kurang beberapa alasan penulis dalam memilih judul di atas.

B. Identifikasi Masalah

Sehubungan dengan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:

1. Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyah sangat fanatisme mazhab, taqlik buta dan berlebih-lebihan dalam agama sehingga timbul sikap melampaui batas yang menyalahi akidah islam yang sebenarnya.

2. Kurangnya kesadaran masyarakat Islam pada masa Ibnu Taimiyah bahwa penganut agama sesat baik itu Yahudi, Majusi, dan penganut agama sesat lainnya yang senantiasa masuk ke dalam agama islam dengan tujuan untuk melakukan tipu daya, menimbulkan keraguan, membuat hal-hal baru dalam agama dan mengantikan agama islam dengan kesesatan.

3. Tentang tarekat yang mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, keramat yang mengandung unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi al-Ahmadiyah pada masa Ibnu Taimiyah.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan Ibnu Taimiyah tentang pemurnian ajaran agama islam?

2. Bagaimanakah pandangan Ibnu Taimiyah tentang akidah yang benar

yang sesuai dengan syari‟at islam yaitu akidah tauhid?

D. Perumusan Masalah

(15)

dengan kalimat yang lebih rinci: Bagaimanakah akidah islam yang benar dalam pandangan Ibnu Taimiyah, yaitu aqidah para salafus shalah(ahlu sunnah wal jamaah)?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep kemurnian ajaran agama islam dalam pandangan Ibnu Taimiyah. Salah satu indikasinya adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam kehidup umat islam. Maka kemurnian ajaran/ akidah yang benar harus diterapkan sebagaimana pandangan pemikiran Ibnu Taimiyah yaitu gerakan al-ruju ila al-Quran wa As-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah), dengan tekanan dalam pemurnian akidah.

Hasil yang diperoleh dari skripsi ini diharapkan memberi manfaat praktis yang dapat menumbuh kembangkan akidah yang benar yang sesuai dengan

syari‟at islam baik itu dalam hubungannya dengan Allah atau dengan sesama

manusia itu sendiri. Serta menuntun umat islam sehingga terhindar dari kesesatan dan bangkitan dari keterpurukan.

F. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitain

Penelitian yang sedang dilakukan ini, jika dilihat dari bahan-bahan atau obyek yang akan diteliti, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research) karena penelitian ini menggunakan buku-buku dan majalah-majalah. Jika penelitian ini dilihat dari segi cara analisisnya, maka peneltian ini bersifat kualitatif.

Cara penyajiannya bersifat deskriptif analitik. Penyajian deskriptif adalah menjelaskan tentang pengertian, maksud dan tujuan dari kemurnian ajaran agama islam serta pengaruhnya dalam masyarakat. Analisisnya adalah menganalisa pemikiran Ibnu Taimiyah dengan berbagai dalil-dalil yang memiliki keterkaitan, baik dari al-Qur‟an, Hadits, dan beberapa disiplin ilmu pengetahuan.

2. Metode Penulisan

(16)

8

bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan konsep kemurnian (pembaharuan) ajaran agama islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah dari berbagai sumber.

3. Fokus Penelitian

Subyek penelitian ini adalah pandangan Ibnu Taimiyah terhadap kemurnian ajaran agama Islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah dalam implementasinya di dalam masyarakat terutama masyarakat pada zamanya dan khususnya di Indonesia. Sedangkan obyek penelitiannya adalah peningkatan kualitas keimanan (aqidah islam) dari kemurnian (pembaharuan) ajaran agama islam dalam pandangan Ibnu Taimiyah.

4. Sumber Penelitian

Dalam pengumpulan data, penulisan sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengumpulkan bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan kemurnian (pembahruan) ajaran agama islam dari beberapa sumber: Dalil-dalil nash

(al-Qur‟an dan as-Sunnah), Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiya, Qa‟idah Jalilah fi at

-Tawassul wa al-Wasilah, tajdidu salafi wa dakwah al-ishlahiyah sebagai sumber

primer, beberapa pemikiran tentang kemurnian islam, pemikiran Para Tokoh Kemurnian (pembaharuan) Islam, dan lain-lain, sebagai sumber sekunder.

1. Prosuder Penelitian a. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini, penulis mengadakan kunjungan perpustakaan dalam rangka pengumpulan data.

b. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini penulis mengumpulkan data dari buku-buku sumber yang diperoleh dari perpustakaan untuk penelitiaan.

c. Tahap Penyelesaian

(17)

2. Teknik Penulisan

Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas

(18)

10 BAB II

KONSEP KEMURNIAN AQIDAH ISLAM A. Pengertian Kemurnian (Tajdid)

Secara bahasa, kata tajdid berarti ia merupakan proses menjadikan sesuatu yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Dalam hal ini tajdid-aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang pada hakikatnya selalu berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing dalam pelaksanaannya diperlukan pemahaman yang dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang bersumber dari

al-Qur‟an dan as-Sunnah, serta pendapat para ulama yang terdahulu yang secara

ijma‟ dianggap shahih. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun pemahaman yang dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut.7

Pemurnian dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama ini

dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang

Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah (perilaku akhlak).8

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan islam bukanlah sesuatu yang evolusioner melainkan lebih cenderung devolusioner,

7

http://www.scribd.com/doc/15189839/Konsep-Pembaruan-Dalam-Islam

(19)

dengan arti bahwa pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.

Seputar tajdid ini Rasulullah SAW sendiri telah menegaskan dalam

hadistnya tetang kemungkinan itu, beliau bersabda:” sesungguhnya Allah akan

mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid terhadap agamanya”.(HR. Abu Daud. No 3740).9

Sumber Islam al-Qur‟an dan Hadist tidak dapat diperbaharui. Namun, al

-Qur‟an dan Hadist telah diijtihadkan oleh para ulama menjadi kitab-kitab tahuid, tafsir, fiqih, falsafah Islam, dan lain-lain dan ini juga menjadi pedoman bagi umat Islam. Kalau al-Qur‟an dan Hadist tidak boleh diubah atau diperbaharui, tetapi ijtihad ulama tentang al-Qur‟an dan Hadist yang kemudian menjadi pedoman-pedoaman bidang tahuid, fiqih, dan lain-lain, itu pada masa ulama-ulama yang berijtihad mungkin masih sesuai dengan kebutuhan umat, tapi pada masa selanjutnya mungkin perlu diperbaiki. Dalam bidang inilah pembaharuan islam berkecimpung.10 Akan tetapi pada dasarnya pembaharuan islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya. Disini bukan perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan penafsiran. Disamping itu, tajdid ini bisa memperbaharui ingatan orang yang telah melupakan ajaran agama islam yang benar, dengan memberi penjelasan dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang yang tadinya ragu, dan meluruskan kekeliruan atau kesalah pahaman mereka yang keliru dan salah paham.

Sebenarnya prose ini telah diramalkan sendiri oleh Nabi SAW dalam hadistnya seperti yang telah disebutkan diatas. Hal ini mengandung peringatan bagu kaum Muslimin untuk selalu bersikap optimis dalam menghadapi hidup, karena Allah tidak akan membiarkan kerusakan terjadi pada

9

DSyamsudin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani 2008)hal. 167

10

(20)

12

Nya dari kesesatan dan kebingungan dengan mengirimkan seseorang mujadid yang akan menghidupkan kembali ajaran-ajaran-Nya. Proses tajdid ini juga diperlukan karena pemahaman umat islam terhadap ajaran islam telah semangkin jauh dari bentuk aslinya. Namun sang mujadid akan tetap berpegang teguh pada kebenaran mutlak yang terdapat dalam al-Qur‟an. Pada pengertian ini, pembaharuan islam berbeda dengan pembaharuan yang terjadi di dunia lain yang bersifat reformasi dan revolusi. Dimana yang datang kemudian akan menjadi evaluasi dan menghapuskan pendapat yang lama. Begitu juga pembaharuan islam mempunyai rujukan yang jelas, yaitu

al-Qur‟an. Sementara pembaharuan lain akan terus berproses mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti.

B. Ciri-Ciri Aqidah Islam yang Murni 1. Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid

Konsep fundamental dalam Islam adalah Tauhid yakni mengakui keesaan Tuhan dan menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Konsep ini dituangkan dengan jelas dan sederhana pada surat Al-Ikhlas (surat ke 112) yang terjemahannya antara lain :

a. Katakanlah “Allah (Tuhan) itu satu”.

b. “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. c. “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”.

d. “dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Tauhid merupakan bentuk masdhar (gerund) dari “Wahhada

Yuwahhidu Tauhiidan” yang artinya “mengesakan” atau “menunggalkan”,

dan secara lengkap bermakna mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya, dan meyakini bahwa Dia sendiri lah yang menciptakan, mengatur serta menguasai alam semesta dan seisinya (Rubbubiyah-Nya), Ikhlas beribadah kepada-Nya (Uluhiyah-Nya) serta menetapkan baginya nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam pembagiannya; tauhid rubbubiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma‟ wa sifat.11 Dan seperti yang

11

(21)

sudah masyur diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur ulama dengan dalil-dalil yang shahih dan qoth‟i.

Dalam bahasa Arab, Tuhan disebut sebagai Allah. Kata ini secara etimologis terhubung dengan ilah “ketuhanan“, Allah adalah juga kata yang digunakan oleh orang Kristen (Nasrani) dan Yahudi Arab sebagai terjemahan dari ho theos dari Perjanjian Baru dan Septuaginta.

Nama “Allah” tidak memiliki bentuk jamak dan tidak diasosiasikan

dengan jenis kelamin tertentu. Dalam Islam sebagaimana disampaikan dalam

Al Qur‟an dikatakan:

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-

pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha

Mendengar dan Melihat”. (QS 42-11)

Allah adalah Nama Tuhan (ilah) dan satu-satunya Tuhan sebagaimana perkenalan-Nya kepada manusia melalui Al Quran :

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain

Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS.

20 : 14)

Pemakaian kata Allah secara linguistik mengindikasikan kesatuan. Umat Islam percaya bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah sama dengan Tuhan umat Yahudi dan Nasrani, dalam hal ini adalah Tuhan Ibrahim. Namun, Islam menolak ajaran Kristen menyangkut paham Trinitas dimana hal ini dianggap Politheisme.

Mengutip Qur‟an, surat An-Nisa(4) :171:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama dan

janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikannya kepada Maryam dan (dengan tiupan ) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan

rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu mengatakan :”Tuhan itu tiga”,

(22)

14

langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai

Pemelihara”.

Dalam Islam visualisasi atau penggambaran Tuhan tidak dijumpai, hal ini dilarang karena dapat berujung pada pemberhalaan dan justru penghinaan, karena Tuhan tidak serupa dengan apapun (Asy-Syuraa QS. 42 : 11). Sebagai gantinya, Islam menggambarkan Tuhan dalam 99 nama/ gelar/ julukan Tuhan (asma‟ul husna) yang menggambarkan sifat ketuhanan-Nya sebagaimana terdapat pada Al Qur‟an.

Ajaran Islam dituliskan di dalam Alquran dan hadis. Seseorang yang ingin mempelajari agama Islam mutlak harus menguasai bahasanya, bisa mempelajari sendiri atau mengikuti apa-apa saja yang dikatakan oleh para buya, ustaz, kyai dan guru mereka. Tidak semua umat Islam membaca langsung dan mampu memahami isi Alquran dan hadis.

Sebagian besar orang Islam menempuh cara yang kedua yaitu mengikuti apa-apa yang diucapkan para ulama. Hal ini seringkali menghasilkan penghayatan Islam yang hanya sepotong-sepotong. Padahal Islam merupakan dien, ajaran lengkap yang memberikan dasar acuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada empat jenis penghayatan Islam secara sepotong-sepotong oleh penganutnya yaitu :

1. Dogmatis.

Ajaran dari ulama diterima bulat-bulat dan ditelan mentah-mentah tanpa sikap kritis, sehingga memunculkan sikap fanatisme yang membuta. Sikap fanatisme ini dapat dijadikan hiburan bagi si miskin dan perisai bagi si kaya. 2. Rasionalistik.

Menerima ajaran Islam sebatas jangkauan pikirannya saja; yang dilaksanakan hanyalah syariat agama yang menurutnya berguna bagi dirinya. 3. Formalistik.

(23)

4. Hakikat.

Inti ajaran diserap/diterima tetapi syariatnya tidak dilaksanakan. Contohnya, karena inti ajaran sholat adalah berdoa dan ingat kepada Allah, maka mereka meninggalkan sholat. Yang mereka lakukan hanya doa dan ingat. Melakukan puasa cukup hanya tidak memakan makanan tertentu saja atau puasa khusus lainnya tanpa tuntunan syariat.

Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, Islam harus dihayati dan diamalkan secara kaffah (utuh), tidak sepotong-potong atau sebagian. Penghayatan Islam secara kaffah dilakukan dengan cara menggabungkan penghayatan yang sepotong-potong, sehingga menghasilkan penghayatan yang utuh.

2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam

Meminjam sistematika Hasan al-Banna maka ruang lingkup pembahasab aqidah adalah:

a. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang behubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan

sifat-sifat Allah, af‟al Allah dan lain-lain.

b. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kita-kitab

Allah, mu‟jizat, keramat dan lain sebagainya.

c. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis Syaitan, Roh dan lain sebagainya.

d. Sam‟iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias

diketahui lewat sam‟I (dail naqli berupa al-Qur‟an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surge neraka dan lain-lain sebagainya.12

Disamping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul iman yaitu: “ Iman kepada Allah, iman kepada Malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti Jin, Iblis dan

12

(24)

16

Syaitan), iman kepada kita-kita Allah, iman kepada Nabi dan Rasul, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada Taqdir Allah.

3. Kejelasan Sumber Aqidah Islam

Para ulama, semoga Allah merahmati mereka semua, telah sepakat aqidah islam yang suci mulia ini bersumber kepada:

1. Al-Qur‟an

Secara bahasa al-Qur‟an berasal dari kata qur‟aana yang artinya bacaan atau yang dibaca, yang asal katanya adalah qara. Inilah pendapat yang terkuat menurut Dr. Shubhi Ash-Shalih yang dikutip pula oleh Depag RI. Sedangkan

istilah syara‟, al-Qur‟an adalah kalam (firman) Allah SWT yang merupakan

mu‟jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan

yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.13

Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan al-Qur‟an itu wahyu illahi yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang telah diturunkan kepada kita umatnya dengan jalan mutawatir, yang dihukum kafir orang yang mengingkarinya.14

Setelah ditampilkan berbagai definisi, dapat dikatakan bahwa al-Qur‟an adalah firman Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui

Malaikat Jibril secara mutawatir, berbahasa Arab, sebagai mu‟jizat, untuk

menuntun manusia, agar memperoleh kebahagian dunia dan akhirat serta membacanya mendapat pahala.

Bagi kaum muslimin, al-Qur‟an merupakan sumber utama dalam segala

hal yang meliputi masalah aqidah (keyakinan), syari‟at (hukum), akhlak

(moral), dan masalah-masalah lainnya yang menyangkut tashauwur (konsepsi). Mereka meyakini bahwa al-Qur‟an kalam Allah yang merupakan

13

Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2008) hal. 10

(25)

sebaik-baik perkataan. Mereka menggunakan perkataan yang mulia itu di atas segala perkataan manusia dari golongan mana pun.15

2. As-Sunnah

Secara bahasa sunnah berarti, jalan yang ditempuh baik yang terpuji atau tercela atau tradisi yang dibiasakan, sekalipun tidak baik. Sedangkan menurut

istilah syara‟, sunnah bermakna segala sesuatu yang dinukil (diterima) dari

Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan, sifat kejadian (bentuk), tingkah-laku, atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.

Dalam keyakinan (aqidah) kaum muslimin, as-Sunnah mendapatkan tempat yang sangat mulia. Ia berada pada urutan kedua sebagai petunjuk, pegangan bagi umat manusia setelah kitab suci al-Qur‟an. Ketinggian dan kemuliannya itu telihat dari berbagai ketetapan hukum dalam ajaran islam, bahkan as-Sunnah merupakan kunci untuk memahami agama yang mulia ini. Tidak seorang pun yang diperbolehkan keluar dari kedua ketentuan ini, seperti berpegang pada al-Qur‟an saja tanpa melihat pada ketetapan Sunnah, sebagaima yang telah diperlihatkan oleh Inkar Sunnah. Meninggalkan Sunnah dalam agama Islam, bukan hanya mendurhakai Muhammad sebagai Rasul Allah, lebih dari itu sesungguhnya manusia yang seperti ini telah mendurhakai Allah SWT. Karena pada hakikatnya, Allah lah yang memerintahkan untuk senantiasa mentaati Rasulullah SAW.16 Jadi sumber aqidah Islam adalah

al-Qur‟an dan as-Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur‟an dan Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).

4. Aqidah Sebagai Hal Pokok Dalam Islam

Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat.

15

Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim, Majmu‟ al-Fatawa, (Riyadh: Darul Buhuts) Jilid 13, hal.157

16

(26)

18

Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.

Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah, Ibadah, Akhlak

dan Mu‟amalat atau Aqidah, Syari‟ah dan Akhlah, atau Iman, Islam dan Ihsan,

maka ketiga aspek atau keempat aspek di atas tidak dapat dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terikat.

Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan

ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu‟amalat dengan

baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak- balik dan bersilang.17

Dengan demikian, aqidah Islam adalah aqidah yang dapat menyelamatkan umat manusia yang penuh dengan segala kekurangan dan kelemahan dari berbagai penyimpangan dan penyelewengan yang berakibat kepada kezhaliman. Karenanya, aqidah Islam merupakan aqidah yang bersumber dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, Yang Maha Tahu dengan segala persoalan yang dihadapi oleh para hambaNya, berfunsi untuk menuntun agar manusia tersebut dapat menjalani kehidupannya sebagaimana layaknya seorang hambah Allah yang sesunggunya.

C. Upaya-Upaya Pemurnian Aqidah Islam

Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun

(27)

mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.

Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.

Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam. Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan.

Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash.

(28)

20

Diantara kaedah dasar yang sering digunakan adalah : „Tidak ditolak perubahan hukum karena perubahan zaman‟. „Adat istiadat dapat dijadikan patokan hukum‟.18

Upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar‟i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar‟I dengan

metode yang menyelisihi ijma‟ ulama islam. Adapun secara spesifik fungsi

tajdid diantaranya:

a. Merupakan upaya untuk menghadirkan kembali sesuatu yang sebelumya telah ada untuk diperbaiki dan disempurnakan.

b. Sebagai upaya pemurnian yang sifatnya kembali ke ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing.

c. Upaya yang sama sekali bukan pembenaran kepada segala upaya mengkoreksi nash-nash syar‟i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks

syar‟i dengan metode yang menyelisihi ulama.

d. Upaya memodernisasikan islam dari ketinggalan (yang bersifat tidak mutlak yang dapt dirubah-rubah) dengan tidak menghilangkan “cirri

khas” nya (al-Qur‟an dan Hadist).

Singkatnya, bahwa memberi pengertian akan pentingnya upaya pemurnian Islam dari segala sesuatu yang menyusup masuk ke dalamnya serta pembinaan umat diatas Islam yang telah dimurnikan tersebut. Dengan kata lain, pemurnian tauhid dari kesyirikan, pemurnian Sunnah Rasulullah SAW dari

bid‟ah, pemurnian akhlak/moral dari perangai umat-umat yang binasa dan buruk, dan pemurnian hadist-hadist Nabi SAW yang shahih dari hadist-hadist yang lemah dan palsu yang telah dibuktikan kebohongannya serta telah disingkap kepalsuannya…dan seterusnya.19

18

http://www.angelfire.com/md/alihsas/tinjauan.html 19 „Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani.

(29)

21 BAB III

GERAKAN PEMURNIAN AQIDAH IBNU TAIMIYAH A. Biografi Ibnu Taimiyah

1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Taqiyuddin Ibnu as-Syaikh Syihabuddin Abi al-Mahasin Abdul al-Halim Ibnu as-Syaikh Majdi ad-Din Abi al-Barakat Abdu as-Salam Ibnu Abi Muhammad Abdillah Abi al-Qosim al-Khadhri.20 Ia lahir pada tanggal 10 R. Awal 661 H./ 22 Januari 1263 M. di Harran, daerah Palestina dekat Damaskus, dari keluarga ulama Syiria yang setia dengan ajaran puritan dan amat terikat dengan mazhab Hambali.21 Kakeknya adalah Abdu as-Salam adalah seoarang ulama pemuka agama tersohor di Bagdad. Tradisi ini turun-temurun sampai Abdul al-Halim ayahnya Ibnu Taimiyah yang menjabat kepala sekolah terkemuka di Damaskus.22

Julukan Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas, namanya adalah Ahmad dan gelarnya adalah Taqiyuddin. Lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyuddin.

Sedangkan sebab munculnya laqab “Ibnu Taimiyah” menurut suatu riwayat,

Kakek Syaikhul Islam, Muhammad bin Khadir pergi menunaikan haji dan dia memiliki seorang istri yang tengah hamil (yang ditinggalkannya) melewati daerah

Taima‟. Disana kakenya melihat seorang anak perempuan masih kecil keluar dari

tempat persembunyiannya (karena sedang bermain). Ketika sang kakek kembali

20

Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 203

21

Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal. 20

22

(30)

22

ke Harran, dia mendapatkan istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan (yang kemudian akan menjadi Ibunya Ibnu Taimiyah), maka ketika ia melihatnya

(ia teringat anak perempuan di daerah Taima‟ mengatakan, “Ya Taimiyah, ya Taimiyah”, sehingga kemudian Syikhul Islam digelari dengan Ibnu Taimiyah(anak Taimiyah).23

Menurut pendapat lain, dari Ibnu an-Najjar berkata: “bahwa ibu dari kakek

Ibnu Taimiyah yang bernama Muhammad ini adalah Taimiyah, seorang da‟i

perempuan (seorang pemberi nasihat(ustazah), maka Ibnu Taimiyah dinisbahkan kepadanya dan kemudian dikenal dengan laqab tersebut.

Ibnu Taimiyah berasal dari Harran. Ibnu Jubair berkata, “cukup bagi

kampung ini sebagai kemuliaan dan kebanggaan, bahwa kampung inilah tempat bapak kita Nabi Ibrahim Alaihissalam.” Cuaca di Harran sangat berpengaruh pada sikap Ibnu Taimiyah, yakni menjadikan seorang yang berprilaku bersih, bagus tingkah laku dan istiqamah, di samping cuaca panasnya mampu mengobarkan semangat bela agama.24

Sekitar tahun 667 H./ 1268 M. keluarganya (Ibnu Taimiyah) berimigrasi ke Damaskus untuk menghindari kekejaman bangsa Mongol atau tentara tartar. Beliau (Ibnu Taimiyah) datang bersama orang tuanya dan keluarganya ke Damaskus ketika beliau masih sangat kecil. Mereka eksodus dan melarikan diri dari kota Harran demi menghindari kezhaliman dan kesewenang-wenangan bangsa tartar kala itu. Mereka berjalan di malam hari, dengan membawa kitab-kitab yang mereka angkut dengan gerobak yang ditarik sapi ternak karena tidak ada hewan tunggangan, sehingga hampir saja mereka berhasil disusul oleh musuh. Dan karena beratnya muatan gerobak tersebut mogok, maka mereka bermunajat kepada Allah untuk memohon pertolongan kepada-Nya, hingga mereka pun terhindar dari musuh dan selamat. Mereka tiba di Damaskus pada pertengahan tahun 57 H, dan disanalah untuk pertama kalinya Syekhul Islam kecil menghadiri

23

Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 18

24

(31)

majelis ilmu guru beliau yang pertama, asy-Syekh Zainuddin Ahmad bin

ad-Da‟im al-Maqdisi.25

Ketika pindah ke Damaskus tersebut, Ibnu Taimiyah baru berusia 6 tahun. Orang tuanya mempunyai pandangan jauh kedepan dan mengerti pentingnya pendidikan. Oleh sebab itu ia diasuh dan di didik dengan baik. Dengan pendidikan yang begitu terarah, sehingga dalam usia yang relatif muda sudah hafal al-Qur‟an. Di samping potensi kecerdasannya, lingkungan keluarga, ia sangat mencintai ilmu dan giat mencarinya pada siapa, dimana dan kapan saja. Tiada hari baginya tanpa membaca, mendengar dan berdiskusi.

Di Damaskus Ibnu Taimiyah berhasil menyelesaikan studinya, di bawa bimbingan sang ayah. Dirasah dan studi yang ditekuninya didasarkan paradigma dan kaedah-kaedah mazhab Hambali. Ia jg banyak belajar kepada syekh-syekh yang lain, oleh sebab itu tidak mengherankan jika kemudian ia sangat menguasai berbagai disiplin ilmu seperti, alQur‟qn, hadist, tafsir, fiqh, ushul fiqh, bahasa, berhitung, logika dan filsafat,26 dan juga belajar kaligrafi, ilmu olah raga.

Ilmu tafsir adalah disipil ilmu yang paling disukai oleh Ibnu Taimiyah. Minatnya terhadap ilmu yang satu ini kelihatannya sangat begitu tinggi, hal ini dapat dipahami dari pernyataannya bahwa dia telah mempelajari lebih dari seratus kitab tafsir al-Qur‟an.27 Agaknya minat dan kecerdasannya dalam lapangan ilmu tafsir inilah; yang membuat ia begitu independen dalam pemahamannya dalam berbagai persoalan keagamaan, disamping penguasaan ilmu lainnya.

Disebutkan bahwa, pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan mengaji kepada ayah dan pamannya. Ia juga belajar kepada beberapa ulama terkemuka terutama di Damaskus dan sekitarnya. Jumlah ulama dan guru besar Ibnu

25

Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 19

26

Persoalan filsafat banyak dibicarakannya,ketika melancarkan kritik terhadap kesesatan dan kekeliruan dalam alur logika, terutama filsafat Yunani. Masalah tersebut banyak dimuatnya dalam sebuah kitab; Naqd al-Mantiq, lihat Nurholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 39-40

27

(32)

24

Taimiyah mencapai lebih dari dua ratus syikh.28 Di antara sekian banyak guru yang telah mentransformasi ilmunya dapat disebutkan antara lain:

1. Syam ad-Din Abd Rahman Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) adalah seorang ahli hukum Islam (fiqih) dan Hakim Agung pertama dari kalangan mazhab Hambali di Siria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan.29

2. Al-Munaja‟ Ibnu „Utsman al-Tanukhi (611-695 H.). Ia seorang guru Ibnu Taimiyah di bindang fiqih, tokoh tersohor bidang fiqih pada zamannya di Syam (Suriah). Ia juga seorang Mufassir dan ahli nahwu, pemberi fatwa dan pengarang. Karangannya antara lain; Syarh al-Mughni sebanyak empat jilid, Tafsir al-Qur‟an, ikhtisar al-Mashul, dan lain sebagainya. 3. Ibnu Abd al-Qawiyy (603-699 H.) adalah seorang ahli hadist, fiqh, nahwu

dan pengarang, karyanya antara lain; Kitab al-Furuq.

4. Ibnu Abd al-Da‟im (557-678 H.) seorang guru Ibnu Taimiyah di bidang hadist. Di antara ulama yang meriwayatkan hadist darinya adalah al-Syaikh al-Muhy al-Din al-Nawawi dan Ibnu Daqiq al-„id. Ibnu Taimiyah belajar dengannya Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam (Kutub al-Sittah).30

Melihat jumlah dan kualitas guru-guru Ibnu Taimiyah, di samping keberadaan sosok Ibnu Taimiyah sendiri, maka dapat dimengerti mengapa ia menjadi seorang yang berilmu luas, kritis dan berpandang orisinil. Dan pada gilirannya ia mampu melahirkan muri-murid yang memiliki kualitas ilmu

keagamaan yang handal; al-Hafiz Ibnu Qoyyim,31 al-Hafiz Ibnu Katsir,32 al-Hafiz IbnuAbdil Hadi,33 al-Hafiz Ibnu Rajab34 dan lain-lain.

28 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc, dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006) cet I hal. 16

29

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008) hal. 85

30

Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo: Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45

31

(33)

Seorang sejarawan besar, al-Dzahabi pernah memberi komentar tentang Ibnu Taimiyah; sesungguhnya Ibnu Taimiyah figur pembaca yang berhasil. Ia mahir di bidang ilmu hadist dan fiqih dalam usia yang relatif muda, selain itu ia juga menguasai ilmu tafsir, ushul fiqih dan hampir semua ilmu keislaman, baik ushul

maupun furu‟ nya secara global, kecuali ilmu qira‟at.

Apabila menyebut tafsir, maka dialah pembawa panjinya, apabila menghitung nama-nama fuqaha, maka dialah seorang mujtahid mutlak pada zamannya. Jika menghadiri majelis huffaz (hafalan), Ibnu Taimiyah berbicara dengan lantang, semua hadirin diam, ia menghafal tidak seorangpun mampu mengikutinya, bahkan ketika hafalannya yang lain masih banyak, yang lain sudah kehabisan hafalan. Ketika menyebut ahli ilmu kalam, dialah orangnya dan kepadanyalah orang-orang merujuk.35 Demikianlah beberapa komentar tentang ketokohan Ibnu Taimiyah dalam sejarahnya.

Kehebatan Ibnu Taimiyah, tidak hanya diakui dari kalangan yang mengaguminya, sebutlah kelompok yang setuju dengan pemikirannya, tetapi lebih dari itu, ternyata lawan polemiknyapun memberi komentar yang sama. Kamal al-Din Ibnu al-Zamlakani, seorang penganut mazhab syafi‟i, sengaja menulis beberapa jilid buku untuk menentang pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah. Dalam sebuah tulisannya tetap mengakui kehebatan Ibnu Taimiyah, ia berkomentar; jika dia (Ibnu Taimiyah) berbicara tetang sesuatu ilmu, dia selalu lebih dari pada yang dibutuhkan, dalam hal tulis-menulis dia begitu indah memilih kata-kata,

32

Ia adalah ahli tafsir, hadist dan fiqh. Ia adalah seorang yang bermazhab Syafi‟i namun berguru kepada Ibnu Taimiyah dan merasa takjub kepadanya dan karangnya yang paling populer tafsir al-Qur‟an al-Azhim (tafsir Ibnu Katsir) dan buku yang lain, al-bidayah wa an-Nihayah, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 19-20

33

Seorang faqih, mempuni, ahli dalam ilmu tajwid, ahli hadist, hafizh, ahli nahwu, cerdas dan mempunyai wawasan yang luas, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 19

34

Seorang imam yang hafiz yang menjadi rujukan bagi faqih, seorang ulama, guru para ahli hadist serta penasehat kaum muslimin, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 20

(34)

26

paparannya tepat pada sasaran, pandai menyusun kerangka dan kata-kata.36 Agaknya menjadi pertanyaan, apa motiv tokoh ini secara sadar memberi komentar demikian. Barangkali komentar tersebut, tidak lebih dari kesadaran yang muncul dari kondisi, dimana seseorang secara jujur mengakui, bahwa setiap manusia dalam beberapa segi pasti memiliki kelebihan dan dalam segi-segi tertentu mesti terdapat pula kekurangan-kekurangan. Asumsi ini paling tidak ingin melihat secara husnu zhon dari sikap tokoh tersebut diatas terhadap Ibnu Taimiyah.

Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif. Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji.37 Padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah melarang seseorang untuk naik haji dan beliau sendiri ketika pergi ke Mekkah pada tahun 1292 melakukan ibadah haji.38 Bahkan pada tingakat yang

paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”.

Ibnu Taimiyah adalah penentang keras terhadap setiap bentuk khurafat dan

bid‟ah atau inovasi terhadap agama. Dengan sikapnya yang demikian itu dia

dimusuhi oleh banyak kelompok Islam, dan kerap kali berlawanan pendapat dengan kebanyakan ulama ahli hukum. Dia sering pula menentang arus, karenanya berkali-kali masuk penjarah, bahkan akhirnya meninggal di dalam penjara.

Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Masyarakat, khususnya tempat Ibnu Taimiyah lahir, dan umumnya di seluruh wilayah kekuasaan Mamalik,39 atau bahkan di banyak kawasan lain, sangat heterogen, baik dalam hal

36

Ahmadie Thaha, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) hal. 20-21

37

Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996) hal. 278

38

M. Atiqul Haque, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia, 2007) hal. 82

39

(35)

kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadi perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilaya banyak macam bangsa; Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki, Tartar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia, dan sebagainya, sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, prilaku, dan alam pikiran. Hal itu jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan kehidupan bernegara. Dalam suasana demikian sukar diciptakan stabilitas politik, keserasian sosial dan pemupukan moral serta akhlak. Yang lebih parah lagi, pada waktu itu masalahnya tidak hanya banyak agama yang berbeda satu sama lain, tetapi juga banyak mazhab, termasuk juga mazhab-mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali.40

Disamping kondisi sosial politik yang begitu semerawut, ternyata pada tataran selanjutnya, bermplikasi pada dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, dimana kondisi keilmuan pada abad ini boleh dikatakan kurang mendapat perhatian, sehingga tidak diperluas dan diperdalam. Kecendrungan yang ada

hanya mengkopi dan mengambil “begitu saja” pada pemikiran dan pengkajian dalam disiplin ilmu tertentu. Tiap-tiap penganut mazhab fiqih bersikap kaku, tidak memiliki kelembutan dan kelonggaran, meskipun ada semboyan; bahwa kebenaran itu berkisar pada mazhab empat, kenyataannya, para pengikut masing-masing mazhab telah membatasi kebenaran dalam mazhabnya. Kelapangan

mereka tidak lebih dari mengatakan “ Imam kami melihat kebenaran yang boleh

jadi salah, sedangkan selain kami melihat kesalahan yang boleh jadi benar.41 Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang terjadinya pertentangan-pertentangan sengit, karena timbulnya sentimen politik dan ambisi perorangan demi kepentingan mazhab dan kelompok tertentu. Sehingga pada puncaknya mereka sepakat untuk mengklaim, bahwa pintu ijtihad perlu ditutup.

Kalau Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara, bukan berarti dia memusuhi penguasa, namun tidak lebih dari pengaduan atau tuntutan dari

40

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 2003) hal. 80-81

41

(36)

28

sekelompok mazhab tertentu, terutama karena ketajaman kritiknya terhadap kebiasaan memuja para Nabi, para Wali dan panatisme mazhab.42

Sehingga dalam tataran selanjutnya, muncul pula ahli tarikat yang membimbing masyarakat, melalui suluk, yang di gariskan ulama tasawwuf yang terkadang jauh dari nilai-nilai agama. Ahli tarikat menempuh cara pendidikan

individual, melalui proses “baiat” antara syikh dan murid. Para yang ditempuh penganut tarikat membawa akibat sampingan, yaitu sikap kultus individu dan pada gilirannya seorang syikh dianggap suci dengan menjadikan ziarah kepadanya suatu yang wajib, dan jika telah wafat dianggap mempunyai keramat dan lain sebagainya.43 Menurut Ibnu Taimiyah, ziarah kubur serta mengkramatkan

kuburan para wali bahkan para nabi merupakan perbuatan ahli bid‟ah dan

perbuatan tersebut tidak diridhai oleh Allah, sesuai dengan firman Allah dalam surat as-Syura ayat 21: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah.”

44

Kondisi tersebut semakin memburuk dan bertambah parah dengan munculnya kelompok-kelompok yang berkolusi dengan musuh-musuh Islam, seperti Nashairiyah, Kisriwiyah, Syi‟ah (sesat), Yahudi dan Nasrani. Kelompok -kelompok sporadis ini sengaja melakukan perlawanan berdarah terhadap umat Islam. Mereka itu pada hakikatnya, sebagaimana digambarkan Ibnu Taimiyah, adalah fanatisme pemuja filsafat, pengikut Hindu dan Yunani, pewari Majusi,

musyrikin dan penerus kesesatan Yunani, Nasrani dan Syabi‟in (penyembah

batu)45

Kesimpulannya, bahwa kondisi umat Islam pada masa Ibnu Taimiyah, pada umumnya sudah menyimpang dari ajaran yang murni. Aqidah mereka bercampur

42

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 2003) hal. 81

43

Juhaya S. Praja, Epistemologi Hukum Islam, (Jakata: 1988) hal. 36

44 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc, dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006) cet I hal. 70

(37)

syirik, ibadah yang dikerjakan dicampur dengan unsur-unsur bid‟ah, semangat ijtihad sudah menurun, ruh taklid merajalela dan faham tasawwuf beserta tarikat-tarikat telah berbaur dengan tradisi pemikiran di luar Islam. Begitulah kondisi keagamaan yang terjadi pada masa Ibnu Taimiyah, yang kemudian mendorongnya untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan pemurnian ajaran Islam.

Ibnu Taimiyah adalah pedang Allah yang terhunus bagi para ahli filsafat, para

atheis dan para ahli bid‟ah yang berlebih-lebihan. Dan pada akhirnya, pada masa pemerintahan al-Malik al-Nasir, Ibnu Taimiyah dimasukan penjara, sekali lagi karena keritikannya yang tajam terhadap kebiasaan ziarah kubur atau makam para nabi dan para wali. Mula-mula meskipun dalam penjarah Ibnu Taimiyah masih dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya dengan menulis buku atau makalah, tetapi kemudaian jiwanya sangat terpukul ketika di penjara Damaskus dia tidak diberi keras dan tinta lagi. Dan tidak tahan menerima penghinaan itu, dan akhirnya tutup usia pada tahun 728 H atau 1329 M, pada usai lebih kurang 66 tahun.46

Kepergian Syikhul al-Islam menghadap Allah merupakan peristiwa terbesar yang menjadikan manusia bersedih dan meneteskan air mata. Mereka berkata,

“Manusia berdesak-desakan untuk melayat jenazahnya, suara tangis mereka terdengar keras, demikian pula pujian, doa untuknya. Sehingga jenazahnya sampai ke pemakaman sebelum ashar, sementara mereka telah menunggu sejak pagi, mereka datang dari penjuru desa, ladang serta sawah-sawah sekitar tempat tersebut.

Berikut ini ungkapan Ibnu Katsir ketika menceritakan jenazah Syikhul Islam

Ibnu Taimiyah dan meludaknya para pelayat, “Pada saat itu tidak ada seorang pun

yang tidak hadir melayat kecuali yang ada halangan, para wanita yang berjumlah kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini belum termasuk suara isakan tangis dan doa yang terdengar di atas rumah-rumah disepanjang jalan menuju makam, sementara lelaki yang hadir diperkirakan mencapai 60.000 sampai

46

(38)

30

100.000 orang pelayat bahkan lebih.47 Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan keridhaan-Nya kepadanya, Amin.

2. Perkembangan Spritual dan Intelektual Ibnu Taimiyah

Sejak masih kecil Ibnu Taimiyah sudah mulai menghafal al-Qur‟an, yang ia lanjutkan dengan menghafal hadist serta riwayatnya, ia juga telah belajar kitab dari syikh ternama dan dari buku-buku induk dalam hadits seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih al-Bukhari dan Muslim, Jami‟ at-Tirmidzi, Sunnah Abi Dawud dan an-Nasa‟i, Ibnu Majah serta Darul Quthni.

Para ulama berkata; “Buku pertama yang ia hafal adalah “al-Jam‟u baina

as-Shahihaini” karya Imam al-Humaidi”, mereka juga berkata, “Sesungguhnya ia

telah mendengar hafalan Musnad Imam Ahmad beberapa kali.”

Selain memperdalam ilmu hadits ia juga belajar ilmu lain seperti matematika, sangat perhatian terhadap ilmu-ilmu bahasa Arab, menghafal beberapa matan dalam berbagai disiplin ilmu dan sejarah bangsa Arab klasik, ia mempunyai pandangan dan perhatian khusus terhadap buku Sibawaih sehingga buku ini didalami dengan sangat teliti.48

Oleh karena kesungguhan dan kecerdasan otaknya, maka sebelum berusia genap 20 tahun, ia telah menjadi seorang yang alim yang disegani. Dalam usianya yang masih sangat muda itu, Ibnu Taimiyah telah menjadi seorang ahli Agama dan ahli hukum. Bahkan menurut Prof. Gibb, ia berhasil menjadi professor dari Mazhab Hambali dalam ilmu hukum.49 Ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap fiqih Hambali, dengan cara mengikuti dan meneliti mazhab ini dari masa ke masa,

namun ia tidak meninggalkan mazhab lain terutama Mazhab Syafi‟i.

Pada usianya yang belum genap 20 tahun itu juga ia harus kehilangan ayahnya. Dan pada usia 22 tahun kemudian Ibnu Taimiyah menggantikan posisi ayahnya sebagai guru besar hukum mazhab Hambali serta menggantikannya

47

Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 225-226

48

Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 205-206

(39)

dalam mengajar Hadits; sejajar dengan Ibnu Daqiq a-„Ied dan para ulama besar lainya yang pada zaman itu sedang naik daun, dan sudah mengajar di berbagai

sekolah dan Masjid Jami‟ di Damaskus. Namun demikian kredebilitas Ibnu

Taimiyah bila tidak bisa dikatakan melebihi, tidak lebih rendah pula.

Ayahnya (Abdul Hamid bin Abdussalam Syihabuddin) merupakan sebaik-baik pendidik bagi anaknya, karena ia merupakan ulama besar dalam Mazhab Hambali serta seorang ulama Hadits yang sangat otoritatif (menonjol). Ia melihat anaknya memiliki kelebihan dibanding teman sebayanya dalam hal kesungguhan dan perhatian kepada hal-hal yang bermanfaat dalam bidang ilmu dan studi, akal dan hatinya terbuka terhadap hal-hal disekelilingnya, ia memiliki ingatan yang cukup tajam, pikiran yang selalu siaga, hafalan yang cukup kuat, pemikiran yang lurus serta kecerdasan semenjak kanak-kanak.

Ia menggunakan seluruh apa yang dianugerahkan Allah kepadanya di jalan ilmu pengetahuan untuk mendalami pendapat dan gagasan para Sahabat. Dengan menggunakan methode induktif ia meneliti dan mempelajari kajian-kajian fiqih yang telah ditulis oleh ulama-ulama yang sangat otoritatif dalam bidang teori dan esperimen empiris seperti seperti Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhum. Ia juga sangat intens mempelajari fatwa-fatwa Said bin al-Musayyib, Ibrahim Nahk‟i, a-Qasim bin Muhammad dan ulama-ulama Tabi‟iin yang lain.

Semua ilmu ini ia sinergikan dengan pengetahuan yang berkembang pada zamannya, sehingga dapat disimpulkan tidak ada satu bidang ilmu pun yang tidak ia dalami.

Salah seorang ulama zamannya berkata; “Sungguh Allah telah melembutkan ilmu pengetahuan dihadapan Ibnu Taimiyah sebagaimana Allah Subhanallah wa

Ta‟ala telah melembutkan besi dihadapan Nabi Dawud, apabila ia ditanya tentang

disiplin ilmu tertentu, orang-orang yang saat itu mendengar jawabannya pasti akan mengira bahwa ia tidak menguasai disiplin ilmu lain selain itu, dan akan menyimpulkan bahwa tidak ada orang lain yang lebih menguasai darinya.

(40)

32

ilmu-ilmu bahasa, ia dikenal sebagai salah seorang Huffadz yang tersohor pengarang kita; “Muntaqa al-Akbar”, buku ini telah disyarah oleh Imam Asy-Syaukani dengan judul, “Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akbar.”50 Dari sini dapat kita ketahui bahwa baik Ayah maupun kakek Ibnu Taimiyah merupakan tokoh dan ulama Muslimin yang ternama, keduanya memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam membentuk kehidupan Imam kita Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

Sebenarnya sejak ia masih muda telah terkumpul sifa-sifat sebagai seorang mujtahid. Dan benar, tidak lama kemudian ia telah menjadi seorang imam, yang diakui oleh ulama-ulama besar yang dikenal ilmu, keutamaan dan keimanannya. Dan semua itu sebelum beliau mencapai umur tiga puluh tahun. Disamping ia dikenal sebagai ulama yang hebat, ia juga dikenal sebagai seorang yang banyak ibadah, banyak berzikir dan banyak membaca al-Qur‟an.

Ia juga seorang yang wara‟ dan zuhud, hampir tak memiliki sesuatupun dari

perbendaharaan dunia, kecuali apa-apa yang merupakan kebutuhan pokoknya. Ini adalah keadaannya yang dikenal oleh orang-orang yang sezaman dengannya, bahkan oleh semua manusia secara umum. Bahkan ia juga dikenal sebagai seorang yang memiliki firasat yang tajam, memiliki doa yang dikabulkan, dan memiliki banyak karamah yang diakui banyak kalangan.

Dan tentang keberkahan Ibnu Taimiyah, al-Allamah al-Umari menuturkan,

“Abu Hafash Umar bin Ali bin Musa al-Bazzar al-Baghdadi menceritakan, dia berkata, Aku dituturkan oleh as-Syaikh al-Muqri‟ Taqiyuddin Abdullah bin

Ahmad bin Sa‟id, dia mengatakan, “(suatu kali) aku sakit parah di Damaskus,

maka Syaikhul Islam datang menjengukku, sedang saya didera oleh demam dan sakit yang berat. Maka Syaikhul Islam datang mendoakanku, lalu berkata

kepadaku, „Bangunlah, keafiatan telah datang‟. Maka ketika ia berdiri dan

50

(41)

meninggalkanku, kesembuhan benar-benar telah datang kepadaku, dan aku sembuh setelah itu.51

Untuk mengetahui lebih dalam lagi dedikasi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap usahanya menyebarkan syiar Islam, dapat dilihat dari beberapa pandangan tokoh-tokoh Islam lainnya. Diantara beberapa pandangn tentang Ibnu Taimiyah ialah sebgai berikut:

1. Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi (wafa tahun 744 H.) berkata: “Dia adalah Syaikhl al-Imam ar-Rabbani, imamnya para imam, mufti (pemberi fatwa) umat, samudra ilmu, penghulu para penghafal hadits, ahli makna dan lafadz, orang yang tiada duanya pada masanya, Syaikh al-Islam, tanda zaman dan turjumal al-Qur‟an, ahli

zuhud yang paling alim, ahli ibadah, penghalau para ahli bid‟ah dan salah

seorang mujtahid terakhir, pendatang Damaskus dan pemilik beberapa karya yang tidak ada padanannya.

2. Imam al-Hafidz, ahli fiqih dan sastra Ibnu Sayyid an-Nas Fathuddin Abu al-Fath Muhammad al-Ya‟muri al-Mishri al-Syafi‟i, ketika berbicara tentang al-Mizzy berkata: “Dialah (al-MIzzy) yang menuntunku untuk melihat Syaikh al-Islam Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah. Saya melihatnya termasuk orang yang menddapatkan ilmu, hampir saja ia menguasai seluruh hadits dan atsar secara hafalan, jika berbicara dalam bidang tafsir, maka ia adalah pembawa panjinya, jika ia berfatwa dalam fiqih, maka ia mengetahui ghayah dan tujuannya, jika berbicara dalam hadits, maka ia adalah pemilik ilmunya dan mempunyai riwayatnya, jika dihadirkan dihadapannya ilmu perbandingan agam

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kemudahan, karunia, dan rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan

Pada penelitian pembuatan teh dari daun gaharu jenis Gyrinops versteegii ini, daun gaharu yang digunakan untuk membuat teh adalah daun dari pohon yang belum dan

Tenun Troso merupakan kriya tenun Jepara dari Desa Troso. Kain ini ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsi yang sebelumnya diikat untuk membentuk

Pada dasarnya penyakit yang diderita lanjut usia jarang dengan diagnosis tunggal, melainkan hampir multidiagnosis (Sumber Riskesdas 2013). Hasil Berdasarkan data

Namun hal ini berbeda secara teori yang dikemukakan Darmojo yang menjelaskan bahwa faktor risiko terjadinya kurang gizi pada lansia disebabkan karena pengetahuan

Sedangkan Penelitian yang berjudul “Evaluasi Efektivitas Iklan Televisi Kendaraan Suzuki APV” menggunakan responden yang juga merupakan target market dari produk