• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Petani Di Indonesia

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA

D. Gerakan Petani Di Indonesia

1. Gerakan Petani di Negara-Negara Berkembang Asia dan Afrika Utara Sesudah Perang Dunia II

Kaum petani merupakan lapisan yang paling banyak diantara lapisan penduduk lainnya. Kaum petanipun masih merupakan penyedia terbesar tenaga kerja dalam ekonomi yang sedang berkembang sebagaimana yang sudah berlangsung selama berabad-abad, sekaligus menjadi unsur penting dalam perimbangan kekuasaan politik. Secara umum sebagian besar kaum petani khususnya di negara yang lebih berkembang seperti Syria, India dan Turki pada akhir perang Dunia Kedua berada di bawah pengaruh ideologis dan borjuasi nasional. Namun pada saat yang bersamaan berbagai lapisan kaum petani di berbagai negara mulai menganut paham sosialisme, dengan dianutnya paham sosialisme ini maka timbullah kesadaran sosial kaum petani yang kemudian mendorong terbentuknya banyak organisasi petani nasional di seluruh Afrika dan Asia. Kisan Sabha (Serikat Tani Seluruh India) memiliki anggota 825.000 pada tahun 1945 dan sejumlah organisasi yang meliputi distrik yang lebih kecil banyak muncul di negeri itu. Beberapa organisasi

petani yang besar muncul di Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, dan Serikat Tani seluruh Burma yang bergabung dalam Liga Kemerdekaan Rakyat Anti Fasis bangkit kembali pada tahun 1945. kelompok-kelompok kepentingan petani nasional lainnya muncul di Filipina, Korea dan Malaya dan Komite Petani mulai dibentuk di Pakistan dan Syria.

2. Gerakan Petani Pada Masa Pembaharuan Agraria

Sepanjang awal tahun 1950-an dan akhir tahun 1950-an pemerintah dari negara-negara Afrika Utara dan Asia menyadari perlunya adanya pembaharuan agraria atau perundang-undangan agraria. Perundang-undangan agraria ini bertujuan untuk merintangi kekuasaan ekonomi dan politik dari para penguasa tanah feodal tradisional dengan membatasi perluasan tanah dan hak-hak istimewa para tuan tanah. Undang-undang agraria ini juga bertujuan memperkokoh petani bertanah dan mendorong sektor kapitalis desa memberikan hak yang pasti akan tanah kepada pemegang tanah garapan.

Dampak dari pembaharuan perundang-undangan agraria terhadap gerakan petani adalah penyatuan semua lapisan kaum petani, memperkokoh organisasi petani yang telah ada serta mendorong terbentuknya kelompok-kelompok desa. Salah satu contoh dari meningkatnya kegiatan organisasi dikalangan para petani sesudah pembaharuan undang-undang agraria dapat dijumpai di India, di mana Kisan Sabha seluruh India yang dipimpin oleh Partai Komunis memiliki anggota yang paling besar sepanjang sejarah yaitu mencapai 1.100.000 orang. Di Filipina tidak terdapat gerakan petani yang terorganisasi selama beberapa tahun sesudah pelarangan Serikat Petani

Nasional yang dipimpin oleh Komunis. Namun sesudah landreform, para petani yang berhadapan dengan kebutuhan untuk mempertahankan haknya mulai mendirikan berbagai organisasi kecil yang biasanya dipimpin oleh para ahli hukum muda yang berasal dari daerah tersebut, yang dibayar oleh para petani untuk berhadapan dengan para tuan tanah. Pada tahun 1953, Federasi Petani Merdeka yang berlingkup nasional dan dipimpin oleh Kaum Intelektual Katolik serta diawasi oleh pemerintah Magsaysay didirikan. Federasi tersebut memainkan peranan penting dalam mendesak “ Pembaharuan Magsaysay “ pada pertengahan tahun 1950-an dan pada tahun 1959 keanggotaannya mencapai 400.000 orang. Di Pakistan sebuah organisasi petani berlingkup nasional didirikan pada tahun 1958 yaitu Himpunan Petani Seluruh Pakistan, di Irak pada tahun 1959 sesudah landreform dapat mempersatukan 200.000 petani (Landsberger, 1984) .

3. Gerakan Petani Di Indonesia

Sejumlah organisasi petani dari berbagai aliran politik juga aktif di Indonesia pada tahun 1950-an. Diantaranya adalah Barisan Tani Indonesia (BTI), yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1957 anggota dari Barisan Tani Indonesia mencapai 3.500.000 orang. Barisan Tani Indonesia mempunyai tujuan yaitu pembagian tanah harus dibagi secara sama rata. Selain BTI para petani juga tergabung dalam Partai Nasional Indonesia dan Partai Islam Nahdatul Ulama.

Segi negatif dari kebebasan tersebut adalah masyarakat petani menjadi terkotak-kotak atas dasar ideologi partai. Namun kondisi kebebasan tersebut

juga mempunyai segi positif yaitu aspirasi dan kepentingan petani menjadi tersalur dan terlindungi dengan baik. Masih dalam minimnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan politik dalam masyarakat, Sultan HB IX sebagai Gubernur/ Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dalam upaya Beliau mendemokratisasikan kehidupan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1946 melalui sebuah maklumat menentukan hal-hal sebagai berikut: pertama, Sultan HB IX memerintah agar disetiap desa di Daerah Istimewa Yogyakarta didirikan Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan yang anggotanya terdiri dari anggota partai politik yang dipilih oleh masyarakat desa. Kedua, pemerintah kelurahan bertanggung jawab pada DPR Kelurahan tersebut. Ketiga, Sultan melarang pemakaian bahasa Jawa sebagai wahana komunikasi antara para Lurah dan perangkatnya dengan para anggota pangreh praja, sebagai gantinya mereka harus menggunakan bahasa Indonesia.

Kondisi tersebut berubah pada tahun 1965. dalam rangka menghilangkan pengaruh yang negatif dari pengaruh-pengaruh partai politik di desa, maka pemerintah mengintrodusir sebuah pendekatan baru dalam pembinaan kehidupan politik di daerah pedesaan. Pendekatan baru tersebut dikenal dengan pendekatan “masa mengambang” atau “floating mass”. Pendekatan masa mengambang ini pada hakekatnya menempatkan negara sebagai patron tunggal di daerah pedesaan. Pendekatan masa mengambang dengan kata lain merupakan upaya depolitisasi masyarakat pedesaan. Atas dasar inilah pemerintah membubarkan semua organisasi petani yang semula dibentuk oleh partai politik dan menggantikannya dengan satu jenis organisasi petani yang disebut Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI.

Dengan adanya organisasi petani tersebut serta depolitisasi petani, tujuan pemerintah untuk mereduksi petani dari homo socio politikus menjadi homo ekonomikus telah tercapai. Petani hanya berfungsi sebagai produsen pangan dan pemerintah akan memperhatikan nasibnya. Dalam kenyataannya tidaklah demikian, para petani diharuskan memproduksi pangan sebanyak-banyaknya dengan harga jual yang ditetapkan rendah. Sementara pemerintah terus menerus mengurangi subsidi harga saprodi sehingga margin keuntungan petani menjadi kecil (Soetrisno, 1999).

Organisasi petani pada masa orde lama adalah koperasi pertanian sedangkan pada orde baru sering disebut klompencapir, sedang pada masa orde reformasi organisasi petani tersebut berubah nama menjadi kelompok tani. Tujuan dari didirikannya organisasi petani tersebut tetap sama yaitu memenuhi hak-hak seorang petani yang oleh pemerintah hak-hak petani tersebut tidak diperhatikan.

Dokumen terkait