• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN UMAT ISLAM DI INDONESIA DI AWAL ABAD

Dalam dokumen BAHAN MATA KULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAm (Halaman 46-50)

A. Timbulnya Pergerakan Nasional

Di awal abad ke-20, di Nusantara terjadi perubahan perjuangan melawan Belanda. Dahulu, perjuangan umumnya dilakukan dengan cara:

= Perlawanan dalam bentuk bersenjata = Perlawanan lebih bersifat lokal

= Perlawanan hanya dilakukan oleh kalangan kerajaan/bangsawan = Kepemimpinan lebih bersifat kharismatik.

Sedangkan pada awal abad ke-20 strategi perjuangan dilakukan dengan cara: = Perlawanan dalam bentuk organisasi

= Lebih bersifat nasional

= Lebih banyak dilakukan oleh rakyat kebanyakan = Kepemimpinan berada di tangan kaum terpelajar.

Pergerakan bangsa Indonesia umumnya dan khususnya umat Islam lebih disebabkan oleh:

1. Dalam negeri.

a. Sebagai akibat penjajahan selama kurang lebih 350 tahun, yang meliputi penindasan dalam bidang:

1) Politik

2) Ekonomi --- monopoli 3) Sosial, budaya dan agama.

b. Timbulnya perasaan senasib dan sepenanggungan, sebagai akibat penjajahan, sehingga melahirkan perasaan nasionalisme yang mendalam.

c. Timbulnya kesadaran terutama di kalangan golongan muda/terpelajar untuk tampil ke depan.

2. Luar negeri.

Peristiwa kemenangan Jepang (Asia) atas Rusia (Eropah), melahirkan semangat patriotisme. b. Timbulnya berbagai gerakan di negara-negara tetangga dan sahabat, seperti Philipina,

India berpengaruh banyak bagi bangsa Indonesia terutama kalangan terpelajar. B. Lahirnya Organisasi-organisasi Sosial Kemasyarakatan

Pergerakan nasional atau disebut pula sebagai tonggak Hari kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1908 lebih didasari oleh lahirnya Budi Utomo. Setelah itu lahirnya berbagai organisasi baik yang bersifat nasionalis/kebangsaan dan ada pula keagamaan.

1. Bersifat Nasionalis/Kebangsaan: a. Budi Utomo

b. Indische Party

c. Partai Nasional Indonesia (PNI) d. Gerindo, dan lain-lain.

2. Bersifat Keagamaan:

a. Serikat Dagang Islam (SDI) - SI - PSII b. Al Irsyad

c. Jami'atul Khair d. Muhammadiyah

e. Nahdhatul Ulama (NU), dan lainnya.

Gerakan kebangkitan keagamaan seperti tersebut di atas, ada yang kiprahnya dalam dunia politik, dan ada pula yang hanya dalam dimensi sosial keagamaan semata, atau ada pula yang kedua-duanya.

Serikat Dagang Islam (SDI) pada awalnya berdiri di Bogor pada tahun 1909 atas usaha R.M. Tirtohadisuryo. Kemudian pada tahun 1912 di Solo berdiri pula SDI oleh H. Samanhudi.

Tujuan didirikannya SDI ini adalah:

= Dalam usaha untuk mempertinggi mutu perekonomian rakyat

= Mengadakan pembelaan terhadap penghinaan kolonial pada agama Islam.

Pada tanggal 10 September 1912 disahkan Anggaran Dasar SDI, kemudian dirubah menjadi Serikat Islam (SI) atas prakarsa R.O.S. Cokroaminoto di Surabaya. Sementara SI sendiri berdiri dilatarbelakangi oleh:

# Perlawanan terhadap dagang dengan orang Cina # Fron terhadap penghinaan Belanda pada bumiputera # Reaksi dari rencana Kristensasi, dan

# Reaksi kecurangan dan penindasan kesewenangan pihak ambetanaar bumiputera.

Pada zamannya organisasi ini termasuk yang paling banyak memiliki massa, sampai tahun 1919 sudah memiliki anggota 2.250.000 orang oleh karena itu sangat ditakui Belanda (L. Stoddard: 1966: 330). Pada tahun 1921 sewaktu berlangsung pertemuan di Yogayakarta secara resmi SI menjadi Partai Politik dengan nama Partai Serikat Islam, dengan tokoh-tokoh HOS. Cokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdul Muis.

Dalam perkembangan selanjutnya PSI terpecah menjadi dua bagian, yaitu SI Putih dan SI Merah. SI Putih dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto dan H. Agus Salim untuk selanjunya pada tahun 1929 menjadi Partai Serikat Islam Indonesia, sedang SI Merah dipimpin oleh Semaun, Moso, Alimin dan lainnya pada akhirnya mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

2. Muhammadiyah

Muhammadiyah, adalah sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada 18 November 1912 di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan. Menurut H. Rosihan Anwar (1979: 248) sifat gerakan ini non-politik dan tujuannya yang utama ialah menggiatkan pendidikan agama Islam dan studi-studi Islam di Indonesia dan seterusnya memajukan kehidupan keagamaan di kalangan para anggotanya.

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi beraliran Salaf adalah gerakan Reform. Gerakan yang berusaha memurnikan ajaran agama. gerakan pembaharuan yang berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam pada relnya kaum Salaf, kembali kepada Al Qur'an dan Hadist Rasulullah, mengikis habis bid'ah dan khurafat, takhayul serta klenik, membuka terus pintu ijtihad dan menolak sifat membabi buta dalapan taqlid. Selain melainkan perombakan total luar dan dalam, jiwa dikembalikan, kemudian usaha disesuaikan dengan perkembangan zaman (L. Stoddard: 1966: 318)

Dalam aspek ibadah, diakui organisasi ini melakukan sebagai apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah, apa yang tertuang dalam Al Qur'an dan Hadist itulah yang diamalkan. Konsekuensinya, demikian tulis Azyumardi Azra (199: 67) ibadah-ibadah kaum modernis dan reformis cenderung tidak berbunga-bunga; dengan kata lain, cenderung sangat "bersahaja" dan, karena itu, agaknya "kering" dari pengalaman keberagamaan yang in- tens.

Melihat dari gerakan organisasi ini, para ahli sebagian menyatakan bahwa lahirnya gerakan ini salah satunya dipengaruhi oleh paham gerakan Muhammad bin Abdul Wahab di Mekkah.

Namun juga pengaruh Pan Islamisme atau pembaharuan di Timur Tengah yang dicetuskan oleh Abduh, Al Afghani, Rasyid Ridha dengan majalah Al Manar, Al Liwa dan lainnya turut pula memberi pemikiran organisasi ini.

Kiprah Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan, terutama dalam pengembangan sumber daya manusia sangat dipujikan, ini terlihat dalam banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi ini. Kendati diakui, sekolah- sekolah yang didirikannya lebih banyak terpusat di wilayah perkotaan, sementara di daerah pedesaan tampaknya diisi oleh organisasi Nahdhatul Ulama adengan Pondok Pesantrennya. Sehingga wajarlah kalau ada yang mengatakan bahwa organisasi semacam Muhammadiyah ini memiliki keanggotaan di kalangan lapisan menengah ke atas yang umumnya berada di perkotaan. Dalam kaitan ini Dr. Alfian seperti dikutip oleh KH. Saifuddin Zuhri (1979: 607) menyatakan bahwa, baik Syarikat Islam maupun Muhammadiyah gagal menyusup kepedesaan, mereka tidak dapat membawa pikiran- pikiran perjuangan memakai bahasa yang dimengerti rakyat.

Selain aktivitasnya di bidang pendidikan, juga di bidang kesehatan dan panti sosial. Sehingga sebagian orang berkata dan ini ada benarnya kalaulah bukan Muhammadiyah (bukan satu-satunya) maka usaha Kristenisasi sudah lebih maju. Karena itu tujuan kehadiran Muhammadiyah bukan semata seperti disebut di atas, tetapi lebih dari itu, ia adalah sebagai upaya untuk menahan arus Kristenisasi di Indonesia.

Organisasi mulai didirikan sampai kini adalah murni organisasi yang berkiprah dalam bidang sosial keagamaan. Muhammadiyah tetap dalam bentuknya yang semula untuk seterusnya sebagai Gerakan Islam. Namun sebagai pribadi, banyak anggota-anggota Muhammadiyah tidak ketinggalan ikut serta duduk dalam badan-badan perwakilan, baik yang bersifat daerah maupun pusat, anggota-anggota itu aktif pula dalam gerakan- gerakan nasional, yang berkecimpung dalam bidang politik kenegaraan (L. Stoddard: 1966: 315).

3. Nahdhatul Ulama (NU)

Pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya berdirilah organisasi yang diberi nama Nahdhatul Ulama atau NU. Berdirinya organisasi "Perkumpulan para Ulama" ini semula adalah lanjutan dari adanya "Komite Hijaz". Komite Hijaz ini adalah suatu delagasi para ulama untuk berjumpa muka dengan raja Ibnu Sa'ud di Mekkah, khususnya akan membicarakan perubahan-perubahan yang biasa terjadi dalam bidang ibadah, akibat jatuhnya kota Mekkah ke dalam kekuasaan yang beraliran Salaf.

Adapun maksud didirikannya organisasi ini sebagai tertuang dalam Anggaran dasar yang disahkan oleh Belanda pada tanggal 16 Pebruari 1930 No. 23 dijelaskan "Maksud perkumpulan ini ialah memegang teguh pada salah satu dari Mazhabnya Imam empat, yaitu Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'ie, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah dan Nu'man atau Imam Ahmad Ibn Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam (L. Stoddard: 1966: 323)

NU sebagai salah satu organisasi Islam memiliki masa yang cukup besar, terutama berbasis di pedasaan, dalam gerak langkah keagamaannya lebih bersifat "tradisional" (meminjam istilah Azyumardi Azra). Karena tradisonal, khsusu NU, cenderung menerima hadis secara relatif longgar dan, karena itu, tidak terlalu kritis atau tidak sangat mempersoalkan tentang apakah hadist-hadist yang mereka terima itu benar-benar merupakan hadist shahih atau hadist dhaif, khusus dari segi sanadnya. Pengadopsian hadits seperti itulah yang menjadikan ibadah kaum tradisional lebih "berbunga-bunga", penuh dengan tambahan-tambahan Azyumardi Azra: 1999: 67) yang oleh kaum modernis dan reformis disebut sebagai "bid'ah" karena semata-mata berlandaskan pada hadist- hadist yang lemah.

Dalam menggerakkan organisasi ini, terdapat kepengurusan yang disebut Syuriah dan Tanfidziyah. Pada dasarnya mereka duduk di Syuriah adalah para alim ulama, atau para Kiyai yang memiliki kharismatik tinggi baik dalam bidang keilmuan atau ibadah. Sementata pada Tanfidziyah lebih banyak diduduki oleh kalangan terpelajar atau cerdik pandai. Saat ini (2004) sewaktu diadakan Muktamar di Solo (Jawa Tengah) untuk kepemimpinan periode 2004-2009 Tanfidziyah kembali (dua periode) diketuai KH. Hasyim Mudzadi, demikian pula ra’is Syuri’ah diketuai oleh KH. Sahal Mahfudz.

Kiprah organisasi ini selain dalam bidang keagamaan, juga dalam bidang sosial dan pendidikan. Kendati diakui kiprah NU dalam bidang pendidikan lebih banyak di pedesaan, terutam Pondok Pesantren. Dalam bidang kesehatan NU juga memiliki rumah sakit, puskesmas. Inilah gerak awal NU, namun dalam perjalanan sejarah selanjutnya NU terlibat dalam bidang politik, bahkan organisasi ini menjadi Partai Politik. Sejak tahun 1945 - 1951 Nahdhatul Ulama bersatu di dalam Partai "Masyumi". Namun sewaktu diadakan muktamar ke-19 Jam'iyah di Palembang tanggal 1 Mei 1952 NU secara tegas keluar dari Masyumi menjadi partai politik tersendiri.

Pada tahun 1955 sewaktu diadakan Pemilu I, NU menjadi pemenang pemilu ketiga setelah PNI, Masyumi. Dalam peran politiknya NU lebih mengadepankan akomudatif. Namun sewaktu Abdurrahman Wahid berseberangan dengan Presiden Soeharto, seperti dikemukakan Nakamura pada tahun 1970-an, NU tampil sebagai kelompok pengeritik yang paling lugas terhadap pemerintah Orde Baru. Penyimpangan dari tradisi politik akomodatif inilah yang menghasilkan apa yang disebut Nakamura sebagai tradisionalis- me radikal NU (Azyumardi Azra: 1999: 75)

Semenjak tahun 1973 struktur kepartaian mengalami perubahan dengan adanya penyederhanaan partai politik yaitu, partai Islam menjadi Pertai Persatuan Pembangunan (PPP), partai nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya. Beberapa tahun kemudian, terutama setelah terjadinya konplik di dalam tubuh PPP, maka

dalam Muktamar Sitobondo, NU kembali ke khittah 1926, yaitu keluar dari partai politik, dan ini dipertahankannya sampai sekarang, kendati untuk menampung aspirasi anggota untuk berkreasi dalam kegiatan politik, warga NU ada yang di PKB, PKU, PNU, dan Suni, di samping juga orang-orang NU tidak sedikit berkiprah di partai lain seperti PPP, PDI-P, atau Golongan Karya.

Setelah lengsernya Presiden BJ. Habibi, mantan ketua Tanfiziyah K.H. Abdurrahman Wahid (Deklarator PKB), terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, kendati masa pemerintahannya baru berjalan sekitar satu tahun lebih, Abdurrahman Wahid dipaksa oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat untuk menyerahkan jabatannya kepada Wakilnya Megawati Sokarnoputri. Dalam pemilu presiden (2004), Presiden Megawati Sokarnoputri harus menyerahkan kekuasaannya kepada Sosilu Bambang Yodoyono dari Partai Demokrat.

Pasca kejatuhan Orde Baru ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto, Indonesia memasuk Orde Reformasi. Munculnya partai politik bak cendawan di musim hujan baik yang bersifat nasionalis maupun agama. Di kalangan Islam, muncul berpuluh-puluh partai politik. Di kalangan masyarakat yang berbasis kaum Nahdhiyin terdapat PKB, PNU, PKU, Suni, di kalangan masyarakat muslim lain terdapat Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Masyumi Baru, dan banyak lagi partai-partai kecil yang tumbuh berbasiskan agama (Islam). Orang-orang Muhammdiyah banyak berada di Partai Amanat Nasional (PAN) di mana ketuanya adalah Amin Rais (mantan Ketua Umum Muhmmadiyah).

Munculnya partai-partai yang berbasis Islam -kendati ada yang mengaku berpaham nasionalis- menunjukkan bangkitnya umat Islam di kancah politik dalam upaya memperjuangkan nasib mereka sebagai kelompok mayoritas. Kendati diakui pada pemilu 1999 berada di tangan PDI-P, dan pada pemilu 2004 yang lalu suara terbanyak berada di tangan Partai Golongan Karya. Artinya, umat Islam Indonesia -kalau ini dilihat dari Partai Politik Islam- sebagai kelompok mayoritas harus masih berjuang untuk benar- benar menjadi kelompok mayoritas dalam dinamika politik.

Dalam dokumen BAHAN MATA KULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAm (Halaman 46-50)

Dokumen terkait