• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai interaksi antara masukan makanan dan kemampuan tubuh untuk menggunakannya. Status gizi dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa diet, obat-obatan, lingkungan, penyakit dan faktor internal termasuk genetik, riwayat kehamilan, etnik dan lain-lain.12

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan : 12 a. Anamnesis untuk menilai masukan diet.

b. Klinis dengan menilai ada tidaknya tanda-tanda kurang gizi.

c. Penilaian antropometri atau Z score yang disesuaikan dengan standar tertentu (WHO/NCHS)

d. Pemeriksaan laboratorium dengan melihat kadar hemoglobin, protein, dan kolesterol.

Menurut Z score, penderita ini termasuk gizi baik karena diadapatkan score WAZ = -1,6 SD, WHZ = -0,5SD, HAZ = 1,4 (masih didalam rentang -2<x<2).

B. PENGELOLAAN

Guna mencapai hasil pengobatan yang optimal, maka pengelolaan terhadap penderita haruslah bersifat menyeluruh, meliputi aspek keperawatan, medikamentosa, dietetik, dan edukatif. Pembahasan di bawah ini dimaksudkan untuk pengelolaan bronkiolits. Adapun trombositosis tidak dilakukan pengelolaan khusus karena diperkirakan hal ini akibat dari infeksi akut bronkiolitis sehingga penanganannya dengan mengobati penyebabnya. Terapi bronkiolitis dapat bersifat simtomatis/suportif maupun kausatif. Namun pada umumnya, terapinya bersifat suportif.

1. Aspek Keperawatan.

Indikasi rawat inap pada penderita ini adalah didapatkannya tanda-tanda distres respirasi. Pada bronkiolitis terjadi obstruksi jalan nafas kecil yang salah satunya disebabkan akumulasi mukus yang berlebihan, sehingga perlu dilakukan intervensi sebagai berikut : 13,14,15

- Mengatur posisi kepala dan dada sedikit terangkat 10 – 30 derajat sehingga leher agak terekstensi

- Membersihkan jalan nafas dengan suction (penghisap lendir) secara teratur. - Pemberian oksigen.

- Monitoring keadaan umum, tanda vital dan komplikasi yang mungkin terjadi perlu dilakukan secara intensif. Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan proses infeksi dapat diatasi dengan :

o Memberikan kompres dingin pada dahi dan atau ketiak, apabila suhu > 38 0 Celcius perlu diberi antipiretik.

2. Aspek Medikamentosa

a. Suportif / Simtomatis : 1,3,4,13,15

 Oksigen yang dilembabkan, kecepatan aliran 1 – 2 liter/menit atau konsentrasi 28 % , bertujuan untuk mengatasi hipoksemia, mengurangi kehilangan air insensibel akibat takipnu, mengurangi dispnu, menghilangkan kecemasan dan kegelisahan. Jika keadaannya lebih berat, oksigen sebaiknya diberikan dengan konsentrasi 40 % menggunakan head box yang dipantau dengan pulse oximetri, dan kemudian konsentrasi oksigen diturunkan sesuai perbaikan saturasinya. Penderita ini tidak terdapat sesak nafas yang hebat, tidak sampai sianosis, sehingga diberikan oksigen 28% dengan masker atau nasal canul.

 Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral maupun enteral untuk mengimbangi pengaruh dehidrasi akibat takipnu. Penderita ini selama sakit makan dan minumnya berkurang, sehingga diberi cairan parenteral berupa infus 2A ½ N 480/20/5 tetes mikro/menit.

 Pemberian kortikosteroid sampai saat ini masih kontroversial. Umumnya diberikan pada kasus yang gawat / kritis.Titik tangkap kortikosteroid adalah sebagai anti inflamasi sehingga dapat meringankan obstruksi pada bronkioli. Obat yang dipilih adalah deksametason inisial 0,5 mg/KgBB, dilanjutkan 0,5 mg/KgBB/hari dibagi 3 – 4 dosis, atau hidrokortison 5 – 10 mg/KgBB/hari tiap 6 – 8 jam sampai klinis membaik.

Penderita ini datang dengan distres respirasi, maka diberikan kortikosteroid nebulizer pulmicort ½ respul.

 Antipiretik diberikan bila suhu ≥ 38 0 Celcius

 Obat mukolitik dipertimbangkan pemberiannya dalam kaitannya dengan adanya hipersekresi mukus. Penderita ini diberi ambroksol 3 x 4 mg. Ambroksol adalah suatu benzylamin derivat vasicine, berguna dalam meningkatkan sekresi mukus dan mengurangi viskositas/kekentalannya serta memperbaiki transport mukosilier.

 Obat anti virus Ribavirin (virazol), suatu nukleotida sintetis, telah digunakan di luar negeri sebagai terapi spesifik. Pemberiannya secara inhalasi terus-menerus 12 – 20 jam/hari selama 3 – 5 hari, cukup efektif mengurangi gejala bronkiolitis jika diberikan sedini mungkin (pada awal perjalanan infeksi). Namun dalam suatu penelitian melaporkan bahwa pemberian ribavirin tidak begitu menurunkan lama rawat inap di rumah sakit dan angka mortalitas. Pengaruh jangka lama masih belum diketahui. Karenanya, penggunaannya hanya terindikasi pada bayi yang amat sakit atau pada bayi berisiko tinggi, seperti bayi dengan penyakit jantung kongenital sianotik, displasia bronkopulmoner berat, atau immunodefisiensi berat. Penderita ini tidak diberikan.

 Antibiotika sebenarnya tidak mempunyai nilai terapeutis, tetapi karena sulit dibedakan dengan pneumonia bakteri, antibiotika tetap diberikan secara empris, terutama pada keadaan umum yang kurang membaik dan kecurigaan adanya infeksi sekunder. Biasanya diberikan ampisilin 100 mg/kgBB/24 jam, dalam 4 dosis atau eritromisin 50 mg/kgBB/24 jan dalam 4 dosis. Pada penderita ini tidak diberikan.

3. Aspek Dietetik.

Status gizi penderita ini baik. Pemberian diet disesuaikan dengan kebutuhan gizinya. Berat badan penderita 8300 gram, suhu 370 Celcius.

Kebutuhan cairan selama 24 jam sebesar 100 cc x 8,3 kg = 830 cc. Kebutuhan kalori sebesar 990 kkal, sedangkan proteinnya 19,3 gram. Kebutuhan ini dicukupi dengan pemberian infus 2A ½ N, diet lunak, dan susu SGM II.

Tabel 4. Kecukupan gizi penderita hari ke-1

Kebutuhan 24 jam Cairan Kalori Protein

830 cc 990 kkal 19,8 gram

Infus 2A ½ N 480cc 81,6 kkal -

5x120cc SGM II 600 cc 393 kkal 11,4gr

Jumlah 1380 1584,6 50,4

Prosentase AKG 166 % 160 % 250 %

4. Aspek Edukatif

Peranan edukasi sangat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit yang diderita serta mencegah kekambuhan di masa mendatang. Edukasi yang diberikan meliputi upaya preventif, promotif dan rehabilitatif.

a. Preventif. 14,15

 Menjaga higiene dan sanitasi lingkungan rumah, serta kebersihan bahan/alat-alat makan.

 Menghindari kontak dengan penderita batuk, pilek dan perokok.

 Mencegah terjadinya penyebaran nosokomial dengan memperhatikan teknik asepsis dalam merawat penderita.

b. Promotif.14

 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara menjaga kualitas dan kuantitas makanan agar tetap sesuai dengan angka kecukupan gizi, baik bagi ibu maupun penderita, serta melakukan imunisasi sesuai jadwal.

 Segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika anak sakit.

 Menciptakan rumah yang sehat dengan memperbaiki ventilasi dan merubah perilaku hidup sehat yang masih kurang.

c. Rehabilitatif.14

 Melakukan latihan pengeluaran lendir saluran pernafasan dengan postural drainase (penderita dalam posisi tengkurap dan dilakukan masase/tepuk-tepuk pada punggung).

 Melakukan mobilisasi terhadap penderita secara bertahap.

C. PROGNOSIS

Pada penderita ini, prognosis untuk kehidupannya (quo ad vitam) adalah ad bonam, karena walaupun datang dengan distres respirasi, dapat ditangani dengan

segera dan tepat, sehingga masa-masa kritisnya terlewati. Sedangkan prognosis untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah ad bonam, dikarenakan pengelolaan terhadap penderita rasional dan menyeluruh meliputi aspek keperawatan, medikamentosa, dietetik dan edukatif.

Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi bisa berkembang menjadi asma. Ehlenfield dkk mengatakan jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3. Adanya eosinofilia dimungkinkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa kanak-kanak. Kriteria yang menjadi faktor risiko asma adalah didapatkannya 2 faktor risiko mayor atau 1 faktor resiko mayor + 2 faktor risiko minor. 1,15

- Faktor risiko major yaitu asma pada orang tua dan eksema pada anak.

- Faktor risiko minor adalah Rinitis alergi, mengi diluar selesma dan eosinofilia. Pada pasien ini kemungkinan belum bisa berkembang menjadi asma. Hal ini dapat disebabkan karena hanya memenuhi 1 kriteria minor yaitu pasien mengalami riwayat wheezing pada usia < 2 tahun.

Faktor resiko gejala yang berulang sehingga kemungkinan dapat berkembang menjadi asma : sosial ekonomi yang rendah, lingkungan rumah yang tidak sehat, jumlah anggota keluarga yang besar tinggal dalam 1 rumah, ayah seorang perokok aktif dan anak tidak mendapatkan ASI sejak lahir karena puting susu terbenam.

.

D. BAGAN PERMASALAHAN

Infeksi saluran pernapasan bagian bawah

Asuh Asih Asah Preventif Promotif Rehabilitatis

Tumbuh kembang optimal Lingkungan : -Kebersihan -Higiene sanitasi - - K e b e r s i h a n - H i g i e n e s a n i t a s i Perilaku:

- Pendidikan orang tua - Kebiasaan makan makanan kurang bernilai gizi - Pelayanan tentang kesehatan

Bayi laki-laki, umur 11 bulan

Bronkiolitis sesak batuk pilek mengi Retraksi

BAB IV RINGKASAN

Pada tulisan ini dilaporkan kasus seorang anak dengan bronkiolitis dan gizi baik dengan pembahasan, diagnosis, pengelolaan dan prognosisnya.

Telah dilaporkan seorang anak laki-laki, 11 bulan, BB 8300 gram, PB 71 cm. Pada anamnesis didapatkan bahwa anak mengalami batuk dan sesak yang dalam 3 hari terus bertambah.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan anak sadar, tampak sesak, tidak ada sianosis, napas spontan adekuat. Anak panas nglemeng, laju pernapasan meningkat, retraksi epigastrial. Pada pemeriksaan paru didapatkan suara hantaran, wheezing, eksperium memanjang di kedua lapangan paru. Pemeriksaan jantung dan lain-lain dalam batas normal.

Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan gambaran trombositosis dan limfosit teraktivasi. Gambaran X-foto thorak menunjukan jantung tidak membesar dan gambaran bronkopneumonia dengan penebalan hilus kanan kiri, proses spesifik belum dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan antropometri dengan Z score, anak digolongkan sebagai gizi baik

Berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan yang dilakukan, anak didiagnosis bronkiolitis.

Pengelolaan pada penderita ini secara umum terdiri dari keperawatan, medikamentosa dan pemberian diet. Selama perawatan didapatkan perbaikan keadaan umum penderita. Edukasi diberikan pada keluarga penderita mengenai segala usaha untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit yang sama atau penyakit yang lainnya.

BAB V

Dokumen terkait