• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Variabel Penelitian

3. Good Corporate Governance

a. Gambaran Umum Good Corporate Governance

Forum for Corporate Governane in Indonesia (FCGI) (2002) dalam Setyawan (2012) mendefinisikan corporate governance dalam publikasi yang pertama mempergunakn definisi Cadbury Committee, yaitu: “seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan

ekstern lainnya yag berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan”. FCGI (2002) juga menyatakan bahwa tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) (2006), good corporate governance (GCG) diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk terwujudnya GCG dengan baik maka diperlukan tiga pilar pendukung yang saling berhubugan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa.

Terdapat empat manfaat yang diberikan corporate governance (FCGI, 2001), yaitu: (1) meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholder, (2) mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigit (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value, (3) mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan (4) pemegang saham akan merasa puas

dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders’s value dan dividen.

Keempat hal tersebut baru dapat dirasakan apabila peranan corporate governance telah berjalan dengan baik di dalam perusahaan. Untuk dapat memastikan bahwa GCG telah tercapainya maka diperlukan asas –asas yang diterapkan di setiap aspek bisnis dan semua jajaran perusahaan. Berikut adalah asas-asas GCG yang disusun oleh KNKG (2006) di dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, yaitu:

1) Transparansi (Transparancy)

“Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yangmudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya”.

2) Akuntabilitas (Accountability)

“Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan

pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan persyaratan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 3) Responsibilitas (Responsibility)

“Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen”.

4) Independensi (Independency)

“Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain”.

5) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

“Dalam melaksanakan kegitanna, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan”. b. Kepemilikan Manajerial

Penelitian oleh Christiawan dan Tarigan (2004) dalam Anggraeni (2013) menyebutkan bahwa kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Dalam laporan keuangan, keadaan ini ditunjukkan dengan besarnya

persentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajer. Karena hal ini merupakan informasi penting bagi pengguna laporan keuangan maka informasi ini akan diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

Adanya kepemilikan manajerial menjadi hal yang menarik jika dikaitkan dengan agency theory. Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan, karena dengan meningkatnya nilai perusahaan maka nilai kekayaannya sebagai individu pemegang saham akan ikut meningkat pula. Ditilik dari segi teori agensi, kepemilikan manajerial dianggap sebagai sebuah solusi atas permasalahan yang terjadi antara agent dan principal. Selain itu pemilikan saham atas manajerial perusahaan dilakukan sebagai salah satu upaya penyelenggaraan Good Corporate Governance. Sejajarnya status manajerial dengan para investor diharapkan dapat mengurangi permasalahan oportunistik perekayasaan pelaporan keuangan. Dengan terciptanya Good Corporate Governance ini dapat menjadi langkah menekan angka perataan laba.

Dari sudut pandang teori akuntansi, perataan laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran perataan laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi perataan laba, sebab kepemilikan seorang manajer

akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Dengan kata lain, presentase tertentu terhadap kepemilikan saham oleh pihak manajemen, cenderung mempengaruhi tindakan perataan laba.

c. Kepemilikan Institusional

Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Pengawasan inilah yang diharapkan dapat mencegah dan mengurangi tindakan perataan laba yang dengan demikian dapat tercapainya Good Corporate Governance.

Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Usaha inilah yang dipandang baik sebagai salah satu cara melibatkan pihak eksternal untuk menciptakan Good Corporate Governance pada perusahaan. Para investor institusional mempunyai kesempatan, sumber daya dan kemampuan untuk melakukan pengawasan, menertibkan dan mempengaruhi para

manajer perusahaan dalam hal tindakan oportunistik manajemen (Chung et al. Dalam Purwandari, 2011).

d. Dewan Komisaris

KNKG (2006) mendefinisikan dewan komisaris sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi untuk memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan praktik Good Corporate Governance (GCG). Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh ikut serta dalam pengambilan keputusan operasional perusahaan. Kedudukan masing-masing angggota dewan komisaris adalah setara dan tugas Komisaris Utama adalah mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris (primus interpares).

Salah satu prinsip corporate governance adalah menyangkut peranan dewan komisaris, sedangkan bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua sistem hukum yang biasa dianut, yakni Anglo Saxon dan Kontinental Eropa (FCGI, 2001). Sistem Hukum Anglo Saxon adalah sistem satu tingkat atau one tier systemyang diterapkan di negara Amerika dan Inggris. Sistem hukum ini mempunyai satu dewan direksi dalam perusahaan yang merupakan kombinasi antara manajer dan pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif). Berbeda dengan sistem hukum Kontinental Eropa menganut sistem dua tingkat atau two tir

system yang diterapkan di Indonesia. Sistem hukum ini mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan sesuai dengan pengarahan dewan komisaris. e. Komite Audit

Komite audit menurut Kep. 29/PM/2004 merupakan komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit merupakan salah satu komponen penting untuk terciptanya good corporate governance. Bahkan untuk menilai pelaksanaan GCG dalam perusahaan maka diperlukan komite audit sebagai salah satu aspek dalam kriteria penilaian.

Menurut FCGI (2002), komite audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu:

1) Laporan keuangan (financial reporting)

Tanggung jawab untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usahanya, serta rencana dan komitmen jangka panjang perushaan.

2) Tata kelola perusahaan (corporate governance)

Tanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yag berlaku, etika bisnis serta melaksanakan pengawasan secara efektif terhadap

benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perushaan.

3) Pengawasan perusahaan (corporate control)

Tanggung jawab dalam pemahaman tentang masalah serta hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal.

Dalam pelaksanaan tugasnya, komite audit dengan proporsi anggota eksternal yang cukup besar dan dengan pengetahuan serta pengalaman berkaitan dengan perusahaan perusahaan dan keuangannya diharapkan dapat mengurangi praktik manajemen laba dalam perusahaan (Purwandari, 2011). Ukuran komite audit dijelaskan dalam keputusan Direksi BEJ nomor: KEP-399/BEJ/07-2001 Peraturan Pencatan Efek Nomor 1-A Huruf C, yaitu keanggotaan komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang anggota, seorang di antaranya merupakan komisaris independen perushaan tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen dimana sekurang-kurangnya satu di antaranya memiliki kemampuan dibidang akuntansi atau keuangan (Ahmar dan Kurniawan, 2007 dalam Purwandi 2011).

Dokumen terkait