PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN,
LEVERAGE, GOOD
CORPORATE GOVERNANCE
DAN NILAI PERUSAHAAN
TERHADAP PRAKTIK PERATAAN LABA
(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar
di Bursa Efek Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Oleh:
Pebhe Xarhisma Utami
NIM: 102114022
PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN,
LEVERAGE, GOOD
CORPORATE GOVERNANCE
DAN NILAI PERUSAHAAN
TERHADAP PRAKTIK PERATAAN LABA
(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar
di Bursa Efek Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Oleh:
Pebhe Xarhisma Utami
NIM: 102114022
PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari
mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.”
(Ams 2:6)
Terimakasih dan puji syukur kepada Tuhanku Yesus Kristus yang selalu menjadi penolong dan sumber inspirasi setiap aku dalam kesusahan.
Aku persembahkan karya ini untuk kedua orang tuaku, keluargaku dan tunanganku
yang menjadi motivator untukku menyelesaikan karya ini.
Kecewa, khawatir dan menyerah
tidak akan merubah apapun
tapi
IMAN, PENGHARAPAN
dan
KERJA KERAS
vii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur dan terima kasih ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN,
LEVERAGE, GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN NILAI
PERUSAHAAN TERHADAP PRAKTIK PERATAAN LABA(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis tentu saja tidak terlepas dari peranan berbagai pihak yang membantu, membimbing dan memberikan arahan dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang terdalam kepada:
1. Bapak Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D. selaku Rektor Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Dr. Herry Maridjo, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Drs. Y.P. Supardiyono, M.Si., Akt.,Q.IA., selaku Ketua Program Studi Akuntansi Universitas Sanata Dharma.
4. Bapak Drs. Yusef Widya Karsana, Akt., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yag dengan sabar telah meluangkan waktu dalam membantu dan membimbing penulisan skripsi ini.
5. Kedua orang tua penulis yang telah mendukung, mendoakan dan mendorong penulis untuk bertekun dalam menyelesaikan skripsi ini.
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
HALAMAN KATA PENGANTAR... vii
3. Karateristik Kualitatif Informasi... 11
x
b. Kepemilikan Manajerial... 31
c. Kepemilikan Institusi... 32
d. Dewan Komisaris... 33
e. Komite Audit... 34
4. Nilai Perusahaan... 36
5. Perataan Laba... 37
G.Perumusan Hipotesis Penelitian... 40
1. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Perataan Laba... 40
2. Pengaruh Leverage Terhadap Perataan Laba... 41
3. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Perataan Laba... 42
4. Pengaruh Komisaris Independen Terhadap Perataan Laba... 43
5. Pengaruh Komite Audit Terhadap Perataan Laba... 44
6. Pengaruh Kepemilikan Institusi Terhadap Perataan Laba. 45 7. Pengaruh Nilai Perusahaan Terhadap Perataan Laba... 46
BAB III METODE PENELITIAN... 48
A.Jenis Penelitian... 48
B.Tempat dan Waktu Penelitian... 48
C.Populasi dan Sampel Penelitian... 48
D.Subyek dan Obyek Penelitian... 49
E.Jenis Data... 50
F.Metode Regresi Logistik... 50
G.Teknik Pengumpulan Data... 51
H.Definisi dan Pengukuran Variabel Penelitian... 52
1. Variabel Dependen... 52
2. Variabel Independen... 53
I. Teknik Analisis Data... 57
1. Mengukur Variabel Penelitian... 57
2. Melakukan Analisis Statistik Deskriptif... 58
3. Menilai Keseluruhan Model... 58
4. Menilai Kelayakan Model Regresi... 58
5. Uji Koefisien Determinan... 59
6. Uji Hipotesis Secara Simultan... 59
7. Uji Hipotesis Secara Parsial... 60
BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN... 63
xi
A.Deskripsi Data... 83
B.Pengukuran Variabel Penelitian... 84
C.Analisis Statistik Deskriptif... 86
D.Analisis Keseluruhan Model... 88
E.Penilaian Model Fit... 89
F.Uji Koefisien Determinan... 90
G.Uji Hipotesis Secara Simultan... 91
H.Uji Hipotesis Secara Parsial... 92
I. Pembahasan... 98
BAB VI PENUTUP... 103
A.Kesimpulan... 103
B.Keterbatasan Penelitian... 104
C.Saran... 105
DAFTAR PUSTAKA... 106
LAMPIRAN A. Lampiran 1... 111
B. Lampiran 2... 113
C. Lampiran 3... 131
D. Lampiran 4... 143
E. Lampiran 5... 152
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 : Data Hasil Pemilihan Sampel... 80
Tabel 5.2 : Perusahaan Perata Laba dan Bukan Perata Laba... 81
Tabel 5.3 : Tabel Statistik Deskriptif... 84
Tabel 5.4 : Perbandingan Nilai -2LL Awal dengan -2LL Akhir... 86
Tabel 5.5 : Hasil Uji Kelayakan Model Regresi... 89
Tabel 5.6 : Hasil Pengujian Koefisien Determinanan... 90
Tabel 5.7 : Hasil Uji Hipotesis Secara Simultan... 91
xiii
ABSTRAK
PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, LEVERAGE, GOOD CORPORATE
GOVERNANCE DAN NILAI PERUSAHAAN TERHADAP PRAKTIK
PERATAAN LABA
(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Pebhe Xarhisma Utami NIM: 102114022 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2010
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ukuran perusahaan, leverage, Good Corporate Governance dan nilai perusahaan memiliki pengaruh terhadap praktik perataan laba. Penelitian ini melibatkan 65 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2012.
Penelitian ini menggunakan Indeks Eckel untuk mengklasifikasikan perusahaan yang melakukan atau tidak melakukan praktek perataan laba. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perataan laba, ukuran perusahaan, nilai perusahaan, leverage dan Good Corporate Governance yang diukur dengan logaritma total asset, debt to equity ratio, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi, komite audit, komisaris independen dan price to book ratio.
Hasil uji regresi logistik menunjukkan hanya variabel komisaris independen yang berpengaruh negatif terhadap praktik perataan laba, sedangkan ukuran perusahaan, nilai perusahaan, leverage, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi dan komite audit tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba.
xiv
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF THE COMPANY’S SIZE, LEVERAGE, GOOD CORPORATE GOVERNANCE AND COMPANY’S VALUE TOWARDS
INCOME SMOOTHING.
(Empirical Study of the Manufacturing Company that is listed in the Indonesian Stock Exchange)
Pebhe Xarhisma Utami NIM: 102114022 University of Sanata Dharma
Yogyakarta 2014
The aim of the study is to analize the relation between company’s size, leverage, Good Corporate Governance and company’s value to income smoothing practice. Sample of this study was 65 manufacturing companies listed in the Indonesian Stock Exchange in the year 2009-2012.
This study used Eckel Index to classify companies conducting income smoothing practices and companies that do not. Variables company’s size, leverage, GCG and company’s value were measured by logarithmic assets total, debt to equity ratio, manager’s ownership, institution’s ownership, audit committee, independent commissioner and price to book value. Data was analized by logistic regression test.
The result showed that only the independent commissioner variable had negative influenced to the income smoothing practice, where as size, company’s value, leverage, manager’s ownership, institution’s ownership and audit committee were not influenced to the income smoothing practice.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Laporan keuangan merupakan salah satu bahan informasi penting bagi
para pemakainya untuk proses pengambilan keputusan ekonomi dan sekaligus
menggambarkan indikator kondisi perusahaan. Laporan keuangan juga dapat
menjadi sarana pertanggungjawaban kinerja manajemen dalam menjalankan
perusahaan. Begitu pentingnya peranan informasi yang dihasilkan laporan
keuangan maka informasi yang disajikan haruslah mudah dipahami, relevan,
dapat diuji kebenarannya, netral, tepat waktu, dapat diperbandingkan dan
lengkap (APB Bab 4 No.4 dalam Belkaoui 2000).
Salah satu informasi yang dihasilkan dalam laporan keuangan adalah informasi mengenai laba perusahaan. Informasi laba dalam laporan
keuangan bertujuan menilai kinerja manajemen, meramalkan laba, dan
menaksir risiko dalam berinvestasi. Pengaruh informasi laba dalam
pengambilan keputusan bagi para penggunanya sangat besar oleh karena itu
perhatian investor sering terpusat pada informasi laba ini. Seperti yang
diungkapkan dalam Statement of Financial Accounting Concept (SFAC)
Nomor 1 bahwa informasi laba pada umumnya merupakan perhatian utama
dalam menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen dan informasi
laba dalam membantu pemilik atau pihak lain melakukan penaksiran atas
Pentingnya informasi laba disadari oleh manajamen sehingga mereka
cenderung melakukan disfunctional behaviour (perilaku tidak semestinya)
untuk membuat laporan keuangan perusahaan menjadi baik. Informasi yang
seharusnya menjadi sumber utama untuk mengetahui kondisi perusahaan
yang sesungguhnya kehilangan makna dan fungsi karena penyimpangan ini
(Sulistyanto 2008:2).
Kegiatan disfunctinal behaviour yang biasa dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan adalah praktik perataan laba (income smoothing).
Income smoothing merupakan kegiatan menaikkan atau menurunkan laba
pada laporan keuangan guna mengurangi fluktuasi laba yang drastis. Perataan
laba menyebabkan pengungkapan informasi mengenai penghasilan laba
menjadi menyesatkan sehingga akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan khususnya pihak eksternal (Jatiningrum, 2000 dalam Meiliani,
2011:3).
Kegiatan perataan laba perlu diwaspadai oleh para pemakai laporan
keuangan karena hasil informasi yang telah mendapat perlakuan perataan laba
menjadi menyesatkan. Dalam banyak penelitian yang terdahulu
mengungkapkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi praktik
perataan laba. Jin dan Machfoedz (1998) dalam Sumtaky (2007:4) meneliti
bahwa faktor-faktor yang mungkin mendorong praktik perataan perataan laba
oleh perusahaan adalah ukuran perusahaan, jenis indsutri, profitabilitas, dan
Sedangkan menurut Juniarti dan Corolina (2005) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa faktor yang mendorong terjadinya praktik perataan laba
adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, dan jenis industri. Ada banyak
penelitian lainnya yang menyebutkan berbagai faktor yang mempengaruhi
praktik perataan laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Aji dan Mita (2010) mengenai
pengaruh profitabilitas, risiko keuangan, nilai perusahaan dan struktur
kepemilikan terhadap praktik perataan laba menunjukkan bahwa variabel
profitabilitas, risiko keuangan, nilai perusahaan, berpengaruh terhadap
peartaan laba dan bernilai positif. Sedangkan struktur kepemilikan dan ukuran
perusahaan sebagai variabel kontrol tidak berpengaruh terhadap praktik
perataan laba dan bernilai negatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Muid (2012) mengenai analisis
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba, dengan variabel
perataan laba, ukuran perusahaan, net profit margin, dan debt to equity ratio,
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap perataan laba,
sedangkan net profit margin dan debt to equity ratio tidak berpengaruh
terhadap perataan laba.
Ada ketidak kosistenan dalam berbagai penelitian terdahulu mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba dan pengaruhnya. Oleh sebab
itu penulis termotivasi untuk menguji kembali faktor-faktor yang diduga
berpengaruh teradap perataan laba antar lain ukuran perusahaan, leverage,
terdahulu belum ada yang menggunakan faktor Good Corporate Governance
sebagai variabel independen dalam perataan laba, sehingga penelitian ini akan
memberikan pengetahuan baru. Untuk mengukur variabel Good Corporate
Governance akan dilihat langsung dan diukur dengan proksi kepemilikan
manajerial, komisaris independen, komite audit dan kepemilikan institusional.
Selain itu alasan peneliti menggunakan perusahaan manufaktur karena
berdasarkan ukuran perusahaan, perusahaan manufaktur memiliki aset yang
lebih banyak dibanding perusahaan sektor lain dan terlihat mendominasi
keseluruhan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Periode 2009-2012 dipilih sebagai tahun penelitian karena dianggap telah
melewati tahun krisis global sehingga pada periode tersebut diharapkan lebih
mencerminkan keadaan terkini.
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka
penelitian ini berjudul ”Pengaruh Ukuran Perusahaan, Leverage, Good
Corporeate Governance dan Nilai Perusahaan Terhadap Praktik
Perataan Laba (Studi Epiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap praktik
2. Apakah leverage berpengaruh positif terhadap praktik perataan
laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?
3. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
praktik perataan laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
BEI?
4. Apakah komisaris independen berpengaruh negatif terhadap
praktik perataan laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
BEI?
5. Apakah komite audit berpengaruh negatif terhadap praktik
perataan laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?
6. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap
praktik perataan laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?
7. Apakah nilai perusahaan berpengaruh positif terhadap praktik
perataan laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?
C. Batasan Masalah
Pengukuran Good Corporate Governance hanya meliputi empat aspek yaitu:
1. Kepemilikan manajerial
2. Komisaris independen
3. Komite audit
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ukuran
perusahaan, leverage, Good Corporate Governance dan nilai perusahaan
berpengaruh terhadap praktik perataan laba di perusahaan-perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengguna Laporan Keuangan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
mengenai praktik perataan laba yang marak dilakukan
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat keputusan investasi dan keuangan lainnya.
2. Universitas Sanata Dharma
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan koleksi bacaan
dan referensi perbendaharaan skripsi bagi mahasiswa yang akan menulis
skripsi serta menambah literatur yang ada mengenai perataan laba sebagai
bahan pembelajaran.
3. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai
praktik perataan laba yang nyata terjadi di perusahaan-perusahaan dan
dapat menerapkan teori yang telah diperoleh semasa perkuliahan sehingga
F. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Bab ini membahas mengenai teori-teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini.
Teori-teori tersebut melandasi pemikiran dalam menganalisa
permasalahan yang dapat membantu dalam memecahkan masalah
yang diajukan.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang jenis penelitian, waktu dan tempat penelitian, objek penelitian sumber data, variabel penelitian,
populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan
teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI DATA
Bab ini berisi tentang deskripsi populasi dan sampel perusahaan
yang menjadi sampel penelitian serta data singkat perusahaan
yang menjadi sampel penelitian.
BAB V : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang analisis hasil penelitian berdasarkan teori
menyajikan hasil peritungan sesuai dengan data yang telah
diperoleh dari hasil penelitian.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan tentang simpulan hasil analisis yang
telah dilakukan, keterbatasan dari penelitian, dan saran yang dapat
diberikan kepada peneliti selanjutnya.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Laporan Keuangan
1. Pengertian Laporan Keuangan
Laporan keuangan adalah laporan pertanggungjawaban manajer
atau pimpinan perusahaan atas pengelolaan perusahaan yang
dipercayakan kepadanya kepada pihak-pihak luar perusahaan; pemilik
perusahaan, pemerintah, kreditur, dan pihak lainnya (Budi Rahardjo
1989:1). Laporan keuangan merupakan produk dari akuntansi yang
menyajikan data-data kuantitatif keuangan atas semua transaksi-transaksi
yang telah dilaksanakan oleh suatu perusahaan untuk suatu periode
tertentu (Yusuf dan Soraya 2004:2). 2. Pemakai Laporan Keuangan
Terdapat tujuh kelompok pemakai laporan keuangan yaitu:
a. Penanam Modal (Investor)
Penanam modal pada dasarnya adalah pengambil risiko. Sebagai
pemilik bisnis, kekayaan mereka meningkat ketika perusahaan
tersebut memperoleh banyak keuntungan dan menurun ketika
perusahaan mulai mengalami penurunan keuntungan. Mereka
merupakan pemilik perusahaan yang sah dan perusahaan
b. Pemberi Pinjaman (Kreditor)
Para kreditor menganalisis laporan keuangan untuk menilai
kemampuan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman secara cepat
dan tepat.
c. Manajer Perusahaan
Manajer adalah seorang pebisnis yang profesional yang
mengoperasikan perusahaan untuk memberikan keuntungan bagi
pemilik perusahaan. sebagai pegawai perusahaan, ia memiliki tugas
memaksimumkan harga saham perusahaan melalui produktivitas dan
bersikap bijaksana dalam menggunakan asset perusahaan. seperti
halnya penanam modal, manajer juga berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
d. Spesialis Merger dan Akuisisi
Spesialis merger dan akuisisi berusaha untuk meningkatkan nilai
pemegang saham melalui penggabungan perusahaan. Laporan
keuangan membantu dalam hal menganalisis sehingga dapat
digunakan untuk menentukan apakah penggabungan perusahaan yang
dilakukan adalah suatu tindakan benar atau salah.
e. Auditor Internal dan Eksternal
Auditor dipekerjakan oleh perusahaan dengan tujuan untuk
memastikan adanya kesesuaian dengan kebijakan perusahaan, menilai
kinerja dan merekomendasikan peningkatan operasional perusahaan.
keuangan. Laporan keuangan harus menunjukkan kenyataan yang
semestinya sebab jika tidak demikian akan berakibat pada
kecurangan dalam pelaporan keuangan dan audit gagal untuk
mendeteksi kecurangan dimana kenyataannya perusahaan dapat
menjadi bangkrut.
f. Badan Pengatur
Contohnya The Securties and Exchange Commission (SEC) yang
merupakan badan hukum administrasi negara surat berharga AS
bertugas memastikan bahwa investor dan kreditor menerima
pegungkapan secara adil dan penuh mengenai kegiatan aktivitas
perusahaan. The Internal Revenue Service (IRS) juga menggunakan
informasi keuangan untuk menganalisa kesesuaian perhitungan pajak yang dibayar oleh wajib pajak dengan peraturan pajak, apakah pajak
yang dibayarkan oleh wajib pajak telah sesuai dengan kekayaan yang
dimilikinya seperti yang dicantumkan dalam laporan keuangan.
g. Perserikatan Pekerja
Pekerja dalam memperoleh gaji dan penyesuaian dari keuntungan
yang diperoleh, seringkali berbasiskan pada data keuangan ketika
menegosiasikan kontrak. Pekerja menganalisis keuntungan yang
akurat dan tepat waktu dari laporan keuangan.
3. Karakteristik Kualitatif Informasi
Menurut Leopold A. Bernstein (1998:3) dalam Yusuf dan Soraya
keuangan yang lampau dan posisi keuanga saat ini. Laporan keungan
dirancang untuk menyediakan informasi pada empat aktivitas usaha
utama yaitu kegiatan perencanaan, keuangan, investasi, dan operasi.
Menurut Chariri dan Ghozali (2003:91) dalam bukunya menjelaskan lima
karateristik kualitatif dari informasi yang harus diungkap yakni:
a. Relevan (Relevance)
Informasi dikatakan relevan apabila informasi tersebut memiliki
manfaat, sesuai dengan tindakan yang akan dilakukan oleh pemakai
laporan keuangan. Dengan kata lain, relevan merupakan kemampuan
dari suatu informasi untuk mempengaruhi keputusan manajer atau
pemakai laporan keuangan lainnya sehingga keberadaan informasi
tersebut mampu mengubah atau mendukung harapan mereka tentang hasil-hasil atau konsekuensi dari tindakan yang diambil.
b. Keandalan (Reliability)
Keandalan suatu informasi sangat tergantung pada kemampuan suatu
informasi untuk menggambarkan secara wajar keadaan/peristiwa
yang digambarkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya
(representational faithfulness). Informasi supaya dikatakan andal
harus dapat diuji kebenarannya (veriafiabel), netral, dan
menggambarkan keadaan secara wajar sesuai peristiwa yang
c. Daya Banding dan Konsistensi
Suatu informasi dikatakan bermanfaat kalau informasi tersebut dapat
saling dierbandingkan baik antar periode maupun antar perusahaan.
konsistensi menunjukkan pemakaian metode yang sama oleh
perusahaan sepanjang periode. Akan tetapi, perusahaan diberi
keleluasan untuk mengubah metode akuntansi yang diterapkan
selama perubahan tersebut diungkapkan secara jelas dalam laporan
keuangan.
d. Pertimbangan Cost-Benefit
Informasi akuntansi keuangan akank diupayakan untuk disajikan
dalam laporan kuangan, selama manfaat yang diperoleh dari
penyajian informasi melebihi biaya yang diperlukan untuk menghasikannya. Oleh sebab itu, sebelum menyajikan informasi
maka manfaat akan diperolehnya informasi harus dibandingkan dulu
dengan biaya yang akan timbul.
e. Materialitas
Pertimbangan utama konsep ini adalah apakah penyajian informasi
tertentu akan memengaruhi secara signifikan terhadap keputusan
yang diambil. Materialitas tidak memiliki aturan dalam menentukan
tingkat materialitas suatu informasi, oleh sebab itu penentuan tingkat
materialitas suatu informasi diserahkan pada pertimbangan
B. Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori agensi adalah teori yang dapat menjabarkan konsep manajemen
laba terhadap praktik perataan laba. Teori Agensi yang dikemukakan oleh
Jensen dan Meckling (1976) dalam Mudjiono (2010:3) mengungkapkan
bahwa teori agensi adalah mengenai struktur kepemilikan (ownership
structure) perusahaan yang dikelola oleh manajer bukan pemilik. Jensen dan
Meckling juga mendefinisikan hubungan keagenan yang sebagai sebuah
kontrak antara satu orang atau lebih, pemilik (principal) yang menyewa orang
lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen.
Dalam kenyataannya, pendelegasian wewenang sering berbenturan
dengan tujuan pribadi agen yang kemudian menjadi timbulnya masalah. Penellitian yang dilakukan Ratih dan Zulaikha (2011:4), manajer akan
mengambil kebijakan yang mengutungkan dirinya sendiri sebelum
memberikan manfaat kepada pemegang saham. Hal ini juga didukung oleh
pernyataan Anthony dan Govindarajan (2003:153), teori agensi
mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka
sendiri. Para agen diasumsikan menerima kepuasan bukan saja dari
kompensasi keuangan tetapi juga dari syarat-syarat yang terlibat dalam
hubungan agensi. Adanya tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda antara
agen dan prinsipal, dimana setiap pribadi ingin mengoptimalkan kepentingan
Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metoda
akuntansi yang dapat memperlihatkan reaksi pasarnya yang baik untuk
mendapatkan bonus prinsipal (Yufenti 2010:156). Apabila manajer mampu
menunjukkan kinerjanya dengan baik maka harapannya mereka akan
mendapatkan bonus dari prinsipal. Adanya dorongan untuk menampilkan
performa yang baik kemudian dilakukan oleh agen untuk mengolah angka
akuntansi. Muchammad (2001:19) dalam Ratih dan Zulaikha (2011:4)
mengemukakan pihak manajemen selaku agen akan berusaha mengolah
angka akuntansi menjadi sedemikian rupa melalui cara yang sistematis
dengan memilih metoda/kebijakan tertentu sehingga angka akuntansi (laba)
yang dilaporkan dari periode ke periode benar-benar dapat mencapai tujuan
akhir yang diinginkan.
Masalah yang timbul lagi adalah keberadaan prinsipal yang berada
diluar perusahaan membuatnya tidak memiliki informasi yang cukup tentang
semua aktivitas perusahaan. Ketika manajer memiliki informasi yang lebih
banyak dibandingkan pihak eksternal, maka akan ada asimetri informasi
antara agen dan prinsipal (Noviana dan Yuyetta 2011:71). Agen atau manajer
yang memiliki informasi lebih maka memanfaatkan wewenang yang
diberikan oleh prinsipal untuk mengendalikan informasi yang akan dibuatnya.
Kesempatan ini kemudian membawa manajer untuk melakukan disfunctional
behaviour, yakni menggunakan informasi yang diketahuinya untuk
C. Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)
Teori Akuntansi Positif adalah teori yang memprediksi tindakan
pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dan bagaimana manajer akan
merespon kebijakan akuntansi baru yang diusulkan (Scott 2006 dalam
Noviana dan Yuyetta 2011:3). Untuk memahami lebih lanjut tindakan
perataan laba dapat menggunakan teori akuntansi positif ini yang dirumuskan
oleh Watts dan Zimmerman (1986) dalam Rahmawati (2012:29) yaitu:
1. The Bonus Plan Hypothesis
Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer
perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser
laba dari periode mendatang ke periode saat ini sehingga dapat
menaikkan laba saat ini. Hal ini dilakukan karena manajer lebih menyukai pemberian bonus yang lebih tinggi untuk masa kini.
2. The Debt/Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis)
Pada perusahaan yang memiliki debt to equity ratio tinggi, manajer
perusahaan cederung akan menggunakan metode akuntansi yang dapat
meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini dikarenakan perusahaan
dengan debt to equity ratio yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam
memperoleh dana tambahan dari pihak keditur bahkan perusahaan
terancam melanggar perjanjian utang.
3. The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis)
Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer
dilaporkan pada periode berjala menjadi lebih rendah daripada laba yang
sesungguhnya. Biaya politik muncul karena laba perusahaan yang tinggi
dapat menarik perhatian invenstor.
D. Laba (Income) 1. Pengertian Laba
Laba yang dipahami secara dalam struktur akuntansi sekarang ini
merupakan laba hasil selisih dari pengukuran pendapatan dan biaya.
Besar kecilnya laba sebagai pengukur kenaikan piutang kenaikan aktiva
bergantung pada ketepatan pengukuran pendapatan dan biaya
(Rahmawati 2012:30). Oleh sebab itu, laba tidak memiliki makna secara ekonomi.
Income dalam IAI justru tidak menerjemahkan income sebagai
laba, tetapi justru dengan istilah penghasilan. Adapun IAI memaknai
income adalah sebagai kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode
akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau
penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak
berasal dari kontribusi modal (paraghraph 70). Senada dengan Standar
Akuntansi Keuangan, income dimaknai sebagai jumlah kotor dalam
perpajakan sehingga diterjemahkan sebagai penghasilan dalam Standar
Akuntansi Keuangan (SAK).
Menurut Belkaoui (1993) dalam Ratih dan Zulaikha (2011:5), laba
merupakan suatu pos dasar dan penting dari ikhtisar keuangan yang
karena peranannya yang sangat penting dalam pelaporan keuangan maka
dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Fisher (1912) dan Bedford (1965) yang diukutip oleh Ghozali dan
Chariri (2003:214) menyatakan bahwa pada dasarnya ada tiga konsep
laba yang umum dibicarakan dan digunakan dalam ekonomi. Adapun
konsep laba tersebut adalah sebagai berikut:
b. Psychic income, yang menunjukkan konsumsi barang/jasa yang dapat
memenuhi kepuasan dan keinginan individu.
c. Real income, yang menunjukan kenaikan dalam kemakmuran
ekonomi yang ditunjukkan oleh kenaikan cost of living.
d. Money income, yang menunjukkan kenaikan nilai sumber-sumber
ekonomi yang digunakan konsumsi yang sesuai dengan biaya hidup (cost of living).
2. Tujuan Pelaporan Laba
Informasi laba dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Informasi
laba sangat membantu para penggunanya dalam membuat keputusan.
Harahap (2004) dalam Ratih dan Zulaikha (2011:6) mengemukakan tujuh
pelaporan laba, yakni:
a. Tujuan umum, yaitu laba harus merupakan hasil penerapan aturan dan
prosedur yang logis serta konsisten secara internal.
b. Tujuan utama, yaitu memberikan informasi yang berguna bagi mereka
c. Tujuan khusus, yaitu penggunaan laba sebagai pengukur keberhasilan
serta sebagai pedoman pengambilan keputusa manajeril dimasa yang
akan datang.
Suwardjono (2006:457) mengungkapkan bahwa ada dua
pendekatan yang perlu dipertimbangkan dalam akuntansi laba yaitu satu
laba untuk berbagai tujuan (single incomes for different purposes) atau
beda tujuan beda laba (different incomes for different purposes).
Pendekatan pertama berusaha untuk memformulasikan konsep laba
tunggal atau umum dan menyajikannya untuk memenuhi berbagai tujuan
secara umum. Sedangkan pendekatan yang kedua berusaha memberikan
informasi untuk satu tujuan tertentu sehingga informasi yang disajikan
terbatas pada tujuan tertentu itu saja.
Salah satu tujuan pelaporan keuangan adalah memberikan
informasi keuangan yang dapat mencerminkan prestasi kerja perusahaan
yang biasa dicerminkan melalui laba. Secara umum informasi laba
bertujuan memberikan manfaat bagi para pemakai informasi untuk
kepentingannya masing-masing. Adapun informasi laba menurut Ghozali
dan Chariri (2003:216) dapat digunakan, diantaranya:
a. Sebagai indikator efisiensi penggunaan dana tertanam dalam
perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembalian (rate of return
on invested capital)
b. Sebagai pengukur prestasi kerja
d. Sebagai alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomi suatu negara
e. Sebagai dasar kompensasi dan pembagian bonus
f. Sebagai alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan
g. Sebagai dasar untuk kenaikan kemakmuran
h. Sebagai dasar pembagian dividen.
3. Elemen Laba
Ghozali dan Chariri (2003:226) menyatakan ada dua konsep yang
digunakan untuk menentukan elemen laba perusahaan yaitu :
a. Konsep Laba Periode (Earnings)
Konsep ini mengukur efisiensi suatu perusahaan yang berhubungan
dengan penggunaan sumber-sumber ekonomi perusahaan untuk
memperoleh laba dengan membandingkan laba periode berjalan dengan laba periode sebelumnya atau dengan laba perusahaan lain
pada industri yang sama. Selain itu, konsep ini juga memusatkan
perhatiannya pada laba operasi periode berjalan yang berasal dari
kegiatan normal perusahaan. Laba periode tidak memasukkan
pengaruh kumulatif perubahan akuntansi sehingga penentu laba
periode adalah pendapatan, biaya, untung dan rugi yang benar-benar
terjadi pada periode berjalan.
b. Laba Komprehensif (Comprehensive Income)
FASB dalam SFAC No.3 dan 6 menyebutkan bahwa yang dimaksud
Total perubahan ekuitas bersih (ekuitas) perusahaan selama satu
periode yang berasal dari semua transaksi dan kegiatan lain dari
sumber selain sumber yang berasal dari pemilik.
E. Manajemen Laba
1. Pengertian Manajemen Laba
Scott (1997:295) dalam bukunya menterjemahkan manajemen laba
sebagai kecenderungan manajemen dalam memilih standar akuntansi
yang diharapkan dapat memaksimalkan manfaatnya dan atau nilai pasar
perusahaan. Manajemen laba dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni
manajemen laba yang bersifat efisiensi dan oportunis. Manajemen laba
yang bersifat efisiensi dapat dilakukan untuk mengurangi biaya kontrak supaya perusahaan terhindar dari kerugian. Sedangkan manajemen laba
yang bersifat oportunis adalah manakala manajer memaksimalkan
keuntungan mereka dalam hal kompensasi, kontrak hutang dan biaya
politik. Hal yang menjadi sorotan adalah manakala tindakan manajemen
laba yang dimanfaatkan sebagai tindakan oportunis dapat mengurangi
keaslian informasi keuangan khususnya laba kepada para pengguna
informasi laba. Menurut Scott (1997:296), manajemen laba dapat
mengurangi keandalan informasi ketika aspek efisiensi dilakukan terlalu
jauh.
Beberapa definisi mengenai manajemen laba diantaranya
berakhir dan dapat bertahan karena informsi yang asimetris, suatu
kondisi yang disebabkan oleh informasi yang diketahui manajemen
namun tidak ingin untuk mereka ungkapkan. Sulistyanto (2008:21)
menyatakan, semakin besar asimetri informasi semakin besar dorongan
bagi manajer untuk berperilaku oportunis.
Sedangkan menurut Beneish (2001) dalam Oktavia (2010),
membagi earning management menjadi tiga kelompok yakni: (1)
Mengelola penghasilan adalah proses mengambil langkah-langkah yang
disengaja dalam batasan prinsip akuntansi yang berlaku umum untuk
menghasilkan tingkat laba yang ingin dilaporkan. (2) Mengelola laba
dengan tujuan intervensi dalam proses pelaporan keuangan eksternal,
dengan maksud untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. (3) Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian dalam
pelaporan keuangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan
keuangan yang baik untuk menyesatkan beberapa stakeholder tentang
kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan atau untuk mempengaruhi
hasil kontrak yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.
2. Bentuk dan Teknik Manajemen Laba
Ada berbagai bentuk dan teknik yang dapat dimanfatkan oleh
manajer untuk melakukan praktik perataan laba dengan memanfaatkan
kebijakan dan metode akuntansi. Adapun bentuk-bentuk manajemen laba
a. Taking a bath, dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak
menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan.
b. Income minimization, dilkukan saat prusahaan memperoleh
profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian
secara politis. Kebijakan ini bisa diambil berupa pembebanan
pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan
sebagainya.
c. Income maximization, yaitu memaksimalkan laba agar memperoleh
bonus yang lebih besar.
d. Income smoothing, merupakan bentuk manajemen laba yang paling
sering dilakukan dan populer. Lewat income smoothing, manajer akan
menaikkan atau menurunkan laba sesuai keinginannya untuk mengurangi tingkat fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga
perusahaan terlihat stabil dan jauh dari risiko.
Dominasi informasi oleh agen atau manajer menjadi salah satu
kunci penting dalam mendukung manajemen laba. Kurangnya peran
terjun langsung prinsipal dalam perusahaan dan kontrak pendelegasian
tugas membuat manajer memliki kesempatan dalam memainkan
informasi untuk kepentingan pribadinya. Berbagai metode dan teknik
akuntansi dapat dijadikan celah untuk melakukan manajemen laba. Demi
mendapatkan laba optimal, manajer sebagai pengelola perusahaan
setidaknya mereka memiliki kebijakan akuntansi yang paling
menguntungkan bagi mereka (Sulistiawan dkk. 2011:30).
Manajamen laba tidak hanya berkaitan dengan menggembungkan
informasi laba perusahaan namun juga mengecilkan sesuai dengan
kebutuhan manajer untuk memenuhi kepentingannya. Dengan demikian
maka pengungkapan informasi laba dalam laporan keuangan tidak lagi
sesuai kenyataan dan bias.
3. Motivasi Manajemen Laba
Manajemen akan semakin termotivasi untuk berperilaku kreatif
dan oportunis dalam memanfaatkan berbagai metode dan kebijakan
akuntansi ketika mereka memiliki keyakinan dan harapan akan menerima
imbalan atas tindakan kreatifnya tersebut. Menurut Sulistiawan dkk (2011:29), makin tinggi imbalan yang akan didapatkan, makin tinggi juga
ekspektasi yang ditetapkan sehingga motivasi untuk mencapai nilai
tersebut pun makin besar.
Scott (1997:296 membagi cara pemahaman atas manajemen laba
dengan pendekatan motivasinya, yaitu:
a. Bonus Purposes; Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih
perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan
manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985
dalam Rahmawati dkk, 2006).
b. Political Motivation; Manajemen laba digunakan untuk mengurangi
publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang
lebih ketat.
c. Taxation Motivation; berbagai metode akuntansi digunakan dengan
tujuan untuk menghemat pajak pendapatan yang harus dibayarkan
kepada pemerintah.
d. Pergantian CEO; CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung
menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka dan jika
kinerja perusahaan buruk, maka akan memaksimalkan pendapatan
agar tidak diberhentikan.
e. Initial Public Offering (IPO); perusahaan yang akan go public namun
belum memiliki nilai pasar, menyebabkan manajer perusahaan
melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
f. Other Contructual Motivations; insentive untuk manajemen laba
muncul karena adanya skema bonus yang merupakan kontrak antara
perusahaan dan manajernya yang mengatur kompensasi manajemen.
F. Variabel Penelitian 1. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah skala dimana dapat diklasifikasikan
besar kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva,
log size, nilai pasar saham, dan lain-lain (Suwito dan Herawati, 2005).
menyatakan bahwa pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi ke
dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan
menengah (medium-size) dan perusahaan kecil (small firm). Semakin
besar suatu perusahaan maka akan semakin besar pula perhatian pihak
eksternal terhadap prusahaan tersebut. Salah satunya adalah pemegang
saham yang cenderung akan lebih tertarik menanamkan modal pada
perusahaan yang berukuran besar, begitu pula pemerintah yang akan
cenderung membebankan pajak yang besar untuk perusahaan yang besar
pula. Ukuran perusahaan sangat erat kaitannya dengan teori akuntansi
positif yakni political cost hypothesis. Ukuran perusahaan dapat dihitung
menggunakan Ln total aktiva, total aktiva dan nilai pasar saham.
2. Leverage
Leverage adalah perbandingan antara hutang dan aset yang menunjukkan bagian aset yang digunakan untuk menjamin hutang.
Leverage diproksikan dengan debt to total asset yang diperoleh melalui
total hutang dibagi dengan total aktiva. Semakin besar proporsi aset yang
dibiayai dengan ekuitas saham, semakin rendah rasio leverage.
Perusahaan yang berhasil menurunkan rasio leverage yang tinggi dapat
meningkatkan pengembalian atas ekuitas.
Menurut Weston dan Copeland (2009) dalam Dewi
(2010) menyebutkan financial leverage atau disebut juga leverage factor
adalah rasio nilai buku seluruh utang terhadap total aset. Perusahaan yang
yang menguntungkan (favorable financial leverage) atau efek yang
positif, jika pendapatan yang diterima dari penggunaan dana tersebut
lebih besar dari pada beban tetap dari penggunaan dana itu. Financial
leverage merugikan (unfavorable leverage), jika perusahaan tidak dapat
memperoleh pendapatan dari penggunaan dana tersebut sebanyak beban
tetap yang harus dibayar.
Semakin tinggi perusahaan melakukan pembiayaan dengan hutang,
maka akan menambah risiko pada saham biasa dan penggunaan hutang
tersebut akan menciptakan leverage. Leverage tidak mempengaruhi
risiko atau tingkat pengembalian yang diharapkan dari aktiva perusahaan,
tetapi leverage ini akan mendorong risiko dari saham biasa dan
mendorong pemegang saham untuk meminta tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Dengan demikian leverage akan mempengaruhi laba
perlembar saham yang diharapkan perusahaan, risiko laba tersebut dan
mempengaruhi harga saham perusahaan (Pratomo, 2013).
3. Good Corporate Governance (GCG)
a. Gambaran Umum Good Corporate Governance
Forum for Corporate Governane in Indonesia (FCGI) (2002)
dalam Setyawan (2012) mendefinisikan corporate governance dalam
publikasi yang pertama mempergunakn definisi Cadbury Committee,
yaitu: “seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
ekstern lainnya yag berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka,
atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan”. FCGI (2002) juga menyatakan bahwa tujuan dari
corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
(2006), good corporate governance (GCG) diperlukan untuk
mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk terwujudnya
GCG dengan baik maka diperlukan tiga pilar pendukung yang saling
berhubugan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia
usaha sebagai pelaku pasar dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa.
Terdapat empat manfaat yang diberikan corporate governance
(FCGI, 2001), yaitu: (1) meningkatkan kinerja perusahaan melalui
terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik,
meningkatkan efisiensi perusahaan, serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholder, (2) mempermudah diperolehnya dana
pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigit (karena faktor
kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value,
(3) mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan
dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan
shareholders’s value dan dividen.
Keempat hal tersebut baru dapat dirasakan apabila peranan
corporate governance telah berjalan dengan baik di dalam
perusahaan. Untuk dapat memastikan bahwa GCG telah tercapainya
maka diperlukan asas –asas yang diterapkan di setiap aspek bisnis dan
semua jajaran perusahaan. Berikut adalah asas-asas GCG yang
disusun oleh KNKG (2006) di dalam Pedoman Umum Good
Corporate Governance Indonesia, yaitu:
1) Transparansi (Transparancy)
“Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis,
perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yangmudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk
pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya”.
2) Akuntabilitas (Accountability)
“Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya
secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola
secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahan
pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan persyaratan
yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3) Responsibilitas (Responsibility)
“Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam
jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate
citizen”.
4) Independensi (Independency)
“Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain”.
5) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
“Dalam melaksanakan kegitanna, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan”.
b. Kepemilikan Manajerial
Penelitian oleh Christiawan dan Tarigan (2004) dalam
Anggraeni (2013) menyebutkan bahwa kepemilikan manajerial adalah
situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau dengan kata
lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan.
persentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajer. Karena hal
ini merupakan informasi penting bagi pengguna laporan keuangan
maka informasi ini akan diungkapkan dalam catatan atas laporan
keuangan.
Adanya kepemilikan manajerial menjadi hal yang menarik jika
dikaitkan dengan agency theory. Manajer yang sekaligus pemegang
saham akan meningkatkan nilai perusahaan, karena dengan
meningkatnya nilai perusahaan maka nilai kekayaannya sebagai
individu pemegang saham akan ikut meningkat pula. Ditilik dari segi
teori agensi, kepemilikan manajerial dianggap sebagai sebuah solusi
atas permasalahan yang terjadi antara agent dan principal. Selain itu
pemilikan saham atas manajerial perusahaan dilakukan sebagai salah satu upaya penyelenggaraan Good Corporate Governance. Sejajarnya
status manajerial dengan para investor diharapkan dapat mengurangi
permasalahan oportunistik perekayasaan pelaporan keuangan. Dengan
terciptanya Good Corporate Governance ini dapat menjadi langkah
menekan angka perataan laba.
Dari sudut pandang teori akuntansi, perataan laba sangat
ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda
akan menghasilkan besaran perataan laba yang berbeda, seperti antara
manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer
yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan
akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap
metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka
kelola. Dengan kata lain, presentase tertentu terhadap kepemilikan
saham oleh pihak manajemen, cenderung mempengaruhi tindakan
perataan laba.
c. Kepemilikan Institusional
Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham
perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti
perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan
institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam
memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh
institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Pengawasan inilah yang diharapkan dapat mencegah dan
mengurangi tindakan perataan laba yang dengan demikian dapat
tercapainya Good Corporate Governance.
Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran
untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai
agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar
dalam pasar modal. Usaha inilah yang dipandang baik sebagai salah
satu cara melibatkan pihak eksternal untuk menciptakan Good
Corporate Governance pada perusahaan. Para investor institusional
mempunyai kesempatan, sumber daya dan kemampuan untuk
manajer perusahaan dalam hal tindakan oportunistik manajemen
(Chung et al. Dalam Purwandari, 2011).
d. Dewan Komisaris
KNKG (2006) mendefinisikan dewan komisaris sebagai organ
perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif
untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi
untuk memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan praktik
Good Corporate Governance (GCG). Namun demikian, dewan
komisaris tidak boleh ikut serta dalam pengambilan keputusan
operasional perusahaan. Kedudukan masing-masing angggota dewan
komisaris adalah setara dan tugas Komisaris Utama adalah
mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris (primus interpares). Salah satu prinsip corporate governance adalah menyangkut
peranan dewan komisaris, sedangkan bentuk dewan komisaris
tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua sistem
hukum yang biasa dianut, yakni Anglo Saxon dan Kontinental Eropa
(FCGI, 2001). Sistem Hukum Anglo Saxon adalah sistem satu tingkat
atau one tier systemyang diterapkan di negara Amerika dan Inggris.
Sistem hukum ini mempunyai satu dewan direksi dalam perusahaan
yang merupakan kombinasi antara manajer dan pengurus senior
(direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan
prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif). Berbeda dengan sistem
system yang diterapkan di Indonesia. Sistem hukum ini mempunyai
dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan
dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola
dan mewakili perusahaan sesuai dengan pengarahan dewan komisaris.
e. Komite Audit
Komite audit menurut Kep. 29/PM/2004 merupakan komite
yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas
pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit
merupakan salah satu komponen penting untuk terciptanya good
corporate governance. Bahkan untuk menilai pelaksanaan GCG
dalam perusahaan maka diperlukan komite audit sebagai salah satu
aspek dalam kriteria penilaian.
Menurut FCGI (2002), komite audit mempunyai tanggung
jawab pada tiga bidang, yaitu:
1) Laporan keuangan (financial reporting)
Tanggung jawab untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang
dibuat oleh manajemen telah memberikan gambaran yang
sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usahanya, serta rencana
dan komitmen jangka panjang perushaan.
2) Tata kelola perusahaan (corporate governance)
Tanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah
dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yag berlaku, etika
benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh
karyawan perushaan.
3) Pengawasan perusahaan (corporate control)
Tanggung jawab dalam pemahaman tentang masalah serta hal-hal
yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian intern
serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor
internal.
Dalam pelaksanaan tugasnya, komite audit dengan proporsi
anggota eksternal yang cukup besar dan dengan pengetahuan serta
pengalaman berkaitan dengan perusahaan perusahaan dan
keuangannya diharapkan dapat mengurangi praktik manajemen laba
dalam perusahaan (Purwandari, 2011). Ukuran komite audit dijelaskan dalam keputusan Direksi BEJ nomor: KEP-399/BEJ/07-2001
Peraturan Pencatan Efek Nomor 1-A Huruf C, yaitu keanggotaan
komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang anggota,
seorang di antaranya merupakan komisaris independen perushaan
tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit,
sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen
dimana sekurang-kurangnya satu di antaranya memiliki kemampuan
dibidang akuntansi atau keuangan (Ahmar dan Kurniawan, 2007
dalam Purwandi 2011).
Perusahaan yang memiliki nilai pasar yang tinggi akan cenderung
untuk melakukan perataan laba, karena perusahaan akan cenderung
menjaga konsistensi labanya agar nilai pasar perusahaan tetap tinggi
sehingga dapat lebih menarik arus sumber daya ke dalam perusahaannya.
Semakin tinggi nilai perusahaan maka perusahaan akan cenderung untuk
melakukan praktik perataan laba karena dengan melakukan perataan laba
variabilitas laba dan risiko saham dari perusahaan akan semakin
menurun.
Ada beberapa istilah nilai yang pengertiannya berbeda-beda untuk
mengungkapkan nilai suatu perusahaan (Supriyanto, 2010) yaitu:
a. Nilai likuidasi (liquidation value) adalah jumlah uang yang dapat
direalisasi jika aset atau perusahaan dijual secara terpisah dari organisasi perusahaan.
b. Nilai kelanjutan (going-concern value), nilai kelanjutan
didasarkan pada nilai penjualan perusahaan dan dapat digunakan
untuk melanjutkan operasi perusahaan sehingga perusahaan dapat
memperoleh arus kas yang positif.
c. Nilai buku (book value) diartikan sebagai nilai aset tetap
dikurangi akumulasi depresiasi seperti yang tertera pada neraca
sebuah perusahaan.
d. Nilai pasar (market value), nilai pasar suatu sekuritas yang secara
aktif diperdagangkan merupakan harga terakhir yang dilaporkan
e. Nilai intrinsik (intrinsic value), nilai intrinsik suatu sekuritas
menunjukkan ekonomisnya.
5. Praktik Perataan Laba
Perataan laba merupakan normalisasi laba yang dilakukan secara
sengaja untuk mencapai trend atau level laba tertentu (Belkaoui, 1993
dalam Rahmawati,2012:21). Perataan laba merupakan tindakan yang
dilakukan untuk mengurangi validitas laba yang dilaporkan agar dapat
mengurangi risiko pasar atas saham perusahaan, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan harga saham perusahaan (Meiliani, 2011:12).
Koch (1981) dalam Subekti (2005:224) mendefinisikan perataan
laba sebagai cara yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi
fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang diinginkan baik secara artifisial (melalui metoda akuntansi) maupun secara riil
(melalui transaksi).
Tindakan perataan laba sengaja dilakukan manajemen untuk
mencapai posisi laba yang diinginkan dalam laporan laba rugi perusahaan
guna menarik minat pasar dalam berinvestasi, karena perhatian investor
seringkali hanya terpusat pada prosedur yang digunakan perusahaan
untuk menghasilkan informasi laba tersebut (Subekti, 2005 dalam
Noviana dan Yuyetta, 2011:71).
Praktik perataan laba dilakukan supaya informasi laba yang
disampaikan tidak terlalu berfluktuasi sehingga resiko keuangan akan
adalah perbandingan antara hutang dan aktiva yang menunjukkan berapa
bagian aktiva yang digunakan untuk menjamin hutang. Selain itu dalam
penelitiannya, Noviana dan Yuyetta mengutip penelitian Suranta dan
Merdiastuti (2004) yang menyimpulkan bahwa pemilihan kebijakan
akuntansi (perataan laba) dilakukan untuk menghindari pelanggaran atas
perjanjian utang, sehingga perusahaan yang memiliki risiko keuangan
yang tinggi akan cenderung melakukan perataan laba agar terhindar dari
pelanggaran kontrak atas perjanjian utang.
Juniarti dan Corolina (2005:150) mengutip beberapa penelitian
terdahulu dan menemukan ada berbagai macam tujuan yang ingin dicapai
oleh manajemen dalam perataan laba. Kelima tujuan yang ingin dicapai
manajemen yaitu (1) mencapai keuntungan pajak (Hepworth, 1953) (2) untuk memberikan kesan baik dari pemilik dan kreditor terhadap kinerja
manajemen (Stolowy dan Breton, 2000:60), (3) mengurangi fluktuasi
pada pelaporan laba dan mengurangi risiko, sehingga harga sekuritas
yang tinggi menarik perhatian pasar (Bleidernan, 1973), (4) untuk
menghasilkan pertumbuhan profit yang stabil (Fudenberg dan Tirole,
1995), dan (5) untuk menjaga posisi/kedudukan mereka dalam
perusahaan (Spohr, 2004:2).
Dascher dan Malcom (1970) dalam Subekti (2005:224-225)
a. Real smoothing, yaitu merupakan suatu transaksi yang sesungguhnya
untuk dilakukan atau tidak dilakukan berdasar pengaruh perataan pada
laba.
b. Artificial smoothing, yaitu merupakan perataan laba dengan
menerapkan prosedur akuntansi untuk memindahkan biaya dan/atau
pendapatan dari suatu perioda ke perioda lainnya.
Selain dua tipe yang disampaikan oleh Dascher dan Malcom, ada
beberapa dimensi lain dari perataan laba yang sering disinggung dalam
beberapa literatur. Barnes et.al (1976) dalam Ghozali dan Chariri
(2003:232), membedakan tiga dimensi income smoothing, yaitu:
a. Perataan melalui terjadinya peristiwa dan/atau pengakuan peristiwa
Manajemen dapat menentukn waktu terjadinya transaksi aktual sehingga pengaruh transaksi tersebut terhadap laba yang dilaporkan
cenderung rata sepanjang waktu.
b. Perataan melalui alokasi sepanjang periode
Atas dasar terjadinya dan diakuinya peritiwa tertentu, manajemen
memiliki media pengendalian tertentu dalam penentuan laba pada
periode yang terpengaruh oleh kuantifikasi peristiwa tersebut.
c. Perataan melalui klasifikasi (clasification smoothing)
Jika angka-angka dalam laporan laba selain laba bersih merupakan
obyek dari perataan laba, maka manajemen dapat dengan mudah
mengklasifikasikan elemen-elemen dalam laporan laba rugi sehingga
F. Perumusan Hipotesis Penelitian
1. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Perataan Laba
Ukuran perusahaan merupakan ukuran yang menunjukkan besar
kecilnya suatu perusahaan. Ukuran besar kecilnya perusahaan dapat
dinilai dengan berbagai cara diantaranya dengan menilai total penjualan,
total aktiva dan laba yang dihasilkan. Umumnya perusahaan dikatakan
besar apabila memiliki nilai aktiva yang besar pula sehingga dapat
menarik minat investor dalam menanamkan modal investasinya ke dalam
perusahaan tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan Sartono (2004)
serta (Nasser dan Herlina, 2003:269) dalam Rahmawati (2012:29) yang
menyatakan bahwa variabel yang digunakan untuk mengukur ukuran perusahaan adalah total aktiva yang dimiliki perusahaan.
Perusahaan besar cenderung akan menjadi subjek perhatian bagi
para analis, investor, maupun pemerintah. Oleh karena itu, perusahaan
besar cenderung akan lebih berhati-hati dalam menyiapkan laporan
keuangan mereka. Perusahaan besar diperkirakan akan menghindari
fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab dengan naiknya laba akan
mengakibatkan kenaikan pajak. Sebaliknya apabila terjadi penurunan laba
yang drastis maka akan membuat image perusahaan menjadi kurang baik
dan kurang diminati untuk investasi (Nasser dan Herlina, 2003:295).
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Junairti dan
memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan
perataan laba.
Rumusan hipotesis berdasarkan teori di atas dan penelitian terdahulu yaitu:
H1 = ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap praktik perataan
laba.
2. Pengaruh Leverage Terhadap Perataan Laba
Financial leverage menunjukkan proporsi kemampuan perusahaan
dalam penggunaan utang untuk membiayai investasi perusahaannya.
Leverage merupakan hal penting dalam struktur modal perusahaan.
Sartono (2001) mengungkapkan bahwa leverage operasi adalah
penggunaan sumber dana yang dimiliki biaya tetap dengan harapan akan
memberikan tambahan keuntungan yang lebih bedar dari biaya tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan.
Sedangkan menurut Weston dan Copeland (1996) menyebutkan
financial leverage atau disebut juga leverage factor adalah rasio nilai
buku seluruh hutang terhadap total aktiva. Perusahaan dengan leverage
operasi yang rendah mempunyai risiko yang kecil bila perekonomian
dalam keadaan menurun, namun perusahaan tersebut juga memiliki laba
yang rendah bila peekonomian dalam keadaa membaik (Erina, 2007:11).
Sebaliknya, apabila perusahaan mempunyai leverage operasi yang tinggi
maka akan memiliki resiko menderita kerugian yang besar bila kondisi
peekonomian menurun, akan tetapi juga mempunyai kesempatan yang
keadaan baik. Biasanya investor enggan menghadapi risiko sehingga hal
ini membuat manajer melakukan praktik perataan laba supaya leverage
operasi menjadi rendah.
Rumusan hipotesis berdasarkan teori di atas dan penelitian terdahulu
yaitu:
H2 = leverage berpengaruh positif terhadap praktik perataan laba.
3. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Perataan Laba
Kepemilikan manajerial merupakan ukuran yang dipakai untuk
mengukur pengaruh Good Corporate Governance terhadap praktik
perataan laba. Penelitian Ujiyantho dan Agus Pramuka (2007) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif secara
signifikan terhadap manajemen laba. Sama halnya dengan penelitian
yanag dilakukan oleh Widyastuti (2009) dalam Yuventia (2012) yang
menyatakan bahwa struktur kepemilikan manajerial berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba.
Ketika manajemen memiliki struktur modal dalam perusahaan
maka mereka akan cenderung menunjukkan kondisi keuangan yang
sebenarnya. Hal ini disebabkan mereka tidak hanya berlaku sebagai
manajemen tetapi juga sebagai pemegang saham atau stakeholder yang
memiliki kepentingan yang sama akan laporan keuangan. Kegiatan
kepentingan pribadi yang dapat berpengaruh terhadap integritas dan
keaslian laporan keuangan dapat ditekan dengan cara ini.
Memperbesar kepemilikan saham kepada pihak manajemen
merupakan salah satu cara mengurangi konflik kepentingan, yakni
ketidaksejajaran kepentingan antara manajemen dan pemegang saham.
Dengan demikian apabila posisi manajemen sudah sejajar dengan para
pemegang saham maka mereka akan cenderung berusaha lebih giat untuk
kepentingan stakeholder yang tidak lain juga adalah manajemen
(Ariyuni, 2008).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait
dengan pengaruh kepemilikan manajerial dengan manajemen laba, maka
diduga bahwa kepemilikan manajerial juga akan berpengaruh negatif terhadap perataan laba. Hal tersebut disebabkan perataan laba merupakan
salah satu aktivitas dari manajemen laba, sehingga ada arah yang positif
atau sejalan antara manajemen laba dengan perataan laba. Dengan begitu
korelasi antara kepemilikan manajerial dengan perataan laba diduga
cukup kuat memiliki pengaruh negatif.
Rumusan hipotesis berdasarkan teori di atas dan penelitian terdahulu
yaitu:
H3 = Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap praktik
perataan laba.
Melihat pengaruh proporsi komisaris independen dalam dewan
komisaris perusahaan terhadap praktik perataan laba merupakan cara
yang dipakai untuk mengukur pengaruh Good Corporate Governance
terhadap praktik perataan laba. Penelitian yang dilakukan oleh Chtourou
et. al (2001) dalam Yuventia (2012) menemukan bahwa dewan komisaris
independen berpengaruh negatif secara signifikan terhadap manajemen
laba. Hal ini mengindikasikan bahwa anggota dewan komisaris yang
berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mengurangi
tindakan manajemen laba. Tindakan manajemen laba yang harus
dikurangi dan ditekan adalah kegiatan oportunistik yang sering dilakukan
oleh pihak manajerial yang dapat mengurangi nilai informasi laporang
keuangan yang sesunguhnya.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Herni dan Susanto (2008)
dalam Purwandari (2011) menyimpulkan bahwa proporsi komisaris
independen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tindakan
perataan laba oportunis dimana semakin besar proporsi dewan komisaris
independen perusahaan, maka akan semakin tinggi perusahaan
melakukan tindakan perataan laba yang bersifat efisien. Artinya adalah
bahwa tindakan manajemen laba yang dilakukan secara oportunis oleh
manajemen akan berkurang. Hal ini dikarenakan tugas dan tanggung
jawab komisaris independen yang bekerja sebagai pengawas dan