Sumber: Bank Indonesia, 2013
Rasio penerimaan pajak Indonesia yang bahkan lebih rendah dari rata-rata rasio penerimaan pajak negara miskin ini menunjukkan adanya masalah yang mendasar dalam kapasitas pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara. Akan tetapi ditinjau dari sudut pandang positif, bila persoalan tersebut dibenahi maka potensi penerimaan pajak di Indonesia sangatlah tinggi. Berdasarkan kalkulasi IMF, kapasitas penerimaan pajak Indonesia kini hanya mendekati 60%.79 Artinya,
potensi penerimaan pajak yang hilang mencapai 40% atau sekitar Rp 413 triliun pada tahun 2012. Pada tahun 2012 rasio penerimaan pajak Indonesia baru mencapai 12,3% jika dihitung dari total penerimaan pajak pemerintah pusat atau 13,3% jika dimasukkan penerimaan pajak
daerah.80 Padahal IMF dikenal sebagai lembaga yang konservatif. Artinya
kalkulasi dari potensi ini pun masih tergolong minimal. Merujuk rata- rata rasio pajak negara pendapatan menengah-bawah seperti Indonesia, potensi pajak yang masih bisa digali sebenarnya bisa mencapai Rp 512 triliun.81 Naiknya tingkat pendapatan Indonesia sebagai negara
dengan kategori “negara pendapatan menengah”, seharusnya diikuti secara proporsional dengan tingkat kemampuan penerimaan pajak. Apabila “selisih pajak” (tax gap) yaitu perbandingan antara potensi dan penerimaan pajak sangat besar, maka pembenahan sistem, institusi dan kebocoran adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan untuk mengatasi permasalahan mendasar anggaran dan belanja negara.
Rendahnya penerimaan pajak akan memberikan konsekuensi yang nyata yaitu makin bertambahnya utang untuk melakukan pembiayaan dalam pembangunan. Kecenderungan yang terjadi dari tahun ke tahun, utang Indonesia hampir selalu lebih besar daripada pembayaran utang yang dilakukan sehingga jumlah utang itu akan berakumulasi dan menumpuk. Di tahun 2013 (sampai bulan Juni), utang Indonesia mencapai 1332,633 miliar dolar AS dan jika besaran utang tersebut dibagi berdasarkan jumlah penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 250 juta penduduk, maka tiap warga negara Indonesia memikul beban utang sekitar Rp 10 juta. Pemerintah selalu menyampaikan bahwa rasio utang Indonesia saat ini seringkali dikatakan aman karena masih di bawah 30% dari PDB. Pernyataan ini mesti disampaikan lebih hati- hati, karena besarnya utang seharusnya perlu dikaitkan pula dengan kemampuan perolehan pendapatan. Logika sederhananya, meski utang relatif tidak besar namun apabila tingkat pendapatan atau kemampuan membayar rendah tentu saja tetap mengkhawatirkan.82
Hal ini yang membedakan dengan negara-negara maju. Negara- negara seperti Jerman, Swedia, Finlandia, Belanda, dikategorisasi
80 “Rasio Pajak Indonesia Lebih Rendah Dari Negara Berpenghasilan Rendah”, Diakses dari http://wartaekonomi.co.id/berita21685/rasio-pajak-indonesia-lebih- rendah-dari-negara-berpenghasilan-rendah.html
81 Sri-Edi Swasono et al, “Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk”, hal. 2 82 Ibid.
sebagai negara dengan peringkat peminjam utang terbaik dalam predikat AAA oleh Standard and Poor.83 Hal ini disebabkan kemampuan
membayar utang mereka sangat baik sekalipun utang mereka bisa mencapai 40% hingga 80% dari PDB mereka. Rasio penerimaan pajak negara-negara tersebut berkisar antara 37% hingga 47% terhadap PDB yang mencapai 3 kali lipat dari rasio pajak di Indonesia. Implikasinya, negara-negara Eropa tersebut dikenakan bunga yang relatif kecil karena mereka mampu membayar utang dengan baik dan risiko gagal bayarnya kecil, sementara negara yang tidak bisa membayar utang dengan baik, seperti Indonesia yang hanya mendapatkan predikat BB+, bunga yang diberikan tinggi. Bahkan negara tetangga saja, Malaysia dan Thailand, peringkat peminjaman utangnya lebih baik dari Indonesia, di mana Malaysia berpredikat A- dengan utang 54% terhadap PDB dan Thailand dengan predikat BBB+ dengan utang 44% terhadap PDB. Akan tetapi rasio pajak kedua negara ini mencapai 19%, jauh lebih besar daripada Indonesia.
Kelemahan dalam pembiayaan ini tentunya menjadi tanggung jawab negara melalui Kementerian Keuangan yang menjadi bendahara negara. Para analis ekonom menilai sebenarnya negara tidak perlu berutang jika potensi pajak dalam negeri bisa dioptimalkan dengan baik. Ketidakmampuan negara dalam mengumpulkan pajak ini mengakibatkan Indonesia selalu terpuruk dalam jebakan utang
(debt trap). Indonesia sebenarnya bisa menghindari kondisi tersebut
asalkan pengumpulan pajak bisa diperbaiki. Jika rasio penerimaan pajak setidaknya menyamai rasio negara-negara miskin, maka akan didapatkan tambahan penerimaan pajak sekitar Rp 130 triliun. Dengan hanya berhemat Rp 4 triliun, praktis tambahan utang tahun ini yang
83 Standard and Poor memberikan kategori rating : AAA = peringkat peminjam terbaik dalam memenuhikewajiban
keuangan, AA = sangat kuat dalam memenuhi kewajiban keuangan, namun lebih rendah dari AAA, A = kapasitas kuat, namun situasi ekonomi dapat mempengaruhi kondisi keuangan, BBB = peringkat menengah, saat ini kondisi memuaskan, BB = rentan terhadap perubahan ekonomi, B = situasi keuangan
bervariasi perlu diperhatikan, CCC = rentan dan tergantung pada situasi ekonomi, bisnis dan keuangan untuk memenuhi kewajiban, dll. Keterangan dan data ini merujuk dari tulisan Sri-Edi Swasono dkk.
mencapai Rp 134 triliun tak diperlukan lagi.84 Apabila menggunakan
acuan kalkulasi IMF atau rasio pajak negara-negara menengah bawah, Indonesia bahkan bisa memperoleh penerimaan pajak jauh lebih besar. Potensi penerimaan pajak bahkan masih bisa digenjot hingga lebih dari Rp 500 triliun pada tahun 2012. Artinya bukan hanya tak perlu tergantung pada utang, Indonesia bahkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan potensi domestik sendiri.
Jika berbicara pajak sebagai instrumen kesejahteraan dan keadilan, terjadi kejanggalan di Indonesia. akumulasi kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia yang setara dengan 10,3% PDB atau kekayaan 60 juta penduduk.85 Apabila melihat kesenjangan yang begitu tinggi, sesuai asas
keadilan maka besarnya beban pajak seharusnya mengikuti tingginya pendapatan/kekayaan. Artinya, semakin mampu dan kaya seseorang maka proporsi pajak yang dipungut seharusnya lebih tinggi. Akan tetapi, kenyataan di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Kelompok kaya justru membayar pajak jauh lebih kecil dari kelompok menengah- bawah. Hal itu terlihat pada realisasi APBN 2010. Penerimaan pajak yang berasal dari pajak penghasilan pegawai/karyawan (PPh Pasal 21) mencapai Rp 55,3 triliun, akan tetapi pajak penghasilan pribadi non pegawai/karyawan atau pengusaha hanya Rp 3,6 triliun (PPh Pasal 25/29). Ini jelas tidak adil karena para pemilik usaha yang masuk kategori orang kaya (high wealth individuals) justru membayar pajak jauh lebih kecil. Hal ini tentunya menyebabkan makin timpangnya kesenjangan yang terjadi di Indonesia yang ditunjukkan melalui grafik koefisien gini di bawah ini.
84 Sri-Edi Swasono et al, “Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk”, hal. 3 85 “Kemiskinan Melonjak, Jurang Kesenjangan Melebar”, Prakarsa Policy Review,