• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grafiti dan perkembangannya

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 34-49)

BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA

B. Grafiti dan perkembangannya

Grafiti berasal dari bahasa Italia “graffito–grafiti” (bentuk plural/jamak) yang didefinisikan sebagai coretan atau gambar yang digoreskan pada dinding atau permukaan apa saja. Dalam dunia seni rupa, istilah ini diambil dari kata “graffito” yang merupakan nama teknik menggores pada keramik sebelum dibakar dan membuat desain pada suatu permukaan dengan benda tajam atau kapur (biasanya digunakan saat membuat mural atau fresco). Selain itu, graffito juga dianggap berkaitan dengan graphein (Yunani) yang berarti

menulis.5

Di Indonesia, Menurut Soedarso, goresan gambar yang tertua ditemukan di dinding gua Pattae Kere, yang terletak di daerah Maros, Sulawesi Selatan (kebudayaan Toala, Mesolitikum, c.4000 tahun yang lalu). Gambar pada gua itu sangat berbeda dari gambar hiasan dinding buatan jaman purba yang biasanya bertujuan untuk memperindah tempat

5

"Graffiti" is the plural of "graffito", which singular form has become relatively little-known in English. The term is applied in art history to art works made by scratching a design into a surface. A related term is "sgraffito" — a way of creating a design by scratching through one layer of pigment to reveal another beneath it. These English words come from Italian, most likely being descended from "graffiato"

("scratched"), as ancient graffitists — before the modern advent of spray-paint — scratched their work into walls using sharp objects, chalk or coal, as in murals or frescoes. All these terms derive in turn from the Greek "γράφειν" ("graphein"), meaning "to write" — most literally, "to inscribe"

http://www.etymonline.com/index.php?search=paste&searchmode=none Online Etymology Dictionary (diakses 17 Oktober 2007).

tinggal manusia yang mendiaminya. Gambar tersebut bermakna lebih dalam, yaitu mengandung pesan pengharapan (wishful painting).6 Terlepas dari tujuan pembuatannya, jika diperhatikan dari cara atau teknik membuatnya (goresan) gambar pada gua itu dapat dikategorikan termasuk grafiti.

Gambar 1. Grafiti pada dinding gua.

Lokasi: gua Jati Jajar, Gombong, Jawa Tengah (Foto: dok. penulis, 2005)

Goresan berbentuk tulisan yang berusia cukup tua dan masih dapat terbaca jelas dapat dilihat pada dinding gua Jati Jajar, yang merupakan objek wisata di Gombong, Jawa Tengah. Menurut petugas jaga, tulisan tersebut merupakan coretan nama orang yang pernah berkunjung ke gua itu. Angka tahun tertua pada goresan itu tertulis tahun 1926, dan yang paling baru tahun 1981.

6

Soedarso Sp. 2006. Trilogi Seni, Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.p. 3. dijelaskan pengharapan yang dimaksud ialah agar jika berburu akan mendapat buruan sebagaimana tergambar. Maka menilik motivasi pembuatannya gambar itu bukan seni, karena dilahirkan atas maksud untuk memenuhi hasrat hidupnya.

Dari pengamatan yang dilakukan pada tulisan di gua Jati Jajar diperkirakan bahwa maksud orang pertama membuat goresan tersebut adalah agar keberadaannya pernah berkunjung di tempat itu diketahui. Namun tanpa disadari, tindakan itu ternyata menular dan ditiru oleh orang-orang yang berkunjung sesudahnya, dengan menuliskan nama mereka di atas nama yang terdahulu. Penularan ini tentu saja tanpa disadari oleh pembuat yang pertama karena terjadi begitu saja. Hampir serupa dengan kejadian di atas, pola penularan atau peniruan yang sama juga terjadi dalam perkembangan grafiti dimasa sekarang.

Gerakan membuat grafiti secara massal pernah terjadi di Indonesia. Gerakan tersebut terjadi bukan bertujuan untuk mengembangkan kesenian, melainkan untuk mengobarkan semangat juang rakyat mengusir penjajah Belanda di tahun 1945. Pada waktu itu, hampir semua sudut kota di Indonesia dipenuhi grafiti yang berisi pesan-pesan yang mampu mengobarkan semangat berjuang. Beberapa seniman yang tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi),7 bahu-membahu bersama para pejuang lain untuk mengangkat senjata sekaligus tetap berkarya.8

Di masa perjuangan kemerdekaan tahun 1945, penempelan poster-poster maupun gambar mural pada tembok luar ruang dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan propaganda perjuangan agar dapat dipahami dan diterima masyarakat luas. Selain seniman Persagi, poster-poster juga dibuat oleh Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) yang didirikan pada tahun 1945 oleh Djajengasmoro dan beberapa temannya. Kelompok ini membuat sejumlah poster dan spanduk dengan keyakinan bahwa ”Cat, pensil dan kertas

7

Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) didirikan tahun 1933. Pelopor: Soedjojono, Agus Djaya dan lain-lain.

8

FX Harsono (2002), “Kerakyatan dalam Seni Lukis Indonesia: Sejak Persagi hingga Kini” dalam: Politik dan Gender, Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta.p.60.

akan bersama-sama dengan pelor-pelor dan kata-kata diplomasi mengusir sisa-sisa penjajahan”.9

Gambar 2.

Grafiti pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945.

(Foto diambil dari: Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemuda, Jakarta :Sinar Harapan)

Di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno berkali-kali mengalami pergantian Undang-Undang Dasar, sistem politik, dan susunan kabinet. Pergantian-pergantian ini terkadang memicu timbulnya aksi penolakan, atau sebaliknya dukungan, dari organisasi politik maupun militer. Dalam aksi tersebut, digunakanlah poster sebagai media yang berisi ajakan atau propaganda yang ditujukan kepada masyarakat. Poster-poster tersebut ditempelkan pada tembok-tembok kota, terutama di tempat yang dianggap strategis. Hal ini dilakukan agar mampu menarik perhatian umum sehingga pesan yang dikandungnya bisa tersampaikan dengan lebih efektif. Hal yang sama juga dilakukan pada masa Orde Baru. Penempatan karya di ruang publik, berupa poster dan baliho berukuran raksasa, dilakukan untuk menyampaikan pesan propaganda politik atau pesan pembangunan yang ditetapkan pemerintah kepada masyarakat luas.

9

Di kota Yogyakarta, baliho-baliho raksasa tersebut sering diletakkan di depan kantor pos besar (dekat Alun-alun Kraton Yogyakarta) dan beberapa tempat strategis yang lain. Baliho-baliho besar itu dibuat oleh beberapa sanggar seniman atas pesanan pemerintah. Sanggar yang populer, sering mengerjakan baliho besar adalah Seniman Merdeka yang berlokasi di jl. Ontoseno, Wirobrajan. Beberapa pelukis yang tergabung adalah alumnus dan mahasiswa Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta yang terletak tidak begitu jauh dari lokasi studio. Tidak ada tujuan lain dari penempatan poster tersebut di ruang publik selain keinginan untuk menyampaikan pesan secara langsung dan sebagai pilihan media untuk menjangkau audience yang lebih luas.10 Dari perkembangan grafiti ini agaknya pemerintah menyadari bahwa gambar dapat digunakan sebagai alat propaganda yang cukup efisien untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai, disisi lain hal ini juga menguntungkan pelukis karena mendapat pesanan pekerjaan.

Keberadaan grafiti dijalanan mulai marak di Indonesia memasuki tahun 1980-an, tepatnya seiring dengan merebaknya pengaruh tarian breakdance dan gank dikalangan

anak muda. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia, di Amerika pada tahun 1970-an grafiti di1970-anggap sebagai bentuk seni baru (ekspresi visual) y1970-ang tumbuh pada kehidup1970-an masyarakat urban dan dalam perkembangannya tidak terpisahkan dengan budaya hip-hop, Master of Ceremony (MC), Disc Jockey (DJ) dan breakdance. Selain sebagai perwujudan

ekspresi visual, grafiti juga dianggap sebagai simbol anti kemapanan oleh kelompok beraliran Punk yang juga tumbuh dimasa yang sama. Kepopuleran grafiti di Amerika semakin menanjak ketika tahun 1971, surat kabar New York Times menulis sebuah artikel tentang seseorang yang yang sering membuat grafiti di jalan-jalan kota New York dengan inisial “TAKI 183” (183rd adalah alamat rumah) bernama Demeritius (Demetraki). Artikel

ini berjudul TAKI183 Spawns Pen Pals. Meski Demeritius bukan seniman grafiti pertama di Amerika, tetapi dia dikenal sebagai seniman grafiti pertama yang dibicarakan oleh lingkungan di luar lingkar budaya hip-hop.11 Inisial “Taki” ini kemudian digunakan menjadi istilah tag dalam dunia grafiti yang berarti inisial atau singkatan nama. Sedangkan membuat inisial biasa disebut tagging.12

Di Jakarta, kelompok-kelompok breakdance dan gank mewabah hingga ke pelosok kampung. Kelompok-kelompok ini menunjukkan eksistensinya melalui festival breakdance dan grafiti yang memang banyak diadakan saat itu. Mewabahnya kelompok

tersebut menyebabkan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta kerepotan dan memutuskan untuk menyediakan ruang khusus di parkir timur Senayan sebagai ajang breakdance setiap Sabtu malam. Perkembangan ini kemudian meluas juga ke kota-kota

lainnya termasuk Yogyakarta.

Di Yogyakarta, pada masa Reformasi tahun 1998, penggunaan grafiti sebagai teknik penyampaian pesan politik kembali merebak. Aksi-aksi grafiti tersebut dipelopori oleh anggota dan simpatisan Partai Rakyat Demokratik (PRD).13 Grafiti-grafiti tersebut ditulis di sepanjang tembok jalan yang strategis gampang terlihat.

10

FX. Harsono,(2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik, http://www.karbonjournal.org

11

http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times (scanned in PDF-format). Lebih lanjut lihat, Mengenal Aksi Seniman Urban, http://www.art-ysri.or.id/ senirupa.asp?xy=20, disebutkan juga menurut penulis Andrea Ruttan, Demetrius dianggap sebagai seniman pertama di bidang seni penulisan dinding yang mencerminkan faktor-faktor kedaerahan dan gaya individual tersebut. (diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)

12

The verb tagging has even become a popular verb today in other types of occasions that are non-graffiti-related. TAKI 183 is officially credited as the inventor of tags in modern graffiti, lihat:

http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times(diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)

13

Wawancara dengan Kiswondo (38 tahun), seorang aktivis angkatan 1990-an. Wawancara dilakukan tanggal 21 Mei 2007.

Pesan yang disampaikan pada tulisan tersebut lebih banyak berisi seruan perlawanan politik terhadap kekuasaan otoriter rezim Orde Baru, daftar tuntuan dan agenda politik, serta seruan perlawanan terhadap kapitalisme. Kini, aksi-aksi tersebut terus berlangsung dan tidak lagi hanya dilakukan oleh PRD, tetapi hampir sebagian besar organisasi, lembaga maupun individu dengan maksud dan tujuan masing-masing, baik secara terang-terangan (dengan mencantumkan nama) atau anonim.

Gambar 3.

Grafiti saat reformasi 1998, lokasi : Depan wisma MM UGM

(Foto: dok. penulis, 1998)

Selain grafiti politik, juga bermunculan poster, baliho, dan stiker. Sebagai contoh pada saat menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1999, dibeberapa ruang kosong banyak ditemukan tempelan-tempelan poster maupun stiker yang terkadang berisikan tulisan yang memojokkan lembaga atau organisasi politik. Biasanya tempelan-tempelan seperti itu tidak tercantum siapa yang membuat.

Grafiti politik mempunyai muatan propaganda tentang hal yang diperjuangkan pembuatnya. Terlepas apakah efesien atau tidak, memperjuangkan tuntutan dengan cara

itu, propaganda dalam pandangan masyarakat mempunyai nilai negatif. Tertulis dalam banyak catatan sejarah bahwa propaganda telah dipakai oleh sejumlah negara dalam berperang melawan bermacam-macam ideologi demi kepentingannya masing-masing; fasisme di Italia (1922), Jerman (1933), Spanyol (1933), dan Jepang (1930-an). Pada situasi perang atau politik yang memanas, propaganda berfungsi seperti senjata, bahkan sering dijadikan strategi untuk menekan musuh atau saingan politik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Gambar 4.

Poster, berbentuk Stiker yang beredar di jalanan

beberapa kota besar Indonesia selama masa kampanye Pemilu 1999. (Foto dokumentasi penulis 1999)

Apa yang disajikan propaganda belum tentu sesuai kenyataan, atau malah sebuah kenyataan yang disampaikan bisa saja dianggap sebagai propaganda yang memojokkan pihak yang terpojok (black propaganda). Oleh media, propaganda sering digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan pandangan atau yang dirasakan masyarakat (memutarbalikkan fakta). Cara ini biasanya ditunggangi oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan tertentu. Kenyataan tersebut menyebabkan kata “propaganda”

cenderung lebih dikonotasikan negatif daripada positif (peyoratif).14 Propaganda membidik dengan cara atau metode untuk memengaruhi opini masyarakat, bukannya menyampaikan fakta yang sebenarnya tentang sesuatu. Misalnya, propaganda digunakan untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi (dalam kampanye), menawarkan sesuatu agar dibeli oleh masyarakat (dalam jual-beli), atau untuk mengenalkan produk baru pada calon konsumen melalui iklan (dalam pemasaran).

Grafiti, tag, poster, stiker yang bermuatan politik dan tidak, semua berkembang

bersama di Yogyakarta hingga sekarang. Perkembangan ini mengikuti banyaknya individu pelaku seni jalanan, kelompok-kelompok aktivis dan komunitas seni jalanan yang semakin banyak tumbuh. Beragam karya seni jalanan saat ini semakin mudah ditemukan disetiap pojok sisa ruang di jalan. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku seni jalanan di Yogyakarta berjumlah banyak dan dari bentuk visualnya dapat diketahui ada banyak (beragam dan berbeda-beda) motivasinya.

Grafiti di Yogyakarta mulai marak pada tahun 1980-an. Menurut keterangan salah satu sumber bernama Marto (bukan nama sebenarnya), tulisan yang populer dan gampang ditemukan adalah QZR atau Qizruh, dan JXZ atau Joxzin (Joko Sinting). Menurutnya, tulisan-tulisan itu adalah inisial nama sebuah kelompok atau geng (QZR berbasis di Yogyakarta bagian utara, JXZ berbasis di bagian selatan, terutama di daerah Kauman).

14

Gambar 5. Corat-coret jalanan. Lokasi: daerah Sagan, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 12 Juni 2007)

Kelompok-kelompok ini saling bersaing dan suasana persaingan itu sangat jelas terasa lewat banyaknya grafiti kelompok yang satu dicoret atau ditumpuk oleh grafiti kelompok lain. Dijelaskan pula bahwa perkelahian antar anggota kelompok yang saling bersaing tersebut seringkali terjadi. Meski kini dua kelompok itu tidak lagi aktif, tapi grafiti bertuliskan inisial kelompok mereka entah mengapa masih tetap ada.

“Tidak jelas alasannya karena sekarang semua anggota kelompok sudah tua. Tidak jelas siapa yang punya kerjaan (mencorat-coret) itu. Mungkin saja anak muda sekarang sempat mendengar-dengar cerita tentang geng-geng di masa lalu yang dianggapnya legenda, dan kemudian melakukan corat-coret itu untuk sekedar ikut-ikutan.”15

Dulu, bentuk grafiti hanya sekedar tulisan atau singkatan kata. Namun perubahan jaman ternyata turut pula memicu perubahan bentuk grafiti. Kini, para pembuat grafiti semakin kreatif menciptakan berbagai bentuk baru. Mereka tidak ragu memadu-padankan

15

Transkip wawancara Marto Klewer (bukan nama sebenarnya). Wawancara dilakukan di bulan Januari 2007 di rumahnya, kawasan Sodagaran-Pakuncen Yogyakarta.

beberapa teknik untuk mencapai bentuk yang diinginkan, seperti teknik stensil, sablon (screen printing), atau cetak cukil kayu (woodcut). Teknik tersebut adalah teknik umum yang sering dipakai dalam pembuatan seni grafis.

Gambar 6.

Seni jalanan menggunakan teknik stensil. Lokasi: dekat jembatan Kewek, Yogyakarta

(Foto: dokumentasi penulis, 2005)

Jika menyangkut pengaplikasian, setiap teknik tentu saja berbeda caranya. Untuk teknik sablon, misalnya, gambar dibuat di atas kertas stiker atau kertas yang diberi lem, sebelum kemudian ditempel di permukaan bidang yang diinginkan. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik stensil ialah teknik membuat rancang gambar atau tulisan pada kertas karton, yang kemudian bagian tengah rancangan tersebut dibuang (dilubangi). Kertas karton berfungsi serupa cetakan gambar atau tulisan. Dalam pengaplikasiannya dibutuhkan cat semprot (aerosol), yang nantinya akan disemprotkan ke bagian karton yang berlubang untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan sesuai cetak rancangan.

Gambar 7.

Poster yang dibuat dengan teknik woodcut print Lokasi: pintu gerbang Kejagung Jakarta.

(Foto dokumentasi penulis 2002)

Cetak cukil kayu (woodcut print) dilakukan untuk mencetak di pada kertas. Bahan yang dicukil biasanya berupa papan (hardboard) atau triplek. Sebelum melakukan pencukilan, rancangan lebih dulu dibuat di atas papan atau triplek dengan bentuk gambar terbalik (negatif). Adapun bagian yang dicukil nantinya adalah bagian yang tidak tercetak. Setelah itu, dengan rool grafis, papan atau triplek tadi diberi tinta cetak. Langkah terakhir adalah mencetak di pada kertas dengan cara meletakkan kertas di atas papan lalu digosok dengan menggunakan sendok, atau diinjak-injak hingga rata. Penggunaan teknik sablon, stensil, dan cukil kayu ini membuat penggandaan karya menjadi mudah dilakukan, dan jumlahnya pun tidak terbatas.16

16

Ringkasan Bahan Workshop LBK TP tahun 2002. Wood cut print merupakan teknik yang biasa dipakai dalam seni garafis. Teknik ini berkembang di Jepang.

Dalam dunia seni jalanan, penggunaan stiker disebut slap tagging.17 Cara penyampaian pesan atau tandanya dilakukan dengan mencetak desain di atas stiker, yang kemudian ditempelkan di berbagai tempat. Pola kerja peletakan atau penempelan stiker hampir sama dengan grafiti; di mana saja yang diinginkan dan tanpa ijin.

Gambar 8.

Stiker grafiti pada plang kantor. Lokasi: Kota Baru, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, Oktober, 2006)

Stiker, dalam Macquarie Dictionary, berarti, “An adhesive label, usu. With an advertisement, publicity, slogan, or other massage printed on it.18 Yaitu, label atau etiket

berperekat dengan iklan, publikasi, slogan atau pesan lain yang dicetak di atasnya. Pada awalnya, stiker biasa disebut sticky back atau melekat di belakang. Stiker berasal dari bahasa Inggris “stick” yang berarti memasang atau membubuhkan sesuatu yang disebabkan oleh adanya pelekatan.

17

Graffiti Terminologi, http://www.aftenposten.no/nyheter/iriks/article1260136.ece Norwegian newspaper article about acid tagging (foreign language).

18

National Library of Australia (1991), The Macquarie Dictionary, New Budget edition, Griffin Press Limited, Netley South Australia. p. 396

Wujudnya sangat sederhana; hanya terdiri dari dua lembar kertas yang saling menempel. Salah satu sisi kertas diberi bahan perekat, sementara sisi lainnya adalah kertas yang telah dilapisi bahan penunda perekat. Kedua kertas itu saling berhadapan satu sama lain dan bersifat saling bertentangan. Stiker ditemukan oleh R. Stanton Avery pada tahun 1935 di Los Angeles, Amerika Serikat. Penemuan itu terjadi karena didorong oleh keinginan Avery untuk membuat suatu bahan yang dapat memudahkannya melakukan proses pelabelan barang. 19

Di Indonesia, kertas stiker yang diberi gambar atau tulisan dikenal dengan nama “gambar tempel”. Gambar tempel difungsikan sebagai hiasan yang diproduksi dengan berbagai teknik, salah satunya adalah dengan teknik sablon (screen printing) yang banyak digunakan pada industri kecil. Gambar tempel mudah ditemukan di warung-warung atau toko buku dalam bentuk, desain dan warna yang menarik, lucu dan unik. Pembeli gambar tempel biasanya menggunakannya sebagai hiasan tempelan pada tempat-tempat tertentu.

Pada akhir tahun 1990-an, gambar tempel bermotif plesetan sangat populer di Yogyakarta. Awalnya, plesetan adalah bentuk komunikasi verbal yang mengandung unsur humor atau sejenis candaan. Namun selanjutnya, pengertian tersebut semakin berkembang ke bentuk lain, seperti tulisan, bahkan hingga ke media dan visual yang lebih beragam (misalnya, media stiker). Stiker plesetan sering dijumpai tertempel pada body kendaraan (jendela atau pintu). Sepintas, stiker ini akan terbaca sebagai merek dari produk industri tertentu yang sudah terkenal atau populer di masyarakat. Stiker plesetan, atau sering juga disebut stiker parodi, menandai adanya persimpangan antara kreasi dan rekreasi (penciptaan ulang) serta invensi (penemuan baru) dan kritik.

19

Gambar 9. Stiker Plesetan (Foto: Dok. Hestu Ardiyanto)

“BMW”, adalah merek/brand kendaraan bermotor, yang berlokasi di Munich, Jerman. Kendaraan dengan brand “BMW” dikenal sebagai jenis kendaraan yang berkualitas tinggi, sehingga image yang terbangun adalah gengsi, kualitas terbaik dan eksklusif. Hal ini adalah gambaran realitas produksi, bagi siapa saja yang mampu mengkonsumsi produk ini status sosialnya akan dianggap lebih dari yang lain. Sedangkan BMW (Bikin Mabuk Wanita) memberikan suatu persoalan yang dianggap seksis. Stiker BMW ini bisa saja dianggap memuakkan, lucu atau biasa-biasa saja. Kondisi realitas dan anggapan terhadap kedua makna memunculkan parodi.

Parodi juga akan dapat berarti sebagai komposisi yang mempermainkan atau meniru karya yang lain, biasanya yang bersifat serius dengan maksud melucu atau mencemoohkan.. Berger, menggolongkan parodi sebagai teknik humor dengan membandingkan bentuk humor yang lain, seperti lawak, atau teka-teki yang menggunakan

teknik-teknik melucu, dengan mempermainkan kata, melebih-lebihkan dan kelucuan.20 Dari pendapat ini dapat dikatakan pula parodi adalah suatu upaya dalam bentuk dialogisme tekstual yaitu hubungan antara dua teks atau lebih yang bertemu dan berinteraksi satu sama

lain dalam bentuk saling kritik humor serta selalu memperalat pihak lain.

Penggunaan teknis-teknis baru ini (sticker, sablon, wood cut, stensil) turut memacu penciptaan seni jalanan dalam beragam bentuk visual dan mempercepat proses pembuatannya. Hal itu disebabkan pengerjaannya secara teknis, dapat dipersiapkan terlebih dulu di rumah atau studio, yang menyebabkan pengerjaan seni jalanan menjadi lebih cepat (tinggal tempel atau sudah punya mal cetakan yang siap disemprot), dengan begitu resiko tertangkap sewaktu mengerjakan menjadi kecil.

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 34-49)

Dokumen terkait