ABSTRAK
Seni jalanan merupakan suatu kecenderungan menciptakan karya seni (di jalanan) yang mulai marak muncul di Yogyakarta tahun 2000-an dan merupakan perkembangan dari grafiti. Kata “jalanan” pada seni jalanan mengandung arti tanpa aturan, vandal atau illegal, menang-menangan. Penempatannya yang tanpa ijin merupakan ciri khas seni ini. Beberapa upaya untuk menekan perkembangannya telah dilakukan oleh beberapa kelompok (seniman) masyarakat atas dukungan pemerintah. Namun usaha ini terlihat sia-sia karena sampai sekarang jumlah seni jalanan semakin banyak di Yogyakarta.
Untuk memperdalam pemahaman mengenai hal ini, saya mempelajari tulisan Benedict Anderson, dalam bukunya Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia). Singkatnya saya menggunakan kerangka Anderson untuk membongkar seni jalanan yang dalam perkembangannya juga dipandang telah mengalami proses kromonisasi atau “penghalusan” dengan upaya memasukkan seni jalanan ke dalam ruang pameran yang khas konsumsi kalangan (seniman, kurator) masyarakat bukan dari kelas (sosial) bawah.
Seni jalanan adalah ekspresi budaya jalanan yang sering dianggap sebagai simbol dari praktik sosial yang membedakan dirinya dari ekspresi budaya general (seni yang umum/mapan) yang jauh lebih mendapatkan pengakuan. Kemudian didalam praktik sosial yang berbeda itu ditemukan serangkaian nilai dan norma yang hidup dalam kelompok seni jalanan (tableg dan sketsa dalam black book). Nilai dan norma ini cenderung bersifat eksklusif karena menjadi tanda dari identitas kelompok yang berbeda dengan yang lain. Selain itu seni ini juga dapat dipandang sebagai hasil konstruksi sosial budaya, hasil dari masyarakat yang dikondisikan (pekewuh) untuk tidak menyuarakan segala sesuatu apa adanya secara terbuka serta dapat juga dilihat sebagai manifestasi spontan akibat dari pengendapan absurditas kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seni jalanan Yogyakarta dapat dilihat pula sebagai sistem melupakan, meredam tekanan dan keramaian kehidupan jalanan Yogyakarta serta menertawai diri sendiri.
SENI JALANAN YOGYAKARTA
TESIS
Di ajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Untuk memenuhi sebagian Persyaratan guna
Memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Dalam bidang Ilmu Religi dan Budaya
Konsentrasi Budaya
Pembimbing: Dr Alb. Budi Susanto SJ. Drs M. Dwi Marianto MFA. PhD.
Oleh
Syamsul Barry
NIM: 036322008
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 7 Januari 2008
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Syamsul Barry
Nomor Mahasiswa : 036322008
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata. Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
SENI JALANAN YOGYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk, pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 12 April 2008 Yang Menyatakan
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PERNYATAAN UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI
DAFTAR ILUSTRASI ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang……….…….… 1
B. Rumusan Masalah ……….….…….. 5
C. Signifikasi Penelitian ……….……….. 7
D. Kerangka Teoritis ... 9
E. Metodologi Penelitian ………... 13
F. Sistematika Penulisan ……….………. 13
BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA ..……….. 16
A. Seni Jalanan Yogyakarta………...………...…… 17
B. Grafiti dan perkembangannya..……… 19
C. Seni Jalanan dan Komunitasnya………...…… 34
D. Seni jalanan dan (Unjuk rasa) Komunitas Aktivis ………...…...…… 45
BAB III JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL... 53
A. Kota Yogyakarta, Hutan Visual Baru... 54
B. Mural dan Apotik Komik... 55
C. Fenomena Mural Yogyakarta... 62
D. “Kromonisasi” Seni Jalanan Yogyakarta ... 64
E. Seni Jalanan Yogyakarta (Siasat absurd) Kalah dan Menang... 71
BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA... 74
A. Perang Gerilya Tanda... 74
B. Konteks Politik Kemunculan Seni Jalanan... 80
C. Respon Pemerintah... 88
D. Privat-nya Ruang Publik... 93
E. Jalanan Potret Imajinasi (Demokrasi) Indonesia... 96
BAB V PENUTUP: KERESAHAN JALAN(AN) DALAM PEMAKNAAN... 105
DAFTAR ILUSTRASI
Gambar 1. Grafiti pada dinding gua.
Lokasi: gua Jati Jajar, Gombong, Jawa Tengah
(Foto: dok. penulis, 2005)……….…..…… 20 Gambar 2. Grafiti pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945.
(Foto: Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemuda, Jakarta :Sinar Harapan)……... 22 Gambar 3. Grafiti saat reformasi 1998
(Foto: dok. penulis, 1998)………..…..……… 25 Gambar 4. Poster, berbentuk Stiker yang beredar di jalanan
beberapa kota besar Indonesia selama masa kampanye Pemilu 1999.
(Foto dokumentasi penulis 1999)……….……….………. 26 Gambar 5. Corat-coret jalanan.
Lokasi: daerah Sagan, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 12 Juni 2007)………..…………..………. 28 Gambar 6. Seni jalanan menggunakan teknik stensil.
Lokasi: dekat jembatan Kewek, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 2005)……….. 29 Gambar 7. Poster yang dibuat dengan teknik woodcut print
Lokasi: pintu gerbang Kejagung Jakarta.
(Foto dokumentasi penulis 2002)………. 30 Gambar 8. Stiker grafiti pada plang kantor.
Lokasi: Kota Baru, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, Oktober, 2006)... 31 Gambar 9. Stiker Plesetan
Gambar 10. Spanduk larangan mencorat-coret untuk pelajar.
Oleh Angkatan Muda Muhammadiyah.
(Foto: dokumentasi penulis, Juni 2007)……….………. 35 Gambar 11. The Kid, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 2007)………..…………... 36 Gambar 12. Dream
Lokasi:Pertigaan Krapyak-Jl.Bantul, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 2007)………..…………... 37 Gambar 13. Grafiti kolaborasi Lovehatelove dan Plus.
Lokasi: Utara perempatan Tugu, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 2007)………..…………... 39 Gambar 14. Battle, karya yang sudah ada ditumpuk dengan karya baru
namun dipertanggungjawabkan.
Lokasi: perempatan Taman Sari,Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 2007)……….. 41 Gambar 15. Pengerjaan grafiti LHL di kolong jembatan Janti, malam hari
(Foto: dokumentasi penulis, 2007)……….. 42 Gambar16. Karya seni pada Aksi Menolak Kekerasan 1989.
Lokasi: Bundaran UGM, Yogyakarta
(Foto: Dokumentasi SMID PRD)……….……….. 46 Gambar 17. Tolak RUU PKB/KKN. Unjuk rasa tahun 2000.
Lokasi: Jln Malioboro, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis)……….……….. 47 Gambar 18. Grafiti, poster dan baliho pada aksi yang dilakukan
LBKTP dan AFRA tahun 2000.
Lokasi: depan kantor Kejagung Jakarta
(Foto: dokumentasi penulis) ……….…………. 48 Gambar 19. Perubahan teks ke karakter
(Foto: Dok. penulis, 2008)……….. 50 Gambar 20. Melayang (3 x 6 m) oleh Apotik Komik, 1997.
(Foto dari: Supangkat, Jim (ed), (2000) Outlet ,Yayasan Cemeti, Yogyakarta)... 57
Gambar 21. Projek mural Sama-sama oleh Nano Warsono, 2002. Lokasi: jembatan layang Lempuyangan.
(Foto : Dok. Yayasan Seni Cemeti)... 58 Gambar 22. Seorang pembuat mural sedang
memblok tembok yang sebelumnya berisi grafiti politik.
Lokasi: Jl. Perwakilan, Yogyakarta
(Foto dari:Dipublik, tabloid projek mural ”Sama-sama”, 12 Nov 2002) ... 61 Gambar 23.Mural yang dibuat oleh masyarakat RW IV Demangan.
Lokasi: Prapatan Jl.Munggur-Gejayan-Jl Solo, Yogyakarta
(Foto: Dok. Dwi Marianto)... 63 Gambar 24. Suasana ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta
pada event Re:Publik Art
(Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC)... 66 Gambar 25. Grafiti pada acara Re:Publik Art
Lokasi: ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta
(Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC)... 69 Gambar 26.
Warning not for comercial space
Lokasi Sagan (utara Galeria mal Yogyakarta).
(Foto: Dok. pribadi, 2004)...……….……… 75 Gambar 27. Mural iklan produk tabungan sebuah bank yang dibuat2004.
Lokasi: depan SMA “17” 1 Bumijo, Yogyakarta,
(Foto: Dok. penulis, 2007)... 76 Gambar 28. Mural PAN. Sketsa rancangan Ismail. Visualiser Eko S W.
(Foto: Dok. pribadi, 2004)... 78 Gambar 29. Poster-poster yang dibuat LBKTPi yang dicetak ribuan lembar.
(Foto :Dok. penulis, 2001)………. 88 Gambar 30. Iklan di barisan mural.
Lokasi: Kotabaru, Yogyakarta.
(Foto: Dok. penulis, 2008)... 92 Gambar 31. Semrawut (perebutan tanda) baliho iklan di depan mural.
Lokasi; tembok Stadion Kridasono, Yogyakarta.
(Foto: Dok.penulis, Juli,2007)……….……….. 100 Gambar 32.Grafiti pada bak sampah.
Lokasi; depan THR Gondomanan, Yogyakarta
(Foto: Dok. penulis, 2004)………. 103 Gambar 33. Instalasi Rakyat 1992
Lokasi: Depan pasar hewan Kuncen Yogyakarta
ABSTRAK
Seni jalanan merupakan suatu kecenderungan menciptakan karya seni (di jalanan) yang mulai marak muncul di Yogyakarta tahun 2000-an dan merupakan perkembangan dari grafiti. Kata “jalanan” pada seni jalanan mengandung arti tanpa aturan, vandal atau illegal, menang-menangan. Penempatannya yang tanpa ijin merupakan ciri khas seni ini. Beberapa upaya untuk menekan perkembangannya telah dilakukan oleh beberapa kelompok (seniman) masyarakat atas dukungan pemerintah. Namun usaha ini terlihat sia-sia karena sampai sekarang jumlah seni jalanan semakin banyak di Yogyakarta.
Untuk memperdalam pemahaman mengenai hal ini, saya mempelajari tulisan Benedict Anderson, dalam bukunya Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia). Singkatnya saya menggunakan kerangka Anderson untuk membongkar seni jalanan yang dalam perkembangannya juga dipandang telah mengalami proses kromonisasi atau “penghalusan” dengan upaya memasukkan seni jalanan ke dalam ruang pameran yang khas konsumsi kalangan (seniman, kurator) masyarakat bukan dari kelas (sosial) bawah.
Seni jalanan adalah ekspresi budaya jalanan yang sering dianggap sebagai simbol dari praktik sosial yang membedakan dirinya dari ekspresi budaya general (seni yang umum/mapan) yang jauh lebih mendapatkan pengakuan. Kemudian didalam praktik sosial yang berbeda itu ditemukan serangkaian nilai dan norma yang hidup dalam kelompok seni jalanan (tableg dan sketsa dalam black book). Nilai dan norma ini cenderung bersifat eksklusif karena menjadi tanda dari identitas kelompok yang berbeda dengan yang lain. Selain itu seni ini juga dapat dipandang sebagai hasil konstruksi sosial budaya, hasil dari masyarakat yang dikondisikan (pekewuh) untuk tidak menyuarakan segala sesuatu apa adanya secara terbuka serta dapat juga dilihat sebagai manifestasi spontan akibat dari pengendapan absurditas kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seni jalanan Yogyakarta dapat dilihat pula sebagai sistem melupakan, meredam tekanan dan keramaian kehidupan jalanan Yogyakarta serta menertawai diri sendiri.
Persembahan Untuk Ayahanda A.Saubari (alm)
Syaiful Barry (alm) Ibunda St Wasilatun
Savitri Citra Budi
Keluarga Besar H. Sudaryanto di Krapyak
Almamaterku
Kalau baik dan buruk adalah ciptaan Tuhan, maka tidak ada manusia yang tidak berjalan di jalan-Nya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan coret-coret di jalan yang kemudian dikenal sebagai grafiti selalu dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu kebersihan dan ketertiban umum. Karenanya, pemerintah kemudian melakukan berbagai macam usaha untuk menekan perkembangan “seni corat-coret” itu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Grafiti tetap saja ada, malah terus berkembang di seluruh kota di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, dalam konteks pembangunan modern, kota-kota besar di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejumlah fasilitas infrastruktur seperti gedung, jalan raya, jalan bebas hambatan, bahkan jembatan layang tampak menghiasi hampir seluruh sudut wajah kota. Adapun untuk menjaga dan mengaturnya, pemerintah kemudian mengeluarkan sederet peraturan lewat departemen tertentu yang ditunjuk, misalnya Peraturan Daerah Tata Ruang Kota yang disahkan atas nama Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut ternyata belum bisa mengatasi persoalan yang ada. Salah satunya adalah semakin menjamurnya grafiti sehingga menutupi hampir sebagian wajah kota. Tidak ada lagi tembok pembatas atau sisi jembatan yang bebas dari coretan gambar atau teks aneka warna. Ruang kota seolah telah berubah menjadi ajang pamer seni untuk umum.
masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, grafiti digunakan untuk membakar semangat rakyat mempertahankan kemerdekaan. Saat itu, corat-coret bertema perjuangan hampir ada di seluruh tembok kota. Meski pada perkembangan selanjutnya keberadaan grafiti menjadi tidak disukai karena dianggap mengotori lingkungan dan mengganggu keindahan, namun kebiasaan tersebut ternyata tidak pernah hilang. Hal ini menandai seni kerakyatan sangat rawan dan gampang rapuh dieksploitasi oleh penguasa.
Sejak Orde Baru pengembangan dan pembangunan fisik kota dilakukan oleh pemerintah dengan menerapkan sistem pembangunan yang menekankan pada percepatan laju pertumbuhan ekonomi.1 Penekanan pada percepatan laju pertumbuhan ekonomi ini terkadang mengabaikan pemikiran masyarakat khususnya dalam pengembangan kota. Hal ini sering menyebabkan timbulnya ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah yang terkadang diekspresikan oleh masyarakat dalam bentuk antara lain; demonstrasi, protes dan grafiti (bernuansa politik).
Kini grafiti lebih dikenal sebagai seni jalanan (street art). Bentuk visual seni jalanan pun semakin beragam. Grafiti tidak lagi berupa coretan teks, tetapi juga digabungkan dengan gambar yang dihasilkan dari penggunaan teknik yang beragam. Kata “jalanan” pada terminologi ini berkaitan dengan kegiatan yang tanpa ijin pemerintah atau ilegal. Persoalan tanpa ijin inilah yang menyebabkan seni jalanan identik dengan vandalisme karena dianggap sebagai tindakan yang merusak properti orang lain atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang keindahan kota. Sementara jika dihubungkan dengan budaya, seni jalanan dianggap tidak merepresentasikan budaya Indonesia, sebaliknya dicap sebagai peniruan budaya kaum pinggiran yang ada di beberapa kota besar dunia dan peniruan ini sering dianggap sebagai dampak globalisasi di bidang budaya.
1
Seni jalanan, khususnya di Yogyakarta, merupakan wacana baru yang timbul ke permukaan setelah diskusi seni rupa publik yang diadakan pada tahun 2000. Perdebatan ini memperbincangkan ruang publik, seni rupa publik dan kesemrawutan visual jalan (kota sebagai rimba visual).2 Diskusi itu kemudian memacu beberapa seniman dan kelompok seniman di Yogyakarta untuk membuat mural (lukisan besar di dinding) dengan tujuan memperindah kota. Kegiatan ini mendapat respon dan dukungan dari Pemerintah Kota (pemkot) Yogyakarta yang menganggap dapat mengurangi grafiti-grafiti yang memberi citra kota kotor.3
Memasuki tahun 2002, perkembangan grafiti di Yogyakarta memasuki tahap yang menentukan. Sebuah komunitas pekerja seni bernama Apotik Komik membuat projek mural kota bertema Sama-sama dengan tujuan menggunakan mural sebagai media untuk memperindah kota, disamping juga bermaksud mempersempit ruang dan menghapus grafiti yang ada, karena dianggap mengotori kota. Projek ini ternyata mendapat sambutan baik dari Pemkot Dati II Yogyakarta, sehingga sejak saat itu pembuatan mural (lukisan atau gambar pada dinding), menjadi lebih marak daripada sebelumnya. Lewat projek tersebut, selain membuat kota tampak lebih semarak, masyarakat pun mulai bisa melihat unsur estetik yang dimiliki oleh mural dan menerima keberadaannya sebagai bagian dari pemandangan ruang publik.
Seni jalanan kerap diidentikkan sebagai bentuk perlawanan generasi muda terhadap pemerintah—meski tidak semua tema yang diangkat oleh para pelaku seni jalanan mengandung unsur politis. Anehnya, meski suara-suara sumbang tentang seni jalanan,
2
Lihat: Ruang Publik: Dialog Antara Arsitektur Dengan Seni Rupa, http://www.karbonjournal.org (diakses tanggal 21 Mei 2006) dan FX. Harsono.(2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik,
http://www.karbonjournal.org (diakses 14 April 2007). Kedua naskah yang diterbitkan merupakan bahan diskusi yang diadakan oleh Ruang Rupa Jakarta yang memicu perdebatan antara Taring Padi dan Apotik Komik.
3
seperti yang dijelaskan di atas, bermunculan di tengah-tengah masyarakat, tetapi “seni corat-coret” ini malah semakin digemari oleh para generasi muda, yang kemudian membuat penyebarannya semakin cepat dan tak terhindarkan.
Melihat kenyataan yang menarik itu, maka perlu jeli dan waspada mencermati jejak langkah seni jalanan yang dapat dikatakan merupakan bagian dari seni kerakyatan dari masa lalu untuk cita-cita Indonesia kini. Berdasarkan hal ini penulis memutuskan untuk meneliti lebih jauh tentang seni jalanan, terutama yang ada di kota Yogyakarta. Seni jalanan (dalam hal ini grafiti) mempunyai catatan perkembangan yang sudah cukup lama antara lain: Pertama, seni ini pernah digunakan sebagai alat berjuang pada masa perjuangan kemerdekaan 1945 di beberapa kota Indonesia. Kedua, pada dekade 1980-an grafiti di Yogyakarta banyak digunakan sebagai pemberi tanda wilayah gank atau kumpulan “liar”(mis: Kisruh/Q-Zruh dan Joksin/JXZ). Ketiga, digunakan untuk menyampaikan tuntutan rakyat (masa reformasi 1998) di beberapa kota Indonesia (termasuk Yogyakarta). Keempat, sebagai ekspresi estetika seniman/individu. Persamaan dari keempatnya ialah penempatannya yang tidak pakai ijin serta dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap kemapanan sekaligus respon terhadap lingkungan dan kehidupan keseharian.
Alasan penelitian ini dilakukan di Yogyakarta berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, pada tahun 2002-2004, Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II (Pemkot Dati II) Yogyakarta bersama-sama masyarakat melakukan kegiatan muralisasi kota Yogyakarta dengan tujuan mengurangi coret-coret (grafiti) kota. Kegiatan ini berawal dari projek mural bertema “Sama-sama” yang dikerjakan oleh Apotik Komik pada tahun 2002.
sekitar selama bertahun-tahun, sehingga menyebabkan masyarakat menjadi terbiasa dengan kehadiran karya seni.
Ketiga, di kota ini terdapat beberapa lembaga seni budaya yang menjadikan seni kontemporer sebagai fokus perhatiannya. Adapun kajian seni kontemporer yang masih menjadi perbincangan hingga saat ini adalah seni (ruang) publik. Sedangkan seni jalanan dianggap sebagai satu bagian dalam seni (ruang) publik.
Keempat, banyaknya grafiti yang tersebar di hampir setiap sudut kota Yogyakarta memberikan indikasi bahwa di kota ini terdapat banyak kelompok pekerja seni jalanan yang aktif.
B. Rumusan Masalah
Seni Jalanan yang penempatannya di luar ruang serta bersinggungan dengan masyarakat secara langsung, seringkali mengakibatkan diposisikan berlawanan dengan seni (ruang) publik. Seni jalanan bersinggungan dengan tata ruang kota (misalnya, Perda Rencana Tata Ruang Kota oleh Pemkot Dati II Yogyakarta), arsitektur/ruang kota dan lingkungan. Proses penciptaan seni jalanan berbeda dengan seni (ruang) publik. Jika proses penciptaan seni (ruang) publik dimulai dengan membelajari lingkungan lokasi dimana karya kelak akan ditempatkan, budaya setempat, lingkungan hidup serta tentunya berdasarkan ijin pihak berwenang, seni jalanan hanya membuat rencana sketsa karya dan mencari lokasi yang cocok dengan memanfaatkan ruang kosong/tembok yang berada di pojok-pojok jalan.
Ada beragam visual dari seni jalanan Yogyakarta, umumnya berbentuk teks huruf (singkatan atau inisial) yang hanya diketahui maksudnya oleh kelompok/komunitas seni jalanan sendiri. Teks huruf (lazim disebut tag)4 terkadang menggunakan bahasa asing
4
(terbanyak bahasa Inggris), tidak terlalu jelas apa alasannya, apakah hanya gaya saja atau agar dianggap merepresentasikan modernitas dalam artian berbeda dengan yang tradisional. Hal ini mengindikasikan ada maksud tertentu si pembuatnya.
Beragam visual seni jalanan ini juga menunjukkan semakin banyak jumlah kelompok/komunitas seni jalanan yang berdiri. Banyaknya kelompok yang bermunculan kemudian menyebabkan timbul persaingan dan perluasan wilayah penyebaran seni jalanan yang tentunya merepotkan pemerintah (dalam hal ketertiban dan kebersihan).
Beberapa upaya menekan perkembangan coret-coret ini sudah pernah dilakukan oleh sekolah-sekolah misalnya dengan mengadakan lomba grafiti atau yang paling ekstrem dengan mempersempit ruang berkembang dengan menghapus dan menutupinya dengan mural seperti yang dilakukan Apotik komik dengan projek Mural Kota Yogyakarta ditahun 2002. Pada perkembangan terakhir ada upaya dari beberapa organisasi/lembaga seni di Yogyakarta yang mengupayakan mengusung seni jalanan untuk dipamerkan pada ruang pamer galleri atau rumah seni. Upaya ini diduga sebagai penjinakan terhadap keliaran seni jalanan. Namun usaha-usaha itu terlihat tidak ada pengaruhnya, bahkan sekarang ini beberapa mural kota malah ditiban dan grafiti tidak hanya berbentuk teks tetapi juga berbentuk gambar (logos)5.
Perkembangan seni jalanan dapat dilihat pula sebagai keberanian rakyat kecil berbicara pada penguasa dengan cara merespon belantara visual kota, yang hampir di setiap ruang kosongnya (pinggir jalan atau tempat yang dianggap stategis) dimanfaatkan untuk pemasangan iklan. Pemerintah memberikan kemudahan mengurus perijinan tanpa memperhitungkan lokasi dimana iklan tersebut akan dipasang. Maka lihatlah apa yang
http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times(diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)
5
terjadi kemudian; kota berubah jadi belantara visual yang liar dan tak terkendali. Penempatan baliho, papan iklan, spanduk dan poster yang semrawut di sepanjang badan jalan perkotaan dapat dijadikan ukuran betapa banyaknya hal yang diabaikan oleh pemerintah. Suatu tindakan yang telah menindas hak masyarakat untuk mengatur ruang publiknya sendiri, seperti yang seharusnya terjadi.
C. Signifikasi Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membahas seni jalanan Yogyakarta, suatu kecenderungan membuat karya seni di jalan dalam beragam teknis pembuatannya. Seni ini merupakan perkembangan dari grafiti yang mulai marak di Yogyakarta sejak tahun 1980-an dan berlangsung hingga sekarang. Seni jalanan Yogyakarta ini memiliki kemiripan dengan karya seni jalanan di kota lain, namun terdapat perbedaan pada pola perkembangannya. Penelitian ini memberi perhatian pada faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan dalam proses perkembangan seni jalanan yang membantunya tumbuh menjadi suatu seni jalanan (Yogyakarta) yang lain. Salah satu sumber kecenderungan yang membantunya tumbuh adalah kehidupan masyarakat di Yogyakarta itu sendiri. Sebagai contoh, ada ribuan seniman yang hidup berbaur pada masyarakat Yogyakarta, hal itu menyebabkan masyarakat terbiasa dengan kehadiran karya seni dan kehidupan keseharian seniman.
merupakan tempat-tempat karya seni jalanan dibuat dan diletakkan. Selain pembangunan fisik, ada banyak citra-citra visual (papan iklan, baliho besar, dan lain-lain) yang tidak teratur, seperti terlihat berebut ruang dan telah menjadi pemandangan umum di Yogyakarta. Hal ini turut mendorong kreativitas para pelaku seni jalanan untuk turut memberi respon atas ketidakteraturan citra-citra visual tersebut.
Masyarakat Yogyakarta yang terlihat masih mempertahankan kehidupan tradisional ternyata mempunyai sifat yang terbuka atas kebaruan-kebaruan pemikiran. Berbagai produk modern dan pola budaya tradisional dalam realita kehidupan sehari-hari hadir secara bersama. Seni jalanan yang sering dipojokkan atau dianggap coret-coret yang mengganggu keindahan terkadang digunakan juga oleh sebagian masyarakat untuk menyampaikan aspirasi maupun protes. Sebagai contoh, peristiwa Pemilu Yogyakarta 1992, masyarakat dalam menyampaikan aspirasi ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah atas larangan kampanye menggunakan kendaraan bermotor, dijawab dengan membuat seni instalasi maupun grafiti di jalan.
D. Kerangka Teoritis
Sebelum mulai membahas kerangka teoritis untuk mengetahui tentang seni jalanan secara lebih luas, perlu ditetapkan dulu bahwa seni jalanan (visualnya bisa berupa grafiti, poster, stiker, wheatpaste, atau stensil) dalam kajian ini akan diposisikan sebagai karya seni. Karena itu, sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dulu akan dibahas tentang masalah apresiasi seni.
Secara umum, mengapresiasi berarti mengerti serta menyadari sepenuhnya sehingga mampu menilai sebuah karya yang akan diapresiasi. Jika dihubungkan dengan seni maka mengapresiasi berarti mengerti dan menyadari sepenuhnya seluk-beluk suatu hasil seni, serta menjadi sensitif terhadap segi-segi estetisnya, sehingga mampu menikmati dan menilai karya itu.6 Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa mengapresiasi sama saja dengan menciptakan kembali (geniessen ist nachshaffen), yang berarti perlu juga untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh pekerja seninya (sharing the artist’s experience). Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mengapresiasi tidak cukup dengan sekedar mengerti— misalnya, menggambarkan apakah hasil seni itu—melainkan sampai kepada aspek-aspeknya yang lebih dalam.
Jika tindakan “mengapresiasi” dilakukankan terhadap visual seni jalanan, seperti tag
atau inisial, yang umumnya disajikan berupa warna-warni indah yang menarik dan mencolok mata dalam tulisan yang terkadang dalam bahasa asing atau berupa singkatan, maka respon yang mungkin diterima dari “penonton” seni jalanan, yang kebanyakan adalah masyarakat awam, adalah ketidakpahaman maksud dari visual tersebut. Kenyataannya, tag memang hanya bisa dimengerti oleh lingkungan atau komunitas
6
tertentu dalam lingkar para pekerja seninya saja. Dengan kata lain, untuk bisa mengerti hal tersebut maka dibutuhkan kedekatan dengan komunitas pembuatnya.
Pemahaman terhadap aspek-aspek yang mendalam sangat diperlukan untuk mengapresiasi seni Jalanan. Hal itu disebabkan tidak hanya penggambaran visual semata yang menjadi satu-satunya unsur penentu, tetapi juga pendapat umum masyarakat (pro/kontra) tentang keindahan ruang kota, peraturan yang berlaku, gaya hidup anak muda pada masa itu, dan wacana seni rupa publik tentang seni rupa kontemporer (khususnya di Indonesia). Selain itu, terdapat pula beberapa hal yang sering dianggap berkaitan dengan keberadaan seni jalanan, antara lain propaganda, subversif (seni perlawanan) dan kekuasaan antara pihak yang dominan dan tidak dominan, serta seni publik.
Selain itu yang juga menjadi sangat penting ialah memahami kerumitan sikap berbahasa di Yogyakarta, tempat orang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa aslinya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Secara resmi bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan bahasa yang ditata secara hierakhis (kromo, madya, ngoko). Penggunaan tiga tingkatan ini diatur menurut status sosial si pengucap dan orang yang diajak bicara, sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terbuka dan tidak mempunyai tingkatan. Dengan memperhatikan permasalahan bahasa dan besarnya kemungkinan-kemungkinan dengan mengkritisinya, dapat menemukan cara yang mempunyai potensi bagi terwujudnya pemahaman atas seni jalanan Yogyakarta secara baru, yang tentunya berbeda dengan pemahaman street art yang berasal dari budaya urban di daerah lain.
Anderson melihat bahwa bahasa Melayu pasar, yang telah lama menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara, adalah basis bahasa baru Indonesia (Melayu revolusioner) yang pada hakekatnya adalah bahasa politik. Bahasa ini diwujudkan oleh perjuangan nasionalis, menampilkan dalam dirinya semangat murni perlawanan atas dominasi monopoli bahasa Belanda sebagai jembatan menuju “modernitas”. Bahasa Indonesia kontemporer dapat dipandang sebagai suatu kegiatan usaha (enterprise) bagi kepiawaian dari krisis budaya yang dahsyat, dan yang sebagian merupakan proyek bawah sadar yang muncul dari asumsi tentang “modernitas” dalam lingkup modalitas dari suatu tradisi sosial politik yang asli dan berdiri sendiri.7
Persamaan atas asumsi menuju “modernitas” juga terlihat dalam perkembangan seni di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Seperti halnya bahasa Indonesia yang bersifat terbuka, perkembangan seni juga bersifat terbuka atas segala pengaruh dari mana saja bercampur baur dengan yang sudah ada (tradisional). Asumsi “modernitas” dalam perkembangan seni terlihat dengan digunakannya konsep seni modern “Barat” yang digunakan untuk mendefinisikan dan menggolong-golongkan seni yang ada di Indonesia, yang terlihat bertujuan agar dapat disamakan tingkatannya dengan seni di tempat lain yang dianggap modern.
Dalam kaitannya dengan pembahasan seni jalanan, saya terinspirasi oleh pendapat Anderson terutama tentang “Kartun dan Monumen”.8 Menurut Anderson pada awal pembahasan sebelum “Kartun dan Monumen” ada dua modus (komunikasi dan ekspresi politik) yang penting dan dilupakan yang jika dianalisis akan memunculkan konsepsi-konsepsi dari orang Indonesia tentang politik orang Indonesia dengan agak berbeda. Dua
7
B.R.O.G. Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa. p. 265
8
modus itu ialah “ucapan langsung” dan “ucapan simbolik”.9 Dengan dua modus itu akan didapat konsepsi politik yang khas Indonesia.
“Ucapan langsung” yang dimaksudkan Anderson ialah komunikasi politik pada setiap masyarakat: gosip, rumor, diskusi, argumen, interograsi, serta intrik yang dalam kenyataannya merupakan bagian terbesar dalam komunikasi politik di Indonesia. “Ucapan langsung” ini merupakan cara lain dari komunikasi politik dan dapat dipandang sebagai bermain “ngoko” dalam “krama”-nya politik Indonesia.
Pada perkembangan berikut terjadi kromonisasi dalam bahasa Indonesia dengan memasukkan banyak istilah yang berasal bahasa Jawa (yang dianggap lebih halus) agar dapat disejajarkan dengan kedudukan bahasa-bahasa lainnya. Singkatnya saya akan menggunakan kerangka Anderson untuk membongkar seni jalanan yang dalam perkembangannya juga dipandang telah mengalami proses kromonisasi atau “penghalusan” dengan upaya memasukkan seni jalanan ke dalam ruang pameran yang khas konsumsi kalangan (seniman, kurator) masyarakat bukan dari kelas (sosial) bawah.
Upaya ini membuat adanya perbedaan antara yang berada di jalanan dan di dalam ruang pamer, namun karena para pelaku yang di jalan maupun di ruang pamer adalah sama, usaha membedakan itu hanya terlihat sebagai ajang mencari popularitas saja. Pembongkaran atas perkembangan seni jalanan Yogyakarta dalam tesis ini akan menunjukkan bahwa seni jalanan ala Indonesia tidak harus terbakukan pada perbedaan-perbedaan.
9
E. Metode Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih terfokus pada metode pengamatan peran serta, mendengarkan apa yang dibicarakan oleh subjek penelitian, dan wawancara dengan beberapa informan kunci. Pada sejumlah wawancara yang tidak bisa dilakukan oleh penulis (saat sakit atau terlalu malam), penulis terkadang menunjuk Dwi Rahmanto dari IVAA/Yayasan Seni Cemeti (YSC) dan Vembrianto, mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta, sebagai pengumpul data pengganti. Kedua pengumpul data ini sudah terbiasa dengan kehidupan para pelaku seni jalanan, bahkan mengenal dekat kelompok-kelompok seni jalanan di Yogyakarta. Adapun data awal telah dikumpulkan penulis sejak tahun 1993-2002, ketika terlibat dalam pembuatan sejumlah karya seni di beberapa aksi unjuk rasa, dan sewaktu bekerja sebagai ketua Dewan Anggota Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi Yogyakarta (1999-2002).
Sifat penelitian ini adalah semi tertutup, yang berarti sebagian besar subjek tidak mengetahui bahwa mereka sedang diamati (misalnya, penelitian dilakukan sembari mengobrol sepintas lalu). Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar penelitian dapat dilakukan dengan bebas dan lebih santai tanpa mengganggu aktivitas pelaku dalam berkarya di jalanan, juga untuk meminimalkan pemanipulasian data yang mungkin sengaja dilakukan oleh subjek untuk menutupi fakta tertentu. Selanjutnya, analisa data dilakukan melalui proses deskripsi dan interpretasi sesuai dengan transkip catatan lapangan yang terdiri dari pengamatan dan wawancara informal dengan informan kunci.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Membahas latar belakang kajian, rumusan masalah, signifikasi kajian, kerangka teoritik yang berisi hal-hal yang berhubungan dengan kajian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA
Pada bab ini akan diuraikan pengertian seni jalanan dan beberapa aspek yang melingkupi serta mempengaruhi perkembangannya di Yogyakarta. Perkembangan itu meliputi grafiti, seni jalanan pada aksi unjuk rasa, perkembangan teknik grafiti (stiker, wheatpaste, poster, stensil) dan tumbuhnya komunitas-komunitas seniman jalanan serta bagaimana mereka berinteraksi.
BAB III JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL
Bab ini memberikan suatu deskripsi langkah Apotik Komik yang mempelopori projek mural kota Sama-sama pada tahun 2002, yang kemudian diikuti oleh masyarakat dengan membuat mural di wilayahnya masing-masing atas dukungan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II (Pemkot Dati II) Yogyakarta di sepanjang tahun 2002-2004. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah mengurangi dan menghambat coret-coret di jalan melalui mural. Konsep ini sejalan dengan tujuan Pemkot Dati II Yogyakarta untuk mewujudkan
yang cukup banyak memberikan pandangan baru bagi para pelaku seni jalanan untuk berani menjelajahi dunia kreativitas mereka dalam berkarya.
BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA
Pada pembahasan bab ini, ruang dipahami sebagai fenomena tanda. Upaya untuk memahami ruang berarti menganggapnya sebagai bermuatan pesan-pesan sosial budaya. Sebagai suatu fenomena tanda, ruang menjadi arena pertukaran tanda dan pesan-pesan sekaligus menjadi tempat perebutan tanda dan hegemoni kultural. Selain itu pada bab ini akan diuraikan bentuk-bentuk tanda atau visual yang ada di jalan termasuk kepentingan yang menyertainya, respon pemerintah terhadap keberadaan seni jalanan (juga mural) serta siasat para pelaku seni jalanan untuk mengatasi kondisi tersebut. Pada bab ini juga akan diungkap kembali, apa arti seni jalanan mengingat bagi kalangan rakyat kecil yang kebanyakan masih berjalan kaki, tentu mempunyai pola pandang yang berbeda dengan kelas sosial menengah ke atas yang rata-rata berkendaraan bermotor di jalanan.
BAB V PENUTUP: KERESAHAN JALAN(AN) DALAM PEMAKNAAN
BAB II
SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA
Pada bab ini akan diuraikan pengertian seni jalanan dan beberapa aspek yang melingkupi
serta mempengaruhi perkembangannya di Yogyakarta. Perkembangan itu meliputi grafiti,
seni jalanan pada aksi unjuk rasa, perkembangan teknik grafiti (stiker, wheatpaste, poster,
stensil) dan tumbuhnya komunitas-komunitas seniman jalanan serta bagaimana mereka
berinteraksi. Pada bagian akhir bab ini akan dibahas bagaimana seni jalanan dalam
hubungannya dengan kebudayaan dengan memandang seni jalanan seperti halnya
keberadaan bahasa Indonesia “masa lalu” yaitu untuk pembentukan kesadaran (komunitas)
nasional dikalangan pemuda Indonesia yang bermasyarakat plural. Bahasa Indonesia
diturunkan dari kenyataan yang tidak terelakkan sebagai pewaris dari tiga bahasa yang
berbeda (Belanda, Jawa, Melayu revolusioner) dan dua tradisi budaya linguistik yang
berbeda pula (Barat-Belanda dan Jawa). Bahasa Indonesia baru, berkembang sebagai alat
komunikasi yang dapat mengekspresikan tidak hanya nasionalisme Indonesia, melainkan
juga aspirasi Indonesia, tradisi-tradisi Indonesia dan realitas-realitas internasional.1 Seperti
halnya bahasa Indonesia yang punya keterbukaan dalam pengembangannya, bidang seni
juga mempunyai sifat terbuka. Pengaruh “luar” atau modern “Barat” maupun seni-seni
tradisi semua bercampur baur dan berkembang. Percampuran ini terkadang menimbulkan
1
polemik namun kesemuanya tetap berjalan dalam kehidupan masyarakat Indonesia hingga
sekarang.
A. Seni jalanan Yogyakarta
Seni jalanan atau biasa juga disebut street art kemudian muncul menjadi istilah yang
dipakai untuk membedakan dengan karya seni yang dibuat dan ditempatkan di jalanan
dengan meminta ijin kepada pihak yang berwenang. Seni jalanan merupakan
perkembangan dari grafiti yang biasanya dibuat dengan cat semprot (aerosol) kemudian
berkembang menggunakan berbagai teknik pembuatan misalnya: stensil, stiker, tempelan
kertas/ wheatpasting, poster atau campuran dari berbagai bentuk seni.2 Penempatannya
dilakukan tanpa ijin dari pihak berwenang dan dilakukan dengan sengaja (misalnya:
Gerbong kereta, pos polisi, papan reklame dan lain-lain) terkadang memicu timbulnya
perkara. Perkara inilah yang seringkali menyebabkan pelaku seni jalanan dianggap sebagai
pelaku vandalism.
Kata “jalanan” pada seni jalanan bukan sekedar menunjukkan tempat tetapi lebih
menekankan kepada kebebasan sebab jalanan memiliki sifat longgar yang memungkinkan
kebebasan ekspresi berlangsung. Apakah itu dalam bentuk kebebasan berpendapat, seni,
maupun kebebasan bertingkah laku. Jalanan telah menjadi tempat dimana orang-orang
memiliki kesempatan untuk menunjukkan rasa kemanusiaan dan kebinatangannya yang
tersembunyi. Di jalan raya, misalnya, pengendara kendaraan berubah menjadi “binatang”
yang saling berebut kesempatan menyalip tanpa aturan, bahkan dapat mencelakakan orang
2
lain. Kepatuhan hanya terjadi jika polisi hadir disekitarnya, bukan karena kesadaran
tentang keselamatan dirinya maupun orang lain.3 Menurut Abdullah, grafiti yang biasa
ditemukan di jalan dan tembok-tembok kota merupakan bentuk lain dari ekspresi
kebebasan yang muncul dengan cara yang sama juga.4
Hasil dari wawancara terhadap beberapa pelaku seni jalanan terungkap bahwa
motivasi para pelaku seni jalanan sangat beragam, tergantung pada diri yang bersangkutan.
Misalnya, bagi pelaku yang berlatar belakang pendidikan seni rupa atau yang mengerti
keilmuan seni rupa, maka alasan mereka menempatkan karya seni di jalanan atau ruang
publik dianggap sebagai usaha mendekatkan karya dengan publik yang sesungguhnya.
Pandangan ini timbul karena menganggap kurangnya antusias masyarakat umum
mengunjungi ruang pamer seni rupa (museum atau galeri). Pandangan ini sangat elitis jika
dibandingkan dengan pelaku yang tidak mengerti sama sekali tentang ilmu seni rupa,
alasan membuat grafiti biasanya hanya sekedar iseng atau untuk menunjukkan batas
wilayah kekuasaan suatu kelompok atau semata-mata sebagai media kebebasan berunjuk
diri.
Karya seni yang mereka hasilkan, sepositif apapun tujuan dan motivasinya, sering
dipandang sebagai tindakan ilegal yang merusak dan mengotori keindahan lingkungan
serta dikategorikan sebagai kegiatan liar yang tidak disukai oleh pemerintah. Namun
dengan melihat semakin maraknya jumlah grafiti yang bermunculan di Yogyakarta saat ini,
dikembangkan di jalan dan ruang publik. Termasuk dalam kategori ini adalah grafiti alias corat-coret di tembok. Selain itu juga mencakup seni lain seperti stiker, stensil, patung, wheat-pasting, dan banyak lagi.
3
Gunawan. 2000.”Siasat dan Kuasa di Jalan Raya”, dalam PM Laksono et.al, Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: Insist dan Jerat Budaya p.7.
4
agaknya kegiatan tersebut tetap mendapat tempat di hati sebagian masyarakat, terutama
anak muda.
Perkembangan seni jalanan, dengan bentuk dan media yang semakin variatif seperti
sekarang, tentu saja tidak terlepas dari kebiasaan membuat grafiti yang telah ada di tengah
masyarakat, termasuk pula upaya untuk mengurangi atau menekannya, serta kecepatan
masuknya informasi tentang perkembangan street art diseluruh dunia yang mudah diakses
melalui internet.
B. Grafiti dan Perkembangannya
Grafiti berasal dari bahasa Italia “graffito–grafiti” (bentuk plural/jamak) yang
didefinisikan sebagai coretan atau gambar yang digoreskan pada dinding atau permukaan
apa saja. Dalam dunia seni rupa, istilah ini diambil dari kata “graffito” yang merupakan
nama teknik menggores pada keramik sebelum dibakar dan membuat desain pada suatu
permukaan dengan benda tajam atau kapur (biasanya digunakan saat membuat mural atau
fresco). Selain itu, graffito juga dianggap berkaitan dengan graphein (Yunani) yang berarti
menulis.5
Di Indonesia, Menurut Soedarso, goresan gambar yang tertua ditemukan di dinding
gua Pattae Kere, yang terletak di daerah Maros, Sulawesi Selatan (kebudayaan Toala,
Mesolitikum, c.4000 tahun yang lalu). Gambar pada gua itu sangat berbeda dari gambar
hiasan dinding buatan jaman purba yang biasanya bertujuan untuk memperindah tempat
5
"Graffiti" is the plural of "graffito", which singular form has become relatively little-known in English. The term is applied in art history to art works made by scratching a design into a surface. A related term is "sgraffito" — a way of creating a design by scratching through one layer of pigment to reveal another beneath it. These English words come from Italian, most likely being descended from "graffiato"
("scratched"), as ancient graffitists — before the modern advent of spray-paint — scratched their work into walls using sharp objects, chalk or coal, as in murals or frescoes. All these terms derive in turn from the Greek "γράφειν" ("graphein"), meaning "to write" — most literally, "to inscribe"
tinggal manusia yang mendiaminya. Gambar tersebut bermakna lebih dalam, yaitu
mengandung pesan pengharapan (wishful painting).6 Terlepas dari tujuan pembuatannya,
jika diperhatikan dari cara atau teknik membuatnya (goresan) gambar pada gua itu dapat
dikategorikan termasuk grafiti.
Gambar 1. Grafiti pada dinding gua.
Lokasi: gua Jati Jajar, Gombong, Jawa Tengah (Foto: dok. penulis, 2005)
Goresan berbentuk tulisan yang berusia cukup tua dan masih dapat terbaca jelas
dapat dilihat pada dinding gua Jati Jajar, yang merupakan objek wisata di Gombong, Jawa
Tengah. Menurut petugas jaga, tulisan tersebut merupakan coretan nama orang yang
pernah berkunjung ke gua itu. Angka tahun tertua pada goresan itu tertulis tahun 1926, dan
yang paling baru tahun 1981.
6
Dari pengamatan yang dilakukan pada tulisan di gua Jati Jajar diperkirakan bahwa
maksud orang pertama membuat goresan tersebut adalah agar keberadaannya pernah
berkunjung di tempat itu diketahui. Namun tanpa disadari, tindakan itu ternyata menular
dan ditiru oleh orang-orang yang berkunjung sesudahnya, dengan menuliskan nama
mereka di atas nama yang terdahulu. Penularan ini tentu saja tanpa disadari oleh pembuat
yang pertama karena terjadi begitu saja. Hampir serupa dengan kejadian di atas, pola
penularan atau peniruan yang sama juga terjadi dalam perkembangan grafiti dimasa
sekarang.
Gerakan membuat grafiti secara massal pernah terjadi di Indonesia. Gerakan tersebut
terjadi bukan bertujuan untuk mengembangkan kesenian, melainkan untuk mengobarkan
semangat juang rakyat mengusir penjajah Belanda di tahun 1945. Pada waktu itu, hampir
semua sudut kota di Indonesia dipenuhi grafiti yang berisi pesan-pesan yang mampu
mengobarkan semangat berjuang. Beberapa seniman yang tergabung dalam Persatuan Ahli
Gambar Indonesia (Persagi),7 bahu-membahu bersama para pejuang lain untuk
mengangkat senjata sekaligus tetap berkarya.8
Di masa perjuangan kemerdekaan tahun 1945, penempelan poster-poster maupun
gambar mural pada tembok luar ruang dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan
propaganda perjuangan agar dapat dipahami dan diterima masyarakat luas. Selain seniman
Persagi, poster-poster juga dibuat oleh Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) yang
didirikan pada tahun 1945 oleh Djajengasmoro dan beberapa temannya. Kelompok ini
membuat sejumlah poster dan spanduk dengan keyakinan bahwa ”Cat, pensil dan kertas
7
Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) didirikan tahun 1933. Pelopor: Soedjojono, Agus Djaya dan lain-lain.
8
akan bersama-sama dengan pelor-pelor dan kata-kata diplomasi mengusir sisa-sisa
penjajahan”.9
Gambar 2.
Grafiti pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945.
(Foto diambil dari: Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemuda, Jakarta :Sinar Harapan)
Di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno berkali-kali
mengalami pergantian Undang-Undang Dasar, sistem politik, dan susunan kabinet.
Pergantian-pergantian ini terkadang memicu timbulnya aksi penolakan, atau sebaliknya
dukungan, dari organisasi politik maupun militer. Dalam aksi tersebut, digunakanlah poster
sebagai media yang berisi ajakan atau propaganda yang ditujukan kepada masyarakat.
Poster-poster tersebut ditempelkan pada tembok-tembok kota, terutama di tempat yang
dianggap strategis. Hal ini dilakukan agar mampu menarik perhatian umum sehingga pesan
yang dikandungnya bisa tersampaikan dengan lebih efektif. Hal yang sama juga dilakukan
pada masa Orde Baru. Penempatan karya di ruang publik, berupa poster dan baliho
berukuran raksasa, dilakukan untuk menyampaikan pesan propaganda politik atau pesan
pembangunan yang ditetapkan pemerintah kepada masyarakat luas.
9
Di kota Yogyakarta, baliho-baliho raksasa tersebut sering diletakkan di depan kantor
pos besar (dekat Alun-alun Kraton Yogyakarta) dan beberapa tempat strategis yang lain.
Baliho-baliho besar itu dibuat oleh beberapa sanggar seniman atas pesanan pemerintah.
Sanggar yang populer, sering mengerjakan baliho besar adalah Seniman Merdeka yang
berlokasi di jl. Ontoseno, Wirobrajan. Beberapa pelukis yang tergabung adalah alumnus
dan mahasiswa Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta yang terletak tidak begitu jauh dari
lokasi studio. Tidak ada tujuan lain dari penempatan poster tersebut di ruang publik selain
keinginan untuk menyampaikan pesan secara langsung dan sebagai pilihan media untuk
menjangkau audience yang lebih luas.10 Dari perkembangan grafiti ini agaknya pemerintah
menyadari bahwa gambar dapat digunakan sebagai alat propaganda yang cukup efisien
untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai, disisi lain hal ini juga menguntungkan
pelukis karena mendapat pesanan pekerjaan.
Keberadaan grafiti dijalanan mulai marak di Indonesia memasuki tahun 1980-an,
tepatnya seiring dengan merebaknya pengaruh tarian breakdance dan gank dikalangan
anak muda. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia, di Amerika pada tahun
1970-an grafiti di1970-anggap sebagai bentuk seni baru (ekspresi visual) y1970-ang tumbuh pada kehidup1970-an
masyarakat urban dan dalam perkembangannya tidak terpisahkan dengan budaya hip-hop,
Master of Ceremony (MC), Disc Jockey (DJ) dan breakdance. Selain sebagai perwujudan
ekspresi visual, grafiti juga dianggap sebagai simbol anti kemapanan oleh kelompok
beraliran Punk yang juga tumbuh dimasa yang sama. Kepopuleran grafiti di Amerika
semakin menanjak ketika tahun 1971, surat kabar New York Times menulis sebuah artikel
tentang seseorang yang yang sering membuat grafiti di jalan-jalan kota New York dengan
inisial “TAKI 183” (183rd adalah alamat rumah) bernama Demeritius (Demetraki). Artikel
ini berjudul TAKI183 Spawns Pen Pals. Meski Demeritius bukan seniman grafiti pertama
di Amerika, tetapi dia dikenal sebagai seniman grafiti pertama yang dibicarakan oleh
lingkungan di luar lingkar budaya hip-hop.11 Inisial “Taki” ini kemudian digunakan
menjadi istilah tag dalam dunia grafiti yang berarti inisial atau singkatan nama. Sedangkan
membuat inisial biasa disebut tagging.12
Di Jakarta, kelompok-kelompok breakdance dan gank mewabah hingga ke pelosok
kampung. Kelompok-kelompok ini menunjukkan eksistensinya melalui festival
breakdance dan grafiti yang memang banyak diadakan saat itu. Mewabahnya kelompok
tersebut menyebabkan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta kerepotan dan
memutuskan untuk menyediakan ruang khusus di parkir timur Senayan sebagai ajang
breakdance setiap Sabtu malam. Perkembangan ini kemudian meluas juga ke kota-kota
lainnya termasuk Yogyakarta.
Di Yogyakarta, pada masa Reformasi tahun 1998, penggunaan grafiti sebagai teknik
penyampaian pesan politik kembali merebak. Aksi-aksi grafiti tersebut dipelopori oleh
anggota dan simpatisan Partai Rakyat Demokratik (PRD).13 Grafiti-grafiti tersebut ditulis
di sepanjang tembok jalan yang strategis gampang terlihat.
10
FX. Harsono,(2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik, http://www.karbonjournal.org
11
http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times (scanned in PDF-format). Lebih lanjut lihat, Mengenal Aksi Seniman Urban, http://www.art-ysri.or.id/ senirupa.asp?xy=20, disebutkan juga menurut penulis Andrea Ruttan, Demetrius dianggap sebagai seniman pertama di bidang seni penulisan dinding yang mencerminkan faktor-faktor kedaerahan dan gaya individual tersebut. (diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)
12
The verb tagging has even become a popular verb today in other types of occasions that are non-graffiti-related. TAKI 183 is officially credited as the inventor of tags in modern graffiti, lihat:
http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times(diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)
13
Pesan yang disampaikan pada tulisan tersebut lebih banyak berisi seruan perlawanan
politik terhadap kekuasaan otoriter rezim Orde Baru, daftar tuntuan dan agenda politik,
serta seruan perlawanan terhadap kapitalisme. Kini, aksi-aksi tersebut terus berlangsung
dan tidak lagi hanya dilakukan oleh PRD, tetapi hampir sebagian besar organisasi, lembaga
maupun individu dengan maksud dan tujuan masing-masing, baik secara terang-terangan
(dengan mencantumkan nama) atau anonim.
Gambar 3.
Grafiti saat reformasi 1998, lokasi : Depan wisma MM UGM
(Foto: dok. penulis, 1998)
Selain grafiti politik, juga bermunculan poster, baliho, dan stiker. Sebagai contoh
pada saat menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1999, dibeberapa ruang kosong
banyak ditemukan tempelan-tempelan poster maupun stiker yang terkadang berisikan
tulisan yang memojokkan lembaga atau organisasi politik. Biasanya tempelan-tempelan
seperti itu tidak tercantum siapa yang membuat.
Grafiti politik mempunyai muatan propaganda tentang hal yang diperjuangkan
itu, propaganda dalam pandangan masyarakat mempunyai nilai negatif. Tertulis dalam
banyak catatan sejarah bahwa propaganda telah dipakai oleh sejumlah negara dalam
berperang melawan bermacam-macam ideologi demi kepentingannya masing-masing;
fasisme di Italia (1922), Jerman (1933), Spanyol (1933), dan Jepang (1930-an). Pada
situasi perang atau politik yang memanas, propaganda berfungsi seperti senjata, bahkan
sering dijadikan strategi untuk menekan musuh atau saingan politik secara terang-terangan
maupun sembunyi-sembunyi.
Gambar 4.
Poster, berbentuk Stiker yang beredar di jalanan
beberapa kota besar Indonesia selama masa kampanye Pemilu 1999. (Foto dokumentasi penulis 1999)
Apa yang disajikan propaganda belum tentu sesuai kenyataan, atau malah sebuah
kenyataan yang disampaikan bisa saja dianggap sebagai propaganda yang memojokkan
pihak yang terpojok (black propaganda). Oleh media, propaganda sering digunakan untuk
menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan pandangan atau yang dirasakan masyarakat
(memutarbalikkan fakta). Cara ini biasanya ditunggangi oleh pihak ketiga yang
cenderung lebih dikonotasikan negatif daripada positif (peyoratif).14 Propaganda membidik
dengan cara atau metode untuk memengaruhi opini masyarakat, bukannya menyampaikan
fakta yang sebenarnya tentang sesuatu. Misalnya, propaganda digunakan untuk mencapai
kedudukan yang lebih tinggi (dalam kampanye), menawarkan sesuatu agar dibeli oleh
masyarakat (dalam jual-beli), atau untuk mengenalkan produk baru pada calon konsumen
melalui iklan (dalam pemasaran).
Grafiti, tag, poster, stiker yang bermuatan politik dan tidak, semua berkembang
bersama di Yogyakarta hingga sekarang. Perkembangan ini mengikuti banyaknya individu
pelaku seni jalanan, kelompok-kelompok aktivis dan komunitas seni jalanan yang semakin
banyak tumbuh. Beragam karya seni jalanan saat ini semakin mudah ditemukan disetiap
pojok sisa ruang di jalan. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku seni jalanan di
Yogyakarta berjumlah banyak dan dari bentuk visualnya dapat diketahui ada banyak
(beragam dan berbeda-beda) motivasinya.
Grafiti di Yogyakarta mulai marak pada tahun 1980-an. Menurut keterangan salah
satu sumber bernama Marto (bukan nama sebenarnya), tulisan yang populer dan gampang
ditemukan adalah QZR atau Qizruh, dan JXZ atau Joxzin (Joko Sinting). Menurutnya,
tulisan-tulisan itu adalah inisial nama sebuah kelompok atau geng (QZR berbasis di
Yogyakarta bagian utara, JXZ berbasis di bagian selatan, terutama di daerah Kauman).
14
Gambar 5. Corat-coret jalanan. Lokasi: daerah Sagan, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 12 Juni 2007)
Kelompok-kelompok ini saling bersaing dan suasana persaingan itu sangat jelas
terasa lewat banyaknya grafiti kelompok yang satu dicoret atau ditumpuk oleh grafiti
kelompok lain. Dijelaskan pula bahwa perkelahian antar anggota kelompok yang saling
bersaing tersebut seringkali terjadi. Meski kini dua kelompok itu tidak lagi aktif, tapi
grafiti bertuliskan inisial kelompok mereka entah mengapa masih tetap ada.
“Tidak jelas alasannya karena sekarang semua anggota kelompok sudah tua. Tidak jelas siapa yang punya kerjaan (mencorat-coret) itu. Mungkin saja anak muda sekarang sempat mendengar-dengar cerita tentang geng-geng di masa lalu yang dianggapnya legenda, dan kemudian melakukan corat-coret itu untuk sekedar ikut-ikutan.”15
Dulu, bentuk grafiti hanya sekedar tulisan atau singkatan kata. Namun perubahan
jaman ternyata turut pula memicu perubahan bentuk grafiti. Kini, para pembuat grafiti
semakin kreatif menciptakan berbagai bentuk baru. Mereka tidak ragu memadu-padankan
15
beberapa teknik untuk mencapai bentuk yang diinginkan, seperti teknik stensil, sablon
(screen printing), atau cetak cukil kayu (woodcut). Teknik tersebut adalah teknik umum
yang sering dipakai dalam pembuatan seni grafis.
Gambar 6.
Seni jalanan menggunakan teknik stensil. Lokasi: dekat jembatan Kewek, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 2005)
Jika menyangkut pengaplikasian, setiap teknik tentu saja berbeda caranya. Untuk
teknik sablon, misalnya, gambar dibuat di atas kertas stiker atau kertas yang diberi lem,
sebelum kemudian ditempel di permukaan bidang yang diinginkan. Sedangkan yang
dimaksud dengan teknik stensil ialah teknik membuat rancang gambar atau tulisan pada
kertas karton, yang kemudian bagian tengah rancangan tersebut dibuang (dilubangi).
Kertas karton berfungsi serupa cetakan gambar atau tulisan. Dalam pengaplikasiannya
dibutuhkan cat semprot (aerosol), yang nantinya akan disemprotkan ke bagian karton yang
Gambar 7.
Poster yang dibuat dengan teknik woodcut print Lokasi: pintu gerbang Kejagung Jakarta.
(Foto dokumentasi penulis 2002)
Cetak cukil kayu (woodcut print) dilakukan untuk mencetak di pada kertas. Bahan
yang dicukil biasanya berupa papan (hardboard) atau triplek. Sebelum melakukan
pencukilan, rancangan lebih dulu dibuat di atas papan atau triplek dengan bentuk gambar
terbalik (negatif). Adapun bagian yang dicukil nantinya adalah bagian yang tidak tercetak.
Setelah itu, dengan rool grafis, papan atau triplek tadi diberi tinta cetak. Langkah terakhir
adalah mencetak di pada kertas dengan cara meletakkan kertas di atas papan lalu digosok
dengan menggunakan sendok, atau diinjak-injak hingga rata. Penggunaan teknik sablon,
stensil, dan cukil kayu ini membuat penggandaan karya menjadi mudah dilakukan, dan
jumlahnya pun tidak terbatas.16
16
Dalam dunia seni jalanan, penggunaan stiker disebut slap tagging.17 Cara
penyampaian pesan atau tandanya dilakukan dengan mencetak desain di atas stiker, yang
kemudian ditempelkan di berbagai tempat. Pola kerja peletakan atau penempelan stiker
hampir sama dengan grafiti; di mana saja yang diinginkan dan tanpa ijin.
Gambar 8.
Stiker grafiti pada plang kantor. Lokasi: Kota Baru, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, Oktober, 2006)
Stiker, dalam Macquarie Dictionary, berarti, “An adhesive label, usu. With an
advertisement, publicity, slogan, or other massage printed on it.18 Yaitu, label atau etiket
berperekat dengan iklan, publikasi, slogan atau pesan lain yang dicetak di atasnya. Pada
awalnya, stiker biasa disebut sticky back atau melekat di belakang. Stiker berasal dari
bahasa Inggris “stick” yang berarti memasang atau membubuhkan sesuatu yang disebabkan
oleh adanya pelekatan.
17
Graffiti Terminologi, http://www.aftenposten.no/nyheter/iriks/article1260136.ece Norwegian newspaper article about acid tagging (foreign language).
18
Wujudnya sangat sederhana; hanya terdiri dari dua lembar kertas yang saling
menempel. Salah satu sisi kertas diberi bahan perekat, sementara sisi lainnya adalah kertas
yang telah dilapisi bahan penunda perekat. Kedua kertas itu saling berhadapan satu sama
lain dan bersifat saling bertentangan. Stiker ditemukan oleh R. Stanton Avery pada tahun
1935 di Los Angeles, Amerika Serikat. Penemuan itu terjadi karena didorong oleh
keinginan Avery untuk membuat suatu bahan yang dapat memudahkannya melakukan
proses pelabelan barang. 19
Di Indonesia, kertas stiker yang diberi gambar atau tulisan dikenal dengan nama
“gambar tempel”. Gambar tempel difungsikan sebagai hiasan yang diproduksi dengan
berbagai teknik, salah satunya adalah dengan teknik sablon (screen printing) yang banyak
digunakan pada industri kecil. Gambar tempel mudah ditemukan di warung-warung atau
toko buku dalam bentuk, desain dan warna yang menarik, lucu dan unik. Pembeli gambar
tempel biasanya menggunakannya sebagai hiasan tempelan pada tempat-tempat tertentu.
Pada akhir tahun 1990-an, gambar tempel bermotif plesetan sangat populer di
Yogyakarta. Awalnya, plesetan adalah bentuk komunikasi verbal yang mengandung unsur
humor atau sejenis candaan. Namun selanjutnya, pengertian tersebut semakin berkembang
ke bentuk lain, seperti tulisan, bahkan hingga ke media dan visual yang lebih beragam
(misalnya, media stiker). Stiker plesetan sering dijumpai tertempel pada body kendaraan
(jendela atau pintu). Sepintas, stiker ini akan terbaca sebagai merek dari produk industri
tertentu yang sudah terkenal atau populer di masyarakat. Stiker plesetan, atau sering juga
disebut stiker parodi, menandai adanya persimpangan antara kreasi dan rekreasi
(penciptaan ulang) serta invensi (penemuan baru) dan kritik.
19
Gambar 9. Stiker Plesetan (Foto: Dok. Hestu Ardiyanto)
“BMW”, adalah merek/brand kendaraan bermotor, yang berlokasi di Munich,
Jerman. Kendaraan dengan brand “BMW” dikenal sebagai jenis kendaraan yang
berkualitas tinggi, sehingga image yang terbangun adalah gengsi, kualitas terbaik dan
eksklusif. Hal ini adalah gambaran realitas produksi, bagi siapa saja yang mampu
mengkonsumsi produk ini status sosialnya akan dianggap lebih dari yang lain. Sedangkan
BMW (Bikin Mabuk Wanita) memberikan suatu persoalan yang dianggap seksis. Stiker
BMW ini bisa saja dianggap memuakkan, lucu atau biasa-biasa saja. Kondisi realitas dan
anggapan terhadap kedua makna memunculkan parodi.
Parodi juga akan dapat berarti sebagai komposisi yang mempermainkan atau meniru
karya yang lain, biasanya yang bersifat serius dengan maksud melucu atau
mencemoohkan.. Berger, menggolongkan parodi sebagai teknik humor dengan
teknik-teknik melucu, dengan mempermainkan kata, melebih-lebihkan dan kelucuan.20
Dari pendapat ini dapat dikatakan pula parodi adalah suatu upaya dalam bentuk dialogisme
tekstual yaitu hubungan antara dua teks atau lebih yang bertemu dan berinteraksi satu sama
lain dalam bentuk saling kritik humor serta selalu memperalat pihak lain.
Penggunaan teknis-teknis baru ini (sticker, sablon, wood cut, stensil) turut memacu
penciptaan seni jalanan dalam beragam bentuk visual dan mempercepat proses
pembuatannya. Hal itu disebabkan pengerjaannya secara teknis, dapat dipersiapkan
terlebih dulu di rumah atau studio, yang menyebabkan pengerjaan seni jalanan menjadi
lebih cepat (tinggal tempel atau sudah punya mal cetakan yang siap disemprot), dengan
begitu resiko tertangkap sewaktu mengerjakan menjadi kecil.
C. Seni Jalanan dan Komunitasnya
Di Yogyakarta, membuat grafiti dengan nama sekolah tidak sebegitu populer di Jakarta.
Grafiti nama sekolah di Jakarta sangat berkaitan erat dengan maraknya perkelahian pelajar
antar sekolah. Coretan berbentuk tulisan seperti Boedoet (STM 1, Jl. Boedi Utomo,
Lapangan Banteng-Jakarta Pusat), Basecamp 24 (SMA 24, Jl. Lapangan Tembak, Senayan
Jakarta Pusat), 7GBR (SMA 7 Gambir) dan banyak lagi lainnya adalah ragam grafiti yang
marak dan mudah ditemukan di hampir setiap tembok jalanan Jakarta, di akhir tahun
1980-an. Mencoret atau menumpuk grafiti sekolah lain dengan grafiti sekolah sendiri biasanya
langsung ditanggapi dengan penyerbuan atau pencegatan terhadap murid sekolah yang
bersangkutan di jalanan21. Adapun di Yogyakarta, perkelahian pelajar antar sekolah jarang
terjadi. Corat-coret menggunakan teknik cat semprot (aerosol) dilakukan oleh siswa
20
sekolah di Yogyakarta, khususnya siswa sekolah menengah atas, saat merayakan kelulusan
di setiap akhir tahun ajaran.
Kegiatan ini seolah menjadi “keharusan” bagi para siswa sekolah. Dengan penuh
gembira, mereka membuat corat-coret pada baju seragam sekolah, yang biasanya diikuti
dengan mencorat-coret tembok atau dinding di sepanjang jalan yang mereka lewati saat
melakukan arak-arakan keliling kota.
Gambar 10.
Spanduk larangan mencorat-coret untuk pelajar. Oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. (Foto: dokumentasi penulis, Juni 2007)
Meski pihak sekolah telah melakukan berbagai macam cara untuk mengantisipasinya,
namun kegiatan corat-coret itu masih terus berlangsung hingga sekarang. Beberapa
organisasi masyarakat juga memberi arahan untuk dapat menekan kegiatan yang dianggap
memboroskan serta membuat kotor kota.
21
Memasuki tahun 2000, grafiti di Yogyakarta berkembang ke arah yang lebih
beragam, baik dalam hal variasi kata, bentuk, dan permainan warna. Jika sebelumnya
hanya berupa singkatan nama kelompok atau inisial, kini grafiti lebih bernuansa individu.
Organisasi, kelompok atau klub grafiti pun mulai banyak bermunculan di Yogyakarta.
Misalnya, Jogja Hip-hop Foundation (Yayasan Bernyanyi Cepat Jogja) yang terbentuk
pada tahun 2001.
Gambar 11.
The Kid, Yogyakarta. Teknis perwujudannya cukup rumit dilihat dari shadow dan pencampuran warnanya.
(Foto: dokumentasi penulis, 2006)
Dari keterangan salah satu anggota Jogja Hip-hop Foundation, terdapat 25 grup
dalam kelompok ini. Namun begitu, Jogja Hip-hop Foundation bukanlah sebuah
organisasi formal yang memiliki aturan atau ketentuan yang mengikat. Mereka bahkan
sama sekali tidak memiliki susunan organisasi. Jogja Hip-hop Foundation hanyalah
anggotanya dalam berbagai bidang seperti breakdance, Disc Jockey (DJ), Master of
Ceremony (MC), dan grafiti. 22
Grafiti masa kini sangat berbeda perwujudannya dengan grafiti dimasa lalu. Jika
diperhatikan dari bentuk dan corak pencampuran warnanya, terkesan para pembuatnya
selain menginginkan teksnya terbaca juga ingin menunjukkan kecanggihan teknis yang
dikuasai. Hal ini terlihat dari penggunaan teknis shadow (bayangan) dan duotone yang
memberi kesan volume atau kedalaman pada warna latar belakangnya. Grafiti yang semula
berupa tulisan lambat-laun berubah menjadi gambar atau penggabungan gambar dan
tulisan. Karya yang dihasilkan menjadi rapih dan bersih karena perencanaan yang matang.
Gambar 12. Dream
Lokasi:Pertigaan Krapyak-Jl.Bantul, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)
Komunitas grafiti lainnya adalah Yogya Art Crime (YORC). YORC terbentuk setelah
beberapa perkumpulan kecil para pembuat grafiti, yang ternyata memiliki hubungan
22
pertemanan atau sering mengerjakan grafiti bersama, memutuskan untuk membuat satu
komunitas yang lebih besar untuk mewadahi sejumlah perkumpulan kecil antara lain:
AKA, ARTZ, ANS, BLANK, BURN, BAD, CHALK, DEKA, FUCK, HELTZ, HK, DIST,
IENT, LUPS, HEAT, MAPS, NASTI, PAWS, ROT, REST, OAK, BEST, SIC,
LOVEHATELOVE, OCS, REIDS, STALL, RUNE, NEST, ENPI, AGE, TAT, Sewon
Bomber, School Terror, Gelagat Buruk, Psycho, MYAC, Hallo, YSAC, Devil Crew,
Horny dan YKILC.
Kebanyakan dari mereka adalah alumni atau pernah mengenyam pendidikan seni
rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta, Sekolah Menengah Industri
Kerajinan Yogyakarta (SMIK), atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 5 Yogyakarta.
Ada pula yang masih terdaftar sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Serupa dengan Jogja Hip-hop Foundation, komunitas YORC tidak memiliki struktur
organisasi yang baku atau sejenis garis koordinasi, melainkan hanya sekedar sebuah
komunitas yang terbentuk karena para anggotanya memiliki kesamaan minat pada aktivitas
tertentu.
YORC memiliki jadwal temu bersama setiap hari Jumat dan Minggu. Pertemuan ini
dilakukan untuk merencanakan proyek grafiti baru bersama. Biasanya, sketsa dibuat pada
pertemuan hari Jumat, adapun hari Minggu adalah waktunya menggarap sketsa. Namun
tidak jarang sketsa yang dibuat bersama pada hari Jumat langsung digarap hari itu juga.
Menyangkut pemilihan tempat, YORC memilihnya berdasarkan referensi personal yang
dimiliki masing-masing anggota. Referensi tempat sering juga disebut simpanan tempat.
Dalam komunitas YORC, ada yang dinamakan black book, yaitu buku seukuran folio
yang berisi kumpulan sketsa grafiti. Umumnya, setiap pembuat grafiti mempunyai dua
buku; satu berisi sketsa sendiri yang disimpan secara personal, satunya lagi adalah milik
bersama yang disimpan secara bergilir antar anggota. Setiap kali black book milik bersama
digilir, maka isinya akan bertambah satu sketsa grafiti yang dibuat oleh anggota yang
menyimpan black book itu.
Gambar 13.
Grafiti kolaborasi Lovehatelove dan Plus. Lokasi: Utara perempatan Tugu, Yogyakarta
(Foto: dokumentasi penulis, 2007)
Dalam pengerjaannya tidak selalu dikerjakan sendiri, tetapi biasanya dibantu oleh
beberapa orang yang biasa disebut crew, selain itu tidak jarang terjadi kolaborasi (berkarya
bersama) dengan kelompok atau pelaku (individu) lain. Pada karya kolaborasi sering
terlihat mereka saling menonjolkan kemampuan dan kreativitas yang dimiliki, bahkan
terkesan seakan saling berlawanan/ bersaing. Secara teknis, cara yang digunakan dalam
komunitas ini untuk membuat grafiti sama dengan yang digunakan pendahulunya, yaitu
blocking dan spray. Adapun bahan persediaan yang digunakan untuk membuat grafiti yang